on
asbab nuzul
- Get link
- X
- Other Apps
Biografi
Muhammad Abduh
Syekh Muhammad ‘Abduh nama lengkapnya adalah
Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah, dilahirkan di desa Mahallat Nashr kota
Buhairah, Mesir pada tahun 1849 M.[1]
Al-Manar adalah salah satu kitab Tafsir yang
berorientasi sosial, budaya dan kemasyarakatan: suaatu corak penafsiran yang
menitikberatkan penjelasan ayat al-Qur’an pada segi-segi ketelitian
redaksionalnya, kemudian menyusun kandungan ayatayatnya dalam suatu redaksi
yang indah dengan penonjolan tujuan utama turunnya al-Qur’an, yakni membawa
petunjuk dalam kehidupan, kemudian merangkaikan pengertian ayat tersebut dengan
hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyrakat dan perkembangan dunia.
Salah satu yang menjadi ciri khas Muhammad
‘Abduh adalah ketidak terlibatannya di dalam madzhab tertentu di dalam
memberikan penafsiran.Beberapa mufassir lain cenderung menganut madhab
tertentu, hal itu sangat kentara sekali dalam karya-karya tafsir mereka.[2]
Al-Dzahabi menambahkan bahwa Muhammad ‘Abduh
sangat kritis sekali terhadap riwayat-riwayat Israiliyyat, ia tidak tertarik
dengan riwayat-riwayat yang hanya memperbagusi penafsiran di satu sisi namun
pada dasarnya berisikan khurafat dan riwayat-riwayat yang dusta.Beberapa
penafsirannya juga tidak terlalu dalam membahas persoalanpersoalan ghaib,
seringkali ia hanya menyajikannya sesuai data global yang dijelaskan oleh
Alquran maupun Hadis.[3]
Pendidikan Muhammad Abduh Muhammad Abduh
sebelum belajar secara formal, ia belajar baca tulis di rumah orang tuanya,
kemudian pindah ke sekolah Hifzil Quran.[4] Kemudian
Muhammad Abduh dikirim oleh ayahnya ke Mesjid al-Ahmadi Thantha(sekitar 80 km
dari Kairo) untuk mempelajari tajwid al-Quran. Namun, sistem pengajaran di sana
dirasakan sangat menjengkelkannya sehingga setelah dua tahun (tahun 1864) di
Thantha, Muhammad Abduh memutuskan untuk kembali ke desanya dan bertani seperti
saudara-saudara serta kerabatnya.[5]
Ketika Muhammad Abduh kembali ke kampung halamannya,
ia berniat tidak akan menuntut ilmu lagi. Pada tahun 1282 H/ 1882 M, setelah
sampai hari ke-40 dari pernikahanya, ayahMuhammad Abduhdatang memaksanya untuk
kembali belajar. Namun Muhammad Abduh sudah bertekad untuk tidak kembali.
Muhammad Abduh tidak pergi ke Thanta untuk belajar kembali tetapi beliau
bersama teman-temannya ke desa Syibral Khit, di sana banyak paman dari pihak
ayahnya bertempat tinggal. Di kota inilah ia bertemu dengan Syaikh Darwis
Khidr, salah seorang pamannya yang memiliki pengetahuan mengenai al-Quran dan
menganut paham tasawuf asy-Syadziliah.[6]
Syaikh Darwis menerima tarikat Syadziliah dari
gurunya. Beliau hafal kitab muwatta’ dan sebagian kitab-kitab hadis juga baik
dalam menghafal al-Quran dan pemahamannya.Syaikh Darwis merayu Abduh untuk
menuntut ilmu dengan membawa Abduh ke lahan pengetahuan.Syaikh Darwis
memberikan kitab karangan Sayyid Muhammad al-Madani.Syaikh Darwis meminta Abduh
untuk membacakan kitab itu untuknya karena pada saat itu penglihatannya mulai
rabun.Hal itu terus berjalan hingga Abduh membaca sebagian baris kitab, maka
mulai panjang lebar menafsirkan makna yang dibaca dengan Bahasa yang jelas.[7]
Sang paman berhasil merubah pandangan Muhammad
Abduh, dari seseorang yang membenci ilmu pengetahuan menjadi orang yang
menggemarinya.Sehingga apa yang sebelumnya yang beliau senangi seperti bermain,
bercanda dan berbanggabangga telah berubah menjadi hal-hal yang paling beliau
benci. Muhammad Abduh kembali ke Mesjid Al-Ahmadi Thantha, dan kali ini minat
dan pandanganya untuk belajar telah jauh berbeda disbanding sewaktu pertama
kali beliau ke sana. Muhammad Abduh sagat dipengaruhi oleh cara dan paham sufistik
yang ditanamkan oleh Syaikh Darwis Khidr.[8]
Pada pertengahan bulan syawal pada tahun 1866
M Muhamamd Abduh berangkat ke Kairo untuk belajar di Al- Azhar, secara kontinyu beliau belajar dengan guru-gurunya, serta memelihara
diri beruzlahdan menjauh dari manusia. Setiap akhir tahun pelajaran Muhammad
Abduh pulang ke kampung halamannya Mahallah Nasr, untuk menetap di sana selama
dua bulan, dari pertengahan bulan Sya’ban hingga pertengahan bulan Syawal.
Ketika beliau di desanya, Abduh bertemu dengan pamannya Syaikh Darwis. Syaikh
Darwis menanyakan pada Abduh terkait apa yang beliau baca, kemudian Syaikh
Darwis mengarahkan Abduh supaya mempelajari ilmu lain seperti ilmu mantiq
(logika), matematika dan arsitektur.[9]
Abduh di al-Azharmempelajari kitab-kitab
filsafat karangan Ibnu Sina dan logika karangan Aristoteles di bawah bimbingan
Syekh Hasan ath-Thawi.Ilmu bahasa dan sastra ditelaahnya di bawah pengawasan
Muhammad al-Basyuni.[10]
Pada tahun 1871 M, Jamaluddin al-Afghani tiba
di Mesir. Kehadirannya disambut oleh Muhammad Abduh dengan menghadiri
pertemuan-pertemuan ilmiah yang mendatangkan al-Afghani. Semangat pembaharuan
yang diberikan oleh alAfghani memberikan ide bagi Abduh untuk menulis Risalah
al-‘Aridat (1873) dan Hasyiyah ‘ala Syarh al-Jalal ad-Diwani lil ‘Aqaid
al-Adudiyyah (1875). Selain dua bentuk tulisan itu, ia juga melahirkan sejumlah
tulisan yaitu Tafsir al-Qur’an alHakim yang biasa dikenal dengan Tafsir
al-Manar, yang nantinya disempurnakan oleh Rayid Ridha.
Pendidikan Abduh di al-Azhar pernah terancam
dinyatakan tidak lulus disebabkan artikel yang ditulisnya di surat kabar
al-Ahram, di antara artikel tersebut menyulut api kontroversi. Namun berkat
pembelaan dari Syekh Muhammad al-Mahdi al-Abbasi yang menjabat sebagi Syekh
al-Azhar, Muhammad Abduh dinyatakan lulus dengan nilai tertinggi di al-Azhar
pada usian 28 tahun. Pada tahun 1878 M, Abduh menjadi guru sejarah pada sekolah
Darul Ulum dan ilmu bahasa Arab pada Madrasah al-Idarah wa Alsun (Sekolah Administrasu dan Bahasa-bahasa). Namun pada
tahun 1879 M ia diberhentikan dan diasingkan ke Mahallat Nashr, Mesir tempat
kelahirannya. Pada tahun 1880 M, Abduh dibebaskan dari pengasingan, nama
baiknya sudah kembali. Bahkan ia mendapatkan penghormatan untuk memimpin surat
kabar resmu pemerintah Mesir yaitu al-Waqaiz al-Misriyyah.[11]
Pada tahun 1882 M Pasca-Revolusi Urbani
berakhir dengan kegalalan, pemerintah Mesir mengira bahwa Muhammad Abduh ikut
serta terjadinya kegagalan tersebut.Sehingga pemerintah Mesir mengasingkan
Abduh ke Suriah selama tiga tahun. Abduh hanya selama setahun di Suriah, ia
berhijrah ke Paris, Perancis menyusul al-Afghani, yang sebelumnya juga diusir
oleh Pemerintah Mesir. Mereka menerbitkan surat kabar al-Urwah al-Wusqa dengan
tujuan untuk menentang penjajahan Barat, khususnya Inggris. Abduh berpindah ke
Beirut dan meninggalkan Paris, di Beirut Abduh mengajar dan menulis beberapa
kitab.Di antara kitab yang dihasikannya adalah Risalah at-Tauhid, Syarh Nahjul
Balagah, ar-Raddu ‘ala ad-Dahriyyin dan Syarh Maqamat Badi’ az-Zaman
al-Hamazani. Pada tahun 1905 M. Abduh memberikan ide untuk mendirikan sebuah
perguruan tinggi yang memiliki kualitas dan kuantitas yang bagus.Ide dari Abduh
mendapatkan respon positif dari pemerintah dan masyarakat, itu terlihat dengan
adanya sebidang tanah yang disediakan untuk misi pendidikan tersebut. Namun
