Pendahuluan
Adanya al-wuju>h
wa al-naz}a>ir dalam al-Qur’an menurut para ulama merupakan bentuk
kemu’jizatan al-Qur’an, bukti bahwa al-Qur’an merupakan Kalam Tuhan bukan
buatan manusia. Karena tidak mungkin dalam kalam manusia satu kosa kata
memiliki beberapa makna. Hal ini menjadikan pembahasan al-wuju>h wa
al-naz}a>ir materi yang mutlak harus diketahui oleh cendikiwan yang
hendak memahami
isi kandungan al-Qur’an. Sebuah riwayat dari
Muqa>til bin Sulayma>n yang di marfu’ kan kepada nabi Muhammad
menerangkan bahwa:
لا
يكون الرجل فقيها كل الفقه حتى يرى في
القرأن وجوها كثيرة
Seseorang tidak akan benar-benar paham akan al-Qur’an
sampai ia mengetahui makna yang beragam di dalam al-Qur’an.
Riwayat ini menjadi argumen bahwa sesorang yang hendak
memahami al-Qur’an harus mengusai materi al-wuju>h wa naz}a>ir. Sehingga
pemahaman yang didapatkan menjadi luas tidak sempit dan kaku. Pluralitas makna
yang dikandung dalam al-Qur’an sudah diisyaratkan oleh sahabat ‘Ali bin Abi Thalib
ketika mengutus Ibn Abbas untuk beradu argumen dengan golongan khawarij.
Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa sahabat ‘Ali
melarang Ibn Abbas menggunakan dalil al-Qur’an ketika beradu argumen dengan
golongan khawarij. Instruksi ini sempat dibantah oleh Ibn Abbas karena
menurutnya ia lebih paham mengenai al-Qur’an dibanding dengan golongan
khawarij. Namun ‘Ali menjawab bahwa al-Qur’an itu z}u wuju>h,
sehingga apabila kamu berpendapat mereka juga akan punya pendapat lain. Menurut
Sahabat Ali, hadis Nabil dalil yang tepat untuk beradu argumen dengan meraka,
karena hadis tidak z}u wuju>h sebagaimana al-Qur’an.
B.
Sejarah
Perkembangan
Di dalam beberapa literatur
yang membahas khusus mengenai al-wuju>h wa al-naz}a>ir disebutkan
bahwa kitab yang paling tua membahas mengenai al-wuju>h wa naz}a>ir
adalah kitab karya Muqa>til bin
Sulayma>n al-Balkhy (w. 150 H). Namun
bukan berarti sebelum masa Muqa>til bin Sulayma>n al-Balkhy belum ada
pembahasan mengenai al-wuju>h. Sangat mungkin sebelum masa Muqa>til
bin Sulayma>n al-Balkhy ini sudah ada ulama yang membahas mengenai al-wuju>h
wa naz}a>ir akan namun kitab-kitabnya tidak terkodifikasikan secara
baik. Asumsi ini berdasarkan keterangan H}a>tim S}a>lih pen-tahqi>q
kitab al-wuju>h wa naz}a>ir fi> al-Qur’a>n al-Kari>m,
bahwa kitab karya Muqa>til bin Sulayma>n ini adalah kitab tertua yang
sampai pada zaman kita, dengan
demikian sangat dimungkinkan terdapat kitab-kitab terdahulu yang tidak sampai
pada zaman kita.
Selain itu, istilah al-wuju>h
secara sharih sudah dikenal pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib. Sebagaiaman riwayat berikut :
أخرج
ابو سعد من طريق عكرمة عن ابن عباس أن علي ابن أبى طالب أرسله الى الخوارج فقال
اذهب اليهم فخاصمهم ولا تحاجهم بالقرأن فانه ذو وجوه ولكن خاصمهم بالسنة
وأجرج
من وجه اخر أن ابن عباس قال له يا امير المؤمنين فأنا أعلم بكتاب الله منهم فى
بيوتنا نزل قال صدقت ولكن القرأن حمال ذو وجوه تقول ويقولون ولكن جاصمهم بالسنن
فانهم لن يجدوا عنها محيصا فخرج اليهم فخاصمهم باسنن فلم تبق بايدهم حخة.
