Al-WUJUH WA AL-NAZAIR


Pendahuluan
Adanya al-wuju>h wa al-naz}a>ir dalam al-Qur’an menurut para ulama merupakan bentuk kemu’jizatan al-Qur’an, bukti bahwa al-Qur’an merupakan Kalam Tuhan bukan buatan manusia. Karena tidak mungkin dalam kalam manusia satu kosa kata memiliki beberapa makna. Hal ini menjadikan pembahasan al-wuju>h wa al-naz}a>ir materi yang mutlak harus diketahui oleh cendikiwan yang hendak memahami isi kandungan al-Qur’an.  Sebuah riwayat dari Muqa>til bin Sulayma>n yang di marfu’ kan kepada nabi Muhammad menerangkan bahwa:
لا يكون الرجل فقيها كل الفقه  حتى يرى في القرأن وجوها كثيرة
Seseorang tidak akan benar-benar paham akan al-Qur’an sampai ia mengetahui makna yang beragam di dalam al-Qur’an.
Riwayat ini menjadi argumen bahwa sesorang yang hendak memahami al-Qur’an harus mengusai materi al-wuju>h wa naz}a>ir. Sehingga pemahaman yang didapatkan menjadi luas tidak sempit dan kaku. Pluralitas makna yang dikandung dalam al-Qur’an sudah diisyaratkan oleh sahabat ‘Ali bin Abi Thalib ketika mengutus Ibn Abbas untuk beradu argumen dengan golongan khawarij.
Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa sahabat ‘Ali melarang Ibn Abbas menggunakan dalil al-Qur’an ketika beradu argumen dengan golongan khawarij. Instruksi ini sempat dibantah oleh Ibn Abbas karena menurutnya ia lebih paham mengenai al-Qur’an dibanding dengan golongan khawarij. Namun ‘Ali menjawab bahwa al-Qur’an itu z}u wuju>h, sehingga apabila kamu berpendapat mereka juga akan punya pendapat lain. Menurut Sahabat Ali, hadis Nabil dalil yang tepat untuk beradu argumen dengan meraka, karena hadis tidak z}u wuju>h sebagaimana al-Qur’an. 
B.   Sejarah Perkembangan
Di dalam beberapa literatur yang membahas khusus mengenai al-wuju>h wa al-naz}a>ir disebutkan bahwa kitab yang paling tua membahas mengenai al-wuju>h wa naz}a>ir adalah kitab karya Muqa>til bin Sulayma>n al-Balkhy (w. 150 H).[1] Namun bukan berarti sebelum masa Muqa>til bin Sulayma>n al-Balkhy belum ada pembahasan mengenai al-wuju>h. Sangat mungkin sebelum masa Muqa>til bin Sulayma>n al-Balkhy ini sudah ada ulama yang membahas mengenai al-wuju>h wa naz}a>ir akan namun kitab-kitabnya tidak terkodifikasikan secara baik. Asumsi ini berdasarkan keterangan H}a>tim S}a>lih pen-tahqi>q kitab al-wuju>h wa naz}a>ir fi> al-Qur’a>n al-Kari>m, bahwa kitab karya Muqa>til bin Sulayma>n ini adalah kitab tertua yang sampai pada zaman kita,[2] dengan demikian sangat dimungkinkan terdapat kitab-kitab terdahulu yang tidak sampai pada zaman kita.
Selain itu, istilah al-wuju>h secara sharih sudah dikenal pada masa khalifah Ali bin Abi  Thalib. Sebagaiaman riwayat berikut :
أخرج ابو سعد من طريق عكرمة عن ابن عباس أن علي ابن أبى طالب أرسله الى الخوارج فقال اذهب اليهم فخاصمهم ولا تحاجهم بالقرأن فانه ذو وجوه ولكن خاصمهم بالسنة
وأجرج من وجه اخر أن ابن عباس قال له يا امير المؤمنين فأنا أعلم بكتاب الله منهم فى بيوتنا نزل قال صدقت ولكن القرأن حمال ذو وجوه تقول ويقولون ولكن جاصمهم بالسنن فانهم لن يجدوا عنها محيصا فخرج اليهم فخاصمهم باسنن فلم تبق بايدهم حخة.[3]
Abu Sa’id mempublikasikan (riwayat) dari jalur Ikrimah dari Ibn Abas bahwa Ali mengutus Ibn Abbas untuk bertemu dengan golongan khawarij. Maka Ali berkata (kepada Ibn Abas), pergilah kepada mereka maka debatlah mereka dan janganlah engkau menggunakan dalil al-Qur’an karena sesungguhnya al-Qur’an itu z}u wuju>h akan tetapi debatlah dengan al-sunnah.