perguruan tinggi tersebut baru berdiri setelah Abduh meninggal dunia yaitu pada
11 Juni 1905 M.[12]
Karya Tafsir
Muhammad Abduh
Sebagaimana sebelumnya sudah disinggung
sedikit terkait karya Muhammad Abduh terkait tafsir yaitu Tafsir al-Qur’an
alHakim yang lebih popular dikenal denganTafsir al-Manar.Tafsir ini pada
mulanya merupakan diktat perkuliahan Abduh tentang tafsir Al-Qur’an di
Universitas Al-Azhar.Sepeninggalan Abduh tafsir tersebut disusun kembali oleh
Muhammad Rasyid Ridha yang merupakan murid dari Abduh.Tafsir al-Manar
diterbitkan setelah dilakukan pengolahan dan pengeditan seperlunya. Tafsir
al-Manar mulai diterbitkan pada bulan Syawal tahun 1315 H, pada bulan Maret
1898 M. Publikasi kitab tafsir tersebut dilatarbelakangi oleh kemauan Ridha
untuk menerbitkan surat kabar yang membahas isu-isu sosial-budaya dan agama.
Tafsir
al-Manar tidak ditulis hingga selesai oleh Rasyid Ridha, karena ia keburu
meninggal, tidak ada ulama yang menuntaskan karya agung tersenut. Oleh karena
itu, tafsir al-Manar hanya memuat 12 juz pertama dari Al-Qur’an, dimulai dari
surah al-Fatihah hingga ayat 53 Surah Yusuf.Pemikiran Abduh dari Surah
al-Fatihah hingga ayat 126 dari Surah an-Nisa’, selebihnya dilanjutkan oleh
Rasyid Ridha dengan menggunakan metode pemikiran dari Muhammad Abduh.Penafsiran
Abduh didasari oleh dua landasan, yaitu riwayat shahih dan nalar-rasional.Ia
memadukan keduanya. Uraian yang diberikan oleh Abduh sangat mengesankan, makna
ayat diungkapkan dengan mudah dan lugas.Ia memberikan ilustrasi beberapa
problematikan sosial dan memberikan solusi dengan berpedoman pada Al-Qur’an.[13]
Muhammad Abduh berpandangan bahwa tafsir itu
memiliki beberapa tingkatan. Tingkatan paling rendah, harus menjelaskan secara
global apa yang dirasakan hati tentang keagungan Allah dan kesucian-Nya,
memalingkan nafsu dari kejahatan dan melakukan kebaikan. Sedangkan tingkatan
tertinggi adalah seorang mufassir harus bisa memahami kebenaran lafal mufrad
yang terdapat dalam Al-Qur’an dengan arti mampu menggunakan ahli bahasa.
Kemudian mufassir juga memiliki pengetahuan untuk memahami uslub yang terdapat
dalam Al-Qur’an dengan cara memahami kalimat yang tersembunyi dan
keindahannya.Seorang mufassir juga harus mengetahui hal ihwal manusia,
mengetahui sisi petunjuk bagi manusia semuanya dan mengetahui sejarah kehidupan
Nabi SAW serta para sahabatnya baik urusan dunia maupun akhirat.[14]
afsir-tafsir Abduh dan lanjutannya yang
ditulis oleh muridnya sekaligus temannya pada awalnya tidak meraik sukses.
Tahun 1905, lebih empat tahun sesudah kuliah yang diberikan oleh Abduh yang
kemudian menjadi tafsir al-Manar dimulai.Farid Wajidi di dalam pengantar tafsir
yang ditulisnya, mengeluhkan tidak adanya tafsir yang cocok untuk masyarakat
awam yang sesuai dengan kondisi masyarakat Mesir.Disamping itu ada juga yang
mengejek tafsir yang ditulis oleh Abduh. Namun pada akhirnya, tafsir Abduh
mencapai puncak kesuksesan.Tafsirnya banyak dikutip oleh para mufassir
belakangan.
