BIOGRAFI IBN 'ASYUR DAN KARYA TAFSIRNYA



Biografi Ibn ‘Asyur

bnu ‘Asyur memiliki nama lengkap Muhammad Thahir Ibnu ‘Asyur, lahir di Tunisia di awal abad ke-14 M. Informasi yang mengulas latar belakang keluarganya memang cukup gelap. Hanya ada seberkas cahaya yang menyoroti bahwa dalam dirinya masih mengalir darah seorang ulama besar di Tunisia tempo dulu[1].Ia adalah seorang ahli tafsir berkebangsaan Tunisia dari keluarga yang mempunyai akar kuat dalam ilmu dan nasabnya. Di tempat ia dibesarkan, pinggiran ibu kota Tunisia, Thahir kecil belajar ilmu Al-Qur’an, tahfidz, tajwid dan qiraat. Selain itu, ia juga belajar ilmu bahasa Arab. Kemudian setelah itu, ia masuk lembaga Zaitunah, sebuah lembaga pendidikan bonafid setaraf Al-Azhar. Zaintunah adalah sebuah masjid dari sekian banyak masjid kuno yang selama berabad-abad berfungsi sebagai pusat pendidikan, informasi dan penyebaran ilmu.[2] Lembaga Zaitunah termasuk sebuah lembaga pendidikan yang cukup elit dan megah, walaupun tidak dengan bangunan megah dan modern dan hanya sebuah masjid kuno namun merupakan jantungnya pendidikan.[3]

Pada awal-awal abad ke 14 Hijriah Thahir mulai belajar di Zaitunah.Ia begitu mahir dan jenius dalam semua disiplin ilmu keislaman. Prestasi belajarnya yang begitu cemerlang ketika di penghujung masa belajar di Zaitunah.[4] Selama belajar di Zaitunah Ibnu Asyursering menenggelamkan diri dalam perpustakaan. Dahaga keilmuannya bisa terpuaskan di sana. Dengan sangat rakusia melahap berbagai literatur.[5]

Selesai belajar di Zaitunah, ia mengabdi dan mendapatkan bebrbagai posisi di bidang agama. Aktivitasnya selama ini bukan karena materialoriented namun hanya semata untuk menjalankan risalah amanah yang mesti ia pikul. Untuk menjalankan misinya, Thahir didukung dengan keberadaan perpustakaan besar yang mengoleksi literatur-literatur kuni dan langka, selain dari literatur modern dari berbagai bidang ilmu keislaman.Perpustakaan itu merupakan warisan dari generasi tua para cendekiawan dan termasuk perpustakaan terkenal di dunia.[6]

Ibn ‘Asyur membangun karirnya berawal dari AlZaitunah, lalu menjadi Hakim Agung Mazhab Malik di Tunisia. Dalam kompetisi antar-mazhab Islam di era pembaharuan, posisi prestisius ini menempatkannya pada posisi kelompok tradisionalis yang masih setia kepada sistem bermazhab dalam praktik keberagamaan.Dugaan penulis, dalam konteks ini, Ibn ‘Asyur bermazhab Malik dibarengi dengan teologi yang mengikuti mazhab Asy’ari. Sebagai Hakim Agung Mazhab Malik, penting diketahui pandangannya terhadap ayat-ayat yang oleh sebagian pihak dipahami sebagai dasar kedaulatan Tuhan (Hakimiyyatullah). oleh pemerintah Protektorat Perancis.Ketika kebanyakan ulama melarang dan menilai dapat menyebabkan kekafiran, Ibn ‘Asyur menyatakan kebolehan mengikuti kebijakan tersebut.Ketika rezim Barguiba memberlakukan undang-undang larangan poligami, Ibn ‘Asyur tampaknya bergeming, tanpa protes padahal posisinya adalah sebagai Hakim Agung yang pendapatnya dinantikan. Agak berbeda jika kita melihat sikap Ibn ‘Asyur dalam masalah relasi antar agama yang cenderung konservatif. Misalnya, dalam penafsiran terhadap Qs. Al-Maidah: 51[7] , Ibn ‘Asyur cenderung kepada pandangan yang melarang pemilihan non-Muslim sebagai pemimpin. Bahkan, Ibn ‘Asyurmenyatakan Muslim tidak boleh menjadi pemimpin bagi non-Muslim. Muslim yang melanggar hukum ini, akan divonis murtad.[8]

