Tradisi sufi yang muncul di Islam menurut Ignaz
Goldziher bukan berasal dari ajaran Islam. Berdasarkan asumsinya tradisi
sufisme dalam Islam berlangsung secara gradual. Pertama gerakan ini muncul
sebagai sikap zuhud secara total dan menjauhi kehidupan dunia. Selanjutnya
terpengaruh pemikiran emanasi yang populer dikalangan neo-platonisme dan
akhirnya sampai pada perasaan (emosi) yang naik ke atas dan berujung pada
perasaan rindu kepada Allah. Ignaz juga beranggapan bahwa ajaran sufisme tidak
bersumber dari al-Qur’an, sumber rujukan dari sufisme adalah paham emanasi
Neo-Platonisme. Munculnya tafsir-tafsir al-Qur’an yang bercorak sufi merupakan
upaya para pelaku sufi untuk mencari legitimasi kebenaran atas paham sufi yang
dianutnya. Meskipun menurut Ignaz proses pencarian pembenaran ini tidaklah
mudah.
Bagi
kalangan ulama Islam sendiri, penafsiran sufistik masih menjadi hal yang
diperdebatkan. sebagain ulama seperti al-Zarkashi> tidak mengakui bahwa
hasil penafsiran ulama sufi sebagai produk tafsir al-Qur’an. Meskipun corak tafsir
sufistik ini cukup kontroversial dan kurang mendapatkan atensi (little-studied
genre) namun corak tafsir sufi telah diakui sebagai corak tafsir yang
berdiri sendiri secara utuh. Dalam
artian, tafsir sufi telah memiliki skema historis dan epistemologi tafsir yang
kemudian menjadikannya pantas disebuat sebagai corak tafsir tersendiri.
A. Pembahasan
1.
Pengertian Tafsir
Sufi
Menurut
al-Zarqa>ny:
تأويل القرآن بغير ظاهره لإشارة خفية تظهر لأرباب
السلوك والتصوف ويمكن الجمع بينها وبين الظاهر والمراد أيضا.
Menakwilkan al-Qur’`an secara
batin dengan bertumpu pada isyarat samar yang hanya dapat ditangkap oleh ahli
suluk dan tasawuf kemudian mengkompromikan makna antar keduanya.
Husayn
al-Dhahbi Tafsir Ishari:
هو تأويل آيات القرآن الكريم على خلاف ما يظهر منها
بمقتضى إشارات خفية تظهر لأرباب السلوك، ويمكن التطبيق بينها وبين الظاهر المرادة.
Menakwilkan al-Qur’`an dengan sesuatu di balik makna dzahir sesuai
dengan isyarat samar yang ditangkap oleh ahli suluk kemudian berusaha memadukan
antara keduanya
2.
Sejarah
Perkembangan Tafsir Sufi
Sejarah
perkembangan tafsir al-Qur’an yang bercorak tasawuf tidak lepas dari
perkembangan aliran ini. Munculnya tasawuf dilatar belakangi oleh sekelompok
umat Islam yang merasa belum puas mendekatkan diri kepada Tuhan melalui ritual
lahiriah seperti puasa, salat dan haji. Mereka merasa ingin dekat kepada Allah
dengan cara hidup menuju Allah dan membebaskan diri dari keterikatan mutlak
pada kehidupan duniawi, sehingga tidak diperbudak oleh kesenangan yang bersifat
duniawiah.
Praktik
hidup sederhana ini telah dipraktekan sejak generasi awal Islam, Rasulullah merupakan orang
yang pertama kali mencontohkan praktik hidup sederhana. Dari kalangan sahabat
pun banyak yang mempraktekan pola hidup zuhud menjauhi hiruk pikuk keduniawian.
