on
asbab nuzul
- Get link
- X
- Other Apps
Biografi al-Qurtubi
Imam Al-Qurthubi, yang nama aslinya adalah Abu
Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakr bin Farhal[1]
Anshari al-Khazraji al-Andalusi al-Qurthubi al-Imam,[2]
meninggal pada tahun 671 H di rumahnya di Munyah Bani Khushaib, Mesir. Seperti
umumnya pada masa itu, tahun kelahiran Imam al-Qurthubi tidak tercatat secara
rinci karena masa lalu tidak terlalu memperhatikan aspek ini. Namun, ketika ia
tumbuh dewasa dan menjadi seorang ulama terkemuka, orang kemudian mulai
mencatat tahun kematiannya.[3]
Sejumlah ulama, seperti Al-Dzahabi, memberikan
komentar yang menyebutkan bahwa Imam al-Qurthubi adalah seorang pakar dalam
ilmu agama, seorang yang ahli dan berpengalaman dalam bidang keilmuan agama.[4]
Nama "al-Khazraj" dalam deretan nama al-Qurthubi mengacu pada
hubungannya dengan suku Khazraj, salah satu suku di Madinah al-Munawwarah. Di
Madinah, terdapat dua suku utama, yaitu suku al-Khazraj dan Aus. Suku Khazraj
kemudian dilanjutkan oleh keturunan 'Amr, 'Auf, Jasym, Ka'b, dan al-Harits,
yang menyebarkan keturunan mereka ke seluruh penjuru negeri melalui banyak
kemenangan dalam sejarah Islam. Meskipun tidak ada catatan pasti, termasuk
dalam biografi Imam al-Qurthubi, bahwa ia memiliki hubungan langsung dengan
keturunan Khazraj, yang jelas adalah bahwa ia merujuk pada suku Khazraj dalam
penamaannya. Mengenai nama "al-Qurthubah" (Cordoba), ini merujuk
kepada sebuah negara besar di Andalusia, Spanyol, yang dikenal karena
melahirkan banyak ulama Islam pada masa lalu, termasuk dalam bidang tafsir.[5]
Imam Al-Qurthubi memiliki dua anak, yang pertama
bernama 'Abdullah dan yang kedua bernama Syihab Al-Din Ahmad. Sejak masa
kecilnya, Imam al-Qurtubhi telah mendapatkan pendidikan agama dari berbagai
ulama dan masyayikh, termasuk dari ayahnya sendiri. Ia selalu berada di bawah
bimbingan ayahnya hingga saat ayahnya meninggal dalam suatu peristiwa pada
tahun 627 H. Imam Al-Qurthubi mencatat peristiwa tersebut saat menjelaskan ayat
Allah yang berbunyi:
"Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang
yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya
dengan mendapat rezeki."[6]
Imam al-Qurthubi menjelaskannya dalam
persoalan kelima dalam tafsir al-Jami’ li Ahkam al-Quran, mengenai ayat yang
disebutkan di atas. Berikut adalah pernyataan Imam al-Qurthubi:
"Ketika seorang musuh marah dan menyerang
suatu kelompok, sementara kelompok tersebut tidak siap untuk berperang, apakah
orang-orang yang terbunuh akan dianggap mati di medan pertempuran atau seperti
orang yang mati biasa? Ini adalah situasi yang kami alami di Kordoba. Musuh
menyerang pada subuh hari ketiga bulan Ramadhan tahun 726 H, sementara
orang-orang saat itu berlindung di gudang penyimpanan beras dan tidak dalam
keadaan siap berperang. Mereka dibunuh dan ditawan, termasuk ayah saya. Saya
kemudian bertanya kepada Ustad al-Muqri’ Abu Ja’far Ahmad, yang juga dikenal
sebagai Ibn Abi Hujjah. Beliau berkata, "Mandikanlah ayahmu dan lakukan
salat jenazah! Karena ayahmu tidak terbunuh dalam pertempuran yang terjadi
antara dua pihak." Saya kemudian bertanya kepada Rabi’ bin ‘Abdurrahman
bin Ahmad bin Ubay, dan beliau menyatakan bahwa hukumnya adalah seperti orang
yang terbunuh dalam jihad. Kemudian, saya bertanya kepada Qadhi al-Jama’ah Abu
