A. Pendahuluan
Pada
tahun 2014 Jurnal Usuludin yang diterbitkan di Malaysia memuat penelitian
Edward Maofur dan Zulkifli Mohd Yusoff tentang Pengaruh liberalisme terhadap
kajian al-Qur’an di Indonesia. Pada pendahuluan penelitian tersebut mereka
menyatakan bahwa gelombang liberalisme yang menyerang Indonesia menambah multi
krisis keagamaan di Indonesia. Argumen
yang meraka angkat adalah tentang upaya golongan Muslim liberal menimbulkan
keraguan terhadap al-Qur’an sebagai sumber utama ajaran Islam.
Liberalisme
tidak hanya menjadi manhaj berfikir tetapi telah berupaya masuk dalam
“area” metode memahami teks-teks al-Qur’an. Kaum liberalis berusaha
mengkostruksi ulang pemahaman ulama klasik yang dianggap sudah tidak relevan
dengan keadaan sosio-kultural masyarakat saat ini. Rekonstruksi tidak hanya
terhadap hasil penafsiran namun juga dari segi metode penafsirannya. Asumsi
kaum Islam liberal, metode yang
digunakan oleh ulama klasik tidak mampu menjawab persoalan-persoalan yang
muncul di abad modern ini. Kaum Islam liberal menawarkan metode baru dalam
memahami al-Qur’an, yakni dengan metode “hermeneutika” . Kaum Islam liberal menyaki
metode ini dianggap lebih mampu menggali pesan-pesan al-Qur’an yang lebih
relevan dengan perkembangan masyarakat di abad modern ini.
Terlepas
dari kontrovesi tentang hasil penafsiran kaum Islam liberal, dalam realitanya
hasil penafsiran mereka ikut mewarnai dunia tafsir al-Qur’an, meskipun tidak
jarang menimbulkan “reaksi” negatif dari mayoritas umat Islam. Dalam makalah
ini, penulis berupaya meneliti penafsiran golongan Islam liberal dan berupaya
menunjukan ketidaktepatan mereka sehingga hasil penafsirannya masuk dalam
kategori al-dakhi>l.
B.
Pengertian
Liberal
Kata
Liberal berasal dari bahasa Inggris liberalism dan dari bahasa Perancis liberalisme,
yang berarti liberty (inggris) atau liberte dalam bahasa Perancis. Dalam istilah arab
liberal disebut dengan istilah al-libira>liyah yang berarti al-h}urriyyah
(kebebasan).
Secara singkat liberalisme dapat diartikan sebagai aliran kebebasan.
Liberalisme
merupakan madhhab berfikir yang fokus terhadap permasalahan kebebasan
individual dan berpandangan bahwa menghormati kebebasan individual merupakan
kewajiban. Kelompok ini berkenyakinan bahwa tugas pokok dari penguasa adalah
melindungi kebebasan rakyatnya dalam berfikir, berpendapat, berekspresi dan
kebebasan individual lainnya.
Terdapat
selisih pendapat mengenai kapan awal mula muncul paham liberalisme ini.
Sebagian ahli berpendapat bahwa kelompok liberalisme pertama kali berkembang di
Barat pada abad ke 16 M kemudian paham ini menyebar ke dunia Arab sehingga ikut
mewarnai dunia Arab pada kala itu. pengaruh liberalisme Barat dalam dunia Arab
diantara masuk dalam dunia filsafat dan pola berfikir bangsa Arab.
Kemunculan
liberalisme di Barat merupakan sebuah reaksi dari ortodoksi religius. Saat itu,
gereja mendominasi seluruh aspek kehidupan manusia. Semua aturan kehidupan
ditentukan dan berada di bawah wewenang gereja. Alhasil manusia pada masa itu
tidak memiliki kebebasan dalam bertindak, hak individu dibatasi bahkan ditiadakan. Hak individu dipahami sebagai keterbebasan
dari determinasi (ketetapan) dan intervensi (campur tangan) eksternal, berupa
pembatasan, pemaksaan atau berbagai ancamandan manipulasi dalam melakukan
tindakan.
