PANDANGAN QIRA’AT MENURUT IGNAZ GOLDZIHER



A.  Pendahuluan
Dalam bahasa Arab Orientalisme dikenal dengan istilah al-istishra>q, sedang orientalis disebut dengan al-mustashri>q yang kesemuanya berakal dari kata Shirq yang berarti tempat terbenamnya matahari (arah timur).[1] Dengan demikian yang dimaksud dengan Orientalis adalah ilmu tentang ketimuran baik mengenai kebudayaan, bahasa, sastranya maupun tentang agamanya.[2] Namun kemudian kata orientalisme jamak menfokuskan kajianya pada dunia Islam.
Para pakar berbeda pendapat mengenai kapan dan siapa sarjana Barat yang pertama kali konsentrasi studi tentang ke-Islam-an.  Muncul beragam asumsi dari para pakar, ada yang menyatakan bahwa orang-orang Barat belajar Islam sejak Tahun 8 H ketika terjadi perang Mu’tah dan berlanjut pada abad ke 9 H ketika terjadi kontak pertama antara bangsa Romawi dengan komunitas muslim dalam perang Tabuk. Pakar lain berpendapat bahwa hal ini dimulai ketika terjadi perang antara komunitas muslim dan komunitas Nasrani di Andalusia (Spanyol), terutama ketika raja Alphones VI  mengusai Toledo pada tahun 488 H. Ada juga yang berpendapat ketertarikan orang-orang Barat terhadap Islam dimulai ketika Barat terdesak oleh ekspansi yang dilakukan oleh komunitas Islam, terutama ketika jatuhnya kota Istambul pada tahun 857 H ke tangan komunitas Islam. Karena ekspansi komunitas Islam atas Barat sangat masif maka Barat merasa perlu melakukan upaya difensif atas ekspansi tersebut,[3] hal ini kemudian menarik minat Barat untuk belajar Islam.
Kajian orientalis terhadap dunia Islam memiliki objek yang sangat luas. Hampir semua kajian ke-Islam-an tidak lepas dari sasaran kajian orientalis. Mulai dari ideologi Islam sampai mengenai al-Qur’an dan Hadis. Salah satu tokoh orientalis yang konsentrasi studi al-Qur’an adalah Ignaz Goldziher. Seorang orientalis kebangsaan Hongaria yang cerdas. Dalam salah satu karya tulisnya Mazhahib Tafsi>r al-Isla>my ia menyinggung mengenai Qira’at yang berbeda-beda dalam al-Qur’an. 
B.   Biografi Ignaz Goldziher
Ignaz Goldziher merapakan orientalis dari keturunan Yahudi yang terpandang dan memiliki pengaruh luas, akan tetapi tidak seperti Yahudi Eropa pada umumnya yang sangat fanatik. Ia  lahir di Hongaria pada tanggal 22 Juni 1850 dan meninggal pada tahun 1921. Pendidikannya dimulai pada tahun 1866 di Budaphes, kemudian ia melanjutkan belajar ke Berlin pada tahun 1869, namun ia hanya bertahan satu tahun di Berlin, kemudian ia pindak ke Universitas Leipzig. Di Universitas Leipzig ia bertemu dengan Fleisser seorang orientalis yang menonjol pada saat itu. Di bawah bimbingan Fleisser yang merupakan pakar filologi, Ignaz memperoleh gelar Doktor tingkat pertama pada tahun 1870 dengan topik risalah “Penafsiran Taurat yang Berasal Dari Tokoh Yahudi Abad Tengah”.
Setalah kembali ke Budaphes ia ditunjuk menjadi asisten guru besar di Universitas Budaphes pada tahun 1872.  Namun tidak lama di sana, ia diutus oleh Kementrian Ilmu Pengetahuan ke luar Negeri untuk melanjutkan studi ke Wina dan Leiden. Setelah itu, ia mengembang tugas untuk melakukan ekspedisi ke wilayah Timur dan menetap di Kairo Mesir, lalu dilanjutkan ke Suriah dan Palestina. Selama menetap di Mesir ia pernah bertukar kajian di Universitas al-Azhar.