Meskipun perilaku tasawuf telah ada sejak masa awal Islam, namun secara
ekspisit istilah tasawuf belum dikenal ketika itu. Secara eksplisit istilah
tasawuf muncul dalam dunia Islam pada kisaran abad ke II H. Dimana pada ini, secara
berangsur-angsur terjadi pergeseran nilai sehingga orientasi kehidupan umat
Islam semakin berat. Ketika masa inilah angkatan pertama umat Islam yang
mempertahankan pola hidup sederhana disebut dengan kaum sufiah. Orang yang pertama kali
secara “s}arh}” disebut sebagai sufi pada periode ini berdasarkan data
yang diperoleh al-Dhahabi adalah Abu> Ha>shim al-S}u>fi>.
Perilaku
zuhud yang dilakukan oleh ulama Islam angkatan I dan II berlanjut sampai pada
masa perintahanan imperium Abbasiyah (abad IV H), ketika itu umat Islam
mengalami kemakmuran dan kejayaan yang membahwa pada perilaku hidup mewah di
kalangan atas dan menengah. Pada masa ini perkembangan tasawuf tidak hanya pada
aspek praktikal saja, akan tetapi sudah mulai ditandai dengan berkembangannya
penjelasan secara teoritis yang kelak menjadi disiplin ilmu tasawuf. Pada masa
ini pula, mulai terjadi persinggungan antara tasawuf dengan filsafat dan kalam, sehingga muncul aliran
tasawuf naz}ar>i dan tasawuf amaly>.
Aliran
tasawuf naz}ari/tasawuf teoritis adalah aliran tasawuf yang berusaha
membangun paham-paham tasawufnya berdasarkan teori dan doktrin filsafat. Pola
bangunan ini juga digunakan aliran tasawuf nazari dalam memahami al-Qur’an. Mereka mengkaji al-Qur’an dengan kajian yang
sejalan dengan teori mereka dan sesuai dengan doktrin mereka. Adapun aliran
tasawuf amaly> adalah aliran tasawuf yang mempraktekan hidup zuhud
dan tidak melandasi perilaku ini dengan teori-teori ilmiah sebagaimana tasawuf naz}ari>.
Aliran tasawuf ini menafsirkan al-Qur’an berbeda dari makna yang zahir
berdasarkan isharat atau petunjuk yang diterima para ahli sufi. Dua aliran ini nanti yang
kemudian memberikan warna dalam penafsiran al-Qur’an perspektif pelaku sufi.
3.
Asumsi
Paradigma Tafsir Sufi
Dalam
perspektif tafsir sufi dikenal adanya empat siklus jejaring tafsir sufistik
yang biasa dikenal dengan istilah qa>nu>n al-Tarbi>’ li> ta’wi>l
al-s}u>fi>, yang mencakup aspek z}ahir (objektive) atau
praktikal, ba>t}in (subjektive) atau metaforikal, had
(intersujective) atau legal dan mat}la’ (interobjektive) atau
testimonial. Kategori
praktikal (zahir) merupakan makna yang dipahami oleh kalangan awam,
sementara legal (had) adalah makna yang terkait dengan aspek hukum. Kemudin
metaforikal (batin), adalah makna alegoris (kiasan) sementara
testimonial (mat}la’) adalah dimensi hakikat. Qa>nu>n
al-Tarbi>’ li> ta’wi>l al-s}u>fi ini berdasarkan hadis Nabi :
لكل آية ظهر وبطن ولكل حرف حد ولكل حد مطلع
Sebenarnya
ada penjelasan yang beragam dikalangan ulama mengenai zahir, batin, had
dan mat}la’. Diantaranya dikutip oleh al-Zarqani dalam Mana>hil
al-‘Irfa>n bahwa zahir adalah teks ayat, adapun batin
adalah ta’wi>lnya. Sementara had adalah setiap hukum yang berkisar
tentang pahala dan siksa sedangkan mat}la’ adalah dimensi makrifat. Dilihat
dari penjelasan ini maka fokus dari tafsir Ishari adalah pada makna batin dan
mat}la’, adapun had masuk dalam wilayah fikih dan zahir masuk dalam
ranah awam secara umum.
Karena
fokus sasaran tafsir ini dalah batin dan mat}la’ maka adapila ditelaah dengan
pendekatan epistemologi nalar Arab yakni baya>ni (empirisme), burha>ni
(logisme) dan ‘irfa>ni (intuitisme), terlihat bahwa tafsir sufi
berkisar pada epistemologi ‘irfa>ni.