Landasan
dalam berfikir kelompok ini secara garis besar adalah adalah sebagai berikut :
1.
Kebebasan Individualisme
Maksud
dari asas ini adalah seseorang bebas melakukan apapun tanpa ada unsur paksaaan
dari pihak manapun. Penguasa harus menjamin dan melindungi kebebasan ini. Liberalis
sangat mementingkan kebebasan denan segala jenisnya. Kebebasan berkreasi,
berpendapat, menyampaikan gagasan, berbuat dan bertindak bahkan kebebasan berkeyakinan juga menjadi tema
pembahasan liberalis. Sehingga
liberalis beranggapan bahwa negara tidak berwenang memaksa masyarakat untuk
memeluk satu agama tertentu. Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa liberalis
juga berasas sekuler.
Kebebasan
menurut liberalis tidak terbatas, selama tidak bertentangan dan bertabrakan
dengan kebebasan orang lain. Kaidah kebebasan mereka adalah “ kebebasan anda
berakhir pada permulaan kebabasan orang lain”.
2.
Rasionalisme
Rasionalisme
tidak hanya menjadi landasan berfikir liberalis akan tetapi juga merupakan ciri
khas dari kelompok pemikir pada masa renaissance atau masa pencerahan
Barat. Asas rasionalisme menyakini bahwa
akal mampu mencapai segala kemaslahatan hidup yang dikendaki. Kaum liberalis
menjadikan rasio sebagai standar kebenaran. Rasionalisme kaum liberalis
diantaranya dapat dilihat dalam beberapa hal berikut ini :
Pertama,
liberalis berkeyakinan bahwa hak setiap individu bersandar kepada hukum alam.
Sementar hukum alam tidak bisa diketahui kecuali dengan rasio melalui media indera/pengamatan
dan penelitian (eksperimen). Dari sini dikenal filsafat materialisme (aliran
filsafat yang mengukur kebenaran melalui materi) dan aliaran filsafat empirisme
(aliran filsafat yang mengukur kebenaran melalui eksperimen/penelitian).
Kedua,
agama harus bersikap netral terhadap semua agama. Karena dalam perspektif liberalis tidak ada
kebenaran yang absolut dan mutlak. Sifat dari kebenaran adalah relatif,
sehingga dikenal istilah “relatifisme kebenaran”.
Ketiga, perundang-undangan
yang mengatur tentang kebebasan ini semata-mata hanya pemikiran manusia bukan
dari syariat agama.
C.
Sejarah
Liberalis dalam Islam
Secara
spesifik ungkapan “Islam Liberal” pertama kali diungkapkan oleh penulis Barat
seperti Leonard Binder dan Charles Kurzman.
Meskipun terkesan kontradiktif akan tetapi istilah ini tetap digunakan untuk
merepresentatifkan suatu golongan umat Islam yang berfikir bebas dan tidak mau
terikat oleh hasil pemikiran ulam-ulama pada periode klasik.
Sejarah
masuknya liberlisme berakar dari dua fenomena yang mempengaruhi psikologi umat
Islam. Pertama adalah fenomena “penjajahan” oleh negara Barat ke hampir seluruh
negara umat Islam. Kedua adalah fenomena “ketinggalan” dari sudut sains dan
teknologi umat Islam di banding dengan negara Barat. Reaksi umat Islam atas fenomena ini dapat
dikelompokan menjadi empat: Pertama, golongan umat Islam yang putus asa secara
total dan pasrah menerimanya sebagai satu ketentuan dari Tuhan.
Kedua,
adalah kelompok umat Islam yang berpendapat bahwa agama adalah penghalang untuk
mencapai kemajuan. Mereka berpendapat bahwa untuk menjadi umat yang maju dan
berkuasa, Islam perlu dipisahkan dari kehidupan sosial. Teori pemisahan ini
disebut dengan sekularisme, mereka berkiblat pada negara Barat yang berhasil
menacapai kejayaan dengan sistem ini.