Riwayat dari jalur lair menyebutkan sesungguhnya Ibn Abbas berkata kepada Ali, wahai Amir al-mu’minin aku lebih tahu tentang al-Qur’an dibandingkan dengan mereka di rumah kami al-Qur’an diturunkan. Ali menjawab, kamu benar, akan tetapi al-Qur’an mengandung banyak kemungkinan makna (z}u wuju>h), engkau berpendapat, mereka juga memiliki pendapat (yang berbeda), tetapi debatlah mereka dengan al-sunah, karena mereka tidak akan menemukan dalam al-sunnah tempat berlari (hujjah). Maka Ibn Abbas keluar dan mendebat mereka dengan dalil sunah, maka mereka tidak memilki hujjah (dari hadis).
Dengan demikian asumsi bahwa sebelum Muqa>til bin Sulayma>n sudah ada ulama yang membahas mengenai pembahasan ini semakin kuat. Setelah masa Muqa>til bin Sulayma>n masih ada ulama yang membahas mengenai al-wuju>h wa naz}a>ir. Diantara ulama-ulama yang menulis kitab mengenai al-wuju>h wa naz}a>ir berdasarkan kronologi waktunya adalah sebagai berikut:
1.      Al-asba>h wa al-Naza>ir fi> al-Qur’a>n al-Kari>m karya yang dinisbahkan kepada Muqa>til bin Sulayma>n (w.150 H)
2.      Al-Tas}>ri>f   karya Yahya bin Sala>m (w. 200 H)
3.      Tah}s}il> Naz}a>ir al-Qur’a>n karya Haki>m al-Tirmidhi (w. 320 H)
4.      Al-Ashba>h wa al-Naz}a>ir karya ini dinisbahkan kepada  al-Tha’a>la>by (w. 429 H)
5.      Is}la>h al-Wuju>h wa al-Naz}a>ir fi> al-Qur’a>n al-Kari>m kitab ini dinisbahkan kepada Husayn bin Muhammad al-Dama>gha>ny, akan tetapi ada yang berpendapat mungkin nisbah yang benar adalah kepada Abi Abdillah Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Dama>gha>ny (w. 487 H)
6.      Nazhah al-A’yun al-Naz}a>ir fi ‘Ilm al-Wuju>h wa al-Naz}a>ir karya ibn al-Jawzy (w. 597 H)
7.      Kashf al-sara>’ir fi Ma’na al-Wuju>h wa al-Ashbah wa al-Naz}a>ir karya Ibn al-‘Ummad al- Mis}ry (w. 887 H). [4]
Dalam arti kenikmatan duniawi, tetapi ayat tersebut agaknya bermaksud menjelaskan bahwa kelak di Hari Kemudian semua manusia akan diminta pertanggungjawaban menyangkut sikapnya terhadap Hari Kemudian, dalam konteks ayat ini berarti surga dan aneka kenikmatannya. Apakah dia percaya wujud dan keniscayaannya atau tidak.[5]
Berdasarkan pengamatan Quraish Shihab, hal serupa juga dilakukan oleh al-T}abat}aba’i dalam tafsir al-Miza>n. Di dalam tafsir tersebut diantaranya membahas mengenai makna kata sirat} dan perbedaannya dengan kata sabi>l. Ia menarik kesimpulan bahwa sirat} adalah jalan yang lebar yang hanya mengantar kepada kebaikan, keadilan dan hak. Sirat} hanya satu, karena itu tidak ditemukan bentuk jama’nya. Ini berbeda dengan kata sabi<l, yang merupakan jalan kecil dan banyak. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya bentuk jama’ kata sabi>l dalam al-Qur’an.