Ketertarikan Ignaz terhadap dunia timur dimulai sejak ia berumur enam belas tahun. Pada usia tersebut ia sudah mampu menterjemahkan kisah-kisah bahasa Turki ke dalam bahasa Hongaria, yang dimuat dalam majalah. Buku pertama yang menjadi sasaran kajiannya adalah al-Z}a>hiriyah madhhabuhum wa ta>ri>khuhum. Setelah itu muncul karya-karyanya di bidang keislaman seperti Dira>sa>t al-Isla>miyah, al-Wathaniyah wa Isla>m, Muh}a>d}ara>t fi> al-Isla>m dan Ittija>ha>t Tafsi>r al-Qur’a>n ‘inda Muslimin. [4] Salah satu karyanya yang menjadi rujukan para peneliti al-Qur’an buku yang berjudul die Richtungen der Islamischen Koranouslegung yang telah diterjemahkan dalam bahasa Arab oleh Ali Hasan Abd al-Qa>dir dengan judul al-Madha>hib al-Isla>miyah fi> Tafsi>r al-Qur’a>n dan Abd al-Hali>m al-Naja>r dengan judul Madha>hib al-Tafsir al-Isla>my. Meskipun sama-sama menterjemahkan buku Ignaz, terjamahan Abd H}ali>m al-Naja>r memiliki nilai lebih dibanding terjemahan Ali Hasan karena disertai dengan catatan-catatan kaki yang merupakan representatif dari pandangan Abd H}ali>m al-Naja>r.  Dalam awal buku tersebut Ignaz membahas mengenai qira’at yang menurut Abd al-Fata>h pandangan yang ditulis oleh Ignaz dalam buku tersebut tidak tepat. Hal ini yang melatar belakangi Abd al-Fata>h menulis buku al-Qira’a>t fi> Naz}ri al-Mustashriqi>n wa al-Mulh}idi>n sebagai upaya menjelaskan dan memberikan sanggahan terhadap asumsi-asumsi Ignaz mengenai qira’at dalam al-Qur’an.[5]
C.   Pandangan Ignaz tentang Qira’at
Menurut Ignaz terjadinya perbedaan Qir’ah disebabkan karena al-Qur’an rasm Uthmani pada saat itu ditulis dengan huruf Arab yang tidak ada titik dan shaklnya. Konsekuensinya satu tulisan mengenai satu kalimat dalam bahasa Arab dapat dibaca dengan bacaan yang bermacam-macam.[6] Karakteristik tulisan Arab yang seperti ini berakibat pada perbedaan dalam menentukan susunan i’rab kalimat sehingga berimplikasi kepada perbedaan dalalah (makna). Hal ini, yang menurut Ignaz merupakan faktor utama terjadinya perbedaan qira’at dalam al-Qur’an.[7]
Dalam menyakinkan akan hipotesa yang dibangunnya ini, Ignaz menyertakan contoh-contoh dalam al-Qur’an yakni dalam surat al-A’raf ayat 48 :
وَنَادَى أَصْحَابُ الْأَعْرَافِ رِجَالًا يَعْرِفُونَهُمْ بِسِيمَاهُمْ قَالُوا مَا أَغْنَى عَنْكُمْ جَمْعُكُمْ وَمَا كُنْتُمْ تَسْتَكْبِرُونَ
Dan orang-orang di atas a’raf (tempat yang tinggi) menyeru orang-orang yang mereka kenal dengan tanda-tandanya sambil berkata “harta yang kamu kumpulkan dan apa yang kamu sombongkan (ternyata) tidak ada manfaatnya buat kamu”.[8]
Sebagian ulama qira’at membaca akhir dari ayat ini dengan bacaan تَسْتَكْبِرُونَ . sedang sebagian ulama yang lain membacanya dengan تستكثرون  . Contoh lain masih dalam surat al-A’raf ayat 57 :
