METODE DAN CORAK TAFSIR FI ZILAL AL-QUR’AN

PENDAHULUAN
Nama Sayyid Qut}b semakin populer ketika ia bergabung dengan al-ihwa>n al-muslimun yang didirikan oleh Hasan al-Banna. Dalam organisasi tersebut ia menjadi salah satu tokoh disamping Abd Qadir Auda dan Hasan al-Hudaibi. Bersama organisasi ini ia banyak “berseteru” dengan  pemerintah Mesir sehingga ia sering ditangkap dan dipenjarakan oleh pemerintah Mesir. Dan pada akhirnya ia dijatuhi hukuman mati oleh pemerintah Mesir pad tahun 1966.
Salah satu karya momentalnya adalah tafsir fi zilal al-Qur’an, sebuah tafsir yang menurut Manna’ al-Qattan merupaka tafsir yang sempurna.  Sayyid Qut}b memiliki ciri khas sendiri dalam menafsirkan al-Qur’an, yang berbeda dengan tafsir pada umumnya kala itu. Metode tafsir  “khas}” yang digunakan oleh Sayyid Qut}b inilah yang menjadi objek pembahasan makalah ini serta naz’ah yang muncul dari tafsir f>i Z}ila>l al-Qur’a>n karya Sayyid Qut}b.

METODE DAN CORAK TAFSIR FI> Z}ILA>L AL-QUR’A>N
A.  Biografi Sayyid Qut}b
Nama lengkap Sayyid Qut}b adalah Sayyid Ibrahim Husain Sha>dzili>.[1] Beliau Lahir di perkampungan Mu>sha dekat kota asyu>t} Mesir pada tanggal 9 Oktober 1906 M.  Sayyid Qut}b merupakan anak tertua dari lima saudara.  Pada usia sepuluh tahun Sayyid Qut}b sudah hafal al-Qur’an di luar kepala. Pendidikan dasarnya selain ia peroleh dari Kuttab, ia juga belajar di sekolah pemerintah dan lulus pada tahun 1918 M.  Pada tahun 1925 Sayyid Qut}b masuk ke institusi diklat keguruan dan lulus tiga tahun kemudian. Setelah itu ia melanjutkan studi ke Univesitas Da>r al-‘Ulu>m (Universitas Mesir Modern) hingga memperoleh gelar sarjana muda dalam bidang arts education.[2]
Setalah lulus dari Da>r ‘Ulu>m ia menjadi tenaga pengajar di Universitas tersebut. Selain itu ia juga bekerja di kementerian pendidikan sampai menjabat sebagai inspektur.  Akan tetapi kemudian ia mundur dari jabatan tersebut karena kebijakan pendidikan pemerintah terlalu tunduk dengan Inggris. Ketika ia menjabat sebagai inspektur di kementerian pendidikan ia mendapat tugas belajar di Wilson’s Teacher College dan Stanford University dan berhasil menyandang gelar M.A. dalam bidang pendidikan.
Selama tiga tahun di luar negeri, Sayyid Qut}b berkesempatan mengunjungi Inggris, Swetzealand dan Italia. Pengalamannya di luar negeri ini mempengaruhi pemikirannya. Setibanya di Mesir ia bergabung dengan al-ikhwa>n al-muslimun. Dari sinilah ia banyak menyerap pemikiran Hasan al-Banna dan al-Maududi.[3]
Setelah bergabung dengan al-ikhwa>n al-muslimun ia menjadi tokoh berpengaruh di samping Abd al-Qadir Audah dan Hasan al-Hudaibi. Sewaktu larangan terhadap al-ikhwa>n al-muslimun di cabut pada tahun 1951, Sayyid Qut}b terpilih menjadi anggota panitia pelaksana dan pimpinan bagian dakwah.  Selama tahun 1953, Sayyid Qut}b menghadiri konferensi Suriah dan Yordania, dan banyak memberikan ceramah tentang pentingnya akhlak sebagai pra-syarat kebangkitan umat.[4]
Pada Juli 1954, Sayyid Qut}b menjadi pimpinan redaksi harian al-ikhwa>n al-muslimun. Namun baru berjalan dua belas bulan, harian tersebut ditutup oleh pemerintah Mesir atas intruksi presiden Kolonel Gamal Abd Naseer karena mengecam perjanjian Mesir-Inggris 7 Juli 1954.[5]
Sekitar tahun 1955, Sayyid Qut}b termasuk pemimpin Ihkwan al-muslimun yang ditahan pemerintah Mesir setelah organisasi tersebut dilarang karena dituduh berupaya menjatuhkan pemerintah. Pada tahun 13 Juli 1955, pengadilan rakyat menjatuhkan hukuman 15 tahun kerja berat. Sayyid Qut}b dipenjara diberbagai penjara Mesir sampai pertengahan tahun 1964. Pada taun 1964, ia dibebaskan atas permintaan presiden Irak Abdul Salam Arif yang melakukan kunjungan ke Mesir.