Sekarang, tafsirnya banyak menjadi rujukan
bagi ulama baik yang progresif maunpun yang konservatif.Sukses yang diraih
Abduh ini dikarenakan dengan adanya kebutuhan baru di dalam diri mereka
sendiri, yakni dengan kemunculan secara gradual tingkatan orang-orang Mesir
yang memperoleh pendidikan di luar institusi-institusi keagamaan tradisional,
yang mana sebelumnya kesadaran masyarakat terkait ilmu pengetahuan sangat
rendah. Tafsir-tafsir Abduh menarik perhatian kelompok melek huruf, yang pada
tahun 1907, mendirikan partai-partai politik yang menyokong jaminan UU dan
pengambilan kembali Mesir dari Inggris.[15]
Metode
penafsiran Muhammad Abduh
Sebelum kehadiran Abduh, penafsiran Al-Qur’an
lebih saat itu merupakan suatu masalah akademis. Penulisan tafsir oleh para
ulama adalah untuk ulama-ulama lain. Memahami tafsir membutuhkan pengetahuan
yang detail dengan kata-kata teknis dan istilah tata bahasa Arab, hukum dan
dogma muslim, sunah Nabi dan para sahabatnya serta biografi Nabi. Ketika itu
tafsir merupakan ensiklopedi dari berbagai cabang ilmu. Dibutuhkan pengetahuan
yang mendalam dan energi intelektual yang sangat besar untuk mempelajari apa
yang tersirat di dalam tafsir-tafsir yang ada, yang membicarakan segala sesuatu
yang menyangkut Al-Qur’an, baik secara biasa dan harfiah. Sedangkan Abduh pada
prinsipnya keberatan terhadap bentuk tafsir akademis tersebut. Abduh ingin
menjelaskan Al-Qur’an kepada masyarakat luas dengan makna yang praktis, bukan
hanya untuk para ulama professional. Abduh menginginkan pembacanya, masyarakat
awam maupun para ulama, menyadari relevansi terbatas yang dimiliki
tafsir-tafsir tradisional, tidak akan memberikan pemecahan terhadap
masalah-masalah penting yang mereka hadapi sehari-hari. Abduh ingin meyakinkan
para ulama itu bahwa mereka seharusnya membiarkan Al-Qur’an berbicara atas
namanya sendiri, bukan makah diperumit dengan penjelasanpenjelasan dan
keterangan-keterangan yang subtil.[16]
Ada yang menggolongkan Abduh sebagai seorang
agnostic, namun dilihat dari sikap keagamaan Abduh akan lebih tepat digambarkan
sebagai rasionalis. Hal ini ditunjukkan dari tafsirtafsir Al-Qur’annya.Abduh
tampaknyaa berminat mengganti wahyu dengan akal pikiran.Banyak kalangan Mesir
menyatakan tafsir-tafsirAbduh sebagai sesuatu yang orisinil, jika dibandingkan
dengan tafsir-tafsir yang ada.Kebaruannya terletak tidak pada satu bentuk
saja.Pada tahun 1903, Abduh mempublikasikan tafsir juz amma. Sedangkan tafsir al-manar
berbeda dengan beberapa hal denga tafsir pertama Abduh tersebut.[17]
Al-Dzahabi menyebut bahwa model penafsiran
Muhammad Abduh adalah pembaharuan (tajdid), dorongan untuk terbebas dari taqlid
(mengikuti dogma tertentu secara buta), memberikan ruang pikiran untuk bebas
berfikir, dan menjauhi kejumudan dari pendapat-pendapat ulama terdahulu.[18]
Dorongan terbebas dari taklid tersebut ia
wujudkan secara nyata dengan tidak mengutip pendapat mutaqaddimin kecuali
sedikit dan lebih mengedepankan rasio yang di miliki.Ia tidak mau tunduk begitu
saja di hadapan pendapat ulama terdahulu. Ia mengatakan:
“Tafsir di era
kita saat ini dan beberapa era sebelumnya hanya mengkaji ulang
pendapat-pendapat ulama terdahulu dalam kitab tafsir mereka yang tentu saja
memiliki banyak sekali perselisihan sebagaimana yang dikemukakan oleh Alquran:
“Maka apakah
mereka tidak memperhatikan Al Quran?Kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi
Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya”.
Seandainya saja orang-orang yang gemar
mengutip pendapat dalam kitab-kitab tafsir itu mau menggali dan mencari
kandungan makna yang ada di dalam Alquran untuk diri mereka sendiri, mencari
pemahaman yang tepat kemudian menyebarluaskannya kepada masyarakat dan
menyelaraskan konteksnya dengan situasi masyarakat.Sayangnya mereka tidak
melakukan hal itu.Mereka hanya mencari sebuah industri, bermahir-mahiran dalam
hal itu dan gemar membanggakan hal tersebut, sertamemperdebatkannya. Dan mereka
tidak berupaya untuk mencari keunggulan lain sebanyak mungkin dari pendapat
tersebut serta tidak mau menemukan penemuan-penemuan baru dari sebuah penakwilan.[19]
Dalam pernyataannya yang lain yang lebih
tajam, Muhammad Abduh mengatakan:
“Sesungguhnya di hari kiamat nanti Allah SWT
tidak menanyakan tentang pendapat-pendapat ulama dan apa yang mereka pahami
akan tetapi menanyakan kitab-Nya yang menjadi petunjuk dan jalan bagi kita,
serta sunah Nabi-Nya yang telah menjelaskan kepada kita apa yang diturunkan
Allah SWT.[20]
Sebagaimana dalam firman Allah.
Dan Kami
turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang
telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan
Sikap Muhammad Abduh yang demikian ini
digambarkan di dalam Tafsir al-Manar bahwa memang sudah menjadi kebiasaannya
untuk tidak membaca kitab-kitab ulama sebelum ia menyampaikan pelajarannya agar
ia tidak terpengaruh oleh pemahaman mereka. Namun ketika ia menemukan suatu hal
yang mengganjal terkait tata bahasa, i’rab, atau bahasa Arab yang asing, baru
kemudian ia merujuk kepada kitab-kitab ulama tafsir untuk mengetahui apa yang
dituliskan oleh mereka berkaitan dengan hal tersebut. ia mengatakan: “Aku tidak
membaca (kitabkitab tafsir) ketika aku membacakan Alquran, namun ketika aku menemukan
hal-hal asing dalam i’rab aku membuka kitab tafsir para ulama.”[21]
Semua buah pemikiran tafsirnya pada akhirnya
tertuang dalam tafsir al-Manar. Tafsir al-Manar mengupas 12 juz yang pertama
dari seluruh teks Al-Qur’an, dalam 12 jilid, masingmasing mencakup satu juz
dari Al-Qur’an. Berbeda dengan cara tradisional, surah-surah dan ayat-ayat
disebutkan. Ayatayat dikelompokkan dalam kesatuan-kesatuan logis,
periskopperiskop dari lima hingga sepuluh ayat, diikuti oleh beberapa halaman
tafsir. Tafsir yang membahas Al-Qur’an yang perlu dipertimbangkan, sering kali
disela dengan penyimpanganpenyimpangan panjang yang membicarakan
masalah-masalah agama dan masyarakat.Masing-masing jilid tafsir al-Manar
didahului dengan indeks-indeks yang memudahkan seseorang untuk menemukan urutan
alfabetis topik-topik yang dicari oelh pembaca.Indeks-indeks alfabetis tersebut
merupakan hal baru yang diperkenalkan oleh tafsir Al-Manar yang kemudian ditiru
oleh banyak mufassir Mesir belakangan. Penampilan tafsir alManar meningatkan
pembaca akan tafsir Al-Qur’an karya Ibnu Katsir, yang juga membagi teks-teks
dalam periskop-periskop. Tafsir Abduh memiliki perbedaan dengan tafsir
sebelumnya yaitu pada penekanannya yang baru dalam melihat Al-Qur’an, yakni
sebagai sumber hidayah, petunjuk keagamaan dan spiritual. Dalam pandangan
Abduh, Al-Qur’an terutama bukanlah sumber hukum atau dogma Islam, atau suatu
ajang kesempatan bagi para filolog untuk memamaerkan kepintaran mereka, tetapi
Al-Qur’an merupakan kitab dari mana seharusnya untuk Islam bisa merumuskan
pemikiran-pemikiran mengenai dunia ini dan dunia yang akan datang.Dari sini
terlihat perbedaan pandangan Abduh mengenai urgensi penafsiran Al-Qur’an. Inti
dari sistem penafsiran Abduh-jika kata “sistem” bisa digunakan secara tepat
dalam hal ini- adalah keragu-raguannya dalam menerima materi dari luar Al-Qur’an
itu sendiri sebagai sesuatu yang bermakna bagi penafsiran Al-Qur’an.[22]
Abduh ingin tafsirnya menadi instrumen yang
bermakna bagi umat Islam agar bisa mengatasi masalah mereka sendiri dengan
dibimbing secara spiritual oleh Al-Qur’an itu sendiri. Oleh karena itu, Abduh
berharap tafsir-tafsir Al-Qur’an tidak hanya menjadi spekulasi-spekulasi
teoritis monograf-monograf gramatikal dan kutipan-kutipan ilmiah. Menurut
Abduh, umat Islam seingkali tidak menyadari bahwa merekalah yang dituju Allah
dalam Al-Qur’an dan bukan hanya para ulama mereka saja dan orang-orang yang
telah meninggal.
