on
asbab nuzul
- Get link
- X
- Other Apps
Biografi Sayyid
Husein Thabathaba’i
Sayyid Husein Thabathaba’i mempunyai karya tafsir yang
bernama al-MizanfiTafsirilQur’an, tafsir tersebut dimaksudkan untuk bisa
berbicara dengan para intelek muda Syi’ah, dan sering mendekati berbagai ayat
dalam Al-Qur’an dari sudut filsafat, sosiologi dan pandangan tradisional.
Iamencerminkan pengetahuan yang luas dan lengkap dari salah seorang ahli agama
di kalangan Syi’ah. Tafsir Thabathaba’i juga sangat berakar pada
tradisi.Penulisnya selalu menambahkan hadis-hadis Syi’i dan Sunni pada setiap
ayat atau kalimat yang dia ulas.[1]
Nama lengkapnya adalah Muhammad Husein bin alSayyid
Muhammad bin al-Sayyid Muhammad bin al-Miraza ‘Ali Ashghar Syaikh al-Islam
al-Thabathaba’i al-Tibrizi al-Qadhi. Nasab al-Thabathaba’i merujuk kepada salah
satu dari kakeknya yakni Ibrahim Thabathaba bin Isma’il al-Dibaj. Sebutan Thabathaba
didapat kakeknya ketika ayahnya hendak memgukur dan memotong pakaian yang ingin
dibuatkan untuknya, saat itu thabathaba masih anak-anak. Setelah dipilihkan
sebuah pakaian dan dilengkungkan, kemudian ayahnya mengatakan thaba thaba, yang
artinya melengkung, melengkung. Namun ada pula yang berpendapat nama Thabathaba
karena ia adalah tuannya para tuan (sayyid sadat)[2].
Thabathaba’i dilahirkan pada tanggal 29 Dzulhijjah tahun
1321 Hijriyah atau bertepatan dengan 1892 Masehi di kota Tibriz. Ia tumbuh dari
keluarga yang telah masyhur secara turun temurun dengan keutamaan dan
pengetahuannya. Diketahui 14 orang dalam silsilah kakek buyutnya merupakan
ulama yang sangat terkenal di kota Tibriz.[3]
Thabathaba’i tercatat wafat pada tahun 1981 Masehi diusianya yang menginjak 89
tahun di kota Qumm.Kematiannya dianggap sebagai hari berkabung Nasional, Ia
dimakamkan sebagaimana orang Syi’ah pada umumnya dan dimakamkan di samping
makam ‘Sayyidah Fathimah alMa’shumah Binti al-Imam Abu Ja’far.[4]
Thabathaba’i tumbuh di bawah sebuah sistem pendidikan
khusus, dengan sistem pendidikan tertentu yang dikenal dengan sistem al-Hauzah.
Al-Hauzah sendiri merujuk kepada pertemuanpertemuan ilmiyah (halaqat ilmiyyah)
pertama yang diadakan di beberapa masjid sejak kemenangan Islam di daerah
tersebut. Dengan bergulirnya waktu sistem pendidikan tersebut menjadi sangat
populer dan unggul.
Sistem pendidikan tersebut banyak diadopsi menjadi
pusat-pusat pendidikan di berbagai daerah di Iran sejak dahulu kala. Di
antaranya adalah Hauzah al-Najf, Karbala’, Qum, Tibriz, Masyhad, Isfahan,
Samara’, dan daerah-daerah lainnya. Thabathaba’i dalam sejarahnya, dididik dan
besar dari 3 pusat pendidikan tersebut, yakni Tibriz, Najf dan Qum.[5]
Al-Thabathaba’i belajar Fikih dan Ushul Fikih dari dua orang
syekh. Pertama adalah Syekh Muhammad Husen al-Na’ini dan yang kedua Syekh
Muhammad Husein al-Kimani. Belajar filasafat dari Sayyid Husein al-Badakubi. Ia
juga belajar ilmu matematika kepada Sayyid Abu al-Qasim al-Khaunisari, belajar
tentang akhlak kepada ‘Ali al-Hajj Miraza ‘Ali al-Qadhi. Perhatian Thabathaba’i
tidak cukup di situ, tidak cukup hanya dengan belajar agama seperti Fikih,
Ushul Fikih, Bahasa Arab, Nahwu, Bahasa, Sharaf dan ilmu-ilmu agama lainnya.