Ketiga,
adalah kelompok umat Islam yang beranggapan agama sebagai faktor kemuduran Umat
Islam. Solusi yang ditawarkan oleh kelompok ini adalah dengan rekonstruksi
ulang ajaran dan tafsir al-Qur’an yang telah lama menjadi pegangan umat Islam. Semangat
kelompok ini adalah pembeharuan ajaran Islam dan mebongkar kejumudan pemikiran
umat Islam. Kelompok ketiga ini disebut
dengan aliran Islam liberal. Meskipun sekilas berbeda dengan kelompok
sekularisme namun dalam beberapa sisi terdapat titik kesamaan antara keduanya.
Keempat,
kelompok yang mengakui kemunduran umat Islam namun mereka tidak mempersalahkan
agama. Mereka menyalahkan umat Islam
yang tidak mempraktekan ajaran Islam yang murni. Mereka berkeyakinan kemajuan
umat Islam seharusnya diukur dengan neraca wahyu yakni Islam yang berlandaskan
al-Qur’an dan Sunnah, bukan diukur dari peradaban Barat yang berdasarkan
materialisme dan hawa nafsu.
D. Pandangan Liberalis Tentang Metode Tafsir
Islam liberal
berpandangan bahwa metodologi penafsiran al-Qur’an yang digunakan ulama selama
ini banyak mengandung kelemahan dan tidak mampu menjawab permasalah saat ini. Kelemahan
metodologi tafsir yang digunakan selama ini adalah terlalu “men-Tuhan-kan” teks
dan mengabaikan realitas yang ada, memandang rendah kemampuan akal dan kurang
maksimal dalam menggunakan akal untuk merumuskan konsep kemaslahatan. Oleh
karena itu, metodologi tafsir yang digunakan oleh ulama klasik di masa lalu
tidak perlu dipertahankan lagi dan harus diganti dengan metodologi yang
mengapresiasi kemodernan.
Ketidakmampuan
metodologi tafsir klasik dalam merespon dan menyelesaikan permasalahan modern
saat ini, dijelaskan oleh Amin Abdullah salah satu Guru Besar dalam bidang
tafsir di UIN Sunan Kalijaga:
Metode penafsiran al-Qur’an
selama ini senantiasa hanya memperhatikan hubungan penafsiran dan teks
al-Qur’an tnap pernah mengeksplisitkan audiens terhadap teks. Hal ini mungki
dapat dimaklumi sebab para mufassir klasik lebih menganggap tafsir al-Qur’an
sebagai hasil kerja-kerja kesalehan... Terlepas dari alasan-alasan tersebut
tafsir-tafsir klasik tidak lagi memberikan makna dan fungsi yang jelas dalam
kehidupan umat Islam.
Sebelum
merumuskan kaidah baru dalam menafsirkan al-Qur’an yang sesuai dengan konteks
kemodernana, terlebih dahulu melakukan perubahan secara radikal mengenai
orientasi penafsiran al-Qur’an dari orientasi ke-Tuhan-an kepada orientasi
kemanusiaan. Hal ini untuk menghindari penafsiran al-Qur’an yang berorienntasi
kepada “kepentingan” Tuhan dan mengabaikan manusia sebagai objek diturunkan
al-Qur’an. Bagi golongan Islam liberal
metode penafsiran al-Qur’an yang sesuai dengan konteks kemodernan adalah metode
hermeneutika. Hermeneutika adalah sebuah metode yang mengkombinasikan teori-teori
dalam disiplin ilmu al-Qur’an namun ditambah dengan teori-teori sains
kemasyarakatan modern.
Metode
hermeneutika diyakini oleh golongan liberalis mampu menyelesaikan permasalahan
penafsiran ayat-ayat yang “tidak okomodatif” terhadapa isu-isu kemanusian
modern saat ini seperti kesetaraan gender, kebebasan beragama, pernikahan beda
agama atau tentang ayat-ayat yang berhubungan dengan hak asasi manusia secara
umum.