Abu Sa’id mempublikasikan (riwayat)
dari jalur Ikrimah dari Ibn Abas bahwa Ali mengutus Ibn Abbas untuk bertemu
dengan golongan khawarij. Maka Ali berkata (kepada Ibn Abas), pergilah kepada
mereka maka debatlah mereka dan janganlah engkau menggunakan dalil al-Qur’an
karena sesungguhnya al-Qur’an itu z}u wuju>h akan tetapi debatlah
dengan al-sunnah.
Riwayat dari jalur lair menyebutkan sesungguhnya Ibn
Abbas berkata kepada Ali, wahai Amir al-mu’minin aku lebih tahu tentang al-Qur’an
dibandingkan dengan mereka di rumah kami al-Qur’an diturunkan. Ali menjawab,
kamu benar, akan tetapi al-Qur’an mengandung banyak kemungkinan makna (z}u wuju>h),
engkau berpendapat, mereka juga memiliki pendapat (yang berbeda), tetapi
debatlah mereka dengan al-sunah, karena mereka tidak akan menemukan dalam
al-sunnah tempat berlari (hujjah). Maka Ibn Abbas keluar dan mendebat mereka
dengan dalil sunah, maka mereka tidak memilki hujjah (dari hadis).
Dengan demikian asumsi bahwa sebelum Muqa>til bin
Sulayma>n sudah ada ulama yang membahas mengenai pembahasan ini semakin
kuat. Setelah masa Muqa>til bin Sulayma>n masih ada ulama yang membahas
mengenai al-wuju>h wa naz}a>ir. Diantara ulama-ulama yang menulis
kitab mengenai al-wuju>h wa naz}a>ir berdasarkan kronologi
waktunya adalah sebagai berikut:
1.
Al-asba>h wa al-Naza>ir fi> al-Qur’a>n al-Kari>m karya yang dinisbahkan kepada Muqa>til
bin Sulayma>n (w.150 H)
2.
Al-Tas}>ri>f karya Yahya bin
Sala>m (w. 200 H)
3.
Tah}s}il> Naz}a>ir al-Qur’a>n karya Haki>m al-Tirmidhi (w. 320
H)
4.
Al-Ashba>h wa al-Naz}a>ir karya ini dinisbahkan kepada al-Tha’a>la>by (w. 429 H)
5.
Is}la>h al-Wuju>h wa al-Naz}a>ir fi> al-Qur’a>n
al-Kari>m kitab ini dinisbahkan kepada Husayn bin Muhammad al-Dama>gha>ny,
akan tetapi ada yang berpendapat mungkin nisbah yang benar adalah kepada
Abi Abdillah Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Dama>gha>ny (w. 487 H)
6.
Nazhah al-A’yun al-Naz}a>ir fi ‘Ilm al-Wuju>h wa al-Naz}a>ir
karya ibn al-Jawzy (w. 597 H)
7.
Kashf al-sara>’ir fi Ma’na al-Wuju>h wa al-Ashbah
wa al-Naz}a>ir
karya Ibn al-‘Ummad al- Mis}ry (w. 887 H).
Dalam arti kenikmatan duniawi, tetapi ayat tersebut
agaknya bermaksud menjelaskan bahwa kelak di Hari Kemudian semua manusia akan
diminta pertanggungjawaban menyangkut sikapnya terhadap Hari Kemudian, dalam
konteks ayat ini berarti surga dan aneka kenikmatannya. Apakah dia percaya
wujud dan keniscayaannya atau tidak.
Berdasarkan pengamatan Quraish Shihab, hal serupa juga
dilakukan oleh al-T}abat}aba’i dalam tafsir al-Miza>n. Di dalam
tafsir tersebut diantaranya membahas mengenai makna kata sirat} dan
perbedaannya dengan kata sabi>l. Ia menarik kesimpulan bahwa sirat}
adalah jalan yang lebar yang hanya mengantar kepada kebaikan, keadilan dan hak.