Bagi pembaca yang hendak download tafsir al-Mannar sila klik tautan download tafsir al-Manar di sini.
[1]M. Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Quran:
Studi Kritis Tafsir Al-Manar, (Jakarta: Lentera Hati, 2006), h. 5-6
[2]Muhammad Husein al-Dzahabi, al-Tafsir wa
al-Mufassirun, (Kairo: Dar al-Hadith, 1422 H), juz 3, h. 479
[3]Muhammad Husein al-Dzahabi, al-Tafsir wa
al-Mufassirun, juz 3, h. 479
[4]Mani’Abd Halim Mahmud, Metodologi Tafsir:
Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir, h. 251
[5] Pada tahun 1279 H ayah Muhammad Abduh membawanya ke Mesjid Al-Ahmadi untuk
belajar ilmu tajwid dengan pamannya SyaikH Mujahid, beliau adalah seorang yang
paling baik bacaannya dalam Al-Quran. Kemudian pada
tahun 1281 H setelah mengenyam pendidikan di sana selama satu tahun setengah
beliau merasakan tidak mengerti apapun tentang metode belajar. Sehingga beliau
putusa asa dan lari dari studinya kemudian kembali ke kampong halamannya. Lihat
Mani’ Abd Halim Mahmud, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode Para Ahli
Tafsir , h. 251. Lihat juga M. Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Quran: Studi
Kritis Tafsir Al-Manar, h.7
[6] M. Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Quran: Studi Kritis Tafsir
Al-Manar, h.7
[7] Mani’Abd Halim Mahmud, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif
Metode Para Ahli Tafsir , h. 252
[8]M. Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Quran:
Studi Kritis Tafsir Al-Manar, h.7
[9]Mani’Abd Halim Mahmud, Metodologi Tafsir:
Kajian Komprsssssssehensif Metode Para Ahli Tafsir , h. 25
[10]Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir
Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Insani Madani, 2008), h. 140
[11]aiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir
Al-Qur’an, h. 141
[12]Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir
Al-Qur’an, h. 142
[13]Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir
Al-Qur’an, h. 143
[14] Mani’Abd Halim Mahmud, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif
Metode Para Ahli Tafsir , h. 256-257
[15] J.J.G. Jansen, The Interpretation of the Koran in Modern Egypt,
terj. Hairussalim dan Syarif Hidayatullah, Diskursus Tafsir Al-Qur’an Modern,
(Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 1997), h. 29-31
[16]J.J.G. Jansen, The Interpretation of the
Koran in Modern Egypt, terj. Hairussalim dan Syarif Hidayatullah, Diskursus
Tafsir Al-Qur’an Modern, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 1997), h. 27-29
[17]J.J.G. Jansen, The Interpretation of the
Koran in Modern Egypt, terj. Hairussalim dan Syarif Hidayatullah, Diskursus
Tafsir Al-Qur’an Modern, h. 33-35
[18]Muhammad Husein Al-Dzahabi, al-Tafsir wa
al-Mufassirun, juz 2, h. 486
[19] Muhammad Husein Al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, juz 2, h.
489
[20] Muhammad Husein Al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, juz 2, h.
490
[21] Muhammad Husein Al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, juz 2, h.
489
Comments
Post a Comment