SERI MUFASIR NUSANTARA: K.H. MUHAMMAD BIN SULAIMAN DAN TAFSIR JAMI' AL-BAYAN (BAGIAN 1)

 


Biografi K.H. Muhammad Bin Sulaiman

Nama lengkap penulis kitab tafsir Jami>’ al-Baya>n adalah Muhammad bin Sulaiman bin Zakariya. Lahir di Solo, Jawa Tengah pada Ahad Wage 14 Syawal 1329 H. Semenjak kecil beliau dikenal dengan panggilan Muhammad Thalhah. Akan tetapi nama itu hanya digunakan ketika ia masih belum menikah saja, selepas menikah nama tersebut sudah digunakan lagi. Pergantian nama seperti ini mirip dengan tradisi suku daya, salah satu suku di Palembang.

Proses intelektual Muhammad Thalhah dimulai sejak dirinya masih dalam usia belia.  Dengan bimbingan intesif secara langsung dari sang ayah. Pada usia delapann tahun ia melanjutkan belajar di  Madrasah Islamiyyah yang tidak jauh dari rumahnya.  Di Madrasah tersebut, ia baru mulai mengenal berbagai macam khazanah disiplin ilmu keislaman dari guru-guru yang dianggap kompeten, seperti  Sayyid Amad bin Abdullāh Assegaf  yang merupakan kepala Madrasah Islamiyyah, Syekh Alī ayyib al-Madanī, Sayyid Abdullāh al-Aṭṭās, Syekh  Abd al-Azīz al-Mirī, dan beberapa guru lain dari daerah setempat. Berawal dari guru-guru beliau inilah bangunan intelektual Muhammad Thalhah mulai terkonstruk secara bertahap.[1]  

Pada tahun 1345 H ia melakukan rihlah ke Makkah-Madinah bersama ayahnya untuk melakukan ibadah haji. Pada saat itu usia Muhammad Thalhah sekitar enam belas tahun. Namun setelah selasai melaksanakan ibadah haji Muhammad Thalhah tidak langsung pulang ke tanah air, ia menetap beberapa waktu di Tanah Haram tersebut. Tujuannya adalah untuk konsentrasi menghafalkan al-Qur’an. Selama bermukim di Makkah Muhammad Thalhah berhasil menghafalkan al-Qur’an sampai akhir surat al-Nisā`, dan kemudian ia pulang ke Solo.

Satu tahun setelah kepulangannya dari Makkah, sang ayah, Sulaiman bin Zakariya measa ada yang kurang dari putranya. Untuk melengkapi kekurang tersebut sang ayah memerintahkan untuk melanjutkan studi al-Qur’anya kepada Syekh Muhammad Dimyati bin Abdullah di Termas Pacitan.  Syekh Muhammad Dimyati bin Abdullah merupakan saudara kandung dari syekh Mahfudz bin Abdullah al-Termas (1285-1338 H), ulama Nusantara yang sangat berpengaruh di Haramain. Atas bimbingan Syekh Muhammad Dimyati bin Abdullah pada tahun 1348 H Muhammad Thalhah berhasil menyelesaikan hafalan al-Qur’anya. Serta mendapatkan ijazah sanad langsung dari sang guru.

Adapun ijazah sanad yang dimaksud disebutkan dalam karya tafsirnya Tafsīr Jāmi’ al-Bayān min Khulāah Suwar al-Qur`ān — sebagai berikut:7

Sungguh aku meriwayatkan qiraat al-Qur`an dengan menggunakan riwayat Imam Ḥafṣ Raḍiya Allāh ’Anhu dari guruku yang alim, penghafal al-Qur`an, yang telah mencapai derajat makrifat Allah, mempunyai keramat, yaitu syekh Muhammad Dimyati bin Abdullah al-Termasī. Metode taḥfīẓ al-Qur`an yang berlangsung antara aku dengan guruku adalah di mana aku membacakan al-Qur`an di hadapan guruku dan mendengarkan darinya di luar kepala (‘alā ẓahri qalbin) mulai dari permulaan al-Qur`an hingga akhir secara berulang-ulang kali. Dia meriwayatkan dari gurunya sekaligus saudaranya, yaitu Muhammad Mahfudz bin Abdullah al- Termasī al-Makkī, pemilik atau pengarang kitab Ghunyah al-Ṭalabah.