Sirat} hanya satu, karena itu tidak ditemukan bentuk jama’nya. Ini
berbeda dengan kata sabi<l, yang merupakan jalan kecil dan banyak.
Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya bentuk jama’ kata sabi>l
dalam al-Qur’an.
C.
Pengertian
al-Wuju>h wa al-Naz}a>ir
Secara etimologi kata al-wuju>h
merupakan bentuk jama’ dari kata al-wajh yang berarati sesuatu
yang berada di depan. Wajh al-naha>r berarti permulaan siang, wajh
al-dahr berarti permulaan tahun. Sedang al-naz}a>ir
merupakan bentuk plural dari kata naz}i>r
yang berarti yang sama atau sepadan. Dari makna dasar ini
dipakailah redaksi kata al-wuju>h sebagai suatu nama dari pembahasan
tertentu dalam ilmu al-Qur’an yang membahasa lafal-lafal al-Qur’an yang
memiliki beragama makna. Sedang al-naz}a>ir
adalah
kesepadanan makna lafal dalam al-Qur’an kendati menggunakan lafal yang berbeda.
Sedang secara
terminologi al-Suyut}i mendefinisikan al-wuju>h dengan:
اللفظ
المشترك الذي يستعمل في عدة معان
Lafadz mustarak yang yang digunakan dalam
beberapa ragam makna
Sedang al-naz}a>ir menurut al-Suyut}i
adalah:
كالألفاظ
المتواطئة
Seperti lafad yang bersesuaian.
Namun menurut
Ha>ru>n bin Musa> definisi al-wuju>h yang ditulis oleh al-Suyut}i>
dalam kitab al-Itqa>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n merupakan
kutipan dari kitab al-Burha>n fi ‘Ulu>m al-Qur’a>n karya
al-Zarkashi, bukan definisi yang dirumuskan oleh al-Suyut}i sendiri. Sedang Quraish Shihab
mendefinisikan al-wuju>h wa al-Naz}ai>r dengan:
Al-wuju>h adalah Kata
yang sama sepenuhnya, dalam huruf dan bentuknya, yang ditemukan dalam berbagai
redaksi (ayat), tetapi beraneka ragam makna yang dikandungnya.
Al-naza}i>r adalah makna bagi
satu kata dalam satu ayat sama dengan makna tersebut pada ayat yang lain,
kendati menggunakan kata yang berbeda.
Definisi al-wuju>h wa
al-nazai>r yang dirumuskan oleh Quraish Shihab ini mirip
dengan definisi yang dirumuskan oleh Ibn al-Jawzy :
هو
أن تكون الكلمة واحدة، ذكرت فى مواضع من القرأن على لفظ واحد و حركة واحدة، و أريد
بكل مكان معنى غير الأّخر، فلفظ كل كلمة ذكرت فى موضع، نظير للفظ الكلمة المذكرة
فى الموضع الأخر هو النظائر، و تفسير كل كلمة بمعنى غير معنى الأخر هو الوجوه
Adanya satu kata yang disebutkan dalam tempat-tempat
tertentu dengan bentuk lafal dan harakat tertentu dan dimaksudkan untuk makna
yang berbeda dengan tempat lainnya. Maka, kata yang disebutkan pada suatu
tempat sama dengan yang disebutkan pada tempat lainnya disebut al-naz}a>ir
dan penafsiran makna pada setiap kata berbeda pada setiap tempatnya disebut al-wuju>h.
Dengan demikian, secara
singkat al-wuju>h dapat diartikan kesamaan lafadz dan perbedaan makna
sebagaimana contoh,
kata ummah yang terulang dalam al-Qur’an sebanyak lima puluh dua kali,
menurut al-Husayn al-Dama>gha>ny kata ummah dalam al-Qur’an
memiliki sembilan arti, yaitu, kelompok, agama (millah), waktu yang
panjang (sini>n), kaum, pemimpin, generasi yang lalu, umat Muhammad,
orang-orang kafir, dan ciptaan (al-khalq).
