on
asbab nuzul
- Get link
- X
- Other Apps
Setelah menjelaskan secara ringkas tafsir ayat 1 sampai 6 surah al-Fatihah, kali ini akan dibahas mengenai penafsiran surah al-Fatihah ayat 7 dan merupakan bagian terakhir dari surah al-Fatihah. Dengan redaksi lafal ayat sebagai berikut :
صِرَاطَ الَّذِينَ
أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ
(yaitu)
jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepadanya; bukan (jalan) mereka
yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.
Memahami
ayat tujuh ini tidak bisa dipisahkan dari ayat sebelumnya. Sebab ayat ini
menjadi penjelas ayat sebelumnya yang memohon petunjuk jalan yang lurus. Nah, pada
ayat ini disebutkan apa yang dimaksud dengan “jalan yang lurus”. Hal ini
semakin menegaskan bahwa al-Qur’an yufasiru Ba’duhu Ba’dan (Bagian/ayat dalam
al-Qur’an itu saling menjelaskan).
Dengan
sekilas saja, maka nampak bahwa yang dimaksud dengan “jalan yang lurus” adalah “yaitu)
jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepadanya; bukan (jalan) mereka
yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” Pertanyaannya, siapa orang-orang yang
diberi nikmat oleh Allah dan orang-orang yang dimurkai serta sesat dalam ayat
ini?
Berikut
penjelasan dari beberapa ulama tafsir:
Imam
al-Thabari dalam tafsir Jami’ al-Bayan fi Ta’wil ayy al-Qur’an menjelaskan
bahwa yang dimaksud dengan “nikmat” dalam ayat ini adalah berupa bentuk “ketaatan
dan ibadah kepada Allah”.[1]
Jadi
ternyata melakukan ketaatan dan beribadah kepada Allah swt merupakan kenikmatan?
Kok
kadang beribadah malah terasa menjadi beban?
Jika
ada yang merasa demikian, maka perlu kiranya memperhatikan kebersihan hatinya. Sebab
bermunjat kepada Tuhan baik dalam bentuk shalat dan ibadah lainnya sebenarnya bagian
“dari anugerah Allah swt”. Dan barang tentu, ini adalah hal yang sangat nikmat.
Kemudian
Imam Thabari menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “orang-orang yang diberi nikmat”
adalah para Malaikat, Nabi, Shidiqin, syhuhada’ dan shalihin.[2]
Semantara
al-Qusyairi dalam kitab Lataif al-Isharah menafsirkan “orang-orang yang diberi
nikmat” dengan al-awliya’ wa al-ashfiya’[3] atau
para kekasiah Allah dan orang-orang yang suci. Apakah ini bertentangan dengan
tafsir al-Thabari?
Tentu
saja tidak, sebab semua yang disebutkan oleh al-Thabari merupakan al-awliya’ wa
al-asfiya’.
Terakhir
siapa yang dimaksud dengan “orang yang dimurkai dan orang yang sesat”?
Imam
Abu Muadhaffar atau yang lebih masyhur dengan nama al-Sam’ani menjelaskan dalam
tafsirnya, bahwa yang dimaksud dengan orang yang dimurkai adalah “orang-orang
Yahudi”. Sementara maksud dari “orang-orang yang sesat” adalah “orang-orang
Nashari”.[4] Atau
orang-orang yang berprilaku sama dengan mereka.
Wallau
A’lam bisshawab
Comments
Post a Comment