Ibn Asyur atau Thahir memiliki peran sangat penting dalam menggerakkan nasionalisme di Tunisia.Ia merupakan salah satu anggota jihad bersama Syaikh Besar Muhammad Khidr Husein yang menempati kedudukan masyikhatulAzhar, Imam Besar AlAzhar. Mereka berdua adalah tokoh yang memiliki wawasan yang luas, kuat keimanannya dan keduanya pernah dipenjara serta mengalami rintangan yang tidak kecil demi negeri dan agama. Menurut Ismail Hasani, pemikiran Ibn ‘Asyur dipengaruhi tiga gerakan sosial penting pada masanya.Pertama, pembaharuan sistem pendidikan Al-Zaitunah.Al-Zaitunah pada masa Ibn ‘Asyur bukan sekadar universitas yang mengembangkan keilmuan tradisional Islam, tetapi juga mengembangkan ide- ide pembaharuan.Adanya majalah Al-Hadira dan jurnaljurnal keilmuan menjadi ciri utama pengembangan keilmuan yang berorientasi pembaharuan.Universitas ini didukung para aktivis Muslim yang berorientasi pembaharuan dan bersikap kompromistis terhadap pemerintah kolonial.Kedua, pembaharuan nasionalis Tunisia, Khairuddin Al-Tunisi.Dia politikus yang mendorong kepada kemajuan di Tunisia.Di antara sumbangan pentingnya adalah berkembangnya teknik percetakan.Ketiga, pembaharuan Jamaluddin Afghani dan Muhammad Abduh.Ibn ‘Asyursangat antusias terhadap kampanye pembaharuan kedua tokoh modernis tersebut. Berkat Abduh, Ibn ‘Asyur mengenal kitab Al-Muwafaqat karya Al-Syathibi yang berisi kajian Maqasid Al-Syari’ah.[9]

Tantangan yang mereka hadapi tidak hanya berasal dari penjajah, tetapi dari boneka-boneka dan antek-antek penjajah yang berhai keji di setiap wilayah.Namun berkat perlindungan Allah mereka diberikan kedudukan strategis dalam menjalankan misi sucinya.Thahari merupakan seorang Syaikh besar di Tunisia dam pernah menjabat sebagi hakim dan mufti.Namun, kondisi pada saat itu menggiringnya berseteru dengan para penguasa Tunisia seputar wacana keislaman. Akhirnya ia mendapat dukungan untuk menyampaikan apresiasinya terkait agama untuk menjaga sesuatu yang fundamental dalam agama dengan lantang dan jelas serta penuh percaya diri, tanpa ada maksud menjilat untuk menyampaikan pesan agama.Setelah para hakim melihatnya tidak mempunyai kepentingan apa-apa dan tidak bisa diharapkan, tiba-tiba tersiar kabar bahwa ia telah dicopot dari kedudukannya sebagai Syaikh Besar Islam. Ia sudah menduga itu akan terjadi.[10]

Kebisingan politik yang terjadi di Tunisia membuatnya gerah.Ia tidak mau terlibat dengan pergulatan politik yang ada. Hari-harinya dilewatinya dengan berdiam diri di rumah.Setiap waktu diisi dengan menulis dan membaca.Terbayang kembali impiannya yang sejak lama urung terwujud, yaitu menulis kitab tafsir.Ia pernah berkata, “Salah satu cita-citaku yang terpenting sejak dulu adalah menulis sebuah tafsir Al-Qur’an yang komprehensif untuk kemaslahatan dunia dan agama.[11]

Thahir mengomentari tafsir-tafsir yang telah ada sebelumnya yang kebanyakan hanya memindahkan satu tafsir dari tafsir lainnya.Terkait ini, Thahir pernah berkata, “Tasir-tafsir yang ada, meskipun banyak sering kali hanya berupa penambahan keterangan tafsir sebelumnya.tidak ada peranan dari penulis tafsir selain meresume (talkhis) atau mengomentari (syarh atau takwil) tafsir-tafsir sebelumnya.[12]

Karya-karya dan metodologi Penafsiran Ibnu ‘Asyur

Thahir menyebutkan, “Saya namai tafsir saya dengan tafsir al-Ma’na al-Sadidi wa Tanwir al-Aqli al-Jadid min Tafsir al-Kitab al-Majid. Dan diringkas menjadi Al-Tahrirwaal-TanwirminalTafsir. Ketika menulis tafsirnya, Thahir merujuk beberapa kitab tafsir yang ada, di antaranya Al-Kasysyaf karya Zamakhsyari, al-Muharrar al-Wajiz karya Ibnu Athiyah, Mafatih al-Gaib karya ar-Razi, Tafsir Baidhawi yang merupakan ringkasan dari al-Kasysayaf dan Mafatih al-Gaib, Tafsir as-Su’ud, Tafsir alQurtubi, Tafsir al-Ahkam, dan Tafsir at-Tabari adalah sejumlah referensinya dalam mengungkapkan maksud kalam ilahi.