Baru satu tahun Sayyid Qut}b bebas dari penjara, ia kembali ditangkap pemerintah Mesir bersama tiga saudaranya, Muhammad Qut}b, Aminah dan Hamidah.  Akhirnya pada 29 Agustus 1966 Sayyid Qut}b bersama dua orang temannya wafat di tiang gantungan.[6]
B.   Karya-karya
Sayyid Qut}b tergolong ulama yang produktif, dalam sebuah literatur disebutkan karya tulisnya mencapai 24 buku diantaranya yang paling terkenal adalah fi> Z}ila>l al-Qur’a>n berjumlah 6 jilid.[7] Namun jumlah buku karanganya ini bukan hitungan rigid, karena masih dimungkinkan ada karya-karya beliau yang tidak terdokumentasikan sehingga tidak diketahui sampai sekarang.[8]
Diantra karya-karya Sayyid Qut}b adalah:
1.      T}ifl min al-Qaryah
2.      Al-Madi>nah al-Mash}u>rah
3.      Ashwa>k
4.      Al-At}ya>f
5.      Muhimmah Sha>’ir fi> al-H}ya>h
6.      Al-‘ada>lah al-Ijtima>’iyah fi> al-Isla>m
7.      Ma’rakah al-Isla>m wa al-Ra’sa>maliyah
8.      Al-Sala>m al-‘Alami> wa Isla>m
9.      Nahwa Mujtami’ Isla>mi>
10.  Huda> al-di>n
11.  Al-Mustaqbal li> hazda> al-di>n
12.  Khas}a>is al-tas}awwur al-Isla>mi> wa Muqawwima>tuh
13.  Al-Isla>m wa Mushkila>t al-H}adha>rah
14.  Ma’a>lim fi> al-T}ari>q.[9]
15.  Dirasat Isla>miyah
16.  Al-Jadi>d fi> al-Mahfuzhat
17.  Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n
18.  Raudhah al-T}ifl
19.  Al-Jadi>d fi> al-Lughat al-‘Arabiyah
20.  Al-Qas}as al-Di>ny
21.  Mashahi>d al-Qiya>mah fi> al-Qur’an
22.  Al-Naqd al-Adaby
23.  Al-Tas}wir al-Fan fi> al-Qur’an

C.   Sejarah penulisan Tafsir fi> Z}ila>l al-Qur’a>n
Ditengah-tengah kesibukannya sebagai aktifis organisasi al-ikhwa>n al-muslimun Sayyid Qut}b menyempatkan diri untuk membaca, mengkaji dan menulis buku. Dalam sehari ia meluangkan waktu untuk menulis selama delapan sampai sepuluh jam untuk menyusun dan menulis karya ilmiah. Buah pertama fikirannya tertuang dalam buku al-‘Ada>lah al-Ijtima>’iyah fi> al-Isla>m, tidak lama kemudian Sayyid Qut}b mulai menyusun sebuah kitab tafsir yang terkenal mempunyai keistimewaan tertentu dibanding dengan kitab-kitab tafsir lainnya, baik dari segi penyajian, gaya bahasa yang digunakan maupun dari segi kandungan isinya.[10]
Pada awalnya penulisan tafsir fi> Z}ila>l al-Qur’a>n ini dituangkan dalam sebuah rubik majalah al-Muslimin edisi ke-3, terbit pada tahun 1952.  Sayyid Qut}b menulis tafsir secara serial di majalah tersebut dimulai dari al-fatihah dan dilanjutkan surat al-Baqarah dalam edisi-edisi selanjutnya.[11] hal itu dilakukan atas permintaan Sa’id Ramadhan pemimpin redaksi majalah tersebut. Selain menjadi penulis, ia juga menjabat sebagai redaktur dalam rubik ini. Namun kemudian rubik dihentikan dengan alasan ia ingin menggantinya dengan rubik lain serta janji akan menulis tafsir secara khusus dan akan terbit setiap juz.[12] Penulisan tafsir fi> Z}ila>l al-Qur’a>n ini selesai pada tahun 1964 ketika Sayyid Qut}b mendekam di dalam penjara.[13]
D.  Metode tafsir fi> Z}ila>l al-Qur’a>n
kata metode berasal dari bahasa Yunani methodos yang berati jalan atau cara. Kemudian oleh bangsa Arab kata ini diterjemahkan dengan manhaj dan t}ariqah. Apabila dikaitkan dengan tafsir, maka yang dimaksud dengan metode tafsir  atau manhaj tafsir adalah kerangka atau kaidah yang digunakan untuk menafsirkan al-Qur’an yang dengan kaidah tersebut dapat meminimalisir kesalahan dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’a>n.[14]