وَهُوَ الَّذِي يُرْسِلُ الرِّيَاحَ بُشْرًا بَيْنَ يَدَيْ رَحْمَتِهِ حَتَّى إِذَا أَقَلَّتْ سَحَابًا ثِقَالًا سُقْنَاهُ لِبَلَدٍ مَيِّتٍ فَأَنْزَلْنَا بِهِ الْمَاءَ فَأَخْرَجْنَا بِهِ مِنْ كُلِّ الثَّمَرَاتِ كَذَلِكَ نُخْرِجُ الْمَوْتَى لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Dialah yang meniupkan angin sebagai pembawa kabar gembira, mendahului kedatangan rahmat-Nya (hujan), sehingga apabila angin itu membawa awan mendung, Kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu kami turunkan hujan di daerah itu. Kemudian Kami tumbuhkan dengan hujan itu berbagai macam buah-buahan. Seperti itulah Kami membangkitkan orang yang telah mati, mudah-mudahan kamu mengambil pelajaran.[9]
Kata بشرا  dibaca oleh sebagian Ulama qira’at dengan نشرا . [10]  contoh lain yang dikategorikan Ignaz sebagai perubahan dalam satu huruf saja adalah surat al-Taubah ayat 114  :
وَمَا كَانَ اسْتِغْفَارُ إِبْرَاهِيمَ لِأَبِيهِ إِلَّا عَنْ مَوْعِدَةٍ وَعَدَهَا إِيَّاهُ فَلَمَّا تَبَيَّنَ لَهُ أَنَّهُ عَدُوٌّ لِلَّهِ تَبَرَّأَ مِنْهُ إِنَّ إِبْرَاهِيمَ لَأَوَّاهٌ حَلِيمٌ
Adapun permohonan ampunan Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya, tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya. Maka ketika jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya adalah musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri darinya. Sungguh, Ibrahim itu seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun.[11]
Kata اياه dibaca dengan harakat fath dan dengan menggunakan huruf ya (titik dua). Namun ada riwayat qira’at dari Hammad yang membaca kata tersebut dengan huruf ba’ (titik satu) sehingga menjadi اباه  . setelah menguraikan beberapa contoh perbedaan qira’at dalam satu bentuk huruf saja, kemudian Ignaz memberikan contoh qira’at yang perbedaanya lebih dari satu huruf. Ia mengambil contoh dalam surat an-Nisa’ ayat 94:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا ضَرَبْتُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَتَبَيَّنُوا وَلَا تَقُولُوا لِمَنْ أَلْقَى إِلَيْكُمُ السَّلَامَ لَسْتَ مُؤْمِنًا تَبْتَغُونَ عَرَضَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا فَعِنْدَ اللَّهِ مَغَانِمُ كَثِيرَةٌ كَذَلِكَ كُنْتُمْ مِنْ قَبْلُ فَمَنَّ اللَّهُ عَلَيْكُمْ فَتَبَيَّنُوا إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا
Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu pergi (berperang) di jalan Allah maka telitilah (carilah keterangan) dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan “salam” kepadamu, “kamu bukan seorang yang beriman (lalu kamu membunuhnya), dengan maksud mencari harta benda kehidupan dunia, padahal di sisi Allah ada harta yang banyak. Begitu juga keadaan kamu dahulu, lalu Allah memberikan nikmat-Nya kepadamu, maka telitilah. Sungguh Allah meneliti terhadap apa yang kamu kerjakan.[12]
Mah}l al-Shahi>d dari ayat di atas adalah kata فتبينوا . Menurut Ignaz mayoritas ulama qira’at membacanya dengan bacaan فتثبتوا . perbedaan bacaan ini tidak lepas dari karakter tulisan Arab pada waktu itu yang tidak memiliki tanda titik maupun harakat.