C.   Pengertian al-Wuju>h wa al-Naz}a>ir
Secara etimologi kata al-wuju>h merupakan bentuk jama’ dari kata al-wajh yang berarati sesuatu yang berada di depan. Wajh al-naha>r berarti permulaan siang, wajh al-dahr berarti permulaan tahun.[6] Sedang al-naz}a>ir merupakan bentuk  plural dari kata naz}i>r yang berarti yang sama atau sepadan.[7] Dari makna dasar ini dipakailah redaksi kata al-wuju>h sebagai suatu nama dari pembahasan tertentu dalam ilmu al-Qur’an yang membahasa lafal-lafal al-Qur’an yang memiliki beragama makna.[8] Sedang al-naz}a>ir adalah kesepadanan makna lafal dalam al-Qur’an kendati menggunakan lafal yang berbeda.
Sedang secara terminologi al-Suyut}i mendefinisikan al-wuju>h dengan:
اللفظ المشترك الذي يستعمل في عدة معان
Lafadz mustarak yang yang digunakan dalam beberapa ragam makna
Sedang al-naz}a>ir menurut al-Suyut}i adalah:
كالألفاظ المتواطئة
Seperti lafad yang bersesuaian.[9]
Namun menurut Ha>ru>n bin Musa> definisi al-wuju>h yang ditulis oleh al-Suyut}i> dalam kitab al-Itqa>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n merupakan kutipan dari kitab al-Burha>n fi ‘Ulu>m al-Qur’a>n karya al-Zarkashi, bukan definisi yang dirumuskan oleh al-Suyut}i sendiri.[10] Sedang Quraish Shihab mendefinisikan al-wuju>h wa al-Naz}ai>r dengan:
Al-wuju>h adalah Kata yang sama sepenuhnya, dalam huruf dan bentuknya, yang ditemukan dalam berbagai redaksi (ayat), tetapi beraneka ragam makna yang dikandungnya.
Al-naza}i>r adalah makna bagi satu kata dalam satu ayat sama dengan makna tersebut pada ayat yang lain, kendati menggunakan kata yang berbeda.[11]
Definisi al-wuju>h wa al-nazai>r yang dirumuskan oleh Quraish Shihab ini mirip dengan definisi yang dirumuskan oleh Ibn al-Jawzy :
هو أن تكون الكلمة واحدة، ذكرت فى مواضع من القرأن على لفظ واحد و حركة واحدة، و أريد بكل مكان معنى غير الأّخر، فلفظ كل كلمة ذكرت فى موضع، نظير للفظ الكلمة المذكرة فى الموضع الأخر هو النظائر، و تفسير كل كلمة بمعنى غير معنى الأخر هو الوجوه[12]
Adanya satu kata yang disebutkan dalam tempat-tempat tertentu dengan bentuk lafal dan harakat tertentu dan dimaksudkan untuk makna yang berbeda dengan tempat lainnya. Maka, kata yang disebutkan pada suatu tempat sama dengan yang disebutkan pada tempat lainnya disebut al-naz}a>ir dan penafsiran makna pada setiap kata berbeda pada setiap tempatnya disebut al-wuju>h.