Sayyid Qut}b menggunakan sistematika penulisan tafsir yang khas dalam menyusun tafsir fi> Z}ila>l al-Qur’a>n. Pada setiap awal surat yang akan dibahas Sayyid selalu memberikan gambaran umum mengenai isi kandungan ayat-ayatnya. Sehingga pembaca memiliki gambaran umum mengenai kandungan ayat-ayat tersebut sebelum membaca detail penjelasan dalam tafsir fi Z}ila>l al-Qur’a>n.[15] Kemudian apabila ditinjau dari segi sumber, cara penjelasan, keluasannya dan sasaran tertib ayat, maka tafsir fi> Z}ila>l al-Qur’a>n disusun berdasarkan metode berikut:
1.      Ditinjau dari sumber penafsiran
Metode tafsir al-Qur’an ditinjau dari segi sumber penafsirannya, ada tiga macam, yaitu:
a.       Metode tafsir bi al-ma’thur / bi al-manqul / bi al-riwayah yakni metode menafsirkan al-Qur’an yang sumber-sumber penafsirannya diambil dari al-Qur’an, Hadis, qawl sahabat dan qawl tabi’in yang berhungan dengan penjelasan ayat-ayat al-Qur’an.[16]
b.      Metode tafsir bi al-ra’yi / bi al-dirayah / bi al-ma’qul, yaitu cara menafsirkan al-Qur’an yang sumber penafsirannya berdasarkan ijtihad dan pemikiran mufassir dengan seperangkat metode penafsiran yang telah ditentukan oleh para ulama.[17]
c.       Metode tafsir bi al-iqtiran, yaitu metode tafsir yang sumber-sumber penafsirannya didasarkan pada sumber riwayah dan dirayah sekaligus. Dengan kata lain, tafsir yang menggunakan metode ini mancampurkan antara sumber riwayah dan sumber dirayah atau antara sumber bi al-ma’thur dan ijtihad mufassir. [18]
Berdasarkan tiga kategori tersebut, tafsir fi> Z}ila>l al-Qur’a>n yang ditulis oleh Sayyid Qut}b termasuk dalam kategori bi al-iqtiran, yakni sumber penafsirannya diambil dari riwayat dan ijtihad Sayyid Qut}b sendiri. Sebagaimana contoh dalam menafsirkan kata al-muttaqin pada surat al-Baqarah ayat 2, Sayyid Qutub menafsirkan taqwa dengan riwayat:
إِنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، سَأَلَ أُبَيَّ بْنَ كَعْبٍ عَنِ التَّقْوَى، فَقَالَ لَهُ: أَمَا سَلَكْتَ طَرِيقًا ذَا شَوْكٍ؟ قَالَ: بَلَى قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ؟ قَالَ: شَمَّرْتُ وَاجْتَهَدْتُ، قَالَ: فَذَلِكَ التَّقْوَى
Sesungguhnya Umar ibn Khatab bertanya kepada Ubay bin Ka’ab tentang taqwa, lalu Ubay bin Ka’ab menjawab sambil bertanya, pernahkan engkau melewati jalan yang penuh duri?, Umar menjawab, pernah. Kemudian Ubay bin Ka’ab bertanya kembali, apakah gerangan yang engkau lakukan?, Umar menjawab, aku berhati-hati dan berupaya menghindarinya. Ubay berkata, itulah taqwa.[19]
Selain mengambil riwayat tersebut, Sayyid Qut}b kemudian menjelaskan taqwa dengan:
Itulah taqwa, sensitifitas dalam hati, kepakaan dalam perasaan, responsif, selalu takut, selalu berhati-hati, dan selalu menjaga diri dari duri-duri jalan, jalan kehidupan yang penuh dengan duri kesenangan dan syahwat, duri-duri keinginan dan ambisi, duri-duri kekhawatiran dan ketakutan, duri-duri harapan palsu terhadap orang yang tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi harapan, dan ketakutan palsu terhadap orang yang tidak memiliki kekuasaan untuk memberi manfaat dan bahaya, dan berpuluh-puluh macam duri lainnya.[20]

2.      Cara penjelasan
Metode tafsir ditinjau dari segi cara penjelasannya terhadap penafsiran ayat-ayat al-Qur’an dibagi menjadi dua ketegori:
a.       Metode bayani atau diskriptif, yakni metode menafsirkan al-Qur’>n yang hanya dengan memberikan keterangan secara diskriptif tanpa adanya perbandingan riwayat atau pendapat-pendapat mufassir dan tanpa ada tarjih diantara sumber-sumber tersebut.
b.      Metode muqarin atau bisa disebut juga dengan metode komparasi, yakni metode menafsirkan al-Qur’an dengan cara membandingkan ayat satu dengan yang lainnya, ayat dengan hadis, antara pendapat mufassir satu dengan mufassir lainnya serta menonjolkan segi-segi perbedaan.