al-Hasan ‘Ali bin Quthral dan beberapa ahli fikih lainnya yang berada di
sekitarnya. Mereka mengatakan, "Mandikanlah ayahmu, kafankan, salatkan,
dan saya akhirnya mengikuti pendapat mereka. Namun, ketika saya membaca
persoalan yang diajukan oleh Abu al-Hasan al-Lakhami dalam 'al-Tabshirah'
mengenai hal ini, saya menyadari bahwa jika saya mengetahui hal ini sebelumnya,
saya tidak akan memandikan ayah saya dan menguburkannya bersama pakaian yang
berlumuran darah."[7]
Dari sini, ada beberapa aspek menarik yang
terkait dengan awal perkembangan keilmuan Imam al-Qurthubi, sebagaimana
dipaparkan oleh Mahsyur Hasan Mahmud Salman dalam bukunya yang berjudul
"al-Imam al-Qurthubi: Syaikh Aimmah al-Tafsir."[8]
1. Imam al-Qurthubi sangat berfokus pada
masalah agama dan menyelidiki persoalan fikih secara sangat teliti. Ini hanya
bisa dilakukan oleh seseorang yang sepenuhnya mendalami isu-isu agama.
2. Sejak masa kecilnya, Imam al-Qurthubi telah
mengejar ilmu agama dari banyak guru dan ulama. Ketika ada persoalan, ia
biasanya meminta fatwa kepada gurunya dan selektif dalam memilih fatwa yang
paling kuat menurut pandangan al-Qurthubi.
3. Ia tidak pernah berhenti dalam mengejar
pengetahuan keagamaan dan tidak puas dengan fatwa yang diberikan, bahkan jika
itu datang dari ulama terkemuka. Contohnya adalah ketika ia mendengar pandangan
mayoritas ulama tentang cara memandikan jenazah ayahnya, tetapi kemudian
mengubah pendiriannya setelah menemukan argumentasi yang lebih kuat dari Abu
Hasan al-Lakhami dalam al-Tabshirah.
4. Imam al-Qurthubi tidak ragu untuk
meninggalkan pandangan yang telah ia pilih sebelumnya jika ia menemukan
pendapat lain yang lebih kuat.
Selama hidupnya, Imam al-Qurthubi memperoleh
banyak ilmu agama dari berbagai sumber. Keluarganya berasal dari latar belakang
petani yang sederhana, dan ayahnya bahkan meninggal saat sibuk dengan panen
hasil pertaniannya. Imam al-Qurthubi belajar berbagai cabang ilmu agama seperti
Bahasa Arab, Fikih, Ushul Fikih, Nahwu, Ulum al-Quran, Qiraat, Hadis, Ilmu
Rijal, dan lainnya. Ia tidak hanya belajar dari gurunya, tetapi juga mengkaji
berbagai kitab ulama lainnya, seperti kitab-kitab karya al-Muqri al-Fadhil Abu
‘Amr ‘Utsman bin Sa’id bin ‘Utsman, kitab Syarh Alfadh al-Gharib min al-Shahih
karya Abu al-Asbagh bin Sahl, kitab Maraj al-Bahrain fi Mazayid al-Maysriqin wa
al-Maghribin karya Abu al-Khattab bin Dhayah, serta kitab-kitab Sunan
al-Tirmidzi dan al-Nasa’i, dan banyak lagi. Pengetahuan yang ia peroleh selama
perjalanannya hidupnya mencakup berbagai tempat, dari rumahnya sendiri di
Kordoba hingga perjalanan ke Iskandariyah, Fayyum, Manshurah, dan Kairo.[9]
Guru-Guru al-Qurtubi
Imam al-Qurthubi belajar dari beberapa guru di
berbagai wilayah. Di Andalusia, guru-gurunya termasuk Ibn Abi Hujjah, Rabi’ bin
‘Abd al-Rahman bin Ahmad bin Ubay al-Asy’ary, Abu ‘Amir Yahya bin ‘Abd
al-Rahman bin Ahmad bin Rabi’ al-Asy’ary, Abu al-Hasan ‘Ali al-Quthral, dan Abu
Muhammad bin Hauthillah. Sedangkan di Mesir, guru-gurunya adalah Abu al-‘Abbas
al-Qurthubi, Abu Muhammad bin Rawwaj, Abu Muhammad ‘Abd al-Mu’thi ibn Abi
al-Tsana’ al-Lakhami, Abu ‘Ali al-Hasan bin Muhammad al-Bakri, dan Abu Muhammad
‘Ali bin Hibatillah al-Lakhami yang dikenal dengan sebutan Ibn al-Jumaizy.
