on
asbab nuzul
- Get link
- X
- Other Apps
Biografi dan Setting Historis al-Tabari
Ibnu Jarir al-Thabari adalah seorang sastrawan berbakat
yang dikenal dengan keindahan ungkapan kata-katanya, yang langka dijumpai dalam
kalangan sastrawan lainnya. Selain itu, ia juga merupakan seorang pakar dalam
bidang fiqih dan bahkan mendirikan sebuah mazhab, meskipun sayangnya,
pandangan-pandangannya tidak pernah diakui sebagai sebuah mazhab resmi. Di
samping itu, Ibnu Jarir al-Thabari juga terkenal sebagai sejarawan terkemuka
dengan karyanya yang sangat populer dalam bentuk kitab sejarah. Selain menjadi
seorang ahli tafsir, dia juga memiliki keahlian dalam berbagai bidang ilmu
lainnya.[1]
Imam al-Thabari, yang nama lengkapnya adalah Abu Ja'far
Muhammad ibn Jarir ibn Yazid ibn Katsir ibn Ghalib Al-Thabari, dilahirkan di
Amil, ibu kota Thabaritsan, Iran. Pada usia dua belas tahun, ia sudah memulai
perjalanan belajarnya. Ia dikenal sebagai individu yang selalu menjaga penampilannya
dengan baik, memperhatikan kesehatannya, dan hidup dalam disiplin yang tinggi.
Al-Thabari adalah seorang yang zuhud, tidak tertarik pada kehidupan duniawi.
Ini terbukti dari penolakannya terhadap tawaran jabatan dalam pemerintahan dan
penolakannya menerima harta secara cuma-cuma.[2]
Ia telah menghafal Al-Qur'an sejak usia tujuh tahun dan
mulai menulis hadis pada usia sembilan tahun. Selama perjalanannya, Imam
al-Thabari belajar dari berbagai guru yang berpengaruh. Ia pergi ke daerah Ray
di utara Persia dan belajar dari Muhammad bin Hamid al-Razi, yang pemikirannya
sangat memengaruhi karyanya dalam sejarah. Ia juga menjadi murid Ahmad bin
Hammad ad-Daulabi, seorang ulama terkenal dalam riwayat hadis.[3]
Selanjutnya, al-Thabari pergi ke Bashrah, di mana ia
belajar dari Muhammad bin Mu'alla dan Muhammad bin Basyar, yang lebih dikenal
dengan sebutan Bandar. Kemudian, ia melanjutkan perjalanannya ke Kuffah, di
mana ia menjadi murid Hannad bin al-Siry dan Abu Kuraib Muhammad bin 'Ala
al-Hamzani.[4]
Di Kuffah, Imam al-Thabari juga belajar ilmu hadis dan fikih dari Ismail bin
Musa al-Fazari, khususnya dalam mazhab Syafi'i, serta ilmu qiraat dari Sulaiman
bin Khallad as-Samiri.[5]
Ia melakukan perjalanan ke berbagai negara dalam rangka
mengejar pengetahuan, dan kemudian Imam Al-Thabari melanjutkan pencariannya di
kota Baghdad, Irak. Di kota ini, dia mengejar studi agama dan kecerdasannya
menjadi terkenal di kalangan ilmuwan dan ahli agama. Karena itu, dia
mendapatkan reputasi yang merambah ke berbagai negara dan menjadi sangat
terkenal di kalangan pendukung maupun penentangnya. Imam al-Thabari merupakan
salah satu ahli ilmu yang sangat berprestasi pada abad ketiga hijriah, ia
sangat produktif dalam menulis di berbagai bidang ilmu dan memiliki pemahaman
yang mendalam, sehingga dia mampu mengungguli para ulama lain yang hidup pada
masa yang sama.[6]
Setelah meninggalkan Baghdad, Imam At-Thabari berangkat
ke wilayah Syam, di mana dia belajar qiraat Syam dari al-Abbas bin alWalid
al-Bairuni. Perjalanannya dalam mencari ilmu berakhir di Mesir, di mana dia
menjadi murid ulama-ulama terkenal pada masa itu, termasuk Muhammad bin
Abdullah al-Hakam, Muhammad bin Ishak bin Khuzaimah, dan beberapa murid dari
Ibn Wahab.[7]
Selama di Mesir, nama Imam At-Thabari menjadi terkenal dan
menciptakan sensasi di daerah tersebut karena kehebatan ilmunya. Banyak ilmuwan
datang untuk menguji pengetahuannya, tetapi dia berhasil melewati semua ujian
tersebut. Ini membuat namanya semakin terkenal dan menjadikannya salah satu
ulama terkemuka pada masanya.[8]
Setelah itu, dia kembali ke Thabrasan dan menjadi seorang pengajar di Baghdad
hingga akhir hayatnya.[9]
Imam At-Thabari meninggal pada hari Ahad menjelang akhir
bulan Syawal, dua hari sebelum bulan Zulka'dah, pada tahun 310 H. Dia
dimakamkan di dalam rumahnya sendiri. Menurut Ibnu Kamil, Imam At-Thabari
adalah seorang pria dengan rambut hitam dan jenggot panjang, kulit sawo matang,