Ditinjau dari cara penjelasannya maka metode tafsir fi> Z}ila>l al-Qur’a>n yang ditulis oleh Sayyid Qut}b masuk dalam kategori metode muqarin. Hal ini dapat dilihat ketika Sayyid Qut}b menafsirkan tentang surat al-Qiyamah ayat 22-23:
وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ ناضِرَةٌ . إِلى رَبِّها ناظِرَةٌ

Wajah-wajah (orang mukmin) pada hari itu berseri-seri
Memandang Tuhannya.[21]
 Dalam beberapa paragraf mengenai penafsiran ayat ini, Sayyid Qut}b menyinggung perbedaan pendapat antara kaum Mu’tazilah dan Ahl Sunnah:Adapun masalah bagaimana cara melihatnya? Dengan anggota tubuh yang mana ia melihat? Dan dengan sarana apa ia melihat wajah Allah? Semua itu tidak terlintas dalam hati yang sedang mendapatkan kebahagiaan sebab informasi dari al-Qur’an, kepada hati yang beriman dan kebahagiaan yang meluap kepada ruh, yang indah, nyata dan merdeka.
Bagaimana keadaan orang-orang yang menghalangi keadaan dirinya sendiri untuk mendapatkan cahaya yang melimpahkan kebahagiaan dan kegembiraan ini? mengapa mereka sibuk memperdebatkan seputar masalah yang mutlak, yang tidak bisa dicapai oleh akal biasa?
Naiknya derajat manusia dan terlepasnya mereka dari keterikatan alam dunia yang terbatas ini, yang demikian ini saja sudah menjadi terminal harapan untuk dapat memperoleh hakikat yang mutlak pada hari itu. Sebelum mendapat kebebasan dan kemerdekaan seperti ini, sudah terasa sebagai sesuatu yang besar bagaimana ia membayangkan -ya semata-mata hanya membayangkan- bagaimana terjadinya pertemuan itu.
Dengan demikian merupakan perdebatan yang sia-sia, perdebatan panjang dan bertele-tele yang sibuk dilakukan oleh golongan Mu’tazilah dan para penentangnya dari golongan ahl al-sunnah dan para mutakallimin seputar hakikat masalah memandang dan melihat Allah di tempat seperti itu (surga).[22]
3.      Keluasan penjelasan
Berdasarkan keluasan penjelasannya metode tafsir al-Qur’an dibedakan dalam dua ketegori:
a.       Metode tafsir ijmali, yakni metode penafsiran al-Qur’an yang menjelaskan ayat-ayat al-Qur’a>n secara global, tidak mendalam dan tidak pula panjang lebar.
b.      Metode tafsir itnabi, yaitu metode menafsirkan al-Qur’a>n yang penjelasannya sangat luas dan detail, dengan uraian-uraian yang panjang sehingga cukup jelas dan terang.
Berlandaskan pembagian di atas, tafsir fi> Z}ila>l al-Qur’a>n tergolong dalam tafsir yang menggunakan metode tafsir itnabi. Hal ini dapat dilihat dalam penafsiran Sayyid Qut}b terhadap surat al-Qiyamah ayat 22-23:
وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ ناضِرَةٌ . إِلى رَبِّها ناظِرَةٌ
Wajah-wajah (orang mukmin) pada hari itu berseri-seri
Memandang Tuhannya.[23]
Kepada Tuhannya? Maka manakah posisi yang lebih tinggi dari pada itu? Manakah kebahagiannya yang melebihi ini?
Jiwa orang-orang mukmin kadang merasa senang dan bahagia dengan secerca keindahan cahaya Ilahi di dalam semesta atau dalam dirinya, yang dilihatnya pada waktu bulan purnama atau gelap gulita, atau ketika fajar merekah, atau bayang-bayang yang terus memanjang, atau laut yang bergelombang, atau padang yang luas membentang, atau taman-taman yang indah berseri, atau mayang-mayang yang tampak asri, atau kalbu yang cerdas dan pandai, atau keimanan yang penuh kepercayaan, atau kesabaran yang penuh keindahan.. dan lain-lain wujud keindahan semesta raya ini.. maka penuhlah jiwa dengan kesenangan, melimpahlah rasa bahagia, dikepak-kepakan sayap cahaya untuk terbang bebas di penjuru alam. Lenyaplah darinya duri-duri kehidupan, penderitaan dan keburukan, beban tanah dan timbunan daging dan darah, gejolak syahwat dan hawa nafsu..
Nah, bagaimanakah?  Bagaimanakah ketika ia memandang-tidak kepada keindahan ciptaan Allah-melainkan kepada keindahan Zat Allah sendiri?
Ingatlah, sesungguhnya itu adalah maqam yang pertama-tama memerlukan pertolongan Allah, kedua memerlukan pemantapan dari Allah, agar manusia dapat mengusai dirinya sehingga stabil dan dapat menikmati kebahagiannya yang tidak lagi dapat diterangkan lagi sifat-sifatnya, dan tidak dapat digambarkan hakikatnya.
وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ ناضِرَةٌ . إِلى رَبِّها ناظِرَةٌ
Wajah-wajah (orang mukmin) pada hari itu berseri-seri
Memandang Tuhannya.[24]
Nah, Bagaimana mungkin ia tidak berseri-seri melihat keindahan Tuhannya?