Golongan
Islam liberal memunculkan kaidah-kaidah baru dalam menafsirkan al-Qur’an yang
menguatkan metode hermeneutika mereka. Diantara kaidah-kaidah yang mereka
rumuskan adalah sebagai berikut:
1.
Al-‘ibrah
bi al-maqa>s}id la> bi al-alfa>z}
Kaidah baru ini menuntut para
mufassir untuk melakukan pergeseran paradigma dari menjadikan teks sebagai
pusat perhatian tafsir untuk mencari ideal moral (maqa>s}id shar’iyyah)
teks al-Qur’an. Dengan kaidah ini menghasilkan penafsiran
al-Qur’an ala Islam Liberal sebagai upaya untuk menyesuaikan dengan dunia
modern saat ini. Salah satu penafsiran
Liberalis tentang penghalalan judi SDSB (Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah)
karena membawa manfaat untuk perekonomian dan pembangunan Negara.
2.
Jawa>z
naskh al-Nus}u>s} al-juz’iyyah bi al-mas}lahah}
Kaidah ini memberikan
otoritas kepada kemaslahtan untuk membatalkan ketentuan-ketentuan legal
spesifik dalam teks al-Qur’an. Seperti
membatalkan ayat-ayat hukuman (‘uqu>ba>h) karena hukuman sifatnya
relatif mengikuti perkembangan zaman. Kemaslahatan di sini menjadi kontrol
terhadap keberadaan ayat-ayat al-Qur’an yang tidak relevan dengan perkembangan
zaman. Hal ini didasarkan kepada keyakinan bahwa tidak ada hukum Islam yang
bertentangan dengan kemaslahatan umat.
Menurut Islam liberalis,
disinilah letak perbedaan yang mendasar antara pendekatan tafsir liberalis
dengan pendekatan tafsir klasik yang kurang memperhatikan konsep kemaslahatan
dan hanya menjadikan mukalaf yang tidak berdaya dan menjadi “hamba” teks.
3.
Tanqi>h
al-nus}u>s} bi al-‘aql mujma’ ‘alaih yaju>z
Maksud
dari kaidah ini adalah akal publik memiliki wewenang untuk mengedit,
menyempurnakan dan mengubah terhadap ayat khusus atau ayat yang mengandung
format hukum khusus dalam pelaksanaannya. Menurut liberalis kaidah ini menjadi
solusi terhadap pertentangan antara pandangan umum di masyarakat dengan
tekstual dari ayat-ayat al-Qur’an. Proses tanqi>h menurut liberalis
kebutuhannya sangat mendesak untuk saat ini kerena dalam realitanya banyak
dijumpai ayat khusus dalam al-Qur’an seperti waris yang tidak lagi diterima
oleh pandangan umum masyarakat.
E.
Contoh al-Dakhi>l
fi> Tafsi>r al-Libira>liyin
Sampai
saat ini penulis tidak menemukan sebuah karya tafsir secara utuh tiga puluh juz
yang ditulis oleh kelompok Islam liberal. Penulis hanya menemukan penafsiran
beberapa ayat al-Qur’an yang mengandung topik tertentu seperti masalah
ayat-ayat yang dianggap tidak merepresentatifkan kesetaraan gender dan
ayat-ayat yang menurut mereka secara tekstual tidak menjunjung HAM.
Contoh-contoh penyimpangan tafsir yang dilakukan oleh Liberalis adalah sebagai
berikut:
Dalam
surat al-‘Anbiya ayat 69 :
قُلْنَا يَا نَارُ كُونِي بَرْدًا
وَسَلَامًا عَلَى إِبْرَاهِيمَ
Kami berfirman, hai api, menjadi dinginlah
dan menjadi keselamatan bagi Ibrahim.