Dengan demikian, secara singkat al-wuju>h dapat diartikan kesamaan lafadz dan perbedaan makna sebagaimana contoh, kata ummah yang terulang dalam al-Qur’an sebanyak lima puluh dua kali, menurut al-Husayn al-Dama>gha>ny kata ummah dalam al-Qur’an memiliki sembilan arti, yaitu, kelompok, agama (millah), waktu yang panjang (sini>n), kaum, pemimpin, generasi yang lalu, umat Muhammad, orang-orang kafir, dan ciptaan (al-khalq).[13]
Al-naz}a>ir dapat diartikan dengan lafad-lafad yang memiliki redaksi yang berbeda akan tetapi memiliki makna yang sama. Sebagaimana contoh kata bashar, insan yang keduanya bermakna manusia. qalb dan fu’ad yang diterjemahkan hati, nu>r dan d}iya’ yang diterjemahkan cahaya dan contoh-contoh lainnya dalam al-Qur’an.[14]
Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa al-wuju>h itu sama dengan mushtarak dan al-naz}a>ir itu sama dengan mutara>dif. Namun pendapat ini menurut Quraish Shihab tidak tepat, menurutnya ada perbedaan antara mutara>dif dengan al-naz}a>ir dan antara  al-wuju>h dengan mushtarak. Kalau mushtarak hanya tertuju dalam satu lafal saja, sedangkan al-wuju>h bisa terjadi pada lafal tunggal maupun pada rangkaian kata-kata.  Sayangnya Quraish Shihab tidak memberikan contoh mengenai penjelasan ini. Adapun perbedaan mutaradif dan al-naz}a>ir adalah pada kedalaman analisis.  Ketika membicarakan kata insan sepadan (naz}ir ) dengan kata bashar, pembahasannya hanya berhenti di sana, tidak menjelaskan apa persamaan dan perbedaannya secara lebih jauh.[15]
D.  Contoh al-wuju>h wa naz}a>ir
Ulama pada masa lampau telah banyak melakukan penelitian, baik mengenai al-wuju>h wa naz}a>ir maupun mengenai mushtarak dan mutaradif.[16] Al-Zarkashi dalam al-Burha>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n mengutip pendapat  ulama yang menggunakan rumus atau kaidah menyangkut sekian kosa kata dengan menyatakan bahwa “semua kata ini dalam al-Qur’an bermakna ini, kecuali ayat ini”. salah satu rujukan al-Zarkashi dalam hal ini adalah Ibn Faris penulis kitab al-Afra>d.[17] Cara ini juga diikuti oleh al-Suyuti dalam al-Itqa>n fi> ‘Ulum al-Qur’a>n.
Misal ketika al-Zarkashi menjelaskan makna kata al-buru>j. Menurut keterangan yang beliau ambil dari Ibn Fa>ris bahwa semua lafaz al-buru>j dalam al-Qur’an bermakna al-kawaki>b kecuali pada surat an-Nisa’ surat 78 :
أَيْنَمَا تَكُونُوا يُدْرِكْكُمُ الْمَوْتُ وَلَوْ كُنْتُمْ فِي بُرُوجٍ مُشَيَّدَةٍ وَإِنْ تُصِبْهُمْ حَسَنَةٌ يَقُولُوا هَذِهِ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ وَإِنْ تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ يَقُولُوا هَذِهِ مِنْ عِنْدِكَ قُلْ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ فَمَالِ هَؤُلَاءِ الْقَوْمِ لَا يَكَادُونَ يَفْقَهُونَ حَدِيثًا
Khusus pada ayat ini kata buru>j bermakna al-Qus}u>r al-t}uwa>l al-murtafa’ah fi al-sama>’, al-h}as}i>nah.[18] Contoh lain, ketika semua kata as}hab al-na>r dalam al-Qur’an memiliki arti ahl al-na>r kecuali dalam surat al-Mudatsir ayat 31 :
وَمَا جَعَلْنَا أَصْحَابَ النَّارِ إِلَّا مَلَائِكَةً وَمَا جَعَلْنَا عِدَّتَهُمْ إِلَّا فِتْنَةً لِلَّذِينَ كَفَرُوا لِيَسْتَيْقِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ وَيَزْدَادَ الَّذِينَ آمَنُوا إِيمَانًا وَلَا يَرْتَابَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ وَالْمُؤْمِنُونَ وَلِيَقُولَ الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ وَالْكَافِرُونَ مَاذَا أَرَادَ اللَّهُ بِهَذَا مَثَلًا كَذَلِكَ يُضِلُّ اللَّهُ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَمَا يَعْلَمُ جُنُودَ رَبِّكَ إِلَّا هُوَ وَمَا هِيَ إِلَّا ذِكْرَى لِلْبَشَرِ
Pada ayat di atas kata ashab al-na>r bukan bermakna ahl al-na>r akan tetapi berarti penjaga neraka.[19]Hal seperti ini banyak disebutkan dalam kitab al-Burha>n karya al-Zakashi maupun al-Itqa>n karya al-Suyuti.