Nalar ‘Irfa>ni adalah metode berfikir yang tidak didasarkan pada
kashf, tersingkapnya rahasia-rahasia oleh Tuhan. Karena itu, pengetahuan ‘irfa>ni
tidak berlandaskan proses analisa teks, tetapi dengan pengolahan rohani dan
kesucian hati dengan harapan Tuhan akan memberikan pengetahuan langsung
kepadanya. Pengetahuan yang diterima dari Tuhan secara langsung kemudian
dikonsep dan selanjutnya dikemukakan kepada orang lain secara logis.
4.
Analisis Produk
Tafsir Sufi
Ignaz
Goldziher berpendapat bahwa tafsir al-Qur’an yang dilakukan oleh kaum sufi
tidak lebih dari upaya justifikasi kebenaran “akidah” yang mereka anut dalam
al-Qur’an. Pencarian “pendukung” dalam ayat-ayat al-Qur’an ini penting karena
akan memperkuat paham mereka. Serta merupakan “aib” apabila konsep perilaku
kegamaan yang mereka usung bertentangan dengan sikap Islam otentik. Ignaz juga
menuduh bahwa metode takwil yang dilakukan oleh para pelaku tasawuf merupakan
upaya kompromi pemikiran-pemikiran tasawuf dengan teks suci, karena
pemikiran-pemikiran mereka tidak terkandung di dalam teks suci tersebut.
Berbeda
dengan Ignaz yang menyatakan bahwa tafsir sufi merupakan hasil olah pikir kaum
sufi yang kemudian guna mencari justifikasi kebenerana pemikirannya, Massignon
seorang pengkaji Islam asal Prancis menyatakan bahwa sumber utama tafsir sufi
adalah riyad}dah dan laku spiritual. Pengetahuan dalam perspektif tasawuf
adalah limpahan ilahiyah (al-faid} al-Ilahiyyah) yang bersifat
transendental, diturunkan kepada jiwa manusia sesuai dengan tingkatan dan
kesiapan jiwa mereka. Dalam hal ini para sufi
membangun teori maqa>ma>t dan ah}wa>l, yang menyatakan
bahwa jiwa manusia memiliki maqa>m-maqa>m (check points)
yang didaki satu persatu untuk mencapai al-mala’ al-a’la> yang
merupakan sumber pengetahuan. Dalam sufisme, manusia harus berusaha mensucikan
diri untuk mencapai maqam tertinggi agar selalu terkoneksi dengan al-mala’ al-a’la>.
Apabila seseorang telah sampai pada tingkatan ini maka ia akan memperoleh ilmu haq
al-yaqi>n tidak hanya sekedera ‘ilm al-yaqi>n ataupun a’in
al-yaqin.
Kontroversi
tentang penafsiran kaum sufi juga terjadi dikalangan ulama Islam, sebagian
menolak dan menganggap hasil dialog antara pelaku tasawuf dengan al-Qur’an
bukanlah produk tafsir melainkan hanya “buah” fikiran yang ditemukan ketika
para pelaku tasawuf berinteraksi dengan al-Qur’an. adapun sebagian yang lain menerimanya
dengan syarat-syarat sebagai berikut:
a.
Tidak menafikan
makna zahir.
b.
Tidak
menyatakan bahwa maksud dari ayat yang ditafsirkan adalah makna batin bukan
makna zahirnya.
c.
Ta’wil yang
digunakan tidak “ta’wi>l
ba’id”
d.
Hasil tafsirnya
tidak bertentangan dengan shariat dan akal.
e.
Terdapat dalil-dalil
shara’ yang memperkuat hasil tafsirnya.
5.
