on
asbab nuzul
- Get link
- X
- Other Apps
Biografi Buya Hamka
Buya Hamka lahir di kampung Molek, Maninjau, Sumatera
Barat pada tahun 1908 M. Buya Hamka memiliki nama lengkap Haji Abdul Malik
Karim Amrullah tetapi ia lebih populer dipanggil dengan sebutan Hamka yang
merupakan singkatan dari namanya. Sebutan buya biasanya digunakan oleh orang
Minangkabau untuk seseorang yang dihormati atau sebutan untuk ayah, yang mana
arti dari buya itu sendiri di Minangkabau adalah ayah kami. Sebutan buya
terambil dari bahasa Arab yaitu abi atau abuya.
Ayah buya Hamka yang dikenal dengan Haji Rasul merupakan
seorang pelopor Gerakan Islah (reformasi) di Minangkabau sekembali dari Mekah
pada 1906 M. Nama lengkap ayahnya adalah Abdul Karim bin Amrullah.[1] Hamka
ketika bocah sering dipanggil dengan Abdul Malik, Hamka mengawali pendidikannya
membaca Al-Qur’an di rumah orang tuanya ketika mereka sekeluarga pindah dari
Maninjau ke Padang Panjang pada tahun 1914 M.setahun kemudian, setelah mencapaiusia
tujuh tahun, Hamka dimasukkan ayahnya ke sekolah desa.[2]
Pada tahun 1916, Zainuddin Labai mendirikan sekolah
diniyah petang hari, di Pasar usang Padang Panjang, Hamka lalu dimasukkan
ayahnya ke sekolah ini, pagi hari Hamka pergi ke sekolah desa sore hari pergi
belajar ke sekolah diniyah dan pada malam hari berada di Surau bersama
teman-teman sebayanya. Ini adalah rutinitas Hamka di masa kecil. Pendidikan
Buya Hamka diawali di Sekolah Dasar Maninjau hingga Tingkat Dua, selanjutnya ia
melanjutkan pendidikannya ke Sumatera Thawalib Padang Panjang yang didirikan oleh
ayahnya sendiri, saat itu ia berumur 10 tahun. Di situ, ia belajar bahasa Arab
dan mendaras ilmu-ilmu agama di surau dan masjid yang diasuh sejumlah ulama
terkenal seperti Sutan Mansur, RM. Surjoparonto, Ki Bagus Hadikusumo, Syekh
Ahmad Rasyid dan Syekh Ibrahim Musa.
Hamka memulai pengabdiannya terhadap ilmu pengetahuan
dengan menjadi guru agama pada tahun 1927 M di Perkebunan Tebing Tinggi, Medan.
Selang dua tahun selanjutnya, 1929 M, ia juga menjadi guru di Padang Panjang.
Karena karir intelektualnya yang cemerlang, pada tahun 1957 M-1958 M, ia
dilantik sebagai dosen Universitas Islam Jakarta dan Universitas Muhammadiyah
Padang Panjang. Buya Hamka juga pernah menjabat sebagai rektor pada Perguruan
Tinggi Islam Jakarta.
Hamka merupakan seorang yang brilian, kesuksesannya
menuntut dan mendapatkan ilmu pengetahuan tidak hanya didapatkan dari
pendidikan formal saja tetapi ia juga belajar secara otodidak. Di antaranya
ilmu yang beliau pelajari secara otodidak adalah filsafat, sastra, sejarah,
sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat.
Dengan bekal kelihaiannya berbahasa Arab, Hamka menelaah
karya ulama dan pujangga besar Timur Tengah, seperti Mustafa al-Manfaluti,
Abbas al-Aqqad, Husain Haikal, Jurji Zaidan, dan Zaki Mubarak. Begitu juga
dengan karya sarjana Barat seperti Perancis, Inggris dan Jerman, yaitu Albert
Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx,
dan Pierre Loti.