Di dalam kitab al-wuju>h wa al-naz}a>ir yang ditulis oleh Muqa>til ibn Sulayma>n banyak dituliskan tentang lafal-lafal yang beredaksi sama namun memiliki makna yang berbeda antara satu tempat dengan tempat lainya dalam al-Qur’an. Di antaranya lafal furqa>n menurut Muqa>til ibn Sulayma>n memiliki tiga makna yakni:
1.      Bermakna al-Qur’an, sebagaimana yang surat al-Furqan ayat 1:
تَبَارَكَ الَّذِي نَزَّلَ الْفُرْقَانَ عَلَى عَبْدِهِ لِيَكُونَ لِلْعَالَمِينَ نَذِيرًا
2.      Bermakna al-Nas}r (pertolongan), contohnya dalam surat al-Baqarah ayat 53:
وَإِذْ آتَيْنَا مُوسَى الْكِتَابَ وَالْفُرْقَانَ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
Al-furqa>n pada ayat di atas berarti pertolongan, membedakan antara yang haq dan yang batil serta pertolongan dari musuh-musuh.
3.      Bermakna al-makhraj (tempat keluar), sebagaimana dalam surat al-Baqarah ayat 185:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Al-furqa>n pada ayat di atas memilki makna jalan keluar dari kesamaran dan kesesatan.[20]
Contoh lain mengenai kata al-marad}, kata ini memiliki empat makna, yakni:
1.       Al-sha>k, sebagaimana dalam surat al-Baqarah ayat 10 :
فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَهُمُ اللَّهُ مَرَضًا وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ
Pada ayat di atas lafal marad} memiliki arti sha>k.
2.      Al-fuju>r, makna ini terdapat di antaranya dalam surat al-ahzab ayat 32:
يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا مَعْرُوفًا
3.      Al-jara>h}ah, sebagaimana dalam surat an-Nisa’ ayat 43 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا
4.      Al-marad} (jami’ al-‘amra>d}), makna ini terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 183 :
أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Pada ayat di atas makna marad} adalah sakit secara umum.[21]
E.     Penutup
Pada masa klasik pembahasan mengenai al-wuju>h wa al-naz}a>ir telah banyak menarik perhatian para ilmuwan Muslim, akan tetapi hanya sedikit buku yang sampai pada zaman sekarang. Salah satu buku tertua yang membahas ini ditulis pada rentan tahun 150 H oleh Muqa>til bin Sulayma>n al-Balkhy.\ setalah masa Muqa>til perkembangan ilmu ini terus berlanjut hingga masa modern saat ini sebagaimana yang dilakukan oleh al-T}abat}ab’i.
Al-wuju>h wa al-naz}a>ir merupakan pembahasan penting dalam ilmu tafsir. Dengan mengetahui al-wuju>h wa al-naz}a>ir menghindarkan penafsir salah dalam mengambil makna kata dalam ayat al-Qur’an. Karena dalam al-Qur’an satu kata dengan harkat dan huruf yang sama bisa memiliki berbagai makna yang dikehendakinya. Kaidah ini tidak bersifat statis, artinya pengembangan makna dalam bahasa al-Qur’an sangat mungkin terjadi. Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Bint Shat}i’ mengenai perbedaan makna dari lafal ni’mah dan na’im.
F.   Daftar Pustaka
‘Ali, Ata>bik dan Ahmad Zuhdi Muhdhar, Qamu>s Krapyak al-‘As}ry  ‘Araby Indunisy . Krapyak : Multi Karya Grafika, t,th.
Balkhy (al), Muqa>til bin Sulayma>n. al-Wuju>h wa al-Naz}a>ir fi> al-Qur’an al-‘Azi>m. Baghdad: Markaz Jum’ah al-Ma>jid li al-Thaqa>fah wa al-Tura>th, 2005
Da>magha>ny(al), Al-Husayn bin Muhammad. Qa>mu>s al-Qur’a>n aw Is}la>h} al-Wuju>h wa al-Naz}a>ir fi> al-Qur’a>n al-Kari>m . Bairut: Dar al-‘Ilm li al-Malayi>n, 1983.
