DAKHIL TAFSIR LIBERALIS



A.  Pendahuluan
Pada tahun 2014 Jurnal Usuludin yang diterbitkan di Malaysia memuat penelitian Edward Maofur dan Zulkifli Mohd Yusoff tentang Pengaruh liberalisme terhadap kajian al-Qur’an di Indonesia. Pada pendahuluan penelitian tersebut mereka menyatakan bahwa gelombang liberalisme yang menyerang Indonesia menambah multi krisis keagamaan di Indonesia.  Argumen yang meraka angkat adalah tentang upaya golongan Muslim liberal menimbulkan keraguan terhadap al-Qur’an sebagai sumber utama ajaran Islam.[1]  
Liberalisme tidak hanya menjadi manhaj berfikir tetapi telah berupaya masuk dalam “area” metode memahami teks-teks al-Qur’an. Kaum liberalis berusaha mengkostruksi ulang pemahaman ulama klasik yang dianggap sudah tidak relevan dengan keadaan sosio-kultural masyarakat saat ini. Rekonstruksi tidak hanya terhadap hasil penafsiran namun juga dari segi metode penafsirannya. Asumsi kaum Islam liberal,  metode yang digunakan oleh ulama klasik tidak mampu menjawab persoalan-persoalan yang muncul di abad modern ini. Kaum Islam liberal menawarkan metode baru dalam memahami al-Qur’an, yakni dengan metode  “hermeneutika” . Kaum Islam liberal menyaki metode ini dianggap lebih mampu menggali pesan-pesan al-Qur’an yang lebih relevan dengan perkembangan masyarakat di abad modern ini.
Terlepas dari kontrovesi tentang hasil penafsiran kaum Islam liberal, dalam realitanya hasil penafsiran mereka ikut mewarnai dunia tafsir al-Qur’an, meskipun tidak jarang menimbulkan “reaksi” negatif dari mayoritas umat Islam. Dalam makalah ini, penulis berupaya meneliti penafsiran golongan Islam liberal dan berupaya menunjukan ketidaktepatan mereka sehingga hasil penafsirannya masuk dalam kategori al-dakhi>l.


B.   Pengertian Liberal
Kata Liberal berasal dari bahasa Inggris liberalism dan dari bahasa Perancis liberalisme, yang berarti liberty (inggris) atau liberte  dalam bahasa Perancis. Dalam istilah arab liberal disebut dengan istilah al-libira>liyah yang berarti al-h}urriyyah (kebebasan).[2] Secara singkat liberalisme dapat diartikan sebagai aliran kebebasan.[3]
Liberalisme merupakan madhhab berfikir yang fokus terhadap permasalahan kebebasan individual dan berpandangan bahwa menghormati kebebasan individual merupakan kewajiban. Kelompok ini berkenyakinan bahwa tugas pokok dari penguasa adalah melindungi kebebasan rakyatnya dalam berfikir, berpendapat, berekspresi dan kebebasan individual lainnya.[4]
Terdapat selisih pendapat mengenai kapan awal mula muncul paham liberalisme ini. Sebagian ahli berpendapat bahwa kelompok liberalisme pertama kali berkembang di Barat pada abad ke 16 M kemudian paham ini menyebar ke dunia Arab sehingga ikut mewarnai dunia Arab pada kala itu.[5]   pengaruh liberalisme Barat dalam dunia Arab diantara masuk dalam dunia filsafat dan pola berfikir bangsa Arab.
Kemunculan liberalisme di Barat merupakan sebuah reaksi dari ortodoksi religius. Saat itu, gereja mendominasi seluruh aspek kehidupan manusia. Semua aturan kehidupan ditentukan dan berada di bawah wewenang gereja. Alhasil manusia pada masa itu tidak memiliki kebebasan dalam bertindak, hak individu dibatasi bahkan ditiadakan.  Hak individu dipahami sebagai keterbebasan dari determinasi (ketetapan) dan intervensi (campur tangan) eksternal, berupa pembatasan, pemaksaan atau berbagai ancamandan manipulasi dalam melakukan tindakan.[6]
Landasan dalam berfikir kelompok ini secara garis besar adalah adalah sebagai berikut :
1.      Kebebasan Individualisme
Maksud dari asas ini adalah seseorang bebas melakukan apapun tanpa ada unsur paksaaan dari pihak manapun. Penguasa harus menjamin dan melindungi kebebasan ini. Liberalis sangat mementingkan kebebasan denan segala jenisnya. Kebebasan berkreasi, berpendapat, menyampaikan gagasan, berbuat dan bertindak bahkan  kebebasan berkeyakinan juga menjadi tema pembahasan liberalis.[7] Sehingga liberalis beranggapan bahwa negara tidak berwenang memaksa masyarakat untuk memeluk satu agama tertentu. Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa liberalis juga berasas sekuler.