Dengan asas berfikir rasionalisme yang merupakan ciri khas dari manhaj
berfikir liberalis, mereka beranggapan bahwa perubahan api menjadi dingin
adalah hal yang tidak logis. Sudah merupakan sunnatullah bahwa api itu
panas. Oleh karena itu, supaya ayat di atas dapat masuk akal, maka pemahamannya
harus ditarik kepada tafsir metaforis. Sehingga penafsiran ayat di atas adalah
bahwa Nabi Ibrahim dibakar oleh suasana masyarakat yang sangat panas bagaikan
api karena terbakar oleh emosi.
Dari penafsiran di atas terlihat jelas bagaimana liberalis
sangat mendewakan rasio. Segala teks keagamaan yang tidak sesuai dengan rasio
maka hal tersebut harus di “rekayasa” sedemikian rupa sehingga akal dapat
menerimanya. Sepintas lalu memang terlihat sah-sah saja ayat tersebut ditarik kepada
makna tersebut dan sesuai dengan rasio. Akan tetapi tidak tepat kiranya apabila
ayat di atas tafsirkan ala liberalis, karena tidak adanya qarinah yang
menghendak pengalihan dari makna hakiki ke dalam makna majazi. Apalagi yang
menghendaki api menjadi dingin adalah Allah, segala sesuatu tidak ada yang
mustahil jika Allah berkendak.
Contoh lain dalam surat an-Nisa’ ayat 11:
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ
لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ
فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ
وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ
لَهُ وَلَدٌ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ
الثُّلُثُ فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ السُّدُسُ مِنْ بَعْدِ
وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لَا تَدْرُونَ
أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ
عَلِيمًا حَكِيمًا
Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu
tentang (pembagian waris untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang laki-laki
sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Dan jika anak itu semuanya
perempuan yang jumlahnya lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari
harta yang ditinggalkan. Jika dia (anak perempuan) itu, seorang saja, maka dia
memperoleh setengah (harta yang ditinggalkan). Dan untuk kedua ibu-bapak,
bagian masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika dia (yang
meninggal) mempunyai anak. Jika dia (yang meninggal) tidak mempunyai anak dan
dia diwarisi oleh kedua ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga.
Jika dia (yang meninggal) mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat
seperenam. (pembagian-pembagian tersebut di atas) setelah (dipenuhi) wasiat
yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan
anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih banyak
manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui,
Maha Bijaksana.
Ayat
ini oleh sementara liberalis dianggap sebagai ayat yang
diskriminatif terhadap hak-hak kaum perempuan. Secara tekstual bagian waris perempuan pada
ayat di atas adalah setengah dari bagian laki-laki. Padahal keadilan perspektif
rasio masyarakat saat ini adalah apabila semua pihak mendapatkan bagian yang
sama, beranjak dari pemahaman ini liberalis berupaya menafsirkan ulang ayat di
atas agar tidak bertentangan dengan rasio masyarakat (al-‘aql mujma’
alaih).
Menurut liberalis ketentuan angka-angka di atas
tidaklah bersifat qat}’i, yang bersifat qat}’i adalah ajaran
keadilan yang dikandung pada ayat di atas. Kemudian apabila dilacak dari
kondisi sosia-cultural masyarakat Arab saat itu, maka jelas bahwa ketentuan
waris 2:1 yang diperkenalkan al-Qur’an di atas, merupakan langkah adaptasi
dengan budaya Arab. Oleh karena dalam teori genelogi Arab menganut patriachal
tribe (kesukuan yang dilacak dari garis lak-laki), maka
sangat wajar bila Islam masih memberi porsi yang lebih besar kepada laki-laki.
Berdasarkan kenyataan sejarah, banyak ketentuan-ketentuan dalam Islam yang
merupakan bentuk modifikasi dari ketentuan-ketentuan pra Islam. Padahal
ayat-ayat kewarisan dalam al-Qur’an dapat secara langsung diambil dari
kenyataan sistem kekeluargaan menurut al-Qur’an itu adalah bilateral, bukan
patrilineal (garis perempuan dari kerabat laki-laki) maupun matrilineal (garis
keturunan dari kerabat perempuan). Oleh
karena itu, pembagian 1 : 1 dalam waris merupakan hal yang harus dilakukan,
agar nilai keadilan universal yang dibawa oleh Islam dapat terwujud.
