BIOGRAFI PENULIS TAFSIR AL-MANAR BAGIAN 1: MUHAMMAD ABDUH

 


Biografi Muhammad Abduh 

Syekh Muhammad ‘Abduh nama lengkapnya adalah Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah, dilahirkan di desa Mahallat Nashr kota Buhairah, Mesir pada tahun 1849 M.[1]

Al-Manar adalah salah satu kitab Tafsir yang berorientasi sosial, budaya dan kemasyarakatan: suaatu corak penafsiran yang menitikberatkan penjelasan ayat al-Qur’an pada segi-segi ketelitian redaksionalnya, kemudian menyusun kandungan ayatayatnya dalam suatu redaksi yang indah dengan penonjolan tujuan utama turunnya al-Qur’an, yakni membawa petunjuk dalam kehidupan, kemudian merangkaikan pengertian ayat tersebut dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyrakat dan perkembangan dunia.

Salah satu yang menjadi ciri khas Muhammad ‘Abduh adalah ketidak terlibatannya di dalam madzhab tertentu di dalam memberikan penafsiran.Beberapa mufassir lain cenderung menganut madhab tertentu, hal itu sangat kentara sekali dalam karya-karya tafsir mereka.[2]

Al-Dzahabi menambahkan bahwa Muhammad ‘Abduh sangat kritis sekali terhadap riwayat-riwayat Israiliyyat, ia tidak tertarik dengan riwayat-riwayat yang hanya memperbagusi penafsiran di satu sisi namun pada dasarnya berisikan khurafat dan riwayat-riwayat yang dusta.Beberapa penafsirannya juga tidak terlalu dalam membahas persoalanpersoalan ghaib, seringkali ia hanya menyajikannya sesuai data global yang dijelaskan oleh Alquran maupun Hadis.[3]

Pendidikan Muhammad Abduh Muhammad Abduh sebelum belajar secara formal, ia belajar baca tulis di rumah orang tuanya, kemudian pindah ke sekolah Hifzil Quran.[4] Kemudian Muhammad Abduh dikirim oleh ayahnya ke Mesjid al-Ahmadi Thantha(sekitar 80 km dari Kairo) untuk mempelajari tajwid al-Quran. Namun, sistem pengajaran di sana dirasakan sangat menjengkelkannya sehingga setelah dua tahun (tahun 1864) di Thantha, Muhammad Abduh memutuskan untuk kembali ke desanya dan bertani seperti saudara-saudara serta kerabatnya.[5]

Ketika Muhammad Abduh kembali ke kampung halamannya, ia berniat tidak akan menuntut ilmu lagi. Pada tahun 1282 H/ 1882 M, setelah sampai hari ke-40 dari pernikahanya, ayahMuhammad Abduhdatang memaksanya untuk kembali belajar. Namun Muhammad Abduh sudah bertekad untuk tidak kembali. Muhammad Abduh tidak pergi ke Thanta untuk belajar kembali tetapi beliau bersama teman-temannya ke desa Syibral Khit, di sana banyak paman dari pihak ayahnya bertempat tinggal. Di kota inilah ia bertemu dengan Syaikh Darwis Khidr, salah seorang pamannya yang memiliki pengetahuan mengenai al-Quran dan menganut paham tasawuf asy-Syadziliah.[6]

Syaikh Darwis menerima tarikat Syadziliah dari gurunya. Beliau hafal kitab muwatta’ dan sebagian kitab-kitab hadis juga baik dalam menghafal al-Quran dan pemahamannya.Syaikh Darwis merayu Abduh untuk menuntut ilmu dengan membawa Abduh ke lahan pengetahuan.Syaikh Darwis memberikan kitab karangan Sayyid Muhammad al-Madani.Syaikh Darwis meminta Abduh untuk membacakan kitab itu untuknya karena pada saat itu penglihatannya mulai rabun.Hal itu terus berjalan hingga Abduh membaca sebagian baris kitab, maka mulai panjang lebar menafsirkan makna yang dibaca dengan Bahasa yang jelas.[7]

Sang paman berhasil merubah pandangan Muhammad Abduh, dari seseorang yang membenci ilmu pengetahuan menjadi orang yang menggemarinya.Sehingga apa yang sebelumnya yang beliau senangi seperti bermain, bercanda dan berbanggabangga telah berubah menjadi hal-hal yang paling beliau benci. Muhammad Abduh kembali ke Mesjid Al-Ahmadi Thantha, dan kali ini minat dan pandanganya untuk belajar telah jauh berbeda disbanding sewaktu pertama kali beliau ke sana. Muhammad Abduh sagat dipengaruhi oleh cara dan paham sufistik yang ditanamkan oleh Syaikh Darwis Khidr.[8]

Pada pertengahan bulan syawal pada tahun 1866 M Muhamamd Abduh berangkat ke Kairo untuk belajar di Al- Azhar, secara kontinyu beliau belajar dengan guru-gurunya, serta memelihara diri beruzlahdan menjauh dari manusia. Setiap akhir tahun pelajaran Muhammad Abduh pulang ke kampung halamannya Mahallah Nasr, untuk menetap di sana selama dua bulan, dari pertengahan bulan Sya’ban hingga pertengahan bulan Syawal. Ketika beliau di desanya, Abduh bertemu dengan pamannya Syaikh Darwis. Syaikh Darwis menanyakan pada Abduh terkait apa yang beliau baca, kemudian Syaikh Darwis mengarahkan Abduh supaya mempelajari ilmu lain seperti ilmu mantiq (logika), matematika dan arsitektur.[9]

Abduh di al-Azharmempelajari kitab-kitab filsafat karangan Ibnu Sina dan logika karangan Aristoteles di bawah bimbingan Syekh Hasan ath-Thawi.Ilmu bahasa dan sastra ditelaahnya di bawah pengawasan Muhammad al-Basyuni.[10]

Pada tahun 1871 M, Jamaluddin al-Afghani tiba di Mesir. Kehadirannya disambut oleh Muhammad Abduh dengan menghadiri pertemuan-pertemuan ilmiah yang mendatangkan al-Afghani. Semangat pembaharuan yang diberikan oleh alAfghani memberikan ide bagi Abduh untuk menulis Risalah al-‘Aridat (1873) dan Hasyiyah ‘ala Syarh al-Jalal ad-Diwani lil ‘Aqaid al-Adudiyyah (1875). Selain dua bentuk tulisan itu, ia juga melahirkan sejumlah tulisan yaitu Tafsir al-Qur’an alHakim yang biasa dikenal dengan Tafsir al-Manar, yang nantinya disempurnakan oleh Rayid Ridha.

Pendidikan Abduh di al-Azhar pernah terancam dinyatakan tidak lulus disebabkan artikel yang ditulisnya di surat kabar al-Ahram, di antara artikel tersebut menyulut api kontroversi. Namun berkat pembelaan dari Syekh Muhammad al-Mahdi al-Abbasi yang menjabat sebagi Syekh al-Azhar, Muhammad Abduh dinyatakan lulus dengan nilai tertinggi di al-Azhar pada usian 28 tahun. Pada tahun 1878 M, Abduh menjadi guru sejarah pada sekolah Darul Ulum dan ilmu bahasa Arab pada Madrasah al-Idarah wa Alsun (Sekolah Administrasu dan Bahasa-bahasa). Namun pada tahun 1879 M ia diberhentikan dan diasingkan ke Mahallat Nashr, Mesir tempat kelahirannya. Pada tahun 1880 M, Abduh dibebaskan dari pengasingan, nama baiknya sudah kembali. Bahkan ia mendapatkan penghormatan untuk memimpin surat kabar resmu pemerintah Mesir yaitu al-Waqaiz al-Misriyyah.[11]

Pada tahun 1882 M Pasca-Revolusi Urbani berakhir dengan kegalalan, pemerintah Mesir mengira bahwa Muhammad Abduh ikut serta terjadinya kegagalan tersebut.Sehingga pemerintah Mesir mengasingkan Abduh ke Suriah selama tiga tahun. Abduh hanya selama setahun di Suriah, ia berhijrah ke Paris, Perancis menyusul al-Afghani, yang sebelumnya juga diusir oleh Pemerintah Mesir. Mereka menerbitkan surat kabar al-Urwah al-Wusqa dengan tujuan untuk menentang penjajahan Barat, khususnya Inggris. Abduh berpindah ke Beirut dan meninggalkan Paris, di Beirut Abduh mengajar dan menulis beberapa kitab.Di antara kitab yang dihasikannya adalah Risalah at-Tauhid, Syarh Nahjul Balagah, ar-Raddu ‘ala ad-Dahriyyin dan Syarh Maqamat Badi’ az-Zaman al-Hamazani. Pada tahun 1905 M. Abduh memberikan ide untuk mendirikan sebuah perguruan tinggi yang memiliki kualitas dan kuantitas yang bagus.Ide dari Abduh mendapatkan respon positif dari pemerintah dan masyarakat, itu terlihat dengan adanya sebidang tanah yang disediakan untuk misi pendidikan tersebut. Namun perguruan tinggi tersebut baru berdiri setelah Abduh meninggal dunia yaitu pada 11 Juni 1905 M.[12]

Karya Tafsir Muhammad Abduh

Sebagaimana sebelumnya sudah disinggung sedikit terkait karya Muhammad Abduh terkait tafsir yaitu Tafsir al-Qur’an alHakim yang lebih popular dikenal denganTafsir al-Manar.Tafsir ini pada mulanya merupakan diktat perkuliahan Abduh tentang tafsir Al-Qur’an di Universitas Al-Azhar.Sepeninggalan Abduh tafsir tersebut disusun kembali oleh Muhammad Rasyid Ridha yang merupakan murid dari Abduh.Tafsir al-Manar diterbitkan setelah dilakukan pengolahan dan pengeditan seperlunya. Tafsir al-Manar mulai diterbitkan pada bulan Syawal tahun 1315 H, pada bulan Maret 1898 M. Publikasi kitab tafsir tersebut dilatarbelakangi oleh kemauan Ridha untuk menerbitkan surat kabar yang membahas isu-isu sosial-budaya dan agama.

 Tafsir al-Manar tidak ditulis hingga selesai oleh Rasyid Ridha, karena ia keburu meninggal, tidak ada ulama yang menuntaskan karya agung tersenut. Oleh karena itu, tafsir al-Manar hanya memuat 12 juz pertama dari Al-Qur’an, dimulai dari surah al-Fatihah hingga ayat 53 Surah Yusuf.Pemikiran Abduh dari Surah al-Fatihah hingga ayat 126 dari Surah an-Nisa’, selebihnya dilanjutkan oleh Rasyid Ridha dengan menggunakan metode pemikiran dari Muhammad Abduh.Penafsiran Abduh didasari oleh dua landasan, yaitu riwayat shahih dan nalar-rasional.Ia memadukan keduanya. Uraian yang diberikan oleh Abduh sangat mengesankan, makna ayat diungkapkan dengan mudah dan lugas.Ia memberikan ilustrasi beberapa problematikan sosial dan memberikan solusi dengan berpedoman pada Al-Qur’an.[13]

Muhammad Abduh berpandangan bahwa tafsir itu memiliki beberapa tingkatan. Tingkatan paling rendah, harus menjelaskan secara global apa yang dirasakan hati tentang keagungan Allah dan kesucian-Nya, memalingkan nafsu dari kejahatan dan melakukan kebaikan. Sedangkan tingkatan tertinggi adalah seorang mufassir harus bisa memahami kebenaran lafal mufrad yang terdapat dalam Al-Qur’an dengan arti mampu menggunakan ahli bahasa. Kemudian mufassir juga memiliki pengetahuan untuk memahami uslub yang terdapat dalam Al-Qur’an dengan cara memahami kalimat yang tersembunyi dan keindahannya.Seorang mufassir juga harus mengetahui hal ihwal manusia, mengetahui sisi petunjuk bagi manusia semuanya dan mengetahui sejarah kehidupan Nabi SAW serta para sahabatnya baik urusan dunia maupun akhirat.[14]

afsir-tafsir Abduh dan lanjutannya yang ditulis oleh muridnya sekaligus temannya pada awalnya tidak meraik sukses. Tahun 1905, lebih empat tahun sesudah kuliah yang diberikan oleh Abduh yang kemudian menjadi tafsir al-Manar dimulai.Farid Wajidi di dalam pengantar tafsir yang ditulisnya, mengeluhkan tidak adanya tafsir yang cocok untuk masyarakat awam yang sesuai dengan kondisi masyarakat Mesir.Disamping itu ada juga yang mengejek tafsir yang ditulis oleh Abduh. Namun pada akhirnya, tafsir Abduh mencapai puncak kesuksesan.Tafsirnya banyak dikutip oleh para mufassir belakangan.

Sekarang, tafsirnya banyak menjadi rujukan bagi ulama baik yang progresif maunpun yang konservatif.Sukses yang diraih Abduh ini dikarenakan dengan adanya kebutuhan baru di dalam diri mereka sendiri, yakni dengan kemunculan secara gradual tingkatan orang-orang Mesir yang memperoleh pendidikan di luar institusi-institusi keagamaan tradisional, yang mana sebelumnya kesadaran masyarakat terkait ilmu pengetahuan sangat rendah. Tafsir-tafsir Abduh menarik perhatian kelompok melek huruf, yang pada tahun 1907, mendirikan partai-partai politik yang menyokong jaminan UU dan pengambilan kembali Mesir dari Inggris.[15]

Metode penafsiran Muhammad Abduh

Sebelum kehadiran Abduh, penafsiran Al-Qur’an lebih saat itu merupakan suatu masalah akademis. Penulisan tafsir oleh para ulama adalah untuk ulama-ulama lain. Memahami tafsir membutuhkan pengetahuan yang detail dengan kata-kata teknis dan istilah tata bahasa Arab, hukum dan dogma muslim, sunah Nabi dan para sahabatnya serta biografi Nabi. Ketika itu tafsir merupakan ensiklopedi dari berbagai cabang ilmu. Dibutuhkan pengetahuan yang mendalam dan energi intelektual yang sangat besar untuk mempelajari apa yang tersirat di dalam tafsir-tafsir yang ada, yang membicarakan segala sesuatu yang menyangkut Al-Qur’an, baik secara biasa dan harfiah. Sedangkan Abduh pada prinsipnya keberatan terhadap bentuk tafsir akademis tersebut. Abduh ingin menjelaskan Al-Qur’an kepada masyarakat luas dengan makna yang praktis, bukan hanya untuk para ulama professional. Abduh menginginkan pembacanya, masyarakat awam maupun para ulama, menyadari relevansi terbatas yang dimiliki tafsir-tafsir tradisional, tidak akan memberikan pemecahan terhadap masalah-masalah penting yang mereka hadapi sehari-hari. Abduh ingin meyakinkan para ulama itu bahwa mereka seharusnya membiarkan Al-Qur’an berbicara atas namanya sendiri, bukan makah diperumit dengan penjelasanpenjelasan dan keterangan-keterangan yang subtil.[16]

Ada yang menggolongkan Abduh sebagai seorang agnostic, namun dilihat dari sikap keagamaan Abduh akan lebih tepat digambarkan sebagai rasionalis. Hal ini ditunjukkan dari tafsirtafsir Al-Qur’annya.Abduh tampaknyaa berminat mengganti wahyu dengan akal pikiran.Banyak kalangan Mesir menyatakan tafsir-tafsirAbduh sebagai sesuatu yang orisinil, jika dibandingkan dengan tafsir-tafsir yang ada.Kebaruannya terletak tidak pada satu bentuk saja.Pada tahun 1903, Abduh mempublikasikan tafsir juz amma. Sedangkan tafsir al-manar berbeda dengan beberapa hal denga tafsir pertama Abduh tersebut.[17]

Al-Dzahabi menyebut bahwa model penafsiran Muhammad Abduh adalah pembaharuan (tajdid), dorongan untuk terbebas dari taqlid (mengikuti dogma tertentu secara buta), memberikan ruang pikiran untuk bebas berfikir, dan menjauhi kejumudan dari pendapat-pendapat ulama terdahulu.[18]

Dorongan terbebas dari taklid tersebut ia wujudkan secara nyata dengan tidak mengutip pendapat mutaqaddimin kecuali sedikit dan lebih mengedepankan rasio yang di miliki.Ia tidak mau tunduk begitu saja di hadapan pendapat ulama terdahulu. Ia mengatakan:

“Tafsir di era kita saat ini dan beberapa era sebelumnya hanya mengkaji ulang pendapat-pendapat ulama terdahulu dalam kitab tafsir mereka yang tentu saja memiliki banyak sekali perselisihan sebagaimana yang dikemukakan oleh Alquran:

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran?Kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya”.

 Seandainya saja orang-orang yang gemar mengutip pendapat dalam kitab-kitab tafsir itu mau menggali dan mencari kandungan makna yang ada di dalam Alquran untuk diri mereka sendiri, mencari pemahaman yang tepat kemudian menyebarluaskannya kepada masyarakat dan menyelaraskan konteksnya dengan situasi masyarakat.Sayangnya mereka tidak melakukan hal itu.Mereka hanya mencari sebuah industri, bermahir-mahiran dalam hal itu dan gemar membanggakan hal tersebut, sertamemperdebatkannya. Dan mereka tidak berupaya untuk mencari keunggulan lain sebanyak mungkin dari pendapat tersebut serta tidak mau menemukan penemuan-penemuan baru dari sebuah penakwilan.[19]

Dalam pernyataannya yang lain yang lebih tajam, Muhammad Abduh mengatakan:

“Sesungguhnya di hari kiamat nanti Allah SWT tidak menanyakan tentang pendapat-pendapat ulama dan apa yang mereka pahami akan tetapi menanyakan kitab-Nya yang menjadi petunjuk dan jalan bagi kita, serta sunah Nabi-Nya yang telah menjelaskan kepada kita apa yang diturunkan Allah SWT.[20] Sebagaimana dalam firman Allah.

Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan

Sikap Muhammad Abduh yang demikian ini digambarkan di dalam Tafsir al-Manar bahwa memang sudah menjadi kebiasaannya untuk tidak membaca kitab-kitab ulama sebelum ia menyampaikan pelajarannya agar ia tidak terpengaruh oleh pemahaman mereka. Namun ketika ia menemukan suatu hal yang mengganjal terkait tata bahasa, i’rab, atau bahasa Arab yang asing, baru kemudian ia merujuk kepada kitab-kitab ulama tafsir untuk mengetahui apa yang dituliskan oleh mereka berkaitan dengan hal tersebut. ia mengatakan: “Aku tidak membaca (kitabkitab tafsir) ketika aku membacakan Alquran, namun ketika aku menemukan hal-hal asing dalam i’rab aku membuka kitab tafsir para ulama.”[21]

Semua buah pemikiran tafsirnya pada akhirnya tertuang dalam tafsir al-Manar. Tafsir al-Manar mengupas 12 juz yang pertama dari seluruh teks Al-Qur’an, dalam 12 jilid, masingmasing mencakup satu juz dari Al-Qur’an. Berbeda dengan cara tradisional, surah-surah dan ayat-ayat disebutkan. Ayatayat dikelompokkan dalam kesatuan-kesatuan logis, periskopperiskop dari lima hingga sepuluh ayat, diikuti oleh beberapa halaman tafsir. Tafsir yang membahas Al-Qur’an yang perlu dipertimbangkan, sering kali disela dengan penyimpanganpenyimpangan panjang yang membicarakan masalah-masalah agama dan masyarakat.Masing-masing jilid tafsir al-Manar didahului dengan indeks-indeks yang memudahkan seseorang untuk menemukan urutan alfabetis topik-topik yang dicari oelh pembaca.Indeks-indeks alfabetis tersebut merupakan hal baru yang diperkenalkan oleh tafsir Al-Manar yang kemudian ditiru oleh banyak mufassir Mesir belakangan. Penampilan tafsir alManar meningatkan pembaca akan tafsir Al-Qur’an karya Ibnu Katsir, yang juga membagi teks-teks dalam periskop-periskop. Tafsir Abduh memiliki perbedaan dengan tafsir sebelumnya yaitu pada penekanannya yang baru dalam melihat Al-Qur’an, yakni sebagai sumber hidayah, petunjuk keagamaan dan spiritual. Dalam pandangan Abduh, Al-Qur’an terutama bukanlah sumber hukum atau dogma Islam, atau suatu ajang kesempatan bagi para filolog untuk memamaerkan kepintaran mereka, tetapi Al-Qur’an merupakan kitab dari mana seharusnya untuk Islam bisa merumuskan pemikiran-pemikiran mengenai dunia ini dan dunia yang akan datang.Dari sini terlihat perbedaan pandangan Abduh mengenai urgensi penafsiran Al-Qur’an. Inti dari sistem penafsiran Abduh-jika kata “sistem” bisa digunakan secara tepat dalam hal ini- adalah keragu-raguannya dalam menerima materi dari luar Al-Qur’an itu sendiri sebagai sesuatu yang bermakna bagi penafsiran Al-Qur’an.[22]

Abduh ingin tafsirnya menadi instrumen yang bermakna bagi umat Islam agar bisa mengatasi masalah mereka sendiri dengan dibimbing secara spiritual oleh Al-Qur’an itu sendiri. Oleh karena itu, Abduh berharap tafsir-tafsir Al-Qur’an tidak hanya menjadi spekulasi-spekulasi teoritis monograf-monograf gramatikal dan kutipan-kutipan ilmiah. Menurut Abduh, umat Islam seingkali tidak menyadari bahwa merekalah yang dituju Allah dalam Al-Qur’an dan bukan hanya para ulama mereka saja dan orang-orang yang telah meninggal.

Bagi pembaca yang hendak download tafsir al-Mannar sila klik tautan download tafsir al-Manar di sini.



[1]M. Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Quran: Studi Kritis Tafsir Al-Manar, (Jakarta: Lentera Hati, 2006), h. 5-6

[2]Muhammad Husein al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, (Kairo: Dar al-Hadith, 1422 H), juz 3, h. 479

[3]Muhammad Husein al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, juz 3, h. 479

[4]Mani’Abd Halim Mahmud, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir, h. 251

[5] Pada tahun 1279 H ayah Muhammad Abduh membawanya ke Mesjid Al-Ahmadi untuk belajar ilmu tajwid dengan pamannya SyaikH Mujahid, beliau adalah seorang yang paling baik bacaannya dalam Al-Quran. Kemudian pada tahun 1281 H setelah mengenyam pendidikan di sana selama satu tahun setengah beliau merasakan tidak mengerti apapun tentang metode belajar. Sehingga beliau putusa asa dan lari dari studinya kemudian kembali ke kampong halamannya. Lihat Mani’ Abd Halim Mahmud, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir , h. 251. Lihat juga M. Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Quran: Studi Kritis Tafsir Al-Manar, h.7

[6] M. Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Quran: Studi Kritis Tafsir Al-Manar, h.7

[7] Mani’Abd Halim Mahmud, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir , h. 252

[8]M. Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Quran: Studi Kritis Tafsir Al-Manar, h.7

[9]Mani’Abd Halim Mahmud, Metodologi Tafsir: Kajian Komprsssssssehensif Metode Para Ahli Tafsir , h. 25

[10]Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Insani Madani, 2008), h. 140

[11]aiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir Al-Qur’an, h. 141

[12]Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir Al-Qur’an, h. 142

[13]Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir Al-Qur’an, h. 143

[14] Mani’Abd Halim Mahmud, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir , h. 256-257

[15] J.J.G. Jansen, The Interpretation of the Koran in Modern Egypt, terj. Hairussalim dan Syarif Hidayatullah, Diskursus Tafsir Al-Qur’an Modern, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 1997), h. 29-31

[16]J.J.G. Jansen, The Interpretation of the Koran in Modern Egypt, terj. Hairussalim dan Syarif Hidayatullah, Diskursus Tafsir Al-Qur’an Modern, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 1997), h. 27-29

[17]J.J.G. Jansen, The Interpretation of the Koran in Modern Egypt, terj. Hairussalim dan Syarif Hidayatullah, Diskursus Tafsir Al-Qur’an Modern, h. 33-35

[18]Muhammad Husein Al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, juz 2, h. 486

[19] Muhammad Husein Al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, juz 2, h. 489

[20] Muhammad Husein Al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, juz 2, h. 490

[21] Muhammad Husein Al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, juz 2, h. 489


Comments