Kebebasan menurut liberalis tidak terbatas, selama tidak bertentangan dan bertabrakan dengan kebebasan orang lain. Kaidah kebebasan mereka adalah “ kebebasan anda berakhir pada permulaan kebabasan orang lain”.
2.      Rasionalisme
Rasionalisme tidak hanya menjadi landasan berfikir liberalis akan tetapi juga merupakan ciri khas dari kelompok pemikir pada masa renaissance atau masa pencerahan Barat.  Asas rasionalisme menyakini bahwa akal mampu mencapai segala kemaslahatan hidup yang dikendaki. Kaum liberalis menjadikan rasio sebagai standar kebenaran. Rasionalisme kaum liberalis diantaranya dapat dilihat dalam beberapa hal berikut ini :
Pertama, liberalis berkeyakinan bahwa hak setiap individu bersandar kepada hukum alam. Sementar hukum alam tidak bisa diketahui kecuali dengan rasio melalui media indera/pengamatan dan penelitian (eksperimen). Dari sini dikenal filsafat materialisme (aliran filsafat yang mengukur kebenaran melalui materi) dan aliaran filsafat empirisme (aliran filsafat yang mengukur kebenaran melalui eksperimen/penelitian).[8]
Kedua, agama harus bersikap netral terhadap semua agama.  Karena dalam perspektif liberalis tidak ada kebenaran yang absolut dan mutlak. Sifat dari kebenaran adalah relatif, sehingga dikenal istilah “relatifisme kebenaran”.
Ketiga, perundang-undangan yang mengatur tentang kebebasan ini semata-mata hanya pemikiran manusia bukan dari syariat agama.[9]
C.   Sejarah Liberalis dalam Islam
Secara spesifik ungkapan “Islam Liberal” pertama kali diungkapkan oleh penulis Barat seperti Leonard Binder dan Charles Kurzman.[10] Meskipun terkesan kontradiktif akan tetapi istilah ini tetap digunakan untuk merepresentatifkan suatu golongan umat Islam yang berfikir bebas dan tidak mau terikat oleh hasil pemikiran ulam-ulama pada periode klasik.  
Sejarah masuknya liberlisme berakar dari dua fenomena yang mempengaruhi psikologi umat Islam. Pertama adalah fenomena “penjajahan” oleh negara Barat ke hampir seluruh negara umat Islam. Kedua adalah fenomena “ketinggalan” dari sudut sains dan teknologi umat Islam di banding dengan negara Barat.  Reaksi umat Islam atas fenomena ini dapat dikelompokan menjadi empat: Pertama, golongan umat Islam yang putus asa secara total dan pasrah menerimanya sebagai satu ketentuan dari Tuhan.
Kedua, adalah kelompok umat Islam yang berpendapat bahwa agama adalah penghalang untuk mencapai kemajuan. Mereka berpendapat bahwa untuk menjadi umat yang maju dan berkuasa, Islam perlu dipisahkan dari kehidupan sosial. Teori pemisahan ini disebut dengan sekularisme, mereka berkiblat pada negara Barat yang berhasil menacapai kejayaan dengan sistem ini.