 Kemudian Thahir menyebutkan keistimewaan dan sekaligus sebagai karakteristik tafsirnya.Thahir mengatakan bahwa memiliki beberapa poin yang belum pernah disebutkan dalam tafsir sebelumnya.Ia menyebutkan dua karakter mufasir dalam menyikapi tafsir-tafsir sebelumnya. Pertama, kebanyakan mereka mengekor pada apa yang mereka peroleh dari mufassir sebelumnya. kedua, menolak dan bersikap apriori terhadap tafsir yang telah ada beberapa abad sebelumnya. Adapun Thahir menjembatani dua karakter tersebut, dengan tetap berpegang pada metode penafsir sebelumnya dengan cara menjelaskan dan menambahkan yang menurutnya kurang, dengan tanpa membuang tafsir sebelumnya.[13]

Thahir menfokuskan tafsirnya pada menjelaskan sisi-sisi I’jaznya, linguistik Arab (balaghah) dan gaya bahasa (badi’), di samping menjelaskan keselarasan antara ayat satu dengan ayat lainnya. Setiap surah AL-Qur’an dikupasnya dengan tuntas dan disimpulkan garis besar isinya.Tujuannya agar pembaca tidak mendapatkan tafsir Al-Qur’an yang parsial, terbatas hanya pada penjelasan makna perkata atau perkalimat dari sebuah ayat.Thahir menitikberatkan menjelaskan makna-makna mufradat (kata demi kata) dalam bahasa Arab dengan membatasi meneliti ulang dari yang telah dilakukan orang lain dari kamus-kamus bahasa.[14]

Thahir mencurahkan kemampuannya untuk dapat mengungkapkan poin-poin dan kemukjizatan Al-Qur’an yang belum terungkap dalam buku-buku tafsir lain, di samping menggunakan metode yang sistematis. Jadi, meskipun ringkas, tetapi selaras dan seimbang dengan buku-buku tebal.Dan itulah tafsir yang paling baik menurut Ibnu ‘Asyur. Ibnu ‘Asyur prihatin kalau muncul pemahaman yang kurang utuh terhadap ayat-ayat Al-Qur’an.Seakan-akan ayat per ayat tercerai berai, tak ada pengikat.Muaranya, keserasian dan keindahan Al-Qur’an sirna tiada berwujud.Padahal antara ayat dengan ayat yang lainnya laksana satu untaian mutiara.Tak terpisahkan dan saling bertautan.Oleh karena itu, kenapa Ibnu ‘Asyur menitik berat kepada mufradat untuk menelusuri makna global sebuah surah.[15]

Download Tafsir al-Tahrir wa Tanwir atau Tafsir Ibn 'Ashur klik di sini.


[1] Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir Al-Qur’an, h. 127

[2] Mani’Abd Halim Mahmud, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir , h. 313

[3] Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir Al-Qur’an, h. 128

[4] Mani’ Abd Halim Mahmud, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir , h. 313

[5] Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir Al-Qur’an, h. 128

[6] Mani’ Abd Halim Mahmud, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir , h. 313

[7] “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orangorang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orangorang yang zalim.” QS. Al-Maidah: 51

[8] Muhammad Al-Thahir Ibn ‘Ashur,Al-Tahrir Wa Al-Tanwir (Tunisia: Dar Al-Sahnun Li Al-Nashr Wa Al-Tauzi’, 1997), jilid 3, 229

[9] Ismail Hasani, Nazariyyah Al-Maqashid ‘Inda Al-Imam Muhammad Al-Thahir Ibn Ashur (Herndon: IIIT, 1995), 76

[10] Mani’Abd Halim Mahmud, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir , h. 313

[11] Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir Al-Qur’an, h. 129

[12] Mani’Abd Halim Mahmud, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir , h. 316

[13] Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir Al-Qur’an, h. 129

[14] Mani’Abd Halim Mahmud, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir , h. 318

[15] Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir Al-Qur’an, h. 131


Comments