BIOGRAFI PENULIS TAFSIR AL-MANAR BAGIAN 2: MUHAMMAD RASYID RIDHA

 



Muhammad Rasyid Ridha

 Muhammad Rasyid Ridha memiliki nama lengkap Sayid Muhammad Rasyid binAli bin Ridha bin Muhammad Syamsuddin al-Qalamuni. Gelar Sayid tersebut menunjukkan bahwa ia mempunyai garis keturunan langsung dari Nabi yaitu dari garis Husain, putra Ali bin Abi Thalib dan Fatima putri Rasulullah. Rasyid Ridha lahir di Qalamun, yaitu desa yang terletak empat kilometer dari Tripoli (Trobluss), Libya, pada 27 Jumadil awal 1282 H (1865 M).[1]

Rasyid Ridha tumbuh dan berkembang di desa Qalamun, bagian dari Trobluss (Syam).[2] Ia menapaki pendidikannya di sekolah Al-Qur’an lokal, di samping belajar menulis dan berhitung. Pada tahun 1882 M, ia melanjutkan pendidikannya ke Madrasah al-Wataniyyah al-Islamiyyah di Tripoli. Madrasah yang didirikan oleh Syekh Husain al-Jisr, seorang ulama yang pemikiran terkait keagamaannya telah tercerahkan oleh ide-ide moderitas.

Di sekolah tersebut selain mendapatkan pelajaran agama dan pengetahuan modern, Rasyid Ridha juga mengkaji berbagai bahasa asing, di antaranya adalah bahasa Prancis, Turki, dan Arab. Namun madrasah tersebut tidak berdiri lama dikarenakan adanya pertentangan dari pemerintahan Dinasti Ustmani. Meskipun demikian, Rasyid Ridha tidak menyerah dalam menuntut ilmu ia tetap melanjutkan pendidikannya di sekolah lain yang ada di Tripoli, hubungannya dengan Syekh Husain al-Jisr terajut baik.[3]

Iaberkelana dan menuntut ilmu hingga sampai ke Troblus. Ia menghabiskan waktu mudanya dengan menulis karena ia sangat akrab dengan syair sehingga tulisannya diterbitkan dalam bukubuku dan majalah ketika itu ia menjadi terkenal sampai kepada penuli-penulis terkenal. Berkat kedekatan keduanya itu, Rasyid Ridha diberi kesempatan oleh sang guru untuk menulis di beberapa surat kabar Tripoli. Inilah momen yang memudahkannya untuk mendirikan sebuah penerbitan surat kabar. Kemudian Rasyid Ridha menerbitkan sebuah majalah yang sangat populer saat itu yang dikenal dengan namaal-manar. Ia merupakan rujukan kaum muda dalam menulis terkait syariah islamiah yang agung dan tema-tema kontemporer.[4]

Selain belajar dengan Syekh Husian al-Jisr, ia juga berguru dengan Muhammad Nasyabah dan Muhammad al-Qawiji yaitu para ahli hadis. Rasyid Ridha juga belajar dengan dengan Abdul Gani ar-Rafi, Muhammad Kamil ar-Rafi dan Muhammad alHusaini.[5]

Ketika kerajaan Utsmani memproklamasikan undangundang kerjaan pada tahun 1326 H, Rasyid Ridha melakukan kunjungan ke negeri Syam untuk menyumbangkan ide-idenya dan menjelaskan pandangan Islam dalam berbagai permasalahan penting. Ketika ia menyampaikan pidatonya di atas mimbar masjid Umawi di Damaskus, ada yang menentangnya dan hampir menjadi fitnah besar seandainya ia tidak mengambil kebijakan untuk kembali ke Mesir pada saat itu.

 Dalam waktu yang hampir bersamaan ketika Rasyid Ridha berjuang di Libanon, gerakan pembaruan mulai marak. Di Mesir, gerakan pembaruan diproklamasikan oleh Muhammad ‘Abduh dan Jamaluddin al-Afghani dengan menerbitkan majalah al‘Urwah al-Wusqa. Majalah ini diterbitkan setiap minggu dari Paris.Tujuan pokok dari majalah tersebut adalah pertama, menyampaikan informasi kepada kaum muslim tentang tipu daya kaum imperalis. Melalu informasi ini, diharapkan negara-negara Islam bisa bersatu kembali dan membentuk satu komunitas yang kuat da tidak mudah tercerai-berai.Tujuan dari majalah tersebut juga meberikan informasi bahwa negara Eropa telah berusaha mengambil keuntungan dengan pertikaian dan perperangan antar negara-negara Islam.Kedua, melindungi setiap perbatasan Negara Islam dari serangan negara lain dan menggunakan keseluruhan sumber mereka untuk menentang agresi. Ketiga, memperjuangkan kemerdekaan semua negara yang dijajah oleh kolonial Barat. Distribusi dari majalah tersebut terus berkembang ke seluruh penjuru dunia Islam.Salah satnya sampai kepada Muhammad Rasyid Ridha.Ia merasa kagum dan simpatik terhadap kedua tokoh tersebut. Ketakjubannya terhadap Muhammad Abduh dan Jamaluddin al-Aghani semakin menjadi buncah dan menggelora. Langkahnya pun diayunkan untuk menemui Jamaluddin alAfghani selaku tokoh utamanya, namun gagal. Rasyid Ridha tidak pantang menyerah, walaupun ia tidak bertemu dengan Jamaluddin al-Afghani ia berusaha keras untuk bertemu dengan Muhammad ‘Abduh. Usahanya berbuah manis, ia berhasil bertemu dengan Muhammad ‘Abduh ketika ‘Abduh berkunjung ke Tripoli, Libanon pada tahun 1892 M.

Perjumpaan keduanya terjadi ketika ‘Abduh menjalani masa pembuagan di Beirut pada tahun 1894 M. ketika itulah Rasyid Ridha melakukan dialog langsung dengan Muhammad ‘Abduh. Hasil dialog tersebut memberikan kesan yang sangat mendalam bagi Rasyid Ridha. Pada tahun 1897 M, Rasyid Ridha memutuskan untuk pergi dan menetap di Mesir, negeri Muhammad ‘Abduh. Pasalnya ketika ia menyumbangkan ide-ide dan menjelaskan pandangan Islam dalam berbagai permasalahan penting, ia mendapatkan pertentangan dan kecaman serta intimidasi dari pemerintahan kerjaan Utsmani.[6]

Sejarah pemikiran Islam modern mencatat, bahwa Muhammad ‘Abduh adalah seorang tokoh pembaruan yang popular. Keberhasilan ‘Abduh dapat terwujud bukan hanya karena hasil upayanya sendiri, melainkan juga berkat upaya dan kontribusi murid terdekatnya, Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, yang tidak mengenal lelah dalam memublikasikan dan menyebarluaskan pemikiran-pemikiran ‘Abduh ke seluruh dunia Islam melalui majalah al-manar, tafsir al-manar dan karyakaryanya yang lain. Berkenaan hubungan ‘Abduh dengan Ridha, Syekh Musthafa ‘Abdurraziq mengatakan bahwa jika’Abduh adalah imam dalam agama, Ridha adalah sahabatnya, sang penafsir mazhab dan penyempurna aliran ‘Abduh.[7]

Pada bulan Januari tahun 1898 M ia sampai di Mesir. Setelah beberapa bulan di Mesir, Rasyid Ridha berhasil menerbitkan edisi perdana majalah al-manar yang isinya antara lain memuat artikel tafsir Al-Qur’an. Kelak artikel tersebut dikenal sebagai nama tafsirnya al-Manar. Gerakannya di Mesir berkembang dengan baik, di antara adalah ia mendirikan sebuah MadrasahDar ad-Dakwahwa alIrsyadpada tahun 1912M dengan bantuan yang kuat dan semangat yang tinggi. Misi sekolah ini adalah mengirimkan lulusannya ke Indonesia dan Cina untuk menghalau gencarnya serangan aktivis misionaris Kristen di negara-negara tersebut. Nmaun ketika membaranya api peperangan yaitu Perang Dunia I pada tahun 1914 M dan keadaan semakin genting, sekolah ini terpaksa ditutup.[8]

Ketika ia berkunjung ke Syiria pada masa kepemimpinan RajaFaisal bin Husain, ia mencalonkan dirinya menjadi ketua muktamar Syiria namun karena penjajah Perancis masuk ke Syiria pada tahun 1920 M Rasyid Ridha meninggalkan jabatan tersebut. Kemudian ia kembali ke Mesir dan menetap beberapa lama. Setelah itu Rasyid Ridha berkunjung ke India, Hijaz dan ke Eropa. Ia kembali lagi ke Mesir dan menetap di sana hingga wafat, ia wafat mendadak ketika di dalam mobil saat dalam perjalanan dari Swiss menuju Kairo 23 Jumadilawal 1354 H bertepatan pada 22 Agustus 1935 M sepulang dari mengantar Pangeran Su’ud ke terusan Suez, dia dimakamkan di Kairo.[9]

Karya-karya peninggalan Muhammad Rasyid Ridha

Perpustakaan Arab banyak memuat karya Rasyid Ridha, di antaranya : majalah al-Manar (diterbitkan sebanyak 34 jilid), Tafsir Al-Qur’an (12 Jilid), tarikh al-Ustadz Syaik Muhammad ‘Abduh (3 Juz), Nidal lil-Jinsi al-Latif, al-Wahyu al-Muhamadi, Yusrul Islam wa Usul Tasyru Am, al-Khilafah, al-Wahabiyyun wal Hijaz, Mawarat al-Muslih wal Muqallid, Dzikra al Maulid an-Nabawi, Syubuhat an Nashara wa Hujaj al-Islam.Arsalam menyusun sebuah kitab tentang sejarah Muhammad Rasyid Ridha. Dia memberi nama Sayid Rasyid Ridha, Saudara Empat Puluh Tahun.[10]