Selain itu, ada juga guru-guru lain seperti al-Imam al-Muhaddits Abu al-Hasan
‘Ali bin Khalaf al-Tilmasani dan Syekh Abu al-Hasan ‘Ali bin Muhammad bin ‘Ali
bin Hafsh al-Yahshubi.
Murid-Murid al-Qurtubi
Imam al-Qurthubi memiliki beberapa murid,
termasuk Syihab al-Din Ahmad (anaknya sendiri), Abu Ja’far Ahmad bin Ibrahim
al-‘Ashimi al-Granathi, Isma'il bin Muhammad bin ‘Abd al-Karim bin ‘Abd
al-Karim al-Khurastani, Abu Bakar Muhammad bin al-Imam al-Syahid Kamal al-Din
Abu al-‘Abbas, dan Dhiya’ al-Din Ahmad bin Abi al-Sa’ud (al-Sithriji).
Al-Dzahabi dalam al-Tafsir wa al-Mufassirun
menceritakan bahwa Imam al-Qurthubi adalah sosok yang sangat zuhud, berilmu,
dan bijaksana. Ia hidup dengan fokus pada akhirat, menjalani kehidupan
sederhana dengan hanya membawa satu set pakaian dan kopiah. Sehari-harinya
dihabiskan untuk menulis dan beribadah kepada Allah, dengan harapan memperoleh
keridaan-Nya. Akibat dari dedikasinya ini, Imam al-Qurthubi berhasil
menghasilkan banyak karya yang sangat berharga dan bermanfaat bagi umat Islam
secara khusus dan manusia pada umumnya.[10]
[1]Masyhur Hasan Mahmud Salman, al-Imam
al-Qurthubi: Syaikh Aimmah al-Tafsir, (Damaskus: Dar al-Qalam, cet. 1, 1993 M),
h. 13
[2]Abu Abdillah Muhammad al-Hamud an-Najdi,
al-Qawl al-Mukhtashar al-Mubin Fii Manhaj al-Mufassirin, (Dar al-Imam
al-Dzahabi, 1412 H), h. 24
[3]Masyhur Hasan Mahmud Salman, al-Imam
al-Qurthubi: Syaikh Aimmah al-Tafsir, h. 14
[4]Al-Suyuthi, Thabaqat al-Mufassirin,
(Kairo: Maktabah Wahbah, 1396 H), h. 92
[5]Masyhur Hasan Mahmud Salman, al-Imam
al-Qurthubi: Syaikh Aimmah al-Tafsir, h. 13-14
[6]QS. Ali Imran: 169
[7]Masyhur Hasan Mahmud Salman, al-Imam
al-Qurthubi: Syaikh Aimmah al-Tafsir, h. 15
[8]Masyhur Hasan Mahmud Salman, al-Imam
al-Qurthubi: Syaikh Aimmah al-Tafsir, h. 16
[9]Masyhur Hasan Mahmud Salman, al-Imam
al-Qurthubi: Syaikh Aimmah al-Tafsir, h. 37
[10]Muhammad Husein Al-Dzahabi, al-Tafsir wa
al-Mufassirun, (Kairo: Dar al-Hadith, 2012), juz 2, h. 401
Comments
Post a Comment