SERI MUFASIR NUSANTARA: SYEIKH NAWAWI AL-BANTANI DAN KARYA TAFSIRNYA

 


Pendahuluan

Proses awal masuknya Islam di Nusantara dibawa oleh para penyebarnya yang berasal dari Gujarat, Persia, dan Arab. Bersamaan dengan itu, kitab suci al-Qur’an diperkenalkan para juru dakwah kepada penduduk pribumi di Nusantara. Dalam tradisi pemikiran Islam, al-Qur’an telah melahirkan sederetan teks turunan yang demikian luas dan mengagumkan. Teks-teks turunan itu merupakan teks kedua bila al-Qur’an dipandang sebagai teks pertama yang menjadi pengungkap dan penjelas makna-makna yang terkandung di dalamnya. Dalam konteks Indonesia, tradisi penulisan bidang tafsir alQur’an sebelum abad ke-20 masih terbilang sedikit. Bahkan jika dilihat dari tingkat produktivitasnya, sampai akhir abad ke-20, karya di bidang ini masih minim dibandingkan dengan bidang lain seperti pemikiran, fiqh, tasawuf, dan sebagainya. Baru pada pertengahan abad ke-17, sebuah karya tafsir yang ditulis oleh putra seorang Bangsa Melayu, yang bernama Abdurrauf al-Singkili (1615-1693) dihasilkan. Kitab tafsir yang diberi nama Tarjuman al-Mustafid ini dianggap sebagai karya tafsir paling tua yang ditulis secara lengkap dalam bahasa Melayu.

Setelah karya di atas, selain naskah-naskah yang menyerupai artikel, tidak pernah lagi muncul karya tafsir yang lain. Baru pada pertengahan paruh terakhir abad ke-19, muncul sebuah karya anak bangsa dalam bidang tafsir secara lengkap yang layak dijadikan sebagai representasi karya tafsir di periode ini dan profil perkembangan awal tafsir di kawasan ini, yaitu Tafsir Marah Labid karya Syekh Nawawi al-Bantani. Sekalipun tafsir ini menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa pengantarnya dan ditulis di luar Nusantara, yaitu Mekkah, tetapi proses awalnya memang merupakan jawaban atas kebutuhan beberapa koleganya di Indonesia, dan memiliki pengaruh yang sangat besar dalam perkembangan studi tafsir di Indonesia.

Dari latar belakang masalah di atas, maka permasalahan yang akan dikaji dalam makalah ini adalah Syekh Nawawi al-Bantani dengan karya tafsirnya Marah Labid sebagai bagian dari sejarah perkembangan tafsir di Indonesia. Agar lebih sistematis, maka kajian ini dibatasi kepada biografi Syekh Nawawi dan kajian tentang tafsir Marah Labid yang mencakup karakteristik umumnya dan metode penafsirannya.

Biografi Syekh Nawawi

Nama lengkapnya adalah Abu Abd al-Mu’thi Muhammad Nawawi ibn Umar ibn Arabi ibn Ali al-Jawi al-Bantani al-Tanara alSyafi’i al-Qadari. Di dunia Arab beliau lebih dikenal dengan nama al-Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi al-Makki, sedangkan di Indonesia lebih masyhur dengan nama Kiai Nawawi Banten. Nama lengkapnya ini ditemukan dalam berbagai karya ilmiah beliau sendiri.

Nama Muhammad Nawawi sendiri diambil dari nama seorang ulama Islam yang produktif dan penulis kitab-kitab fiqh madzhab Syafi’i, dengan harapan agar kelak putera yang sudah punya tanda-tanda kecerdasan dan kesalehan akan mengikuti jejak Imam Nawawi, dan hal itu terbukti dengan produktivitasnya dengan banyaknya karya-karya yang dihasilkan dalam berbagai cabang ilmu keagamaan.

Kehidupan dan Silsilah Keluarga

 Syekh Nawawi dilahirkan di kampung Tanara, Serang, Banten pada tahun 1813 M/1230 H. dari pasangan K.H. Umar dan Zubaidah. Ayahnya seorang tokoh karismatik yang disegani, karena di sampingsebagai seorang ulama yang memimpin pesantren di Tanara, ia juga masih keturunan bangsawan yang taat beragama. Ibunya adalah seorang ibu rumah tangga yang sukses mendidik semua puteraputeranya. Dari silsilahnya, beliau adalah keturunan kedua belas dari Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati), yang silsilahnya masih bersambung dengan Nabi Muhammad SAW.

Beliau menikah dengan seorang wanita yang berasal dari daerah yang sama dengan beliau. Sang istri senantiasa mendampingi beliau selama perjalanan hidupnya dan memegang peranan penting dalam keluarga. Dengan sukses dia berusaha menentang hasrat suaminya untuk mengambil isteri yang kedua. Dari isterinya itu, beliau dikarunia satu orang putera yang meninggal ketika masih balita, dan empat orang puteri.