Sungguh manusia dapat melihat sesuatu dari ciptaan Allah di dunia ini, seperti mayang yang elok, bunga yang segar, sayap yang mengepak, pikiran yang cerdas atau perbutan yang bagus.  Dengan merenungkan semua ini, maka akan melimpah rasa bahagia dari hati ke raut wajah sehingga nampak cerah dan ceria. Maka, bagaimana lagi kalau ia memandang keindahan Yang Maha Sempurna yang tidak terikat dengan segala keindahan di alam wujud ini? manusia tidak akan bisa mencapai pada tingkatan yang demikian itu kecuali setelah ia lepas dari semua kendala yang menghalanginya untuk mencapai tingkatan yang sangat tinggi lagi agung dalam angan-angan. Kendala-kendala itu tidak hanya ada di sekitarnya, bahkan ada dalam dirinya sendiri, berupa dorongan-dorongan kepada kekurangan dan keburukan,  dan mendorong kepada sesuatu yang tidak dapat menghantarkan untuk memandang Allah di akhirat kelak.
Adapun masalah bagaimana cara melihatnya? Dengan anggota tubuh yang mana ia melihat? Dan dengan sarana apa ia melihat wajah Allah? Semua itu tidak terlintas dalam hati yang sedang mendapatkan kebahagiaan sebab informasi dari al-Qur’an, kepada hati yang beriman dan kebahagiaan yang meluap kepada ruh, yang indah, nyata dan merdeka.
Bagaimana keadaan orang-orang yang menghalangi keadaan dirinya sendiri untuk mendapatkan cahaya yang melimpahkan kebahagiaan dan kegembiraan ini? mengapa mereka sibuk memperdebatkan seputar masalah yang mutlak, yang tidak bisa dicapai oleh akal biasa?
Naiknya derajat manusia dan terlepasnya mereka dari keterikatan alam dunia yang terbatas ini, yang demikian ini saja sudah menjadi terminal harapan untuk dapat memperoleh hakikat yang mutlak pada hari itu. Sebelum mendapat kebebasan dan kemerdekaan seperti ini, sudah terasa sebagai sesuatu yang besar bagaimana ia membayangkan -ya semata-mata hanya membayangkan- bagaimana terjadinya pertemuan itu.
Dengan demikian merupakan perdebatan yang sia-sia, perdebatan panjang dan bertele-tele yang sibuk dilakukan oleh golongan Mu’tazilah dan para penentangnya dari golongan ahl al-sunnah dan para mutakallimin seputar hakikat masalah memandang dan melihat Allah di tempat seperti itu (surga).
Mereka mengukurnya dengan ukuran dunia, mereka bicarakan manusia menurut ketetapan akal di dunia dan mereka membayangkan urusan-urusan itu dengan menggunakan sarana-sarana pengetahuan yang terbatas lapanganya.[25]
4.      Sasaran dan tertib ayat yang ditafsirkan
Ditinjau dari sasaran dan tertib ayat yang ditafsirkan, semua tafsir yang ada saat ini tidak akan lepas dari kategori tahlili, nuzuli dan maudu’i. Tahlili merupakan cara menafsirkan ayat al-Qur’an dimulai dari surat al-Fatihah sampai surat an-Nass. Metode nuzuli adalah menafsirkan ayat al-Qur’an diurutkan berdasarkan kronologis turunnya ayat al-Qur’an, sehingga apabila mufassir menggunkan  metode ini, ia akan memulai tafsirnya dengan surat al-‘Alaq. Adapun metode maudu’i adalah metode menafsirkan al-Qur’an dengan mengumpulkan ayat-ayat yang memiliki satu tema.[26]
Berdasarkan pemetaan tersebut, tafsir fi> Z}ila>l al-Qur’a>n masuk dalam kategori tafsir yang menggunakan metode tahlili, karena Sayyid Qut}b menafsirkan ayat al-Qur’a>n sesuai dengan urutan mushaf uthmani yang dimulai dengan al-Fatihah sampai surat an-Nass.