tubuh kurus, dan berdiri tegap. Selain itu, dia memiliki kepribadian yang
sangat baik. Kematiannya sangat diratapi oleh masyarakat umum, penyair, dan
ulama.[10]
Imam at-Thabari menjalani kehidupan yang tidak menikah
sepanjang hidupnya, sehingga dia memiliki waktu yang sangat luas untuk mengejar
ilmu pengetahuan. Seluruh masa hidupnya dihabiskan untuk belajar, mengajar, dan
menulis. Meskipun banyak hasil tulisannya, tidak ada peneliti yang dapat
memastikan jumlahnya dengan pasti. Mereka hanya melakukan perkiraan, misalnya
dengan mengacu pada catatan Khatib al-Bagdadi yang disitir oleh Ali bin
Ubaidillah al-Lughawi asy-Syamsi. Menurut catatan ini, Imam at-Thabari aktif
menulis selama 40 tahun. Dengan mengasumsikan bahwa dia menulis 40 halaman
setiap harinya, maka perkiraan total jumlah halaman karya yang dia tulis adalah
sekitar 1.068.000 lembar.[11]
Karya-karya al-Tabari
Imam at-Thabari telah menghasilkan banyak buku, termasuk
Kitab al-Tafsir, Kitab al-Tarikh, Kitab al-Ikhtilaf al-Fuqaha, Kitab
Tahdzibal-Atsar, Tafshil al-Tsabit ‘an Rasulullah Saw minal akbar (yang diberi
nama Syahrul Atsar oleh al-Qutufi), dan Dzail al-Mudzil. Beberapa dari bukunya
yang dicetak adalah kitab tafsir dan kitab tarikh, serta kitab Dzail al-Mudzil.[12]
Sayangnya, sebagian kitab tentang hukum lenyap bersamaan
dengan hilangnya mazhab Jaririyah. Beberapa kitab yang masih ada adalah Jami’
al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an, Kitab al-Qira’at wa Tanzil Al-Qur’an, Tahzib
al-Atsar wa Tafdil as-Sabit, Ikhtilaf al-Ulama al-Amsar fi Ahkam Syara’i’i
al-Islam, dan al-Basir fi Ma’alim ad-Din.
Tafsir at-Thabari, dalam dunia tafsir, adalah salah satu
tafsir generasi pertama yang telah terdokumentasi dan masih utuh hingga saat
ini. Ini tidak berarti bahwa sebelum at-Thabari tidak ada usaha untuk
mendokumentasikan tafsir. Namun, perkembangan tafsir pada masa sebelum
at-Thabari berlangsung lambat dan tersebar di berbagai tempat.[13]
Salah satu karya penting Imam at-Thabari adalah
Jami’al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an.[14]
Ada beberapa pandangan mengenai latar belakang penulisan buku ini, yang
menyatakan bahwa at-Thabari sangat prihatin dengan pemahaman umat Islam
terhadap Al-Qur'an. Mereka bisa membaca Al-Qur'an, tetapi kurang memahami makna
sejatinya. Oleh karena itu, at-Thabari berinisiatif untuk menunjukkan berbagai
kelebihan Al-Qur'an, mengungkapkan makna dan keagungan susunan bahasa
Al-Qur'an, termasuk aspek-aspek seperti nahwu dan balaghah. Judul buku ini
menunjukkan bahwa buku tersebut mencakup berbagai bidang ilmu, termasuk ilmu
qiraat, fikih, dan akidah.[15]
Metodologi Tafsir al-Tabari
Dalam kitab tafsirnya, Ibnu Jarir at-Thabari membahas
sejumlah masalah penting yang terdapat dalam Al-Qur'an. Salah satunya adalah tentang
struktur makna ayat-ayat Al-Qur'an yang sangat teratur, serta makna-makna logis
yang terkandung dalam Al-Qur'an. Hal ini menjadi bukti bahwa Al-Qur'an turun
dari Allah dengan hikmah yang dalam, dan kitab ini juga menjelaskan tentang
keutamaan makna yang terkandung dalam ayat-ayatnya.
Di samping itu, Al-Qur'an juga menggambarkan tentang
berbicara Allah yang berbeda. Imam at-Thabari menjelaskan tentang huruf-huruf
Al-Qur'an yang memiliki persamaan dengan bahasa yang ada dan menjelaskan
huruf-huruf yang berbeda dengan bahasa lain. Kemudian, dia juga membahas
masalah bahasa Arab yang beragam digunakan dalam Al-Qur'an.
Imam at-Thabari juga menguraikan hadis Nabi yang
menyatakan bahwa Al-Qur'an turun melalui tujuh pintu surga. Dia meriwayatkan
hadis ini secara lengkap dan menjelaskan sudut pandang yang digunakan untuk
memahami takwil Al-Qur'an. Dia juga mengutip beberapa riwayat yang melarang
seseorang untuk menafsirkan Al-Qur'an hanya dengan akal pikiran. Dia juga
mencatat anjuran mencari pengetahuan melalui penafsiran Al-Qur'an dan
menyebutkan beberapa sahabat yang telah menafsirkan Al-Qur'an.