Ketiga, adalah kelompok umat Islam yang beranggapan agama sebagai faktor kemuduran Umat Islam. Solusi yang ditawarkan oleh kelompok ini adalah dengan rekonstruksi ulang ajaran dan tafsir al-Qur’an yang telah lama menjadi pegangan umat Islam. Semangat kelompok ini adalah pembeharuan ajaran Islam dan mebongkar kejumudan pemikiran umat Islam.  Kelompok ketiga ini disebut dengan aliran Islam liberal. Meskipun sekilas berbeda dengan kelompok sekularisme namun dalam beberapa sisi terdapat titik kesamaan antara keduanya.[11]
Keempat, kelompok yang mengakui kemunduran umat Islam namun mereka tidak mempersalahkan agama.  Mereka menyalahkan umat Islam yang tidak mempraktekan ajaran Islam yang murni. Mereka berkeyakinan kemajuan umat Islam seharusnya diukur dengan neraca wahyu yakni Islam yang berlandaskan al-Qur’an dan Sunnah, bukan diukur dari peradaban Barat yang berdasarkan materialisme dan hawa nafsu.[12]
D.  Pandangan Liberalis Tentang Metode Tafsir
Islam liberal berpandangan bahwa metodologi penafsiran al-Qur’an yang digunakan ulama selama ini banyak mengandung kelemahan dan tidak mampu menjawab permasalah saat ini. Kelemahan metodologi tafsir yang digunakan selama ini adalah terlalu “men-Tuhan-kan” teks dan mengabaikan realitas yang ada, memandang rendah kemampuan akal dan kurang maksimal dalam menggunakan akal untuk merumuskan konsep kemaslahatan.[13] Oleh karena itu, metodologi tafsir yang digunakan oleh ulama klasik di masa lalu tidak perlu dipertahankan lagi dan harus diganti dengan metodologi yang mengapresiasi kemodernan.[14]
Ketidakmampuan metodologi tafsir klasik dalam merespon dan menyelesaikan permasalahan modern saat ini, dijelaskan oleh Amin Abdullah salah satu Guru Besar dalam bidang tafsir di UIN Sunan Kalijaga:
Metode penafsiran al-Qur’an selama ini senantiasa hanya memperhatikan hubungan penafsiran dan teks al-Qur’an tnap pernah mengeksplisitkan audiens terhadap teks. Hal ini mungki dapat dimaklumi sebab para mufassir klasik lebih menganggap tafsir al-Qur’an sebagai hasil kerja-kerja kesalehan... Terlepas dari alasan-alasan tersebut tafsir-tafsir klasik tidak lagi memberikan makna dan fungsi yang jelas dalam kehidupan umat Islam.[15]
Sebelum merumuskan kaidah baru dalam menafsirkan al-Qur’an yang sesuai dengan konteks kemodernana, terlebih dahulu melakukan perubahan secara radikal mengenai orientasi penafsiran al-Qur’an dari orientasi ke-Tuhan-an kepada orientasi kemanusiaan. Hal ini untuk menghindari penafsiran al-Qur’an yang berorienntasi kepada “kepentingan” Tuhan dan mengabaikan manusia sebagai objek diturunkan al-Qur’an.  Bagi golongan Islam liberal metode penafsiran al-Qur’an yang sesuai dengan konteks kemodernan adalah metode hermeneutika. Hermeneutika adalah sebuah metode yang mengkombinasikan teori-teori dalam disiplin ilmu al-Qur’an namun ditambah dengan teori-teori sains kemasyarakatan modern.[16]
Metode hermeneutika diyakini oleh golongan liberalis mampu menyelesaikan permasalahan penafsiran ayat-ayat yang “tidak okomodatif” terhadapa isu-isu kemanusian modern saat ini seperti kesetaraan gender, kebebasan beragama, pernikahan beda agama atau tentang ayat-ayat yang berhubungan dengan hak asasi manusia secara umum.[17]
Golongan Islam liberal memunculkan kaidah-kaidah baru dalam menafsirkan al-Qur’an yang menguatkan metode hermeneutika mereka. Diantara kaidah-kaidah yang mereka rumuskan adalah sebagai berikut:
1.      Al-‘ibrah bi al-maqa>s}id la> bi al-alfa>z}
Kaidah baru ini menuntut para mufassir untuk melakukan pergeseran paradigma dari menjadikan teks sebagai pusat perhatian tafsir untuk mencari ideal moral (maqa>s}id shar’iyyah) teks al-Qur’an. Dengan kaidah ini menghasilkan penafsiran al-Qur’an ala Islam Liberal sebagai upaya untuk menyesuaikan dengan dunia modern saat ini.  Salah satu penafsiran Liberalis tentang penghalalan judi SDSB (Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah) karena membawa manfaat untuk perekonomian dan pembangunan Negara.[18]
2.      Jawa>z naskh al-Nus}u>s} al-juz’iyyah bi al-mas}lahah}
Kaidah ini memberikan otoritas kepada kemaslahtan untuk membatalkan ketentuan-ketentuan legal spesifik dalam teks al-Qur’an.  Seperti membatalkan ayat-ayat hukuman (‘uqu>ba>h) karena hukuman sifatnya relatif mengikuti perkembangan zaman. Kemaslahatan di sini menjadi kontrol terhadap keberadaan ayat-ayat al-Qur’an yang tidak relevan dengan perkembangan zaman. Hal ini didasarkan kepada keyakinan bahwa tidak ada hukum Islam yang bertentangan dengan kemaslahatan umat.