Al-naz}a>ir dapat
diartikan dengan lafad-lafad yang memiliki redaksi yang berbeda akan tetapi
memiliki makna yang sama. Sebagaimana contoh kata bashar, insan yang keduanya
bermakna manusia. qalb dan fu’ad yang diterjemahkan hati, nu>r
dan d}iya’ yang diterjemahkan cahaya dan contoh-contoh lainnya dalam
al-Qur’an.
Sebagian ulama ada yang
berpendapat bahwa al-wuju>h itu sama dengan mushtarak dan al-naz}a>ir
itu sama dengan mutara>dif. Namun pendapat ini menurut Quraish Shihab
tidak tepat, menurutnya ada perbedaan antara mutara>dif dengan al-naz}a>ir
dan antara al-wuju>h dengan mushtarak.
Kalau mushtarak hanya tertuju dalam satu lafal saja, sedangkan al-wuju>h
bisa terjadi pada lafal tunggal maupun pada rangkaian kata-kata. Sayangnya Quraish Shihab tidak memberikan
contoh mengenai penjelasan ini. Adapun perbedaan mutaradif dan al-naz}a>ir
adalah pada kedalaman analisis. Ketika
membicarakan kata insan sepadan (naz}ir ) dengan kata bashar,
pembahasannya hanya berhenti di sana, tidak menjelaskan apa persamaan dan perbedaannya
secara lebih jauh.
D. Contoh al-wuju>h wa naz}a>ir
Ulama pada masa lampau telah banyak melakukan penelitian,
baik mengenai al-wuju>h wa naz}a>ir maupun mengenai mushtarak
dan mutaradif.
Al-Zarkashi dalam al-Burha>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n mengutip pendapat ulama yang menggunakan rumus atau kaidah
menyangkut sekian kosa kata dengan menyatakan bahwa “semua kata ini dalam
al-Qur’an bermakna ini, kecuali ayat ini”. salah satu rujukan al-Zarkashi dalam
hal ini adalah Ibn Faris penulis kitab al-Afra>d.
Cara ini juga diikuti oleh al-Suyuti dalam al-Itqa>n fi> ‘Ulum
al-Qur’a>n.
Misal ketika al-Zarkashi menjelaskan makna kata al-buru>j.
Menurut keterangan yang beliau ambil dari Ibn Fa>ris bahwa semua lafaz al-buru>j
dalam al-Qur’an bermakna al-kawaki>b kecuali pada surat an-Nisa’
surat 78 :
أَيْنَمَا
تَكُونُوا يُدْرِكْكُمُ الْمَوْتُ وَلَوْ كُنْتُمْ فِي بُرُوجٍ مُشَيَّدَةٍ وَإِنْ
تُصِبْهُمْ حَسَنَةٌ يَقُولُوا هَذِهِ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ وَإِنْ تُصِبْهُمْ
سَيِّئَةٌ يَقُولُوا هَذِهِ مِنْ عِنْدِكَ قُلْ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ فَمَالِ
هَؤُلَاءِ الْقَوْمِ لَا يَكَادُونَ يَفْقَهُونَ حَدِيثًا
Khusus pada ayat ini kata buru>j
bermakna al-Qus}u>r al-t}uwa>l al-murtafa’ah fi al-sama>’,
al-h}as}i>nah.
Contoh lain, ketika semua kata as}hab al-na>r dalam al-Qur’an
memiliki arti ahl al-na>r kecuali dalam surat al-Mudatsir ayat 31 :
وَمَا
جَعَلْنَا أَصْحَابَ النَّارِ إِلَّا مَلَائِكَةً وَمَا جَعَلْنَا عِدَّتَهُمْ
إِلَّا فِتْنَةً لِلَّذِينَ كَفَرُوا لِيَسْتَيْقِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ
وَيَزْدَادَ الَّذِينَ آمَنُوا إِيمَانًا وَلَا يَرْتَابَ الَّذِينَ أُوتُوا
الْكِتَابَ وَالْمُؤْمِنُونَ وَلِيَقُولَ الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ
وَالْكَافِرُونَ مَاذَا أَرَادَ اللَّهُ بِهَذَا مَثَلًا كَذَلِكَ يُضِلُّ اللَّهُ
مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَمَا يَعْلَمُ جُنُودَ رَبِّكَ إِلَّا هُوَ
وَمَا هِيَ إِلَّا ذِكْرَى لِلْبَشَرِ
Pada ayat di atas kata ashab al-na>r bukan bermakna ahl
al-na>r akan tetapi berarti penjaga neraka.Hal
seperti ini banyak disebutkan dalam kitab al-Burha>n karya al-Zakashi
maupun al-Itqa>n karya al-Suyuti.