Dalam kitabnya, Imam at-Thabari juga menyatakan bahwa
salah satu bentuk kesalahan dalam memahami Al-Qur'an adalah menolak atau tidak
mengizinkan takwil terhadap ayat-ayat Al-Qur'an. Dia juga mengakui bahwa
beberapa ulama tafsir terdahulu, termasuk Ibnu Abbas, dianggap terhormat dan
memiliki reputasi yang baik dalam menafsirkan Al-Qur'an.[16]
Beberapa individu yang memiliki keahlian dalam
menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an adalah al-Kalabi (saya pernah diminta bertemu
dengannya, tetapi saya tidak mencatat dari percakapan itu). Selain itu, ada Abu
Saleh Badzan. Pada suatu waktu, al-Sya'abi bertemu dengan Abu Saleh dan dengan
tegas mengingatkannya, "Anda sedang menafsirkan Al-Qur'an, meskipun Anda
belum membacanya."
Imam at-Thabari memiliki metode tertentu dalam
menafsirkan Al-Qur'an. Pertama-tama, ia memberikan penjelasan tentang nama-nama
Al-Qur'an, nama-nama surah, dan nama-nama ayat. Setelah itu, ia mulai
menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an. Dalam proses menafsirkan ayat, ia menyampaikan
pendapatnya berdasarkan riwayat atsar (tradisi) dan akhbar (berita) serta
prinsip-prinsip dan ucapan-ucapan ulama terdahulu.[17]
Imam at-Thabari juga merujuk pada pernyataan Ibnu 'Abbas
yang menyatakan bahwa ada empat aspek dalam tafsir. Yang pertama adalah aspek
yang diketahui oleh orang Arab melalui bahasa dan tradisi mereka, yang harus
diketahui oleh semua orang. Yang kedua adalah aspek yang hanya diketahui oleh
para ahli dan tidak dapat dimanfaatkan oleh orang lain. Yang ketiga adalah aspek
yang tidak dapat diketahui oleh siapa pun selain Allah sendiri. Sebagaimana
yang dijelaskan oleh Ibnu Abbas, aspek keempat adalah yang terkait dengan
ayat-ayat yang memiliki makna yang serupa dengan ayat lain dalam Al-Qur'an.
Dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an, sumber utama dan
terpenting adalah Al-Qur'an itu sendiri. Sumber lain yang penting selain
Al-Qur'an adalah Sunnah Rasul, yang mencakup kehidupan, ucapan, dan tindakan
beliau. Sunnah Rasul dianggap sebagai penafsiran hidup terhadap Al-Qur'an dan
memberikan kerangka kerja untuk penafsiran yang lebih rinci. Pendekatan ini
dikenal sebagai tafsir bi al-ma'tsur, seperti yang dijelaskan oleh Imam
at-Thabari, yang menegaskan bahwa pemahaman tentang ayat-ayat Al-Qur'an hanya
dapat dicapai melalui penjelasan Rasulullah kepada umatnya. Tidak ada yang
dapat berbicara tentang aspek-aspek tafsir kecuali melalui penjelasan
Rasulullah, baik dalam bentuk teks hadis maupun bukti-bukti yang diberikan oleh
Rasul kepada umatnya dalam hal tersebut.[18]
Pembaca yang hendak mendownload pdf kitab Tafsir al-Thabari bisa klik link Download Tafsir al-Thabari di sini
[1]Mani’Abd Halim Mahmud, Metodologi Tafsir:
Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2006), h. 67
[2]Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir
Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Insani Madani, 2008), h. 63-64
[3] Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir Al-Qur’an, h. 65
[4]Mani’Abd Halim Mahmud, Metodologi Tafsir:
Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir, h. 68
[5]Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir
Al-Qur’an, h. 65
[6]Ali Hasan Al-‘Aridl, Sejarah dan
Metodologi Tafsir, terj. Ahmad Akrom, (Jakarta: Pt RajaGra-findo Persada,
1994), h.4
[7]Ani’ Abd Halim Mahmud, Metodologi Tafsir:
Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir, h. 68
[8]Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir
Al-Qur’an, h. 66
[9]Mani’Abd Halim Mahmud, Metodologi Tafsir:
Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir, h. 68-69
[10]Mani’Abd Halim Mahmud, Metodologi Tafsir:
Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir, h. 76
[11]Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir
Al-Qur’an, h. 67
[12]Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir
Al-Qur’an, h. 67
[13]Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir
Al-Qur’an, h. 68
[14]li Hasan Al-‘Aridl, Sejarah dan Metodologi
Tafsir, terj. Ahmad Akrom, h.
[15]Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir
Al-Qur’an, h. 69
[16]Mani’Abd Halim Mahmud, Metodologi Tafsir:
Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir, h. 73
[17]Mani’Abd Halim Mahmud, Metodologi Tafsir:
Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir, h. 73
[18] Mahmud Ayub, Al-Qur’an dan Para Penafsiran, (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1991), h. 33
Comments
Post a Comment