Menurut Islam liberalis, disinilah letak perbedaan yang mendasar antara pendekatan tafsir liberalis dengan pendekatan tafsir klasik yang kurang memperhatikan konsep kemaslahatan dan hanya menjadikan mukalaf yang tidak berdaya dan menjadi “hamba” teks.[19]
3.      Tanqi>h al-nus}u>s} bi al-‘aql mujma’ ‘alaih yaju>z
Maksud dari kaidah ini adalah akal publik memiliki wewenang untuk mengedit, menyempurnakan dan mengubah terhadap ayat khusus atau ayat yang mengandung format hukum khusus dalam pelaksanaannya. Menurut liberalis kaidah ini menjadi solusi terhadap pertentangan antara pandangan umum di masyarakat dengan tekstual dari ayat-ayat al-Qur’an. Proses tanqi>h menurut liberalis kebutuhannya sangat mendesak untuk saat ini kerena dalam realitanya banyak dijumpai ayat khusus dalam al-Qur’an seperti waris yang tidak lagi diterima oleh pandangan umum masyarakat.


E.   Contoh al-Dakhi>l fi> Tafsi>r al-Libira>liyin
Sampai saat ini penulis tidak menemukan sebuah karya tafsir secara utuh tiga puluh juz yang ditulis oleh kelompok Islam liberal. Penulis hanya menemukan penafsiran beberapa ayat al-Qur’an yang mengandung topik tertentu seperti masalah ayat-ayat yang dianggap tidak merepresentatifkan kesetaraan gender dan ayat-ayat yang menurut mereka secara tekstual tidak menjunjung HAM. Contoh-contoh penyimpangan tafsir yang dilakukan oleh Liberalis adalah sebagai berikut:
Dalam surat al-‘Anbiya ayat 69 :
قُلْنَا يَا نَارُ كُونِي بَرْدًا وَسَلَامًا عَلَى إِبْرَاهِيمَ
Kami berfirman, hai api, menjadi dinginlah dan menjadi keselamatan bagi Ibrahim.[20]
Dengan asas berfikir rasionalisme yang merupakan ciri khas dari manhaj berfikir liberalis, mereka beranggapan bahwa perubahan api menjadi dingin adalah hal yang tidak logis. Sudah merupakan sunnatullah bahwa api itu panas. Oleh karena itu, supaya ayat di atas dapat masuk akal, maka pemahamannya harus ditarik kepada tafsir metaforis. Sehingga penafsiran ayat di atas adalah bahwa Nabi Ibrahim dibakar oleh suasana masyarakat yang sangat panas bagaikan api karena terbakar oleh emosi.[21]
Dari penafsiran di atas terlihat jelas bagaimana liberalis sangat mendewakan rasio. Segala teks keagamaan yang tidak sesuai dengan rasio maka hal tersebut harus di “rekayasa” sedemikian rupa sehingga akal dapat menerimanya. Sepintas lalu memang terlihat sah-sah saja ayat tersebut ditarik kepada makna tersebut dan sesuai dengan rasio. Akan tetapi tidak tepat kiranya apabila ayat di atas tafsirkan ala liberalis, karena tidak adanya qarinah yang menghendak pengalihan dari makna hakiki ke dalam makna majazi. Apalagi yang menghendaki api menjadi dingin adalah Allah, segala sesuatu tidak ada yang mustahil jika Allah berkendak.
Contoh lain dalam surat an-Nisa’ ayat 11:
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ السُّدُسُ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لَا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian waris untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika dia (anak perempuan) itu, seorang saja, maka dia memperoleh setengah (harta yang ditinggalkan). Dan untuk kedua ibu-bapak, bagian masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika dia (yang meninggal) mempunyai anak. Jika dia (yang meninggal) tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh kedua ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga. Jika dia (yang meninggal) mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (pembagian-pembagian tersebut di atas) setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih banyak manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana.[22]
Ayat ini oleh sementara liberalis dianggap sebagai ayat yang diskriminatif terhadap hak-hak kaum perempuan.  Secara tekstual bagian waris perempuan pada ayat di atas adalah setengah dari bagian laki-laki. Padahal keadilan perspektif rasio masyarakat saat ini adalah apabila semua pihak mendapatkan bagian yang sama, beranjak dari pemahaman ini liberalis berupaya menafsirkan ulang ayat di atas agar tidak bertentangan dengan rasio masyarakat (al-‘aql mujma’ alaih).
Menurut liberalis ketentuan angka-angka di atas tidaklah bersifat qat}’i, yang bersifat qat}’i adalah ajaran keadilan yang dikandung pada ayat di atas. Kemudian apabila dilacak dari kondisi sosia-cultural masyarakat Arab saat itu, maka jelas bahwa ketentuan waris 2:1 yang diperkenalkan al-Qur’an di atas, merupakan langkah adaptasi dengan budaya Arab. Oleh karena dalam teori genelogi Arab menganut patriachal tribe (kesukuan yang dilacak dari garis lak-laki), [23] maka sangat wajar bila Islam masih memberi porsi yang lebih besar kepada laki-laki. Berdasarkan kenyataan sejarah, banyak ketentuan-ketentuan dalam Islam yang merupakan bentuk modifikasi dari ketentuan-ketentuan pra Islam. Padahal ayat-ayat kewarisan dalam al-Qur’an dapat secara langsung diambil dari kenyataan sistem kekeluargaan menurut al-Qur’an itu adalah bilateral, bukan patrilineal (garis perempuan dari kerabat laki-laki) maupun matrilineal (garis keturunan dari kerabat perempuan).[24] Oleh karena itu, pembagian 1 : 1 dalam waris merupakan hal yang harus dilakukan, agar nilai keadilan universal yang dibawa oleh Islam dapat terwujud.
Hasil penafsiran yang dilakukan oleh liberalis di atas ditinjau dari teori al-dakhi>l wa al-asi}>l fi> tafsi>r masuk dalam kategori al-dakhi>l fi> al-ra’yi. Berdasarkan kategorisasi yang dilakukan oleh Jama>l Must}afa> dalam buku us}u>l al-dakhil fi tafsi>r a>y al-tanzi>l masuk dalam kelompok al-takaluf fi> al-talfi>q baina al-nus}u>s} al-qur’aniyyah wa muktashafa>t al-‘ilm al-hadi>s (berupaya mempertemukan nas-nas al-Qur’an dengan penemuan ilmu modern).  Atau bisa termasuk dalam ketegori tah}ri>f al-nus}u>s} al-shar’iyyah ‘an mawad}i’iha> wa ta’t}iliha> wa s}arfiha> ‘an z}awa>hiriha> (penyimpangan nas-nas shari’ah dari semestinya, merusaknya dan memalingkan dari zahirnya).[25] Hal ini dilihat dari bagaimana liberalis berupaya mempertemukan nas-nas al-Qur’an dengan teori-teori modern serta hasil penafsiran yang menyimpang jauh dari z}ahir teks.
Terlalu bergantung dengan framework dan cara berfikir ala Barat membuat Liberalis  “nyaris” mengabaikan bunyi teks dan lebih mementingkan upaya kontekstual. Model pemikiran seperti ini mendapatkan kritik dari Yusuf al-Qardawi, menurutnya :
Kaum sekuler-liberal ingin umat memandang sesuatu dengan kacamata Barat, mendengar dengan kuping Barat, dan berfikir dengan framework Barat. Sehingga apa saja yang bagus menurut Barat maka baik menurut Allah, dan apa saja yang dinilai buruk oleh Barat maka ia pun buruk menurut Allah. Mereke hendak memaksakan kepada kita filsafat Barat soal bagaimana kita harus hidup, pandangan Barat tentang agama, konsep Barat tentang sekularisme dan berbagai teori Barat dalam bidang hukum, sosial, politik, bahasa dan kebudayaan.[26]
F.   Kesimpulan
Liberalisme merupakan sebuah aliran berfikir yang menekankan kepada kebebasan individu dan menganut rasionalisme. Liberalisme pertama kali berkembang di Barat namun lambat laun turut mempengaruhi dunia pemikiran Islam, tidak terkecuali dalam hal penafsiran al-Qur’an.  Dengan seperangkat metode yang dikembangkannya Islam Liberal berupaya melakukan rekonstruksi terhadap pefsiran al-Qur’an yang dianggap telah mapan karena tidak sesuai dengan perkembangan zaman saat ini.