Selain mendalami hafalan al-Qur’an, selama di Termas Muhammad Thalhah juga menekuni berbagai macam kitab-kitab ulama salaf, diantaranya Fatḥ al-Qarīb al-Mujīb karya Ibnu Qāsim al-Ghazī, Manhaj al-Qawīm karya Ibnu Ḥajar al-Haytamī, Fatḥ al-Wahāb karya syekh Zakariyyā al-Anṣārī, Tafsir Jalālayn karya Jalāluddin Muḥammad bin Aḥmad al-Maḥallī dan Jalāluddin Abdurraḥman bin Abū Bakr al-Suyūṭī, Ṣaḥīḥ Muslim karya Abī al-Ḥusayn Muslim bin al-Ḥajjāj al-Qushayrī al-Naysābūrī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī karya Abī Abdillah Muḥammad bin Ismā‘īl bin Ibrāhīm al- Bukhārī, Alfiyyah karya Ibnu Mālik al-Andalusī, dan lain-lain. Pergulatan intelektual Muhammad Thalhah ketika di Termas ini menghabiskan waktu selama 10 tahun (1346 H – 1356 H).[2]

Ketika masih menjadi santri pesantren Termas Muhammad Thalhah meminta izin kepada gurunya untuk memperluas jaringan intelektualnya dengan para alim-ulama tanah Jawa. Kemudian ia melanjutkan perjalanan studinya ke pesantren Krapyak Yogyakarta untuk berguru kepada KH. Munawwir bin Abdullah Rasyad. Di Krapyak, ia berhasil mengkhatamkan al-Qur`an dua kali secara bi al-ghayb serta menerima ijazah sanad sebagai berikut:

Dan aku meriwayatkan ijazah al-Qur`an dari guruku yang mulia, guru besar baca al-Qur`an tanah Jawa, yaitu syekh Muhammad Munawwir bin Abdullah Rasyad Yogyakarta. Aku membaca al-Qur`an kepadanya dua kali khataman dengan cara menghafal dan mendengar darinya al-Qur`an dari Yūsuf Ḥusayn yang dikenal dengan Abī Ḥajar al-Dimyaṭī; dari Sa‘d Antar al-Dimyaṭī; dari Aḥmad al-Ḥārūtī al-Dimyaṭī; dari Muḥammad Abī al-Izz al-Dimyaṭī; dari Abdullāh Lūṭ al- Dimyaṭī; dari saudaranya, Ayyūb Lūṭ al-Dimyaṭī; dari Abdah al-Naqqāsh; dari Abdah al-Fawāl; dari Muḥammad al-Ḥimṣānī; dari Aḥmad al-Asqāṭī; dari Abī al- Su‘ūd yang dikenal dengan Abī al-Nūr; dari Sulṭān al-Mizāḥī; dari Sayf al-Dīn bin Aṭā` Allāh al-Faḍālī.

Setelah merasa cukup berguru dan mendalami al-Qur’an bersama  K.H. Munawwir di Krapyak. Pada tahun  1351 H, ia melanjutkan rihlah intelektualnya ke Tebuireng Jombang untuk mendalami literatur-literatur hadis kepada KH. Hasyim Asy‘ari. Dari beliau, Muhammad Thalhah belajar beberapa kitab hadis mu’tabarah di antaranya, aī al-Bukhārī karya Abī Abdillah Muammad bin Ismāīl bin Ibrāhīm al-Bukhārī dan S}ahi>h Muslim karya Abī al-Husayn Muslim bin al-Hajja>j al-Qushayri> al-Naysa>bu>ri

Pada tahun 1352 H Muhammad Thalhah menunaikan haji yang kedua kalinya. Dalam kesempatan haji kedua ini ia  meluangkan waktu untuk berguru kepada syekh Muhammad Ali> bin Husayn al-Ma>liki> hingga akhirnya ia menerima hadis musalsal bi al-awwaliyyah. Ketika di Madinah, ia mempertajam intelektualnya kepada syekh Ibrahi>m bin Abd al-Qa>dir al-Ba>ri> al-Madani>. Dari beliau Muhammad Thalah belajar beberpa kitab hadis di antaranya,  S}ahi>h al-Bukhari> karya Abu>  Abdillah Muhammad bin Isma‘il bin Ibrahim al-Bukha>ri>, S}ahi>h Muslim karya Abu al-Husayn Muslim bin al-Hajja>j al-Qushayri> al-Naysa>bu>ri>, dan al-Muwat}a’` karya Ma>lik bin Anas.