Tapi ia juga belajar ilmu-ilmu umum seperti Matematika klasik. Ia belajar
Matematika klasik dari kitab “al-Ushul” karya Euclid sampai “al-Majisthi” karya
Ptolemy. Ia juga belajar ilmu Filsafat dan Teologi juga Irfani.[6]
Perjalan keilmuannya secara spesifik dimulai dari dasar,
tepatnya di Tibriz di kampung halamannya di bawah asuhan keluarganya dan ulama
di daerah tersebut. Setelah menempuh pendidikan jenjang dasar ia kemudian pergi
ke al-Najf untuk melanjutkan pendidikannya pada tahumn 1343 H dan menghabiskan
waktu 10 tahun di sana untuk menimba ilmu. Di sana ia mendapatkan banyak sekali
pengetahuan yang beragam, yang umumnya diterima oleh para penuntut ilmu. Seusai
belajar dari al-Najf, al-Thabathaba’i kembali ke kediamannya di Tibriz pada
tahun 1353 H. Namun setelah itu ia kembali mengembara ke Qumm karena terjadi
perang dunia ke-2 pada tahun 1365 H. Di sana kebintangannya semakin bersinar di
dunia keilmuan, ia mulai mengajar dan mulai menyebarkan hasil penelitiannya di
bidang Tafsir dan Filsafat.
Di antara murid-murid dari Sayid Husein Thabathaba’i
adalah Syekh al-Murtadha Muthahhiri, Sayyid Musa al-Shadr, al-Syahid al-Doktor
Bahsyati, al-Syahid al-Doktor Muftih, dan banyak lagi yang lainnya. yang
tersebut dalam daftar muridnya ini adalah orang-orang yang sejauh ini menjadi
orang-orang yang penting dan memiliki keunggulan di berbagai bidang.
Semasa hidupnya, Sayyid Husein al-Thabathaba’i telah
meninggalkan jejak keilmuan yang sangat banyak. Ia menulis banyak sekali karya,
seperti Ushul al-Falsafah, al-A’dad al- Awwaliyah,
Bidayah al-Hikmah fi al-Falsafah, Ta’liqat ‘ala Kitab al-Asfar fi al-Falsafah
karya Filusuf Shadr al-Mutaallih al-Syirazi, Ta’liqat ‘ala Kitab Ushul al-Kafi
karya al-Kailani, dan beberapa kitab ta’liqat (komentar-komentar) lainnya.
Karya-karya risalahnya juga sangat banyak. Ia menulis Risalah fi al-Asma’ wa
al-Shifat, Risalah fi al-I’jaz, Risalah fi alAf’al, Risalah fi al-I’tibarat,
Risalah fi al-Insan ba’da al-Dunya, Risalah fi al-Insan Qabla al-Dunya, Risalah
fi al-Burhan, Risalah fi al-Tarkib dan banyak lagi karya-karyanya dalam bentuk
risalah.[7] Dalam
bidang tafsir sendiri ia menulis sebuah kitab yang berjudul al-Mizan fi
al-Tafsir al-Quran.[8]
Karya Tafsir Sayyid Husein al-Thabathaba’i:
al-Mizan fi al-Tafsir al-Quran
Munculnya kitab
al-Mizan ini mulanya adalah hasil muhadharahnya tentang tafsir Alquran di
Universitas Qumm al-Diniyah. Oleh rekomendasi mahasiswanya, ia diminta untuk
membukukan semua hasil ceramahnya tersebut ke dalam suatu kitab sehingga
menjadi sebuah kitab tafsir yang bermanfaat. Sayyid Husein menyambut dengan
hati saran dari mahasiswamahasiswa tersebut, dan akhirnya terbitlah juz pertama
dari kitab al-Mizan tersebut pada tahun 1375 H atau bertepatan dengan 1956 M.
Dan akhirnya juz-juz berikutnya pun lahir, total kitab tafsirnya terdiri dari
20 jilid. Juz yang terakhir berhasil dirampungkan oleh Sayyid Husein
al-Thabathaba’i pada 21 Ramadhan tahun 1392 H.
Tafsir Al-Mizan merupakan karya momental Thabathaba’i,
tafsir tersebut ditulis dalam 20 jilid. Meskipun dalam kalangan Syi’ah
al-Qur’an yang digunakan bukan mushaf Utsmani, tetapi Thabhathabai’I
menggunakan mushaf Usmani dalam tafsirnya.Edisi pertama Al-Mizan ditulis dalam
bahasan Arab dan diterbitkan di Iran dan kemudian di Beirut.[9]
Corak penafsiran Thabathaba’i memang berbeda dengan para
mufassir Syi’ah pada umumnya. Thabathaba’I berpegang pada kekayaan literatur
tafsir, hadits, sejarah dan literaturliteratur lainnya yang tidak sesuai atau
tidak sepaham dengan kitab-kitab syi’ah pada umumnya. Bahkan banyak sekali ia
mengambil bahan telah dari literatur Ahlussunnah. Hal ini dapat dilihat dari
kesatuan segi tema-temanya dan pandangannya yang seimbang karena kecintaan
dalam mengkaji materi tanpa menyianyiakan pendapatpendapat lain. Beliau juga
menceritakan bahwa beliau tidak akan menerima begitu saja pada
penukilanpenukilan (riwayat) akan tetapi beliau bisa memilih untuk menerima
atau menolak juga melakukan tarjih.[10]
Sedangkan mengenai metodologi penafsirannya Thabathaba’I
berpegang pada bentuk dasar Al-Qur’an itu sendiri dalam membedah ayat-ayat dan
memahami makna-maknanya. Pada penjelasan ini ia menggunakan metode maudhu’i
dengan membatasi sejumlah pemahaman-pemahaman terhadap AlQur’an dengan
membandingkan ayat-ayat yang sepadan. Di samping itu dia juga menggunakan
metode Qur’ani untuk menjelaskan kisahkisah dalam Al-Qur’an.Ia tidak
menggunakan kisah-kisah yang bertentangan dengan kisah-kisah tersebut
sebagaimana ia tidak menerima kisah-kisah tersebut berdasarkan riwayat
takhayul, serta tidak melakukan takwil.[11]
Untuk memaknai suatu ayat Thabathaba’i mengumpulkan
potonganpotongan ayat berdasarkan suatu konteks tema dan mengedepankan suatu
tujuan pokok dari surat tertentu pada permulaan tafsirnya serta dia menyertakan
tujuan-tujuan yang dihimpun oleh potongan-potongan Al-Qur’an pada setiap
permulaan ayat tersebut.[12]
Selain itu Thabathaba’i juga menyebutkan tempat
diturunkannya setiap surat baik Makiyyah atau Madaniyyah kemudian menjelaskan
tema sentral juga maksud penting yang dikandung surat tersebut. Thabathaba’i
juga memotong penafsiran ayat atau surat tersebut kemudian menjelaskannya
secara bahasa, juga menjelaskan maksud-maksud tersembunyi (makna kasf),
menerangkan tata bahasa juga balaghahnya dan menerangkan maksud yang dituju
juga faedah-faedahnya. Dia juga menyebutkan pendapat ahli tafsir lainnya
kemudian mengomentari pembahasan mereka yang dianggap keliru.[13]
Dalam menjelaskan kaidah-kaidah pokoknya dan
mengfungsikan konteks ayat Thabathaba’i dapat menerima dan menentang suatu
riwayat dari persepsi sunnah, yakni pendapat, perbuatan dan ketetapan
orang-orang maksum baik dari Nabi ataupun imam-imam Ahl Bait yang keberadaannya
tidak mutawatir dan tidak diperlukan karena argumen-argumen yang pasti dan
menyakinkan dari pengetahuannya.
Thabathaba’i juga menggunakan asbabun nuzul untuk
membantu untuk menjelaskan teks-teks Al-Qur’an dan mendekati sisi maknanya, dan
dengan ini ia dapat mengkritik sebagaian besar riwayat-riwayat yang
bertentangan, sedangkan hukum-hukum yang tidak bersinggungan dengan asbabun
nuzul adakalanya untuk menetapkan hukum tersebut dengan menggunakan keumuman
lafadz.[14]
Ada tiga hal yang paling menonjol dibanding lainnya,
yakni :
1.
al-Thabathaba’i dalam menafsirkan Al-Quran
dimulai dengan menunjukkan keterkaitan antara satu ayat dengan ayat-ayat lainnya,
menggunakan bantuan premis-premis ilmiah dan non ilmiah yang dimiliki juga
menggunakan hadist yang diriwayatkan melalui para imam.
2.
Penjelasan sosiologis yang terletak dalam
tafsir al Mizan, baik secara kualitatif maupun kuantitatif, mempunyai
keunggulan dengan karya-karya lainnya. Ia menggunakan pendekatan
multidimensional serta pandangan yang luas terhadap berbagai pandangan sosial
dan juga mampu memproyeksikan isu-isu sosial dalam sorotan Al-Quran.
3.
al-Thabathaba’i mempunyai pandangan yang
jernih dan orisinil dalam aspek metafisika (filosofis). Menurutnya metafisika
islam mempunyai dasar-dasar yang terkandung di dalam Al-Quran, meliputi
beberapa gagasan Al-Quran tentang Tuhan, manusia dan alam semesta. Dalam
penjelasannya mengenai ayat-ayat Al-Quran dan relevansinya terhadap persoalan
metafisis, ia membuktikan validitas pandangan Al-Quran dan sekaligus menyangkal
ketakberdasarkan filsafat materialisme.[15]
ممllink download tafsir al-mizan di sini
[1] Mahmud Ayub, Al-Qur’an dan Para Penafsiran, (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1991), h.13
[2] Sayyid Muhammad Husein Thabathab’i, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, (Lebanon:
Muassasah al-A’lami li al-Mathbu’at, 1997 M), juz 1, h. 7
[3] Sayyid Muhammad Husein Thabathab’i, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an,
h. 7
[4] Sayyid Muhammad Husein Thabathab’i, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an,
h. 11
[5] Sayyid Muhammad Husein Thabathab’i, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an,
h. 7
[6] Sayyid Muhammad Husein Thabathab’i, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an,
h. 7
[7] ayyid Muhammad Husein Thabathab’i, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, h.
9
[8] Sayyid Muhammad Husein Thabathab’i, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an,
h. 10
[9] Abu Al-Qasim Razzaqi, Pengantar Kepada Tafsir Al-Mizan, Al-Hikmah
No. 8 Rajab-Ramadhan 1413 H., hlm. 6
[10] Al-Ustadz Ali al-Ausi dalam “Tashdir”, ini merupakan sebuah pengantar
pentashih dalam kitabnya Thabathaba’I, Al-Mizan fi Tafsir Al-Quran.(Beirut:
Muassisah al-A’lami lil Mathbuat, 1991), hlm. g
[11] Al-Ustadz Ali al-Ausi, “Tashdir” ..., hlm. i
[12] Al-Ustadz Ali al-Ausi, “Tashdir” ..., hlm. g
[13] ayyid Muhammad Ali Yazi, Al Mufassirun, (Teheran: tp., 1373 H) hlm.
708
[14] Al-Ustadz Ali al-Ausi, “Tashdir” ..., hlm i
[15] Darmuin, Menelusuri Corak Penafsiran Kaum Syi'i, (ttp : Media,
2000) Cet. IX. hlm 35
Comments
Post a Comment