Hasil penafsiran yang dilakukan oleh liberalis di atas
ditinjau dari teori al-dakhi>l wa al-asi}>l fi> tafsi>r
masuk dalam kategori al-dakhi>l fi> al-ra’yi. Berdasarkan
kategorisasi yang dilakukan oleh Jama>l Must}afa> dalam buku us}u>l
al-dakhil fi tafsi>r a>y al-tanzi>l masuk dalam kelompok al-takaluf
fi> al-talfi>q baina al-nus}u>s} al-qur’aniyyah wa muktashafa>t
al-‘ilm al-hadi>s (berupaya mempertemukan nas-nas al-Qur’an dengan
penemuan ilmu modern). Atau bisa
termasuk dalam ketegori tah}ri>f al-nus}u>s} al-shar’iyyah ‘an
mawad}i’iha> wa ta’t}iliha> wa s}arfiha> ‘an z}awa>hiriha>
(penyimpangan nas-nas shari’ah dari semestinya, merusaknya dan memalingkan dari
zahirnya).
Hal ini dilihat dari bagaimana liberalis berupaya mempertemukan nas-nas
al-Qur’an dengan teori-teori modern serta hasil penafsiran yang menyimpang jauh
dari z}ahir teks.
Terlalu bergantung dengan framework dan cara berfikir
ala Barat membuat Liberalis “nyaris”
mengabaikan bunyi teks dan lebih mementingkan upaya kontekstual. Model
pemikiran seperti ini mendapatkan kritik dari Yusuf al-Qardawi, menurutnya :
Kaum sekuler-liberal ingin umat memandang sesuatu
dengan kacamata Barat, mendengar dengan kuping Barat, dan berfikir dengan
framework Barat. Sehingga apa saja yang bagus menurut Barat maka baik menurut
Allah, dan apa saja yang dinilai buruk oleh Barat maka ia pun buruk menurut
Allah. Mereke hendak memaksakan kepada kita filsafat Barat soal bagaimana kita
harus hidup, pandangan Barat tentang agama, konsep Barat tentang sekularisme
dan berbagai teori Barat dalam bidang hukum, sosial, politik, bahasa dan
kebudayaan.
F. Kesimpulan
Liberalisme merupakan sebuah aliran berfikir yang
menekankan kepada kebebasan individu dan menganut rasionalisme. Liberalisme
pertama kali berkembang di Barat namun lambat laun turut mempengaruhi dunia
pemikiran Islam, tidak terkecuali dalam hal penafsiran al-Qur’an. Dengan seperangkat metode yang dikembangkannya
Islam Liberal berupaya melakukan rekonstruksi terhadap pefsiran al-Qur’an yang
dianggap telah mapan karena tidak sesuai dengan perkembangan zaman saat ini.
Tidak jarang dengan paham kebebasan dan rasionalnya
mereka keluar dari rel yang telah ditentukan. Terlalu berkiblat ke dunia Barat
juga mengakibatkan mereka latah dengan pemikiran dan gagasan-gagasan dunia
Barat. Sehingga tidak jarang mereka berupaya “menyeret” al-Qur’an untuk
membenarkan gagasan mereka. Model tafsir
seperti ini apabila ditarik dalam teori al-dakhi>l yang ditulis oleh
Jama>l Must}afa masuk dalam ketegori al-dakhi>l fi> al-ra’yi,
karena berusaha memalingkan makna al-Qur’an dari ketentuan yang ada dan zahir
ayat.
Daftar
Pustaka
Astaghfirullah...!
ReplyDeleteAstaghfirullah...!
Astaghfirullah...!
Jangan sampai pemahaman isi Al Qur'an, dimaknai dan dilekatkan dengan faham2 yg akan membawa kepada penyimpangan penyimpangan makna Al Qur'an yang sebenarnya....!