Contoh-contoh
tafsir Sufi
Dalam
kasus ini penulis mengambil contoh penafsiran Ibn ‘Arabi berkenaan dengan Nabi Idris a.s. :
وَرَفَعْنَاهُ مَكَانًا عَلِيًّا
Ibn
‘Arabi menafsirkannya ayat ini dengan:
وأعلى الأمكنة المكان الذى تدور عليه رحى
عالَم الأفلاك، وهو فلك الشمس، وفيه مقام روحانية إدريس، وتحته سبعة أفلاك، وفوقه
سبعة أفلاك، وهو الخامس عشر.... ثم ذكر الأفلاك التى تحته، والتى فوقه، ثم قال: "وأما علو المكانة فهو
لنا - أعنى المحمدين - كما قال تعالى: {وَأَنتُمُ الأعلون والله مَعَكُمْ} فى هذا
العلو، وهو يتعالى عن المكان لا عن المكانة
Tempat
yang paling tinggi adalah tempat yang diputari oleh rotasi alam raya, yaitu
orbit matahari. Disitulah maqam (tempat tinggal) ruhani Idris. Dibawahnya
terdapat tujuh aflak di atasnya pun terdapat tujuh aflak sehingga jumlanya
menjadi lima belas... kemudian ia menjelaskan menengai aflak yang terletak di
bawah dan atasnya maqam Idris. selanjutnya ia berkata, adapun kedudukan (bukan
tempat) paling tinggi adalah untuk kita –yakni umat Nabi Muhammad- sebagaimana
yang telah dijelaskan Allah swt. : kalian adalah orang-orang yang paling tinggi
dan Allah (pun) senantiasa bersama kalian. Jadi ketinggian yang dimaksud
(berkenaan dengan Nabi Idris) ini adalah ketinggian tempat, bukan keinggian
kedudukan.
Contoh
lain adalah ketika Ibn ‘Arabi menjelaskan surat al-Baqarah ayat 87-101
berkenaan dengan Jibril, Mikail, Israfil dan ‘Izrail :
والظاهر أن جبرائيل هو العقل الفعَّال، وميكائيل هو روح
الفلك السادس وعقله المفيض
للنفس النباتية الكلية الموكلة بأرزاق العباد، وإسرافيل هو
روح الفلك الرابع وعقله المفيض للنفس الحيوانية الكلية الموكلة بالحيوانات،
وعزرائيل هو روح الفلك السابع الموكل بالأرواح الإنسانية كلها يقبضها بنفسه أو
بالوسائط التى هى أعوانه ويسلمها إلى الله تعالى
Dari
contoh tafsir Ibn ‘Arabi di atas dapat terjelas jelas bagaiaman pengaruh
pemahaman Ibn ‘Arabi mengenai alam dan akal ke dalam penafsiran al-Qur’an.
Contoh
lainnya adalah penafsiran al-Naysa>bu>ry dalam surat al-Baqarah ayat 67 :
وَإِذْ قَالَ مُوسَى لِقَوْمِهِ إِنَّ
اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تَذْبَحُوا بَقَرَةً قَالُوا أَتَتَّخِذُنَا هُزُوًا
قَالَ أَعُوذُ بِاللَّهِ أَنْ أَكُونَ مِنَ الْجَاهِلِينَ
Kata
taz}bah}u> al-baqarah dalam ayat di atas di ta’wilkan dengan
menyembelih nafsu kebinatangan. Karena dengan menyembelihnya hati ruhani akan
hidup dan ini (menyembelih nafsu binatang) adalah jiha>d al-akbar.
Penafsiran
al-Naysaburi ini menyimpang dari zahir ayat yang menjelaskan mengenai perintah
Allah kepada umat Nabi Musa untuk menyembelih sapi (secara hakikat). Namun
apabila ditinjau dari hadis Nabi Muhammad maka penafsiran al-Naysaburi mengenai
menyembelih nafsu sebagai jihad akbar tidaklah “melenceng” jauh. Artinya
penafsiran al-Naysaburi juga di dukung oleh hadis Nabi Muhammad :
وروى عن النبى (صلى الله عليه وسلم) أنه قال لأصحابه،
وقد انصرفوا من
الجهاد: (أتيتم من الجهاد الأصغر إلى الجهاد الأكبر. قالوا: وما الجهاد الأكبر يا رسول الله؟ قال: مجاهدة النفس
Daftar
Pustaka
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete