BIOGRAFI IBN 'ARAFAH AL-TUNISI DAN MODEL TAFSIRNYA

 



Biografi Ibn ‘Arafah al-Tunisi

Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Muhammad Ibn ‘Arafah, Abu ‘Abdillah alWarghami al-Tunisi. Ia dilahirkan di Tunisia pada tahun 716 H. Merupakan ahli fikih madhab Maliki dan pendakwah madhab Maliki di Masjid Zaitunah.Ia lebih masyhur di kalangan masyarakat muslim dengan nama Ibn ‘Arafah.[1]

Ibnu ‘Arafah pernah belajar banyak cabang keilmuan dari beberapa guru.Ia mendalami ilmu Ushul dari gurunya alQadhi ibn ‘Abd al-Salam al-Hawari, mendalami ilmu Qiraat dari gurunya Muhammad bin Muhammad bin Hasan bin Salamah al-Anshari. Di samping itu ia juga belajar dari ayahnya sendiri, dari gurunya Muhammad al-Wadi Asyi, Muhammad bin Harun al-Kinani, al-Syarif al-Talmisani, Muhammad bin al-Jabbab dan lain sebagainya.[2]

Dengan begitu banyak cabang ilmu yang digeluti dan banyak sekali pakar yang ia temui, wajar ketika pada akhirnya ia mahir dalam banyak bidang, di antaranya ilmu Ushul dan Furu’, ilmu Bahasa Arab, Qiraat dan lain sebagainya. Sampai pada gilirannya ia menjadi rujukan fatwa di Maroko, mengajarkan ilmu dan menyampaikan hadis di kalangan bangsawan di kerajaan. Dan pada tahun 793 H, ia berkunjung ke Kairo untuk menyebarkan ilmu agamanya. Murid-murid yang tercatat pernah berguru kepadanya adalah Yahya al-‘Ajbisi, al-Ubay, Ibn Naji, ‘Isa al-Ghabrini, Ibn ‘Iqab, Ibn al-Syima’, Abu al-Thayyibn bin ‘Alwan, dan banyak lagi yang lainnya. Ia juga memiliki banyak karya di beberapa bidang terutama bidang fikih seperti al-Muhktashar al-Kabir fi al-Fiqh, alMukhtashar al-Syamil fi al-Masbuth fi al-Fiqh, al–Hudud fi al-Ta’arif al-Fiqhiyyah, al-Thuruq al-Wadhihah fi ‘Amal alMunashihah, dan Tafsir Ibn ‘Arafah.[3]

Tafsir Ibn ‘Arafah Tafsir

 Ibn ‘Arafah sejatinya adalah kumpulan beberapa ceramahnya dalam beberapa majelis ilmu yang ia isi dengan kajian tafsir. Hal ini berlangsung antara pertengahan abad ke-8 H hingga akhir abad ke-8 H dan menjadi akhir hayatnya.Setiap kali ia mengakhiri kajiannya, ia akan membuka lagi kajian baru. Adapun orang-orang yang terlibat dalam mengumpulkan isi kajiannya adalah murid-muridnya sendiri. Di antaranya yang paling terkenal adalah:

1.      Riwayat al-Busaili, ia adalah Ahmad bin Muhammad Abu al‘Abbas al-Tunisi, ia memiliki dua dokumen yang ia kumpulkan dari gurunya, Ibn ‘Arafah, dokumen yang besar dan kecil, keduanya masih dalam bentuk manuskrip. Manuskrip yang besar diketahui telah raib beberapa juznya, sedangkan yang kecil masih kurang sempurna. Yang perlu digaris bawahi di sini adalah bahwa tidak semua isi manuskrip tersebut adalah ceramah dari Ibn ‘Arafah.

2.      Riwayat al-Ubay, yakni Muhammad bin Khalfah al-Wusytati, riwayat ini dianggap riwayat yang paling lengkap dari tafsir Ibn ‘Arafah. Terdiri dari beberapa naskah yang paling lengkap berada di Maktabah Wathaniyyah di Tunisia. Satu juz dari riwayat ini telah dicetak dalam dua jilid, yakni sampai akhir surat al-Baqarah yang ditahqiq oleh Dr. Hasan al-Manna’I yang didistribusikan oleh Markaz al-Buhuts di Universitas Zaitunah pada tahun 1986.

3.      RiwayatAbu al-Qasim al-Syarif al-Idrisi al-Salawi, merupakan ulama abad ke-9 memiliki satu catatan yang terdiri dari dua jilid, sayangnya catatan yang ia miliki hilang.[4]

Model Penafsiran Ibn ‘Arafah

Menurut Dr. Hasan al-Manna’i secara umum model penafsiran yang dilakukan oleh Ibn ‘Arafah adalah dengan dibacakan beberapa ayat Alquran baru kemudian penafsiran ayat tersebut disuguhkan. Pertama ia akan menyampaikan beberapa pendapat ulama ahli qiraat, ahli bahasa dan nahwu, kemudian ia akan menjelaskan penakwilan dan perbedaan pendapat yang berkaitan dengan ayat tersebut yang terjadi di antara ulama tafsir. Beliau juga menyebutkan pendapat ulama-ulama ushul, fuqaha dan para ahli hadis.Kadangkala beliau juga menyebut hal-hal yang terperinci secara kebahasaan, seperti sudut balaghah suatu ayat, syair-syair atau ilmu social, pembahasan dasar-dasar keagamaan. Semuanya tidak lain bertujuan untuk menjelaskan penafsiran ayat tersebut yang telah dibaca di muka. Yang menarik Ibn ‘Arafah juga memberikan kesempatan kepada para muridnya untuk mendiskusikan apa yang ia utarakan sehingga majelis yang ia ampu sangat aktif dengan berbagai perbedaan yang muncul, hanya saja semuanya tetap dalam akidah yang sama Ahlus sunnah wal Jamaah. Di penghujung majelis Ibn ‘Arafah memberikan pernyataan akhirnya dengan penuh kerendah hatian dan keterbukaan ilmiah.

Dalam beberapa kasus, seperti Tanasub al-Ay wa al-Suwar (kesesuaian ayat dan surat), Ibn ‘Arafah sependapat dengan beberapa ulama yang menolak hal itu. Ini tercermin ketika ia menafsirkan firman Allah surat al-Baqarah ayat 159.

“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (mahluk) yang dapat melaknati.”

Menurutnya beberapa ulama seperti Ibn al-Khatib menganggap bahwa setiap ayat memiliki kesesuaian (tanasub) dengan ayat yang lain, namun sebagian ulama lain tidak sependapat dengan hal itu, seperti halnya al-Zamakhsyari dan Ibn ‘Athiyyah yang menganggap bahwa setiap ayat tidak musti memiliki kesesuaian dengan yang lainnya. Ada lagi ulama yang justru menolak adanya tanasub antar ayat, ini didasarkan asumsi bahwa seandainya setiap ayat memiliki kesesuaian dengan ayat lain dan hal itu merupakan kemujizatan Alquran, jika pada beberapa kasus kesesuaian itu tidak ditemukan, maka dengan demikian Alquran bisa saja dianggap lemah dan tidak memiliki kemu’jizatan lagi. Namun sepertinya Ibn ‘Arafah sependapat dengan pendapat yang kedua yakni memang ada tanasub antar ayat namun tidak semua yang ada di dalam Alquran memiliki tanasub. Hal ini terlihat ketika ia menafsirkan ayat berikut.

“Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup.Dan bagi mereka siksa yang amat berat.

Ayat ini menjelaskan tentang orang-orang kafir yang telah ditutup hati, pendengaran dan pandangannya oleh Allah SWT. Menurut Ibn ‘Arafah, ayat ini memiliki kesesuaian dengan ayat sebelumnya, bahwa ayat ini menjadi sebab atau alasan mengapa ayat sebelum ini ada. Ayat sebelum ini berkaitan dengan orangorang kafir yang tidak mau mendengarkan peringatan dari Allah SWT.Sebagaimana berikut.

“Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman.”

Jelas sekali bahwa ayat ke-6 surat al-Baqarah ini sesuai menurut Ibn ‘Arafah- dengan ayat-7 surat al-Baqarah, ayat ke-7 adalah alasan mengapa ayat ke-6 ada, orang-orang kafir mengapa tidak merespon peringatan dari para Nabi mereka dikarenakan mereka telah ditutup pintu hati, pendengaran dan penglihatan mereka oleh Allah SWT.