E.   Aliran dan kecenderungan Tafsir fi> Z}ila>l al-Qur’a>n
Mengenai al-ittijah/al-naz’ah atau kecenderungan tafsir fi> Z}ila>l al-Qur’a>n yang ditulis Sayyid Qut}b, para pakar menggolongkan tafsir ini dalam kategori tafsir yang memiliki al-ittijah adaby al-ijtima’i. Menurut Al-Dhahaby, tafsir dengan al-naz’ah adab al-ijtima’i adalah tafsir yang berusaha menganalisa dan mengkritisi teks-teks al-Qur’a>n dengan menunjukan ketelitian redaksinya serta mengemasnya dalam bahasa yang indah  kemudian mensinergikan antara ayat-ayat dengan problematika masyarakat yang berkembang pada saat itu.[27]
Berdasarkan definisi tersebut tepat kiranya apabila tafsir fi> Z}ila>l al-Qur’a>n ini digolongkan dalam tafsir yang memiliki naz’ah adaby ijtima’i karena selain ungkapan bahasa yang digunakan indah, Sayyid Qut}b juga berupaya mensinergikan antara ayat-ayat yang ia tafsirkan dengan perkembangan masyarakat. Sebagaimana contoh penafsiran surat al-Nisa’ ayat 3:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا
Jika kamu takut tidak dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) wanita yatim (bila kamu menikahinya), mak nikahilah wanita-wanita (lain), yang kamu senangi dua, tiga atau empat. Namun apabila kamu takut tidak dapat berlaku adil maka (nikahilah) seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki, yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat tidak aniaya.[28]
Sayyid Qut}b banyak mengutip riwayat dalam menjelaskan ayat ini, diantaranya adalah :
أن غَيْلاَنَ بن سَلَمَة الثَّقَفِيّ أسلم وتحته عَشْرُ نسوة، فقال له النبي - صلى الله عليه وسلم -: "اخْتَرْ منهنَّ أربعاً
Sesungguhnya Ghayla>n bin Salamah al-Thaqafi> -sedang ia memiliki sepuluh orang istri- lalu Rasulullah bersabda kepadanya, pilihlah empat orang dari mereka.[29]
Kemudian Sayyid Qut}b berupaya menjelaskan dengan panjang lebar alasan Islam memberi rukhas kepada umatnya untuk melakukan poligami. Sayyid Qut}b tidak menyatakan bahwa Islam memerintah poligami akan tetapi memberikan rukhs}as dengan berbagai macam sebab yang ia sebutkan panjang lebar di dalam tafsirnya. Menurut Sayyid Qut}b Islam memberikan rukhs}as kepada pemeluknya untuk melakukan poligami karena jumlah wanita yang lebih banyak jika dibandingkan dengan laki-laki.
Berangkat dari masalah jumlah perempuan yang lebih banyak dibandingkan laki-laki, Sayyid Qut}b merumuskan alternatif mengenai cara penyelesainya:
1.      Seorang lelaki menikahi satu orang perempuan, sedang perempuan yang lainya tidak menikah selamanya.
2.      Seorang laki-laki menikah dengan satu orang perempuan yang sah, sedang perempuan yang lain menjadi “gundik” bagi laki-laki tersebut.
3.      Seorang laki-laki menikahi lebih dari satu orang perempuan secara sah dan trasparan tidak menjadikan diantara mereka sebagai simpanan.
Menurut Sayyid Qut}b alternatif pertama sangat bertentangan dengan fitrah manusia, karena secara fitrah perempuan membutuhkan lelaki. Alternatif kedua bertentangan dengan kesucian agama Islam, maka alternatif ketiga merupakan alternatif terbaik dan sesuai dengan tuntunan shara’, namun alternatif ketiga ini memiliki syarat mampu berlaku adil kepada istri-istrinya.
Selain ditinjau dari segi jumlah, Sayyid Qut}b juga meninjau dari segi masa subur antara laki-laki dan perempuan. Menurut Sayyid Qut}b, laki-laki memilki masa subur sampai usia tujuh puluh tahun bahkan lebih, sedangkan perempuan masa suburnya berhenti pada kisaran lima puluh. Dengan demikian ada tenggang sekitar dua puluh tahun masa subur dalam kehidupan laki-laku yang tidak diimbangi masa subur perempuan. Menanggapi hal ini Sayyid Qut}b memaparkan tiga kemungkinan alternatif:
1.      Melarang laki-laki melakukan fitrahnya pada masa subur, karena dianggap tidak menjaga hak dan kehormatan istri.
2.      Membiarkan laki-laki menyalurkan fitrahnya kepada semua wanita dengan bebas tanpa ikatan yang jelas (zina).
3.      Memperbolehkan laki-laki melakukan poligami sesuai dengan tuntutan keadaan dengan tanpa menceraikan istri yang pertama.
Di antara tiga kemungkinan alternatif di atas, menurut Sayyid Qut}b alternatif yang sesuai dengan shara’ adalah alternatif ketiga. Namun bukan berarti Sayyid Qut}b mendukung secara mutlak poligami, bagi Sayyid Qut}b poligami merupakan upaya penyelesaian problem sosial, bukan untuk memperturutkan keinginan manusia yang tidak ada batasnya. Sehingga menurutnya, poligami yang di dasari atas keinginan berganti-ganti kekasih bukanlah ajaran Islam.[30]
F.   Kelebihan dan kekurangannya
Setiap karya tafsir tidak akan pernah lepas dari kelebihan dan kekurangan, penilain tentang kelebihan dan kekurangan sebenarnya sangat bersifat subjektif sehingga bisa jadi yang menurut orang lain kelebihan adalah kekurangan bagi orang lain.  Adapun diantara hal yang dianggap kelebihan tafsir fi> Z}ila>l al-Qur’a>n menurut penemuan dari Prof. Ridlwan Nasir adalah sebagai berikut:
1.      Menurut Abu H}ayyan, bahasa dan sastra yang digunakan oleh Sayyid Qut}b dalam menulis tafsir ini cukup memadai.
2.      Manurut Abu al-Mundhir, kelebihan tafsir ini terletak pada ketelitian dan kejelian Sayyyid Qut}b dalam menafsirkan al-Qur’an
3.      Ibnu Khaldun berpendapat bahwa kitab ini merupakan kitab terbaik dalam segi bahasa , i’rab dan balaghahnya.
4.      Sebelum mengkaji secara rinci tafsir sebuah surat, Sayyid Qut}b selalu memberikan gambaran umum tentang isi kandungan surat yang akan dibahas.[31]
5.      Menurut Shaykh Haidar, kitab tafsir ini memiliki derajat yang tinggi tidak ada bandingannya.
Namun di sisi lain, tafsir fi> Z}ila>l al-Qur’a>n juga memiliki kekurangan-kekurangan, diantaranya sebagai berikut:
1.      Apabila melihat ayat al-Qur’an yang tidak sesuai dengan pemahamannya maka akan dibelokankan agar sesuai dengan paham yang dikehendakinya.
2.      Menurut Ibn al-Mundhir, kitab ini banyak cela dan kekurangannya karena membela fahamnya.
3.      Menurut Ibn Khaldun, terlalu fanatik terhadap madhabnya
4.      Sebagian ulama, sebagaiamana keterangan yang dikutip oleh Abu Hayyan menganggap bahwa Sayyid Qut}b mempropagandakan aliran sesat.


PENUTUP
Tafsir fi> z}ila>l al-Qur’a>n yang ditulis oleh Sayyid Qutb merupakan tafsir yang memiliki ciri khas tersendiri. Sayyid Qutb selalu memberikan gambaran global mengenai isi dari sebuah surat sebelum ia membahas secara detail ayat per ayatnya. Sayyid Qutb juga tidak tertarik membahas mengenai perbedaan mazhab dan perbedaan pandangan ulama secara panjang lebar, bahkan ketika berbicara mengenai ayat “melihat Tuhan”, ia malah menyatakan bahwa perdebatan yang dilakukan antara mu’tazilah dan Suni adalah perdebatan sia-sia.
Ditinjau dari segi sumbernya tafsir fi> zilal al-Qur’an termasuk dalam kategori bi al-iqtiran. Apabila ditinjau dari segi keluasan tafsir ini tergolong pada tafsir muqarin, dari segi keluasan masuk dalam kategori itnabi dan ditinjau dari segi tertibnya merupakan tafsir yang menggunakan metode tahlili. Adapun naz’ah-nya menurut para pakar masuk dalam kategori adaby ijtima’i.


pembaca yang hendak download tafsir fi zilal al-qur'an versi pdf, bisa klik link download tafsir fi zilal al-Qur'an di sini
Daftar Pustaka
Al-Qur’an dan Terjemahannya
Baidan, Nashruddin. Metodologi Penafsiran al-Qur’a>n, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 1998.
Dhahaby (al), Husain, al-Tafsir wa al-Munfasirun, t.t.p. : Maktabah Mus}’ab bin Amr al-Islamy, 2004.
Fadulullah, Mahdi. Titik Temu Agama dan politik, Analisa Pemikiran Sayyid Qut}b, Solo: CV. Ramadhani, 1991.
Fatta>h (al), S}al>ah Abd Tafsir Metodologi Pergerakan di bawah Naungan al-Qur’a>n, terj.Asmuni Sholihan Zamakhsyari,  Jakarta: Yayasan Bunga Karang, 1995.
Hasan, Asma>’ Bint Umar. “Manhaj Sayyid Qut}b fi> Z}ila>l al-Qur’a>n”, Desertasi Universitas Umm al-Qurra’,  Makkah, 1416 H.
Hidayat, Nuim. Sayyid Qut}b; Biografi dan Kejernihan Pemikirannya, Jakarta: Gema Insani, 2005.
H}ambal, Abu>  ‘Abdillah Ahmad bin Muhammad bin. Musnad al-Ima>m Ahmad bin H}ambal, Vol. 8 (Bairut: Muassasah al-Risa>lah, 2001.
Iya>zy, Al-Sayyid Muhammad ‘Ali. al-Mufassirun Haya>tuhum wa Manhajuhum, t.t.p, Muassasah al-T}iba>’ah wa al-Nashr Wiza>rah al-Thaqa>fah wa al-Irsha>d al-isla>my, 1212 H.
Kathi>r, Abu> Fi>da>’ Isma>’i>l ibn. Tafsir al-Qur’a>n al-‘Az}i>m. Mesir: Muassasah Qurt}ubiyah, t.th.