Ignaz menyatakan perbedaan-perbedaan ini tidak mempengaruhi perbedaan makna secara umum dan perbedaan pengambilah hukum fikihnya. Hal seperti ini menurut Ignaz dapat juga dilihat dalam surat al-Baqarah ayat 54 yang menceritakan seputar kemarahan Nabi Musa terhadap kaumnya yang telah membuat patung anak sapi dari emas kemudian mereka menyembahnya. Pernyataan Nabi Musa mengenai hal tersebut adalah :
وَإِذْ قَالَ مُوسَى لِقَوْمِهِ يَا قَوْمِ إِنَّكُمْ ظَلَمْتُمْ أَنْفُسَكُمْ بِاتِّخَاذِكُمُ الْعِجْلَ فَتُوبُوا إِلَى بَارِئِكُمْ فَاقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ عِنْدَ بَارِئِكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ
Dan ingatlah ketika Musa berkata kepada kaumnya “ wahai kaumku! Kamu benar-benar telah menzalimi dirimu sendiri dengan menjadikan (patung) anak sapi (sebagai sesembahan), karena itu bertaubatlah kepada penciptamu dan bunuhlah dirimu. Itu lebih baik bagimu di sisi Penciptamu. Dia akan menerima taubatmu. Sungguh, Dialah yang Maha Meneriam taubat, Maha Penyayang.[13]
Objek kajian pada pada ayat di atas adalah lafal أنفسكم  فاقتلوا , menurut Ignaz lafal ini memiliki makna أنفسكم بأنفسكم  فاقتلوا (maka bunuhlah diri kalian dengan diri kalian sendiri). Menurut Ignaz para sarjana tafsir klasik yang memiliki kapasitas yang cukup diperhitungkan seperti Qatadah dari Basrah (w. 117 H) telah menganggap bahwa bunuh diri atau membunuh orang yang berdosa diantara mereka sebagai perbuatan yang sangat kejam dan tidak setimpal dengan dosa yang mereka lakukan. Oleh karena itu, mereka berinisiatif membaca dengan فأقيلوا أنفسكم yang memiliki makna حققوا عما فعلتم  (bersungguh-sungguhlah untuk kembali taubat dari apa yang kalian lakukan) dengan menyesali kesalahan yang telah diperbuat.  Pada akhirnya Ignaz berkesimpulan bahwa pengamatan yang objektif turut mempengaruhi perbedaan qira’at.[14] Namun pendapat ini di sanggah oleh Abd al-Hali>m al-Naja>r sebagai pendapat yang tidak tepat. Karena bacaan ini menurut Abd Hali>m sebagai qira’at yang munkar dan tidak masuk dalam kategori qira’at empat belas.
Fenomena berupaya menyelaraskan makna ini menurut Ignaz juga terdapat dalam surat al-Fath ayat 8-9:
إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ شَاهِدًا وَمُبَشِّرًا وَنَذِيرًا (8) لِتُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتُعَزِّرُوهُ وَتُوَقِّرُوهُ وَتُسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَأَصِيلًا
Sungguh, kami mengutus engkau (Muhammad) sebagai saksi, membawa berita gembira dan pemberi peringatan.
Agar kamu semua beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, menguatkan (agama)-Nya, membesarkan-Nya dan bertasbih kepada-Nya pagi dan petang.[15]
Lafal وتعزروه yang bermakna تساعده  (bantulah kamu sekalian kepada-Nya), sebagian sarjana qira’at membacanya dengan وتعززوه yang berarti dan mengagungkanlah kalian semua kepada-Nya. Asumsi Ignaz salah satu faktor penyebab munculnya model qira’at seperti ini adalah karena khawatir apabila Allah dipersepsikan menunggu bantuan dan pertolongan manusia.
Setelah menjelaskan perbedaan bacaan yang disebabkan oleh perbedaan titik dalam satu huruf atau lebih, Ignaz membahas mengenai perbedaan qira’at disebabkan oleh perbedaan segi harakat. Menurut Ignaz dari perbedaan harakat tersebut memunculkan perbedaan gramatikal (nahw). Ignaz membagi menjadi dua model qira’at yang disebabkan oleh perbedaan harakat ini. Pertama, menimbulkan perbedaan secara makna akan tetapi tidak begitu berpengaruh terhadap hukum fikih. Kategori ini sebagaimana terdapat dalam surat al-Hijr ayat 8:
مَا نُنَزِّلُ الْمَلَائِكَةَ إِلَّا بِالْحَقِّ وَمَا كَانُوا إِذًا مُنْظَرِينَ
Kami tidak menurunkan malaikat  melainkan dengan kebenaran (untuk membawa azab) dan mereka ketika itu tidak diberikan penagguhan.[16]
Para sarjana qira’at berbeda-beda cara membaca kata ننزل ada yang membaca nunazzalu dan ada yang membaca tanazzalu/tunazzalu. Sehinnga maknanya akan berkisar pada “Kami menurunkan atau malaikat turun.
Kedua, perbedaan harakat dalam satu susunan ayat yang mempengaruhi perbedaan hukum fikih.  Contohnya dalam surat al-Maidah ayat 6 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ
Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu mendak melaksanakan salat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai ke dua  mata kaki..[17]
Dispensasi (rukhsah) yang ditolak sebagaimana yang dikatakan oleh aliran Shi’ah adalah menganggap cukup dengan mengusap apa yang menutupi dua kaki ketika berwudu sebagai ganti dari membasuh keduanya, dengan bersandar pada ‘at}af lafal وارجلكم pada lafal برؤسكم yang di-jar-kan dengan huruf ba’. Sementara itu kewajiban membasuh kaki didasarkan pada lafal وارجلكم yang di athafkan pada lafal وجوهكم yang dibaca nasab karena berposisi sebagai maf’ul dari فاغسلوا .
Ignaz juga berasumsi bahwa perbedan qira’at muncul karena adanya penyandaran penafsiran-penafsiran tambahan yang kadangkala dilakukan untuk menghilangkan kekaburan teks dengan menyisipkan keterangan tambahan yang lebih mendetail, sehingga dapat membatasi makna yang luas dan untuk mencegah kekacauan penta’wilan.
Mengenai tambahan-tambahan ini Ignaz mengambil riwayat-riwayat yang disandarkan kepada Abdullah bin Mas’ud dan Ubay bin Ka’ab. Menurut Ignaz, riwayat yang berasal dari kedua sahabat ini tidak “dianggap” dalam upaya penyatuan al-Qur’an dalam satu rasm ketika itu. Padahal secara s}arih Rasulullah telah menyatakan kelebihan kedua sahabat ini dalam beberapa hadisnya.[18] Sehingga memunculkan stateman yang “pedas” dari kedua sahabat tersebut. Sebagaimana salah satu statemen yang muncul dari Abdullah bin Mas’ud terhadap Zaid bin Tsabit yang pada kala itu ditunjuk Utman sebagai tim penyatuan bacaan al-Qur’an dalam rast utmani :
لقد أسلمت و زيد بن ثابت في صلب رجل كافر
Aku telah masuk Islam sementara Zaid bin Tsabit masih berada di tengah-tengah orang kafir.
Diantara contoh-contoh qira’at dari dua sahabat ini adalah dalam surat al-Baqarah ayat 213 :
كَانَ النَّاسُ أُمَّةً وَاحِدَةً فَبَعَثَ اللَّهُ النَّبِيِّينَ مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ وَأَنْزَلَ مَعَهُمُ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِيَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ فِيمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ وَمَا اخْتَلَفَ فِيهِ إِلَّا الَّذِينَ أُوتُوهُ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْهُمُ الْبَيِّنَاتُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ فَهَدَى اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا لِمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِهِ وَاللَّهُ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
Manusia itu (dahulunya) satu umat. Lalu Allah mengutus para Nabi (untuk) menyampaikan kabar gembira dan peringatan. Dan diturunkan-Nya bersama mereka kitab yang mengandung kebenaran, untuk memberikan keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Dan yang berselisih hanyalah orang-orang yang diberi (kitab),setalah bukti-bukti yang nyata sampai kepada mereka, karena kedengkian di antara mereka sendiri. Maka dengan kehendak-Nya, Allah memberi petunjuk kepada mereka yang beriman tentang kebenaran yang mereka perselisihkan. Allah memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki di jalan yang lurus.[19]
pada ayat di atas, Ubay bin Ka’ab dan Abdullah bin Mas’ud menambahkan kata فاختلفوا setalah kalimat كَانَ النَّاسُ أُمَّةً, penambahan ini menurut Ignaz untuk menyesuaikan dengan pemahaman yang logis.
Contoh lain dalam ayat tentang kafarat bagi orang yang melanggar sumpah dalam surat al-Maidah ayat 89 :
لَا يُؤَاخِذُكُمُ اللَّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَكِنْ يُؤَاخِذُكُمْ بِمَا عَقَّدْتُمُ الْأَيْمَانَ فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ ذَلِكَ كَفَّارَةُ أَيْمَانِكُمْ إِذَا حَلَفْتُمْ وَاحْفَظُوا أَيْمَانَكُمْ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak sengaja (untuk besumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kafaratnya (denda pelanggaran sumpah) ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi mereka pakain atau memerdekan seorang hamba sahaya. Barang siapa tidak mampu melakukannya, maka (kafaratnya) berpuasalah tiga hari. Itulah kafarat sumpah-sumpahmu apabila kamu bersumpah \. Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan hukum-hukum-Nya kepadamu agar kamu bersyukur (kepada-Nya).[20]
Mah}al al-shahid pada ayat di atas adalah lafal فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ, puasa tiga hari yang dimaksud pada ayat ini apakah harus berturut-turut atau dengan cukup puasa tiga hari meskipun tidak berturut-turut. Madhhab Hanafiyah mewajibkan puasa tiga hari secara berturut-turut sebagaimana yang disepakati oleh para ahli hadis klasik yang terpercaya. Dengan demikian puasa tiga hari yang tidak continu tidak dianggap memenuhi kafarat. Akan tetapi menurut analisis Ignaz mazhab lain memperbolehkan untuk melakukan puasa meskipun tidak berturut-turut.