Hal lain dalam tafsir Ibn ‘Arafah yang menarik adalah terkait akidah yang menjadi konsennya. Ia sendiri menurut al-Dzahabi menganut akidah Asy’ariyyah, Ahlus Sunnah wa al-Jama’ah. Ini terlihat dengan upayanya menangkal pahampaham lain yang berselisih dengan paham ‘Asy’ariyyah seperti Mu’tazilah dan Syi’ah.

Ketika menjelaskan maksud ayat dalam surah al-Fatihah misalnya, iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in (hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan), dipahami oleh Ibn ‘Arafah bahwa ibadah seseorang tidak akan terwujud tanpa adanya pertolongan dari Allah SWT, dibuktikan dengan ihdina shshirathal mustaqim (tunjukkanlah kepada kami jalan yang lurus). Manusia dalam akidah ‘Asy’ariyyah tidak memiliki kuasa sepenuhnya atas tindakan mereka, oleh sebab itu ayat selanjutnya di atas menunjukkan bahwa manusia harus merendahkan diri di hadapan Allah seraya meminta petunjuk kepada-Nya, karena memang ketaatan dan peribadatan kepada-Nya tidak akan terwujud tanpa hidayah dari-Nya, dan manusia tidak berkuasa atas hal itu. Dalam kasus lain misalnya, tentang firman Allah dalam surah Ibrahim ayat 1, sebagaimana berikut:

“Alif, laam raa. (Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji.”

Ayat di atas ditafsirkan oleh al-Zamakhsyari-sebagai ahli tafsir representasi kelompok Mu’tazilah- bahwa Allah SWT memberikan “izin” kepada manusia untuk keluar dari kegelapan menuju cahaya yang dimaksud adalah Allah memberikan kemudahan kepada manusia tersebut. Terang saja ini sejalan dengan akidah Mu’tazilah yang mengatakan manusia memiliki kuasa atas perbuatannya sendiri. Kata bi idznillah (dengan izin Allah) Ayat di atas ditafsirkan oleh Ibn ‘Arafah sebagai bentuk iqtidha’ (ketetapan) dan taufiq (pertolongan) Allah.

 Tanpa adanya iqtidha’ maka pemahaman tersebut akan menjurus kepada pemikiran Mu’tazilah sebagaimana Zamakhsyari. Karena dalam akidah Mu’tazilah seorang hamba bebas untuk melakukan apapun, menciptakan perbuatannya sendiri dan Allah tidak mungkin menciptakan keburukan dan menginginkan keburukan. Inilah yang kemudian menurut Imam al-Dzahabi, menunjukkan sikap Ibn ‘Arafah yang memberikan garis demarkasi yang jelas antara pemahaman ‘Asy’ariyyah dan lainnya, khususnya Mu’tazilah.[5]

Di samping tentang akidah, Ibn ‘Arafah juga mengomentari tentang ayat-ayat Makiyah dan Madaniyah, tentang menafsirkan Alquran dengan Alquran, menafsirkan Alquran dengan al-Sunnah, menafsirkan Alquran dengan pendapat ulama salaf seperti mengutip penafsiran Ibn ‘Abbas, Ibn ‘Arafah juga mengomentari tentang Asbabun Nuzul, tentang hadis-hadis yang keutamaan surah-surah dan ayat-ayat, tentang kisah-kisah dalam Alquran, isra’iliyyat, dan beberapa hal penting lain yang ada di dalam Alquran termasuk tentang ilmu qiraat.

Bagi pembaca yang hendak memiliki versi pdf dari tafsir ibn 'Arafah, sila klik tautan download tafsir ibn 'arafah di sini.

 


[1]Muhammad Husein Al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, juz 3, h. 117

[2]Muhammad Husein Al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, juz 3, h. 117

[3]Muhammad Husein Al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, juz 3, h. 117

[4]Muhammad Husein Al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, juz 3, h. 118

[5]Muhammad Husein Al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, juz 3, h. 121

Comments