Pada tahun 1353 H Muhammad Thalhah bersinggungan dengan sayyid Muhsin bin Abdullah Assegaf, figur sufi dari Solo. Persinggungannya itu terejawantahkan dalam sebuah pengajian al-Qur`an dan pengetahuan terhadap hadis musalsal. Atas pengawasan Sayyid Muhsin, Muhammad Thalhah mampu mengkhatamkan al-Qur`an bi al-ghayb secara sempurna Ia juga menerima sanad riwayat al- Qur’`an dari gurunya tersebut sebagai berikut:

Dan aku meriwayatkan ijazah al-Qur`an dengan sanad ‘ali melalui metode kashf dari guruku yang alim dan tokoh sufi, yaitu sayyid Muhsin bin Abdullah Assegaf setelah aku membaca al-Qur`an kepadanya satu kali khataman secara sempurna dalam menghafal. Dia (sayyid Muhsin) meriwayatkan dari gurunya, yaitu Idrūs bin Umar al-absī; dari Abdullāh bin usayn Balfaqīh; dari Abdullāh bin Amad Bāsūdān; dari Amad bin Alī Bar al-Qudaymī al-usaynī al-Yamanī dengan benar-benar menerima dan mendengar al-Qur`an dari Nabi Muhammad alla Allah ‘Alayhi wa Sallam dalam kondisi sadar/terjaga tanpa perantara. Antara aku dengan Nabi alla Allah Alayhi wa Sallam terdapat lima perantara.

Perhatian yang besar terhadap genealogi keilmuan (sanad) menunjukkan bahwa kosntruksi intelektual Muhammad Thalhah  murni diperoleh dari pesantren salaf yang notabenenya selalu menggunakan sanad sebagai media atas keaslian sebuah ilmu keislaman. Dalam tradisi intelektual pesantren, genealogi ilmu merupakan hal yang sangat urgen, sebab dengan adanya runtutan jelas ilmu tersebut diambil dari siapa,  maka pemahaman terhadap ilmu-ilmu keislaman akan tetap sesuai dengan sumbernya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Abd Allāh ibn al-Mubārak yang dinukil oleh Imam Muslim menyatakan sebagai berikut:

Sanad merupakan bagian dari agama, andaikan tidak ada sanad, maka siapapun akan berkata menurut apa yang dikehendaknya.

Pada tahun 1357 H Muhammad Thalhah menikah dengan  gadis bernama Saudah, putri KH. Ahmad Shafawi (pendiri pesantren al-Muayyad, Solo). Dari pernikahannya ini, Muhammad Thalhah dikarunia tujuh anak, yaitu Habibullah, Nuriyah, Fatimah, Asiyah, Siti Sarah, Tasnim, dan Mustamirah.

Setelah resmi menjadi suami dari Saudah, dan abah dari putra-putrinya, aktivitas serta kesibukan KH. Muhammad semakin padat. Ia setiap hari tidak pernah lekang dari al-Qur`an, sebab rutinitas yang sering dilakukannya adalah mengisi pengajian tafsir di kediamannya setiap Kamis mulai pukul 10.00 pagi sampai waktu Dhuhur; mengisi pengajian Selasa Pagi. dengan materi pengajian kitab Tafsir Jalālayn dan aḥīḥ al-Bukhārī; mengajarkan al-Qur`an kepada orang-orang tertentu dengan jadwal tertentu pula. Semisal setiap Senin, ia mengajarkan al-Qur`an kepada KH. Naharus Surur, dan setiap pagi sekitar jam 09.00 dengan Hj. Maimunah Baidlowi, serta murid-muridnya yang lain. Ia juga mempunyai rutinitas untuk pribadinya sendiri, yaitu rutin membaca wirid, istiqamah dalam beribadah, dan setiap seminggu selalu mengkhatamkan al-Qur`an 30 juz.

Selain ragam aktivitasnya tersebut, KH. Muhammad juga berposisi sebagai penasehat pondok pesantren modern Ta‘mirul Islam Tegalsari Solo; penasehat ta‘mir masjid Tegalsari sekaligus merangkap menjadi imam tetap di Masjid ini; penasehat keluarga besar Bani Shafawi dan Bani Sulaiman. Selama mas hidupnya K.H. Muhammad tidak  pernah bergelut di bidang politik.

 Pada tanggal 7 September 1991 M / 28 Shafar 1412 H pukul 13.30 WIB, Sabtu Pon, K.H. Muhammad menghembuskan  nafas  terakhirnya  di  usia  ke  83  tahun  di  rumah  sakit Kasih  Ibu Solo. Kemudian  jenazahnya  dimakamkan  di  pemakaman Pulo,  Laweyan,  Solo,  pada  esok  hari, yaitu hari Ahad 8 September 1991 M / 29 Shafar 1412 H.[3]

Karya-Karya 

K.H. Muhammad tergolong ulama yang cukup produktif, di tengah kesibukan yang luar biasa padat, beliau tetap menyempatkan diri untuk menulis. Karya-karya beliau  tidak terbatas dalam bidang tafsir, akan tetapi juga dalam bidang keilmuan Islam lain. Di antara karya-karya beliau adalah sebagai berikut:

1.  Manasik Haji, sebuah buku yang memuat tentang pedoman praktis ibadah Haji dan Umrah. Bukiu ini  diterbitkan oleh CV. Romadhani Sala pada tahun 1985 dengan ketebalan 22 halaman.

2.  Mengenang KH. Sulaiman merupakn buku yang didedikasikan untuk mengenang dan mengulas sejarah, KH. Sulaiman bin Zakariya. Sebagaimana buku sebelumnya, buku ini juga diterbitkan oleh CV. Romadhani Sala pada tahun 1986 dengan ketebalan 30 halaman.

3.  Al-Burhān ‘alā Wayi al-Qur`ān, merupakan buku berbahasa Arab yang membantah dan menyanggah pendapat-pendapat kelompok yang meragukan al-Qur`an. Buku ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh putranya sendiri, Habibullah, dan diterbitkan oleh CV. Romadhani Sala pada tahun 1989 dengan ketebalan 150 halaman.

4.  Asmaul Husna dan Syarahnya, merupakan buku yang menjalaskan tentang asma’-asma’ Allah . Buku ini diterbitkan oleh CV. Romadhani Sala pada tahun 1991 dengan ketebalan 48 halaman.

5.  Keutamaan al-Qur`an, sebuah karya yang berisi kumpulan Hadis-Hadis Nabi Saw yang menjelaskan tentang keutamaan al-Qur`an.

6.  Manaqib Imam Syafii sebuah karya yang menjelaskan dan memamparkan sejarah hidup imam Syafi’i.

7.  Jāmial-Bayān min Khulāṣah Suwar al-Qur`ān, sebuah masterpiece karya yang membahas tentang tafsir al-Qur`an berbahasa Arab lengkap 30 juz. Kitab ini dicetak dalam dua jilid besar oleh pondok pesantren Sirajut Tholibin, Grobogan, Jawa Tengah. Setiap Ramadhan, kitab ini rutin dikaji di pesantren tersebut.



[1] Fatmah, “KH. Muhammad bin Sulaiman: Ulama Ahli Tafsir dari Solo,” diakses 18 November 2018, http://www.thohiriyyah.com/kh-muhammad- bin-sulaiman-ulama-ahli-tafsir-dari-solo/.

[2] Moch. Arifin, “Telaah Awal Atas Tafsir Jāmi’ Al-Bayān Min Khulāah Suwar Al-Qur`Ān Karya KH Muhammad Bin Sulaiman (1329 – 1412 H/ 1911-1991 M),” 44.

[3] Moch. Arifin, 45–46.


Comments