Di dalam kitab al-wuju>h wa al-naz}a>ir yang ditulis oleh
Muqa>til ibn Sulayma>n banyak dituliskan tentang lafal-lafal yang
beredaksi sama namun memiliki makna yang berbeda antara satu tempat dengan tempat lainya dalam al-Qur’an.
Di antaranya lafal furqa>n menurut Muqa>til ibn Sulayma>n
memiliki tiga makna yakni:
1.
Bermakna al-Qur’an, sebagaimana yang surat al-Furqan ayat 1:
تَبَارَكَ الَّذِي نَزَّلَ الْفُرْقَانَ
عَلَى عَبْدِهِ لِيَكُونَ لِلْعَالَمِينَ نَذِيرًا
2.
Bermakna al-Nas}r (pertolongan),
contohnya dalam surat al-Baqarah ayat 53:
وَإِذْ آتَيْنَا مُوسَى الْكِتَابَ
وَالْفُرْقَانَ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
Al-furqa>n
pada ayat di atas berarti pertolongan, membedakan antara yang haq dan yang
batil serta pertolongan dari musuh-musuh.
3.
Bermakna al-makhraj
(tempat keluar), sebagaimana dalam surat al-Baqarah ayat 185:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ
الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ
شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ
فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ
الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ
وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Al-furqa>n
pada ayat di atas memilki makna jalan keluar dari kesamaran dan kesesatan.
Contoh lain mengenai
kata al-marad}, kata ini memiliki empat makna, yakni:
1.
Al-sha>k, sebagaimana dalam surat al-Baqarah
ayat 10 :
فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَهُمُ اللَّهُ
مَرَضًا وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ
Pada ayat di atas lafal marad}
memiliki arti sha>k.
2. Al-fuju>r, makna ini terdapat di
antaranya dalam surat al-ahzab ayat 32:
يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ
مِنَ النِّسَاءِ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ
الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا مَعْرُوفًا
3. Al-jara>h}ah, sebagaimana dalam surat
an-Nisa’ ayat 43 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا
تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ
وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا وَإِنْ كُنْتُمْ
مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ
لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا
فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا
4. Al-marad}
(jami’ al-‘amra>d}), makna ini terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 183 :
أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ
مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى
الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا
فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Pada ayat di atas makna marad}
adalah sakit secara umum.
E.
Penutup
Pada masa klasik pembahasan mengenai al-wuju>h
wa al-naz}a>ir telah banyak menarik perhatian para ilmuwan Muslim, akan
tetapi hanya sedikit buku yang sampai pada zaman sekarang. Salah satu buku
tertua yang membahas ini ditulis pada rentan tahun 150 H oleh Muqa>til bin
Sulayma>n al-Balkhy.\ setalah masa Muqa>til perkembangan ilmu ini terus
berlanjut hingga masa modern saat ini sebagaimana yang dilakukan oleh
al-T}abat}ab’i.
Al-wuju>h wa al-naz}a>ir merupakan pembahasan penting dalam ilmu tafsir.
Dengan mengetahui al-wuju>h wa al-naz}a>ir menghindarkan penafsir
salah dalam mengambil makna kata dalam ayat al-Qur’an. Karena dalam al-Qur’an
satu kata dengan harkat dan huruf yang sama bisa memiliki berbagai makna yang
dikehendakinya. Kaidah ini tidak bersifat statis, artinya pengembangan makna
dalam bahasa al-Qur’an sangat mungkin terjadi. Sebagaimana penelitian yang
dilakukan oleh Bint Shat}i’ mengenai perbedaan makna dari lafal ni’mah
dan na’im.
F. Daftar Pustaka
Comments
Post a Comment