Tidak jarang dengan paham kebebasan dan rasionalnya mereka keluar dari rel yang telah ditentukan. Terlalu berkiblat ke dunia Barat juga mengakibatkan mereka latah dengan pemikiran dan gagasan-gagasan dunia Barat. Sehingga tidak jarang mereka berupaya “menyeret” al-Qur’an untuk membenarkan gagasan mereka.  Model tafsir seperti ini apabila ditarik dalam teori al-dakhi>l yang ditulis oleh Jama>l Must}afa masuk dalam ketegori al-dakhi>l fi> al-ra’yi, karena berusaha memalingkan makna al-Qur’an dari ketentuan yang ada dan zahir ayat.




Daftar Pustaka
Al-Qur’an dan Terjemahnya
Abdullah, Hafiz Firdaus. Membongkar Aliran Islam Liberal. Malaysia : Perniagaan Jahabersa, 2007.
Aida, Ridha.  “Liberalisme dan Komunitarianisme : Konsep Tentang Individu dan Komunitas”, Demokrasi,  Vol. IV.  2005.
Ausop, Asep Zaenal.  “Pendekatan Tokoh Muslim Liberal Dalam Menetapkan Nilai dan Hukum Islam”,  Sosioteknologi,  vol  22,  2011.
Bu’izzah, Al-T}ayyib . Naqd al-Libira>liyyah. Kairo: Dar Tanwi>r, 2013.
Hami>d (al), Jamal Mustafa Abd. Usu>l al-Dakh>il fi> tafsi>r Ay al-Tanzi>l. Kairo: Jami’ah al-Azhar, 2001.
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut al-Qur’an. Jakarta: Tinta Mas, 1961.
Kharashy (al), Sulayma>n bin Sa>lih. Haqi>qah al-Libira>liyyah wa Mawqif al-Isla<mi Minha>. t.t.p : t.p. : 1429 H.
Madjid, Nurcholis.  Islam Agama Kemanusiaan. Jakarta : Tinta Mas, 1986.
Maofur, Edward dan Zulkifli Yusoff, “Pengaruh Liberalisme terhadap Kajian al-Qur’an di Indonesia”, Jurnal Usuludin, Vol. 40. Desember, 2014
Moqsith, Abdul dkk, Metodologi Studi al-Qur’an . Jakarta : Gramedia, 2009.
Muhammad, S}a>lih bin. Mawqif al-Libira>liyyah fi al-Bila>d al-‘Arabiyyah. Riyadh : Markaz al-buh}u>th wa al-Dira>sa>t, 1433 H.
Qard}a>wy (al), Yusu>f Dirasa>t fi Fiqh Maqa>s}id al-Shari>’ah. Mesir: Da>r al-Shuru<q, 2008.
Rachman, Budhy Munawar.  Islam dan Liberalisme. Jakarta : Friedrich Naumann Stiftung, 2011.
Rachman, Budhy Munawar. “Penafsiran Islam Liberal atas Isu-isu Gender dan Feminisme di Indonesia”, Rekosntruksi Metodologi Wacana Kesetaraan Gender dalam Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2002.
Saenong, Ilham B. Hermeutika Pembebasan. Jakarta: Teraju, 2002.
Salma> (al), Abd al-Rahim. Khula>s}a>th Haqi>qah al-Libira>liyyah wa mawqif al-Isla>mi minha>. t.tp : Markaz al-Ta’s}il li al-Dira>sa>t wa al-Buh}u>th, 2011.
Supena, Ilyas dan M. Fauzi, Dekonstruksi dan Rekonstruksi Hukum Islam. Yogyakarta: Gama Media, 2002.


[1]Edward Maofur dan Zulkifli Yusoff, “Pengaruh Liberalisme terhadap Kajian al-Qur’an di Indonesia”, Jurnal Usuludin, Vol. 40 (Desember, 2014), 3.
[2]Abd al-Rahim al-Salma>, Khula>s}a>th Haqi>qah al-Libira>liyyah wa mawqif al-Isla>mi minha> (t.tp : Markaz al-Ta’s}il li al-dira>sa>t wa al-Buh}u>th, 2011), 10.
[3]Al-T}ayyib Bu’izzah, Naqd al-Libira>liyyah (Kairo: Dar Tanwi>r, 2013), 22.
[4]Sulayma>n bin Sa>lih al-Kharashy, Haqi>qah al-Libira>liyyah wa Mawqif al-Isla<mi Minha> (t.t.p : t.p. : 1429 H), 12.
[5]S}a>lih bin Muhammad, Mawqif al-Libira>liyyah fi al-Bila>d al-‘Arabiyyah (Riyadh : Markaz al-buh}u>th wa al-Dira>sa>t, 1433 H), 4.
[6]Ridha Aida, “Liberalisme dan Komunitarianisme : Konsep Tentang Individu dan Komunitas”, Demokrasi,  Vol. IV no. 2. ( 2005), 95-96
[7]Sulayma>n bin Sa>lih al-Kharashy, Haqi>qah al-Libira>liyyah,  13.
[8]Ibid, 24.
[9]Ibid, 25.
[10]Budhy Munawar Rachman, Islam dan Liberalisme (Jakarta : Friedrich Naumann Stiftung, 2011), 25.
[11]Hafiz Firdaus Abdullah, Membongkar Aliran Islam Liberal (Malaysia : Perniagaan Jahabersa, 2007), 10-12.
[12]Hafiz Firdaus Abdullah, Membongkar Aliran , 10-12.
[13]Abdul Moqsith, Luthfi Assyaukanie dan Ulil Abshar Abdalla, Metodologi Studi al-Qur’an (Jakarta : Gramedia, 2009), 140.
[14]Edward Maofur dan Zulkifli Yusoff, “Pengaruh Liberalisme,  9-10.
[15]Ilham B. Saenong, Hermeutika Pembebasan, (Jakarta: Teraju, 2002), xxv-xxvi
[16]Budhy Munawar Rachman, “Penafsiran Islam Liberal atas Isu-isu Gender dan Feminisme di Indonesia”, Rekosntruksi Metodologi Wacana Kesetaraan Gender dalam Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2002), 62-63.
[17]Edward Maofur dan Zulkifli Yusoff, “Pengaruh Liberalisme, 10.
[18]Nurcholis Madjid, Islam Agama Kemanusiaan (Jakarta : Tinta Mas, 1986), 36-41.
[19]Edward Maofur dan Zulkifli Yusoff, “Pengaruh Liberalisme, 11.
[20]Depag, al-Qur’an dan Terjemahnya (Surabaya : Karya Agung, 2006), 456.
[21]Asep Zaenal Ausop, “Pendekatan Tokoh Muslim Liberal Dalam Menetapkan Nilai dan Hukum Islam”,  Sosioteknologi,  vol  22, ( april 2011), 1016.
[22]Depag, al-Qur’an dan Terjemahnya, 102.
[23]Ilyas Supena dan M. Fauzi, Dekonstruksi dan Rekonstruksi Hukum Islam (Yogyakarta: Gama Media, 2002), 265.
[24]Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut al-Qur’an (Jakarta: Tinta Mas, 1961), 11.
[25]Jamal Mustafa Abd al-Hami>d, Usu>l al-Dakh>il fi> tafsi>r Ay al-Tanzi>l (Kairo: Jami’ah al-Azhar, 2001), 28.
[26]Yusu>f al-Qard}a>wy, Dirasa>t fi Fiqh Maqa>s}id al-Shari>’ah, (Mesir: Da>r al-Shuru<q, 2008), 96.

Comments

  1. Astaghfirullah...!
    Astaghfirullah...!
    Astaghfirullah...!
    Jangan sampai pemahaman isi Al Qur'an, dimaknai dan dilekatkan dengan faham2 yg akan membawa kepada penyimpangan penyimpangan makna Al Qur'an yang sebenarnya....!

    ReplyDelete

Post a Comment