Mazhab Hanafiyah menyandarkan kesimpulan hukum ini dari riwayat yang bersumber dari Ubay bin Ka’ab dan Abdullah bin Mas’ud yang menambahkan lafal متتابعات  setalah lafal فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّام . Tambahan seperti ini tidak terdapat dalam mushaf ustmani yang menjadi standar bacaan umat Islam.
Pandangan Ignaz mengenai qiraat ini secara sepintas memang logis, akan tetapi di lain sisi juga menyudutkan umat Islam. Memang secara sepintas tidak adanya titik dan shakal pada rasm uthmani menimbulkan kebebasan dalam membaca al-Qur’an sehingga menimbulkan bacaan yang berbeda-beda di kalangan umat Islam. Pandangan ini dibantah oleh abd al-Fattah dalam buku al-Qira’a>t fi> Naz}ri al-Mustashriqi>n wa al-Mulh}idi>n. Pandangan ini menurut Abd fattah merupakan upaya Ignaz untuk menimbulkan keraguan umat Islam bahwa al-Qur’an suci dan benar-benar dari Tuhan. Pandangan ignaz ini bertolak belakang dengan fakta sejarah bahwa sebelum mushaf al-Qur’an disatukan dalam rasm ustmani, bacaan al-Qur’an telah di hafal oleh para sahabat. Dengan demikian qira’at al-Qur’an tidaklah bersandar pada tulisan rasm uthmani saja akan tetapi berdasarkan riwayat yang bersumber dari Nabi Muhammad saw.
Abd al-Fattah menyitir beberapa hadis untuk membantah pendapat Ignaz ini salah satu adalah :
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ، قَالَ: حَدَّثَنِي سُلَيْمَانُ، عَنْ يُونُسَ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ بْنِ مَسْعُودٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «أَقْرَأَنِي جِبْرِيلُ
عَلَى حَرْفٍ، فَلَمْ أَزَلْ أَسْتَزِيدُهُ حَتَّى انْتَهَى إِلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ
Ismail telah bercerita kepada kami, ia berakata: Sulayman telah bercerita kepadaku dari Yunus dari ibn Shihab dari Ubaidillah bin Abdillah bin ‘Utbah bin Mas’ud dari Ibn Abbas ra. Sesungguhnya Rasulullah saw berkata : Jibril membacakan (al-Qur’an) kepada ku dengan satu huruf, kemudian berulang kali aku meminta agar huruf itu ditambah, ia pun menambahkannya sampai tujuh huruf.
Bantahan-bantahan pandangan Qira’at menurut Ignaz secara khusus dapat dirujuk dalam buku karya Abd al-fattah. Adapun bantasan secara umum dapat dirujuk dalam buku Madha>hib Tafsi>r al-Isla>my (terjemahan dari buku Ignaz yang berbahasa Jerman) oleh H}ali>m al-Naja>r. H}ali>m al-Naja>r selain menerjemah ia juga memberikan catatan kaki sebagai kritik terhadap pandangan-pandangan Ignaz, yang menurut Ignaz kurang tepat dan terkesan tidak objektif. Hali>m juga mengungkapkan ketidak konsistenan Ignaz dalam berpendapat.
D.  Penutup
Secara umum Ignaz memandang bahwa perbedaan qira’at yang terjadi pada ayat-ayat al-Qur’an disebabkan oleh tidak adanya tanda titik dan shakl pada rasm Uthmani.  Pendapat ini sekilas memang logis akan tetapi pendapat ini tidak tepat karena dengan tidak adanya tanda titik dan shakl sebenarnya mambuat rasm ustmani dapat di baca dengan beragama qira’at. Pendapat Ignaz tidak mempertimbangkan bahwa qira’at tidak berlandasankan pada tulisan akan tetapi berdasarkan riwayat qira’at. Sehingga meskipun ditulis tanpa tanda baca umat Islam pada saat itu telah membaca dengan beragam qira’at dan semua itu bersumber dari Nabi Muhammad saw.
Perbedaan qira’at ini adakala memberikan pengaruh pada istimbat hukum dan adakalanya yang tidak memberikan pengaruh,  hanya sekedar memberikan varian yang berbeda dalam bacaan. Ignaz mengakui bahwa perbedaan qira’at juga memberikan kontribusi dalam penafsiran al-Qur’an. Meskipun disisi lain ia juga kurang mempertimbangkan ke-shahihan sebuah riwayat qira’at. Sering kali Ignaz memberikan contoh-contoh qira’at yang tidak sahih dalam menguatkan argumen-argumennya.





E.   Daftar Pustaka
al-Qur’an dan Terjemahnya
Badawi, Abd al-Rahman. Mawsu>’ah al-Mustashriqi>n. Bairut: Dar ‘Ilm li> al-‘Alami>n, 1993.
Fata>h} (al), Abd. al-Qira’a>t fi> Naz}ri al-Mustashriqi>n wa al-Mulh}idi>n. Madinah : Dar Mis}r li al-T}iba>’ah. t.th.
Goldziher, Ignaz. al-Madha>hib al-Isla>miyah fi> Tafsi>r al-Qur’a>n, terj. Ali Hasan abd Qadir. t.t.p.: Mut}bi’ah al-‘Ulu>m, 1944.
______________. Madh>ahib al-Tafsi>r al-Isla>my, terj. Abd al-Halim al-Najar. Kairo: Maktabah al-Sunnah al-Muhammadiyah, 1955.
Husna, Ali. Al-Mustasriqu>n wa Ta>ri>kh al-Islamy. T.t.p. : Al-Hay’ah a-Mis}riyah al-‘Amma>h li al-kita>b 1988.
Ya’qub, Ali Mustafa. Kritik Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995.
Zaqzu>q, Mahmu>d H}amdi>. al-Istisraq wa al-Khalfiyah al-Fikriyah li al-S}ira>’ al-H}ad}ari. Kairo : Da>r al-Ma’a>rif, t.th.




[1]Ali Husna, Al-Mustasriqu>n wa Ta>ri>kh al-Islamy, (ttp. Al-Hay’ah a-Mis}riyah al-‘Amma>h li al-kita>b 1988), 11-12.
[2]Mahmu>d H}amdi> Zaqzu>q, al-Istisraq wa al-Khalfiyah al-Fikriyah li al-S}ira>’ al-H}ad}ari, (Kairo : Da>r al-Ma’a>rif, t.th.), 18.
[3]Ali Mustafa Ya’qub, Kritik Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), 5.
[4]Abd al-Rahman Badawi, Mawsu>’ah al-Mustashriqi>n (Bairut: Dar ‘Ilm li> al-‘Alami>n, 1993), 197-202.
[5]Abd al-Fata>h}, al-Qira’a>t fi> Naz}ri al-Mustashriqi>n wa al-Mulh}idi>n (Madinah : Dar Mis}r li al-T}iba>’ah. t.t.), 7-8.
[6]Ignaz Goldziher, al-Madha>hib al-Isla>miyah fi> Tafsi>r al-Qur’a>n, terj. Ali Hasan abd Qadir (t.t.p.: Mut}bi’ah al-‘Ulu>m, 1944), 4.
[7]Ignaz Goldziher, Madh>ahib al-Tafsi>r al-Isla>my, terj. Abd al-Halim al-Najar (Kairo: Maktabah al-Sunnah al-Muhammadiyah, 1955 ), 7-8.
[8]Depag, al-Qur’an dan Terjemahnya (Surabaya: Karya Agung, 2006), 210.
[9]Ibid, 212.
[10]Ignaz Goldziher, Madh>ahib al-Tafsi>r al-Isla>my, 9.
[11]Depag, al-Qur’an dan Terjemahnya, 275.
[12]Ibid, 122.
[13]Ibid, 10.
[14]Ignaz Goldziher, Madh>ahib al-Tafsi>r al-Isla>my, 11.
[15]Depag, al-Qur’an dan Terjemahnya, 738.
[16]Ibid, 355.
[17]Ibid, 144.
[18]Dalam sebuah Hadis Rasulullah bersabda : تعلموا القرأن من أربعة عبد الله بن مسعود و سالم مولى ابي حذيفة و ابي نب كعب و معاذ بن جبل
[19]Ibid, 41.
[20]Ibid, 162.





Comments