Dari beberapa karyanya, Tafsir al-Manar adalah karya yang paling populer. Kitab ini berasal dari kumpulan artikel yang dimuat dalam surat kabar mingguan al-Manar, terkait dengan problem-problem sosial, budaya dan agama menjadi sorotan utamanya. Apabila dilihat dari awal, kumpulan artikel yang ditampilkan dalam majalah al-Manar merupakan kuliah tafsir Al-Qur’an di Al-Azhar yang diberikan oleh Muhammad Abduh. Hasil kuliah tersebut ditanskip, dirapikan, dan disunting oleh Rasyid Ridha untuk selanjutnya dipublikasikan. Namun sebelum dipublikasikan, ia terlebih dahulu berkonsultasi kepada gurunya. Setelah mendapat persetujuan, barulah Rasyid Ridha memuatnya di majalah al-Manar.Inilah asal muasal tafsir al-Manartersusun. Al-Manar adalah sebutan popular dari tafsir tersebut karena dinisbahkan dengan nama surat kabar mingguan yang menjadi cikal bakalnya.Nama asli kitab tafsir tersebut adalahTafsir alQur’an al-Hakim.[11]

Metodologi Tafsir Rasyid Ridha

Rasyid Ridha mempunyai metodologi tafsir yang jelas. Tujuannya adalah untuk memahami Al-Qur’an dan mengetahui tujuan-tujuan Al-Qur’an dan mengambil manfaat yang terdapat di dalamnya. Rasyid Ridha menjelaskan bahwa Al-Qur’an hanya bisa dipahami oleh orang yang bersungguh-sungguh dalam membacanya tidak hanya sekedar membaca saja, tetapi juga menghadapkan pandangannya, wajah dan hatinya baik dalam kondisi shalat atau di kondisi lainnya, sebagaimana yang difirmankan oleh Allah dalam Al-Qur’an, baik dari sub penurunannya, faedah membacanya, hikmah merenunginya, petunjuk, rahmat, mauidzah, peringatan, khusyu’ takut serta beberapa hukum alam yang terjadi.Itu merupakan tujuan dari peringatan dan kabar gembira yang Allah firmankan.

Kemudian Rasyid Ridha juga meyebutkan bahwa banyak tafsir yang jauh dari maksud-maksud yang di kandung AlQur’an.Ia berkata, “Di antara kejelekan sebagian orang Muslim adalah bahwa apa yang ditulis dalam kitab tafsir menyibukkan dari maksud dan tujuan Al-Qur’an yang tinggi. Rasyid Ridha memberitahu manusia bagian mereka, karena banyaknya tafsir yang jauh dari maksud-maksud yang dikandung Al-Qur’an.Di antaranya ada yang sibuk dari Al-Qur’an membahas I’rabnya, kaidah ilmu nahwu, catatan ma’ani, dan mustalah albayan.

 Sebagian lagi ada yang memalingkannya dengan mendebat orang muslim zalim mentakhrij usulillyin., perseteruan ahli fiqih yang taqlid, pentakwilan orang-orang sufi, fanatisme mazhab dan aliran di antara yang satu dan lainnya. Sebagian lain dengan membahas terkait riwayat, penyusupan-penyusupan khurafat dan Israiliyat. Rasyid Ridha berkata “kami kemukakan ini semua, karena kebanyakan yang diriwayatkan dalam tafsir menghijabAl-Qur’an, ia menyibukkan kita dari tujuan dan maksud yang tinggi yang terpusat di jiwa yang menerangi akal. Berlebihan dalam tafsir bil ma’tsur menyibukkan mereka dari tujuan-tujuan Al-Qur’an, karena banyaknya riwayat yang tidak ada nilainya, baik dalam isnad atau dalam tema. Seperti juga orang-orang yang berlebihan dalam segenap kitab tafsir, mereka memiliki penyimpanganpenyimpangan yang lain.[12]

Melalui tafsirnya, Ridha berupaya mengaitkan ajaran-ajaran Al-Qur’an dengan masyarakat dan kehidupan serta menegaskan bahwa Islam adalah agama universal dan abadi yang selalu sesuai dengan kebutuhan manusia di segala waktu dan tempat. Dalam setiap kesempatan ia selalu berupayamenyelaraskan ajaran AlQur’an dengan perkembangan ilmu pengetahuan semasa itu.[13]

Maka amat dibutuhkan dalam tafsir yang mengarah pada kepentingan yang utama, yang di dalamnya terkandung petunjuk Al-Qur’an, yang sesuai dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang diturunkan dalam sifatnya.Kemudian mengarahkannya pada hal yang sesuai dengan zaman saat ini dengan bahasa yang mudah, memelihara penerimaan jenis-jenis pembaca, menyingkap syubhat-syubhat orang yang menggeluti filsafat dan ilmu pengetahuan alam, dan lainnya yang sebentar lagi akan kamu lihat apa yang dimudahkan Allah dengan rahmatNya kepada orang yang lemah ini.[14]

Mahmud Syahatah mengatakan bahwa uraian-uraian yang terdapat dalam tafsir al-manar dapat dijadikan rujukan utama bagi para ulama, peneliti dan para pemerhati agama serta sekaligus dapat pula dijadikan hujah bagi kaum muslim dalam mengahadapi musuh-musuh mereka, baik dari kalangan orang yang ateis maupun orang yang melakukan bid’ah. Di dalamnya terdapat penjelasan tentang dasar-dasar agama dan tujuan-tujuan Al-Qur’an.[15]

Rasyid Ridha dalam menafsirkan Al-Qur’an banyak sekali memaparkan hadis-hadis Nabi, riwayat para sahabat dan tabi’in yang dinilainya shahih.Penilai Ridha lebih ketat dari sekian banyak tokoh tafsir dan hadis dan penilaian tersebut tidak hanya terbatas pada sisi kandungan riwayat, tetapi juga sisi transmisi perawi-perawinya.[16] Rasyid Ridha pernah menjelaskan etrkait metode yang ia gunakan, sebagaimana dalam pernyataannya: “setelah guru wafat, aku menggunakan metode penafsiran yang berbeda dengan metode yang telah digunakan gurunya. Metode tersebut adalah memperluas penjelasan dengan hadishadis shahih, menahkikkan sementara kosa kata, kalimat, dan masalah-masalah yang menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan ulama, memperbanyak ayat-ayat penguat yang dipetik dari berbagai surat, menahkikkan masalah-masalah uang sangat dibutuhkan pemecahannya oleh kaum Muslim di masa kini dengan berdasarkan hidayah agama mereka memperkuat argumen-argumennya dalam menghadapi musuh-musuh, baik yang berasal dari kalangan kafir maupun bi’ah, atau memecahkan berbagai masalah dengan cara yang dapat menentramkan hati dan menenangkan bati”[17]

Terkait dengan corak penafsiran Rasyid Ridha, seorang tokoh kontemporer Goldziher menilai bahwa salah satu tujuan yang ingin dicapai oleh Ridha dalam penafsirannya adalah membuktikan bahwa Al-Qur’an mencakup segala macam kebenaran yang diungkapkan oleh para dilosof dan sosiolog, dan bahwa Al-Qur’an tidak mungkin mengandung sesuatu yang bertentangan dengan hakikat-hakikat ilmiah.[18] Orang yang meneliti terkait tafsir Muhammad Rasyid Ridha akan mendapati di dalamnya jiwa Muhammad ‘Abduh, ucapan, ide dan kemiripannya dalam memahami kitab Allah.[19]

Bagi pembaca yang hendak download tafsir al-Mannar sila klik tautan download tafsir al-Manar di sini.

 




[1] Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir Al-Qur’an, h. 145

[2] Mani’Abd Halim Mahmud, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir , h. 271

[3] Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir Al-Qur’an, h. 145

[4] Mani’Abd Halim Mahmud, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir , h. 272

[5] Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir Al-Qur’an, h. 146

[6] Mani’Abd Halim Mahmud, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir

[7] A. Athahillah, Rasyid Ridha Konsep Teologi Rasional dalam Tafsir al-Manar, (Jakarta: Erlangga, 2006), h. 1-2

[8] Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir Al-Qur’an, h. 148

[9] Mani’Abd Halim Mahmud, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir , h. 271-272

[10] Mani’Abd Halim Mahmud, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir , h. 273

[11] Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir Al-Qur’an, h. 149

[12] Mani’Abd Halim Mahmud, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir , h. 273

[13] A. Athahillah, Rasyid Ridha Konsep Teologi Rasional dalam Tafsir al-Manar, h. 3

[14]Mani’Abd Halim Mahmud, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir , h. 273

[15] A. Athahillah, Rasyid Ridha Konsep Teologi Rasional dalam Tafsir al-Manar, h. 4

[16] M.Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Qur’an, (Tangerang: Lentera Hati, 2006), h. 117-118

[17] A. Athahillah, Rasyid Ridha Konsep Teologi Rasional dalam Tafsir al-Manar, h. 5

[18] M.Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Qur’an, h. 132

[19] Mani’Abd Halim Mahmud, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir , h. 273-274

Comments