Mustaqim, Abdul dan Sahiron. (ed), Study al-Qur’a>n Kontemporer Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir, PT. Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta, 2002
Nasir, M. Ridlwan Memahami al-Qur’a>n Perspektif Baru Metodologi Tafsir Muqarin, Surabaya: cv. Indra Media, 2003.
Qat}t}a>n (al), Manna>’.Maba>h}ith fi> ‘ulu>m al-Qur’a>n. Kairo: Maktabah Wahbah, 2000.
Qut}b, Sayyid.  fi> Z}ila>l al-Qur’a>n , t.t.p.: Mimbar al-Tauhid wa al-Jihad, t.t.
___________. fi> Z}ila>l al-Qur’a>n, terj. As’ad Yasin dkk. Jakarta: Gema Insani, 2008.



[1]Asma>’ Bint Umar Hasan, “Manhaj Sayyid Qut}b fi> Z}ila>l al-Qur’a>n”, Vol. 1 (Desertasi Universitas Umm al-Qurra’ Makkah, 1416 H), 70.
[2]Abdul Mustaqim dan Sahiron (ed), Study al-Qur’a>n Kontemporer Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir, (PT. Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta, 2002) 111.
[3]Ibid, 111-112.
[4]Sayyid Qut}b, Fi Z}ila>l al-Qur’a>n,Vol. 3, terj. As’ad Yasin dkk (Jakarta: Gema Insani, 2008), 406.
[5]Ibid. 407
[6]Ibid.
[7]Al-Sayyid Muhammad ‘Ali Iya>zy, al-Mufassirun Haya>tuhum wa Manhajuhum, (t.t.p, Muassasah al-T}iba>’ah wa al-Nashr Wiza>rah al-Thaqa>fah wa al-Irsha>d al-isla>my, 1212 H), 512.
[8]Mahdi Fadulullah, Titik Temu Agama dan politik, Analisa Pemikiran Sayyid Qut}b, (Solo, : CV. Ramadhani, 1991), 38-39.
[9]Asma>’ Bint Umar Hasan, Manhaj Sayyid Qut}b fi> Z}ila>l al-Qur’a>n, 91-93.
[10]M. Ridlwan Nasir, Memahami al-Qur’a>n Perspektif Baru Metodologi Tafsir Muqarin, (Surabaya: cv. Indra Media, 2003)49-50.
[11]Nuim Hidayat, Sayyid Qut}b; Biografi dan Kejernihan Pemikirannya (Jakarta: Gema Insani, 2005), 25.
[12]S}ali>ah Abd al-Fatta>h, Tafsir Metodologi Pergerakan di bawah Naungan al-Qur’a>n,  Terj. Asmuni Sholihan Zamakhsyari. (Jakarta: Yayasan Bunga Karang, 1995), 18.
[13]Ridlwan Nasir,  46.
[14]Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’a>n, (Yogyakarta :Pustaka Pelajar Offset, 1998), 2.
[15]Manna>’ al-Qat}t}a>n,Maba>h}ith fi> ‘ulu>m al-Qur’a>n (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000),363.
[16]Husain al Dhahaby,al-Tafsir wa al-Munfasirun, vol. 1 (t.t.p. : Maktabah Mus}’ab bin Amr al-Islamy, 2004), 112.
[17]Ibid, 183
[18]M. Ridlwan Nasir, Memahami al-Qur’a>n Perspektif Baru Metodologi Tafsir Muqarin, 15
[19]Abu> Fi>da>’ Isma>’i>l ibn Kathi>r, Tafsir al-Qur’a>n al-‘Az}i>m, Vol.1, (Mesir: Muassasah Qurt}ubiyah, t.th.), 263.
[20]Sayyid Qut}b, fi> Z}ila>l al-Qur’a>n , vol 2, (t.t.p.: Mimbar al-Tauhid wa al-Jihad, t.t), 17-18.
[21]Kemenag, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Surabaya: Karya Agung, 2006), 854.
[22]Sayyid Qut}b, fi> Z}ila>l al-Qur’a>n, vol. 75, 9-10
[23]Kemenag, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 854.
[24]Ibid.
[25]Sayyid Qut}b, fi> Z}ila>l al-Qur’a>n, vol.75, 10-11
[26]M. Ridlwan Nasir, Memahami al-Qur’a>n, 17.
[27] Husain al Dhahaby,al-Tafsir wa al-Munfasirun, vol II,  232.
[28]Kemenag, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 99.
[29]Abu>  ‘Abdillah Ahmad bin Muhammad bin H}ambal, Musnad al-Ima>m Ahmad bin H}ambal, Vol. 8 (Bairut: Muassasah al-Risa>lah, 2001), 251.
[30]Sayyid Qut}b, fi> Z}ila>l al-Qur’a>n , vol 4, 36-40.
[31]Manna>’ al-Qat}t}a>n,Maba>h}ith fi> ‘ulu>m al-Qur’a>n, 363.

Comments