Perjalanan Menuntut Ilmu

Pendidikan beliau dimulai sejak masa kanak-kanak. Nawawi dikenal sebagai orang yang tekun dan ulet dalam mencari ilmu. Bersama saudaranya Ahmad dan Tamim, beliau belajar ilmu pengetahuan agama Islam dari ayahnya sendiri. Ilmu-ilmu yang dipelajari meliputi pengetahuan dasar bahasa Arab (nahwu dan sharf), fiqh, tauhid, dan tafsir. Mereka juga belajar pada Kiai Sahal, seorang ulama terkenal di daerah Banten. Kemudian mereka dikirim oleh ayahnya ke daerah Purwakarta (Karawang) untuk melanjutkan studi pada K.H. Yusuf, seorang kiai alim yang muridnya banyak berasal dari luar Jawa Barat.[1]

Pada usia 15 tahun ia mendapatkan kesempatan untuk pergi ke Mekkah menunaikan ibadah haji. Kesempatan ini ia manfaatkan dengan bermukim di Tanah Haram untuk belajar Ilmu Kalam, Bahasa dan Sastra Arab, Ilmu Hadis, Tafsir, dan terutama ilmu Fiqh. Dengan kecerdasannya, di usia 18 tahun ia telah berhasil menghafal seluruh al- Qur’an. Lalu ia kembali ke daerahnya tahun 1833 dengan khazanah ilmu keagamaan yang relatif cukup lengkap untuk membantu ayahnya mengajar para santri. Nawawi langsung mendapat simpati dari masyarakat. Kedatangannya membuat pesantren yang dibina ayahnya membludak didatangi oleh santri yang datang dari berbagai pelosok.

Pengaruh dari nama besar Syekh Nawawi Banten dan pesantren yang dibinanya (saat telah diserahkan oleh ayahnya untuk dipimpinnya) cukup membuat khawatir pemerintah Kolonial Belanda akan munculnya kader-kader gerakan pemberontakan, lantaran sudah trauma terhadap gerakan perlawanan santri Diponegoro (1825-1830). Syekh Nawawi menganggap mereka (kolonial Belanda) sebagai pemerintahan kafir. Atas dasar itu, Nawawi bertekad melakukan perlawanan terhadap kekuatan pemerintahan Belanda dan bercita-cita mengembalikan kerajaan Islam Banten.

Syekh Nawawi lalu memutuskan untuk kembali ke Mekkah sebagai salah satu strategi perjuangannya melalui jalur pendidikan dengan mengkader tokoh-tokoh agama yang datang belajar ke Mekkah. Di lain pihak, Nawawi juga merasa masih belum cukup dengan ilmu yang dimilikinya sehingga tidak mau membiarkan waktu berlalu begitu saja tanpa menimba ilmu, di samping mengajarkan ilmu yang sudah dimilikinya.

Sejak pertama kali keberadaannya di Mekkah, Nawawi sudah berguru pada ulama-ulama besar yang terkenal, seperti Syekh Ahmad Khatib Sambas, Syekh Abdul Ghani Bima, dan Syekh Ahmad al-Nahrawi. Kemudian ia melanjutkan pelajarannya pada ulamaulama besar di Mesir dan Syam (Syiria), di antaranya kepada Syekh Ahmad al-Mirshafi, seorang ulama Mesir yang banyak menulis buku tentang ilmu tauhid, hadis, dan balaghah, juga kepada Syekh Yusuf al-Sunbulawini, dan Abdul Hamid al-Daghastani.

Dengan keluasan ilmunya, Syekh Nawawi konsisten dengan profesinya sampai usia senja dengan menghabiskan hampir seluruh hidupnya sebagai pengajar dan penulis. Karena sikapnya yang komunikatif, membuat para pencari ilmu di Mekkah simpati padanya. Ketika mengajar di Masjid al-Haram, Ma’had Nashr al-Ma’arif al-Diniyyah, ia dikenal sebagai guru yang disukai banyak murid. Di Indonesia, murid-murid Syekh Nawawi termasuk tokoh nasional Islam yang cukup banyak berperan selain dalam dakwah Islam, juga dalam perjuangan nasional. Di antaranya adalah K.H. Hasyim Asy’ari dari Tebu Ireng Jombang, Jawa Timur (pendiri organisasi Nahdlatul Ulama).

Kehidupan Syekh Nawawi penuh dengan kesederhanaan. Menurut muridnya, Abd al-Sattar al-Dihlawi dalam biografinya mengatakan bahwa Syekh Nawawi adalah sosok seorang yang masyhur kesalehannya, tawadhu’, dan zahid. Syekh Nawawi juga adalah orang yang sangat sayang terhadap sesama, terutama keluarganya. Ini terbukti dengan adanya beberapa orang yang hidup bersama dalam keluarganya yang menjadi tanggungannya, termasuk adiknya Abdullah yang ditinggal wafat ayahnya ketika masih kecil, pemeliharaan dan pendidikannya beliau ambil alih sampai kemudian menjadi seorang ulama yang terkenal juga di Banten. Pada tanggal 25 Syawwal 1314 H/1897 M., Nawawi menghembuskan napas terakhirnya di usia 84 tahun. Beliau dimakamkan di Ma’la (sebuah tempat pemakaman umum di Mekkah, ke arah Timur dari Masjid al-Haram) di dekat makam Siti Khadijah, Ummul Mukminin.

Karya-Karya Syekh Nawawi

a.       Bidang Tafsir

Nawawi menulis Marah Labid li Kasyf Ma’na Qur’an Majid, yang lebih dikenal dengan al-Tafsir al-Munir li Ma’alim al-Tanzil alMusfar ‘an Wujuh Mahasin al-Ta’wil, yang diterbitkan pertama kali di Kairo tahun 1305 H.

b.      Bidang Hadis

Tanqih al-Qaul al-Hatsits bi Syarh Lubab al-Hadis, Nashaih al-‘Ibad fi Bayan Alfazh Munabbihat ‘ala al-Isti’dad li Yaum al-Ma’ad

c.       Bidang Tauhid dan Ushuluddin

• Tijan al-Durari Syarh Risalah al-Bajuri • Dzari’ah al-Yaqin ‘ala Umm al-Barahin • Syarh ‘Ala Manzhumah al-Syekh Muhammad al-Dimyathi fi al- Tawashshul bi Asma Allah al-Husna • al-‘Aqd al-Tsamin Syarh Fath al-Mubin • Fath al-Majid fi Syarh al-Durr al-Farid • