on
asbab nuzul
- Get link
- X
- Other Apps
Biografi KH. Bisri Musthofa
KH. Bisri Musthofa merupakan putra pertama
dari empat bersaudara yang lahir dari pasangan H. Zaenal Musthofa dan Khotijah.[1]
Beliau lahir pada tahun 1915 M di Kampung Sawahan, Gang Palen, Rembang Jawa
Tengah. Bisri kecil diberi nama Mashadi, sementara saudara-saudaranya diberi
nama Salamah (Aminah), Misbach, dan Ma’shum. Selanjutnya nama Bisri Musthofa ia
dapat seuasai menunaikan ibadah hal bersamayahnya pada tahun 1923 M. Setelah
kegiatan haji selesai, ketika akan kembali ke Indonesia, saat kapal untuk
kembali ke Indonesia akan berangkat, ayah KH. Bisri meninggal dunia pada usia
60 tahun. Setibanya di Indonesia, peran sebagi ayah digantikan oleh kakak tiri
Bisri, yaitu KH. Zuhdi, dan dibantu oleh Mukhtar.[2]
Keilmuan KH. Bisri cukup jelas sanadnya yang
langsung tersambung dengan para ulama Jawa. Pada masa kecilnya, KH. Bisri
belajar di pesantren milik kiyai Kholil Kasingan, Rembang, di samping juga
bersekolah di Ongko Loro (Sekolah formal yang dikhususkan untuk penduduk
pribumi) hingga lulus. KH. Bisri juga belajar kepada KH. Ma’shum Lasem, seorang
ulama besar di Jawa yang merupakan sahabat dari KH. Hasyim Asy’ari dan berperan
dalam mendirikan Nahdlatul Ulama (NU). Ulama lain yang juga menjadi guru Bisri
adalah Kiai Dimyati Tremas, Pacitan, Jawa Timur dan beberapa ulama lainnya.[3]
Pada tahun 1934 M, setelah Bisri dinikahkan
dengan Ma’rufah, putri KH. Cholil, KH. Bisri mulai mengajar di Pesantren
Kasingan. Dari pernikahan tersebut, KH. Bisri dianugerahi delapan anak. Lalu
pada tahun 1936, KH. Bisri Musthofa berangkat lagi ke Mekah untuk menunaikan
ibadah haji dan setelah melaksanakan ibadah haji, KH. Bisri melanjutkan
bermukim dan belajar di Mekah. Beberapa di antara guru KH. Bisri juga berasal
dari Indonesia yang telah bermukim di Mekah., seperti Syeikh Umar Hamdan
alMaghriby, Syeikh Ali Maliki, Syeikh Baqir asal Yogyakarta, Sayid Alwi, Sayid
Amin, dan KH. Abdullah Muhaimin.[4]
KH. Bisri Musthofa belajar di Mekah selama dua
tahun dan atas permintaan mertuanya, KH. Cholil, ia Kembali ke Indonesia pada
tahun 1938 M. Setelah KH. Cholil meninggal, kegiatan pembelajaran di pondok
pesantren Kasingan, Rembang digantikan oleh KH. Bisri. Sampai pada suatu ketika
pesantren tersebut dihancurkan oleh Jepang, dan akhirnya KH. Bisri mendirikan
pesantren lagi yang diberi nama Raudhatut Thalibin di Lateh, Rembang.[5]
KH. Bisri sangat terkenal produktif dalam hal penulisan. Lebih kurang 176 buah
judul buku yang telah diterbitkan, meliputi pembahasan tentang tafsir, hadis,
balaghah, nahwu, aqidah, fiqh, sejarah nabi, sharf, kisah-kisah, syi’iran, doa,
naskah sandiwara, dan lain sebagainya. Adapun karya KH. Bisri Musthofa yang
paling monumental adalah Tafsir al-Ibriz (3 jilid).[6]
Mengenal Tafsir Al-Ibriz dan metodologinya
Tafsir al-Ibriz memiliki judul lengkap
al-Ibriz li Ma’rifat Tafsir al-Qur’an al-‘Aziz. Kitab tafsir ini disusun oleh
KH. Bisri Musthofa selama kurang lebih empat tahun, yakni sejak tahun 1957
hingga 1960 M dan bertepatan rampung pada hari Kamis tanggal 28 Januari 1960 M
di Rembang. Kitab Tafsir al-Ibriz telah di-tashih oleh para ulama Kudus yang
mumpuni dibidang al-Qur’an sebelum diedarkan, seperti KH. Abu Ammar, KH. Arwani
Amin, KH. Ulin Nuha Arwani, KH. Hisyam, KH. Sya’roni Achamadi, KH. Ulil Albab
Arwani, dan KH. Hafidz Hisyam. Kitab tafsir karya KH. Bisri ini mulai diedarkan
pada tahun 1961 M melalui pihak penerbit Menara Kudus.[7]
Penulisan tafsir ini dilatar belakangi oleh
kegelisahan KH. Bisri Musthofa tentang Tradisi jawa yang begitu menghormati
leluhur sangat sulit untuk dirubah apalagi sampai merobohkan kepercayaan mereka
kecuali dengan sedikit mencoba mengalihkan kepercayaan tanpa harus seketika
meninggalkan adat dan tradisi, dengan harapan masyarakat Jawa bisa memahami
maksud al-Qur’an dengan baik.[8]
Menurut Bisri, dalam usaha penafsiran dan pemahaman terhadap al-Qur’an tidak
bisa dilakukan dengan sembarangan. Dalam proses memahaminya, siapapun harus
berdasar pada nash yang bersumber dari Nabi Saw serta sahabat- sahabatnya
karena mereka menyaksikan saat al-Qur’an diturunkan. Maksudnya di sini, tidak
berarti Bisri menolak tafsir bi ar-ra’y. Ia sebatas menolak suatu penafsiran
yang hanya didasarkan pada ra’y (pemikiran) semata, atau bahkan hawa nafsu
dengan tidak memperhatikan kaidah dan kriteria yang telah ditetapkan, karena
pada kenyataannya, ia juga melakukan ta’wîl yang dalam prakteknya dibutuhkan
akal.[9]
Oleh sebab itu, selaku ulama yang berkompeten dalam bidang tafsir, Bisri merasa
terpanggil untuk mulai menulis sebuah karya dalam disiplin ilmu tafsir.[10]
Kekhasan dari Tafsir al-Ibriz adalah ditulis
dengan menggunakan arab pegon berbahasa Jawa.[11]
Hal ini selaras dengan tujuan penulisannya yaitu agar masyarakat Jawa dapat
memahami makna al-Qur’an dengan mudah dan bisa memberi manfaat di dunia serta
akhirat. Juga sebagai bentuk khidmah terhadap umat Islam khususnya kaum muslim
Jawa. Tafsir al-Ibriz merupakan salah satu kitab tafsir lengkap 30 juz di
Indonesia yang lahir dari lingkup budaya pemaknaan pesantren, penjelasan
terhadap satu ‘ibarat (teks) dilakukan dengan menggunakan cara syarh dan
pemberian hamish.[12]
Hal ini juga mempengaruhi penulisan Tafsir al-Ibriz. Terlihat dalam struktur
penulisan tafsir al-Ibriz, bahwa dalam setiap halaman KH. Bisri menggunakan dua
metode, satu halaman berisi ayat-ayat al-Qur’an yang diposisikan dalam sebuah
kolom yang disertai dengan penjelasan menggunakan model pegon, serta dilengkapi
dengan penjelasan ilmu Nahwu untuk menerangkan fungsi dan kedudukan suatu
kalimat dalam ayat al-Qur’an. Sedangkan di bagian luar kolom memuat penjelasan
kandungan setiap ayat.[13]
Dalam menulis tafsirnya, KH Bisri tidak
mengulas dari sisi tata bahasa Arab berupa jenis kosa kata, akan tetapi KH.
Bisri lebih memberi penekanan pada hirarki tata bahasa Jawa. Tingkatan bahasa
yang merupakan budaya masyarakat Jawa selalu menyesuaikan tingkatan lawan
bicara atau subjek yang hendak dituju. Kondisi yang syarat akan etika semacam
ini memberi pengaruh yang signifikan terhadap penafsiran KH. Bisri. Misalnya
penyebutan kanjeng ketika menyebut Nabi. Tambahan tersebut dibubuhkan karena
yang dituju adalah Dzat yang memiliki kemuliaan. [14]
Adapun sistematika penafsiran al-Ibriz
memiliki tiga bagian: Pertama, penulisan ayat disertai dengan makna gandul.
Kedua, terjamah dan tafsir ditulis dipinggir dengan tanda nomor di awal,
sedangkan nomor ayat terletak di akhir. Ketiga, keterangan dan penjelasan lain
ditandai dengan kata Tanbih, Faidah, Qissah dan Muhimmah. Untuk metode yang
digunakan dalam penafsiran al-Ibriz adalah dengan metode ijmali, karena KH.
Bisri dalam penafsirannya tidak melakukan penjelasan secara terperinci atas
kandungan lafaz dalam ayat. [15]
[1] Khotijah merupakan istri kedua dari H. Zainal Musthofa yang
dikaruniai empat orang anak yaitu Mashadi, Salamah, Misbach, dan Ma’shum. Istri
pertama H. Zainal Mustafa bernama Dakilah dan dikaruniai dua anak bernama H.
Zuhdi dan Maskanah.
[2] Eka Wahyu Ningsih, ‘ Warna Israiliyyat Dan Mitos Jawa Dalam Tafsir
Al-Ibriz Karya KH. Bisri Mustofa’ (Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Surabaya, 2019).
[3] Fatia Inast Tsuroya, " Pendidikan Multikultural Berbasis
Pesantren Perspektif Tafsir Al-Ibriz Quran Surat Al-Hujurat Ayat 11-13",
AL-ADABIYAH: Jurnal Pendidikan Agama Islam, Vol. 1, No. 1 (2020),42
[4] Mahbub Ghozali, "Kosmologi Dalam Tafsir Al-Ibriz Karya Bisri
Mustafa: Relasi Tuhan, Alam Dan Manusia", Al-Banjari : Jurnal Ilmiah
Ilmu-Ilmu Keislaman, Vol. 19, No. 1 (2020), h. 126.
[5] Eka Wahyu Ningsih, ‘ Warna Israiliyyat Dan Mitos Jawa Dalam Tafsir
Al-Ibriz Karya KH. Bisri Mustofa’ (Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Surabaya, 2019).14
[6] Tsuroya, "Pendidikan Multikultural Berbasis Pesantren..., h.
42.
[7] Ghozali, Kosmologi Dalam Tafsir Al-Ibriz..., h. 126
[8] Bisri Mustafa, Al-Iksîr Fî Tarjamah Nazhm ‘Ilm at-Tafsîr (Semarang:
Toha Putera), h. 10–11.
[9] Bisri Mustafa, Al-Ibriz Li Ma’rifat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Aziz
(Kudus: Menara Kudus, 1960), h. 1890.
[10] Ningsih, Warna Israiliyyat Dan Mitos Jawa Dalam Tafsir Al-Ibriz..,
h. 14.
[11] Bisri Mustafa, Al-Ibriz Li Ma’rifat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Aziz...,
h. 1890.
[12] Penjelasan yang ditulis dengan cara memberikan catatan pinggir pada
halaman redaksi yang dijelaskan.
[13] Bisri Mustafa, Al-Ibriz Li Ma’rifat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Aziz...,
h. 1452.
[14] Bisri Mustafa, Al-Ibriz Li Ma’rifat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Aziz..., h.
1453
[15] Bisri Mustafa, Al-Ibriz Li Ma’rifat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Aziz...,
h. 1888.
Comments
Post a Comment