Buya Hamka aktif dalam organisasi sosial kemasyarakatan
di Muhammadiyah hingga ia turut membantu mendeklarasikan berdirinya
Muhammadiyah pada tahun 1925 M. Karirnya semakin cemerlang. Pada awal tahun
1928 M, ia menjadi ketua cabang Muhammadiyah di Makassar. Pada 1946 M, ia
didaulat sebagai Ketua Majelis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat. Ia juga
diamanahkan sebagai Penasihan Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada tahun 1953 M.
Sedangkan dalam bidang politik, Hamka terdaftar sebagai anggota Sarekat Islam
pada tahun 1925 M. Pada tahun 1947 M, ia dilantik sebagai ketua Barisan
Pertahanan Nasional sekaligus anggota Konstituante Masyumi. Namun ketika
Masyumi dihapuskan oleh pemerintahan Soekarno pada tahun 1960 M, empat tahun
kemudian, 1964 M hingga 1966 M, ia dipenjara karena dituduh pro-Malaysia.
Hamka merupakan sosok yang kaya dengan ilmu
pengetahuan.Kiprahnya di dunia politik ternyata berbanding lurus dengan sepak
terjang pengembangan ilmu pengetahuannya. Selain aktif di jalur keagamaan dan
politik, ia juga merupakan seorang wartawan, penulis dan editor. Sejak tahun
1920-an, Hamka menjadi wartawan beberapa surat kabar seperti Pelita Andalas,
Seruan Islam, Bintang Islam, dan Seruan Muhammadiyah.
Pada tahun 1928 M, Hamka menjadi editor majalah Kemajuan
Masyarakat. Di tahun 1932 M, ia bergulat dengan dunia penyuntingan dan
menerbitkan majalah al-Mahdi di Makasar. Ia pernah juga menjadi editor majalah
Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat, dan Gema Islam. Dengan keterampilan
tulismenulis, Hamka mampu menghasilkan banyak karya terutama dalam bidang
sastra (novel dan cerpenn).Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, di Bawah Lindungan
Ka’bah, dan Merantau ke Deli merupakan buah penanya di dunia sastra.Sedangkan
dalam bidang agama yaitu khususnya yang dikenal oleh masyarakat ramai dengan
tafsir al-Azhar.[3]
Corak tafsir al-Azhar karya Prof. Dr. Hamka adalah corak
sastra budaya kemasyarakatan yang mana corak ini bermula dari Syekh Muhammad
Abduh (1849-1905). Corak sastra budaya kemasyarakatan yakni suatu corak tafsir
yang menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan langsung
dengan kehidupan masyarakat serta usaha-usaha untuk menanggulangi
penyakit-penyakit/problem-problem mereka berdasarkan ayat-ayat dengan
mengemukakan petunjuk-petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah dimengerti tapi
indah terdengar.[4]
Langkah-langkah taktis penafsiran Hamka dalam tafsir
al-Azhar adalah menuliskan teks Al-Qur’an dengan lengkap, menerjemahkannya,
kemudian memberi catatan penjelasan.Ia juga menyajikan bagian-bagian pendek
yang terdiri dari beberapa ayat denga terjemahan bahasa Indonesianya.
Selanjutnya, ia menjelaskan dengan panjang lebar terkait tafsiran ayat tersebut.[5]
Corak tafsir ini walaupun melakukan penafsiran menyangkut
berbagai permasalahan yang berkaitan dengan kandungan ayat yang ditafsirkan
misalnya filsafat, teologi, hukum, tasawwuf dan sebagainya, namun penafsiran
tersebut tidak keluar dari ciri coraknya yang berusaha menanggulangi
penyakit-penyakit masyarakat dan mendorongnya guna meraih kemajuan duniawi dan
ukhrawi berdasarkan petunjuk-petunjuk al-Qur’an.[6]
Tafsir al-Azhar merupakan karya yang mengharumkan namanya
dijagat intelektual Islam Indonesia.Lebih terasa dramatis lagi ketika ia
menegaskan bahwa Tafsir al-Azhar ditulis di balik jeruji besi. Tafsir al-Azhar
diakui banyak kalangan sebagai karya monumental Hamka. Isinya, iamencoba
menghubungkan sejarah Islam modern dengan studi Al-Qur’an dan berusaha
melangkah keluar dari penafsiran-penafsiran tradisional. Titik tekannya adalah
menguak ajaran Al-Qur’an dan menyesuaikan dengan konteksnya dalam ranah keislaman.
Atas jasa dan pengabdiannya dalam dunia keilmuan, Hamka diberi
gelar kehormatan doctor honoris causa dari Universitas alAzhar pada tahun 1958
M, doctor honoris causajuga diperolehnya dari Universitas Kebangsaan Malaysia
pada tahun 1974 M. Gelar Datuk Indono dan Pengeran Wiroguno pun diterimanya
dari pemerintah Indonesia. Ia meninggal dunia pada 24 Juni 1981 di Jakarta.[7]
Karya Tafsir Hamka: Tafsir al-Azhar
Tafsir al-Azhar
mulanya berasal dari kuliah subuh yang diberikan oleh Hamka di Masjid Agung
al-Azhar sejak tahun 1959, yang ketika itu belum bernama al-Azhar, yang
terletak di Kebayoran Baru-nama masjid tersebut adalah anugrah dari Syekh
Mahmud Syalthut semenjak kunjungannya ke sana-pada waktu yang sama, Hamka
bersama KH. Fakih Usman HM. Yusuf Ahmad menerbitkan majalah Panji Masyarakat
(Panjimas). Kuliah tersebut berlanjut sampai terjadi kekacauan politik di mana
masjid tersebut telah dituduh menjadi sarang “Neo Masyumi” dan
“Hamkaisme”.Akibat dari tuduhan tersebut, penerbitan Panji Masyarakat
diharamkan.
Karya Hamka pada
dasarnya bukan hanya tafsir al-Azhar saja, ia juga menulis karya-karyanya lain
termasuk di bidang sastra, ia menulis buku berjudul di Bawah Lindungan Kakbah,
Pedoman Muballigh Islam, Tenggelamnya Kapal Venderwijk, Tasawuf Modern,
Falsafah Hidup, Merantau ke Deli dan Tuan Direktur. Total karyanya lebih dari
115 buah. Dari semuanya sebagaimana yang kami utarakan sebelumnya, bahwa yang
akhirnya melambungkan namanya adalah tafsir al-Azhar. Tafsir Al-azhar ditulis
dalam 30 jilid dan pada bagian akhir setiap jilid, Hamkamencatatkan tempat
jilid tersebut ditulis. Penerbitan pertama Tafsir Al-azhar pada tahun 1968,
diterbitkan oleh penerbit Pembimbing Masa yaitu dari juz pertama hingga juz
keempat. Selanjutnya diterbitkan pula juz 30 dan juz 15 sampai juz 29 oleh
Pustaka Islam Surabaya pada tahun 1973. Terakhir diterbitkan oleh Yayasan Nurul
Islam Jakarta yaitu dari juz 5 sampai juz 14 pada tahun 1975.
Metodologi Penafsiran Tafsir al-Azhar
Hamka menyebut bahwa metode pentafsiran yang digunakan
pada bagian pendahuluan kitab tafsirnya yaitu di bawah judul, ‘Haluan Tafsir’.
Setelah dilakukan pemeriksaan, Hamka menggunakan beberapa metode dalam
menafsirkan Alquran, seperti menafsirkan Alquran dengan Alquran, Alquran dengan
hadis, Alquran dengn pendapat ulama, Alquran dengan syair dan Alquran dengan
pandangan pribadi.
Hamkamengaplikasikan metode ini dalam menafsirkan
ayat-ayat Alquran sebagaimana ulama tafsir yang lain. Namun, tidak semua
ayat-ayat Alquran ditafsirkan dengan metode tersebut.Penggunaan metode tersebut
dapat dilihat ketika beliau menafsirkan surah al-Qashash ayat 60. Firman Allah:
“Dan apa saja yang diberikan kepada kamu, maka
itu adalah kenikmatan hidup duniawi dan perhiasannya; sedang apa yang di sisi
Allah adalah lebih baik dan lebih kekal. Maka apakah kamu tidak memahaminya?
Untuk menjelaskan bentuk perhiasan tersebut, Hamka
membawakan surah Ali Imran ayat 14:
Dijadikan indah pada (pandangan) manusia
kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak,
harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang
ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi
Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).
Hamkamenjelaskan bahwa semua perhiasan tersebut adalah
benar tetapi beliau menegaskan bahwa ia hanyalah perhiasan dunia yang tidak
kekal. Yang kekal adalah surga Allah yang telah tersedia bagi mereka yang
beramal soleh. Hamkatidak meninggalkan metode kedua terpenting dalam penafsiran
Alquran yaitu tafsir Alquran dengan Hadis. Penggunaan metode ini dapat kita
lihat dalam penafsiran surah Ali Imran ayat 104:
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan
umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah
dari yang munkar; merekalah orangorang yang beruntung.”
Ayat di atas menerangkan tentang perintah amar ma’ruf dan
nahi munkar.Beliau menuliskan beberapa buah hadits untuk menjelaskan pentingnya
perintah tersebut setelah menerangkan panjang lebar maksud istilah-istilah
tersebut. Terdapat tiga buah hadits yang diketengahkan yaitu hadits Hudzaifah
r.a yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, hadis Abu Sa’id Alkhudri yang
diriwayatkan oleh Abu Daud dan Imam Tirmidzi dan hadits Abdullah bin Mas’ud
yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. Beliau kemudian membuat ulasan terhadap
tiga hadits tersebutdan hubungannya dengan dakwah.
Adakalanya Hamkamemasukkan pendapat-pendapat sahabat dan
tabi’in untuk menguatkan penjelasan beliau terhadap tafsiran ayat-ayat Alquran.
Di antara penafsiran ayat Alquran yang menggunakan metode ini ialah penafsiran
terhadap surah al-Naml ayat 65:
“Katakanlah: “Tidak ada seorangpun di langit
dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah”, dan mereka
tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan.”
Ayat tersebut menjelaskan tentang pengetahuan terhadap
perkara ghaib hanya diketahui oleh Allah saja.Dalam hal ini, Hamkamembawa
pendapat seorang tabi’in yaitu Qatadah tentang kedudukan orang-orang yang
mempercayai ilmu bintang atau Astrologi.Menurut Qatadah apabila seseorang
menyalah gunakan tujuan Allah menjadikan bintang-bintang (perhiasan, petunjuk
dan panah terhadap syaitan) maka kedudukannya adalah sesat.
Hamkajuga merujuk kitab-kitab tafsir yang lain dalam
menafsirkan Alquran. Di antaranya adalah Tafsir al-Manar karangan Muhammad
Abduh dan muridnya Sayyid Rasyid Ridha, Fi Zhilalil Quran karya Sayyid Quthb,
Mafatih Alghaib karangan Alrazi dan lain-lain. Ini menunjukkan bahwa beliau
tidak terikat kepada satu referensi untuk memastikan ketepatan dan kesesuaian
tafsiran beliau.Sebagai contoh, tafsiran terhadap surah al-Naml ayat 82. Firman
Allah:
“Dan apabila perkataan Telah jatuh atas
mereka, kami keluarkan sejenis binatang melata dari bumi yang akan mengatakan
kepada mereka, bahwa sesungguhnya manusia dahulu tidak yakin kepada ayat-ayat
Kami.”
Dalam ayat tersebut, dijelaskan bahwa apabila telah
datang waktunya, ketika manusia sudah lupa dan lalai terhadap agamanya akan
keluar dari dalam bumi binatang yang disebut dabbah. Hamkamembawakan tafsiran
Alrazi tentang pelbagai penafsiran dabbah yaitu 5 keadaan berdasarkan pelbagai
riwayat. Beliau juga membawa tafsiran Ibn Katsir dalam kitab Tafsir Alquran
Aladhim mengenai perkara yang sama.
Hamkadikenal sebagai pujangga Islam dan sastrawan.Oleh
karena itu, beliau juga memasukkan unsur-unsur syair dalam ulasan terhadap
ayat-ayat Alquran.Baik syair karya beliau sendiri maupun karya sastrawan Islam
lainnya seperti Iqbal.Namun, hal ini sangat jarang. Contoh, surah Ali Imran
ayat 158:
“Dan sungguh jika kamu meninggal atau gugur,
tentulah kepada Allah saja kamu dikumpulkan.”
Dalam ayat di atas, Hamkamenjelaskan apapun sebab-sebab
kematian seseorang baik mati syahid, sakit dan sebagainya akan dikumpulkan di
hadapanAllah untuk dihisab. Perhitungan tersebut berkaitan dengan tujuan hidup
setiap manusia karena tujuan hidup itulah yang menentukan nilai hidup bukan
berdasarkan lama kehidupan di dunia. Di sini beliau membawakan serangkap syair
Iqbal yang menggambarkan tentang nilai hidup tersebut: Umur bukan hitungan
tahun, Hidup bukan bilangan masa. Sehari hidup singa di rimba, Seribu tahun
hitungan domba.
Hamkamenegaskan bahwa suatu tafsir yang hanya mengikuti
riwayat orang yang terdahulu berarti hanya “textbook thinhking.”Sebaliknya,
tafsir yang hanya berdasarkan pendapat pribadi terlalu besar resikonya.[8]
Dalam hal ini, beliau mengakui bahwa beliau terinspirasi oleh tafsir
kontemporer seperti Tafsir Al-manar dan Fi Zhilalil Quran, sehingga dalam
tafsirnya tidak hanya mengetengahkan riwayat semata tetapi beliau juga
mengetengahkan pendapat beliau. Di sinilah fokus tafsirnya tersebut.Dalam
tafsirnya tersebut Hamkabanyak melakukan kritik sosial dan politik.
Dalam menulis tafsirnya tersebut Hamkadi antaranya
melakukan beberapa langkah berikut ini:
1.
Memberikan pendahuluan pada awal surat.
Pendahuluan tersebut berisi informasi sekilas tentang surat yang akan
ditafsirkan. Biasanya berkenaan dengan tempat turun, kejadiankejadian sekitar
turunnya surat tersebut, hubungannya dengan surat yang telah lalu, jumlah ayat
dan lain-lain.
2.
Menuliskan beberapa ayat yang dianggap satu
tema. Biasanya setelah menuliskan ayat-ayat tersebut beliau memberikan judul
tema tersebut namun tidak semuanya demikian.
3.
Menerjemahkan ayat-ayat tersebut ke dalam
bahasa Indonesia.
4.
Memberikan tafsiran perayat. Tafsirannya lebih
cenderung kepada tafsir bir ra’yi sebagaimana penjelasan yang telah lalu.
5.
Dalam menyebutkan hadits biasanya hanya
menyebutkan sahabat yang membawa hadits tersebut dan mukharrijnya.
[1] Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir Al-Qur’an, h.209
[2] Yunan Yusuf, corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar, (Jakarta:
Pustaka Panjimas, 1990), h. 34
[3] Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir Al-Qur’an, h. 209-211
[4] Yunan Yusuf, corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar, (Jakarta:
Pustaka Panjimas, 1990), h. ix
[5] Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir Al-Qur’an, h. 212
[6] Yunan Yusuf, corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar, h. ix
[7] Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir Al-Qur’an, h. 212
[8] Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982 ), juz 1, h. 40
Comments
Post a Comment