Jawzi (al), Jama>l al-Di>n Abi> Faraj Abd al-Raha>n.  Nuzhah al-A’yun al-Nawa>z}ir fi> ‘Ilm al-Wuju>h wa al-Naz}a>ir. Bairut : Muasasah al-Risa>lah, 1987.
Muhammad, Salwa. al-Wuju>h wa Naz}a>ir fi> al-Qur’a>n al-Kari>m. Kairo: Da>r al-Shuru>q, 1998.
Musa, Harun bin. al-Wuju>h wa Naz}a>ir fi> al-Qur’a>n al-Kari>m. t.t.p : Wija>rah al-Thaqa>fah wa al-A’la>m Da>irah al-atha>r wa al-Tura>th, 1988.
Shihab, M. Quraish.  Kaidah Tafsir . Tangerang: Lentera Hati, 2015.
Suyu>t}i(al), Jala>l al-Di>n al-Itqa>n Fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n. Bairut: Muasasah al-Risa>lah al-Na>shiru>n, 2008
Zarkashi (al), Badr al-Di>n Muhammad Bin Abdullah. al-Burha>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n , Vol. I, (Kairo: Da>r al-Tura>th, t.th.



[1]Jama>l al-Di>n Abi> Faraj Abd al-Raha>n al-Jawzi, Nuzhah al-A’yun al-Nawa>z}ir fi> ‘Ilm al-Wuju>h wa al-Naz}a>ir (Bairut : Muasasah al-Risa>lah, 1987), 49.
[2]Muqa>til bin Sulayma>n al-Balkhy, al-Wuju>h wa al-Naz}a>ir fi> al-Qur’an al-‘Azi>m (Baghdad: Markaz Jum’ah al-Ma>jid li al-Thaqa>fah wa al-Tura>th, 2005), 7.
[3]Jala>l al-Di>n Al-Suyu>t}i, al-Itqa>n Fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n (Bairut: Muasasah al-Risa>lah al-Na>shiru>n, 2008), 302.
[4]Harun bin Musa, al-Wuju>h wa Naz}a>ir fi> al-Qur’a>n al-Kari>m (t.t.p : Wija>rah al-Thaqa>fah wa al-A’la>m Da>irah al-atha>r wa al-Tura>th, 1988 ), 9
[5]M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir (Tangerang: Lentera Hati, 2015),125.
[6]Salwa Muhammad, al-Wuju>h wa Naz}a>ir fi> al-Qur’a>n al-Kari>m ( Kairo: Da>r al-Shuru>q, 1998), 41.
[7]Ata>bik ‘Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdhar, Qamu>s Krapyak al-‘As}ry  ‘Araby Indunisy  (Krapyak : Multi Karya Grafika, t,th. ), 1921.
[8]Salwa Muhammad, al-Wuju>h wa Naz}a>ir , 41.
[9]Al-Suyuti, al-Itqa>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, 301
[10]Harun bin Musa, al-Wuju>h wa Naz}a>ir, 8.
[11]M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, 119-120.
[12]Muqa>til bin Sulayma>n, al-Wuju>h wa al-Naza>ir, 7.
[13]Al-Husayn bin Muhammad al-Da>magha>ny, Qa>mu>s al-Qur’a>n aw Is}la>h} al-Wuju>h wa al-Naz}a>ir fi> al-Qur’a>n al-Kari>m (Bairut: Dar al-‘Ilm li al-Malayi>n, 1983), 42.
[14]Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, 120.
[15]Ibid, 120.
[16]Ibid, 121-122
[17]Badr al-Di>n Muhammad Bin Abdullah Al-Zarkashi, al-Burha>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n , Vol. I, (Kairo: Da>r al-Tura>th, t.th. ), 105
[18]Ibid, 105
[19]Ibid, 108.
[20]Muqa>til bin Sulayma>n al-Balkhy, al-Wuju>h wa Naz}a>ir,42.
[21]Harun Bin Mu>sa,al-Wuju>h wa al-Naz}a>ir, 38-39.

Comments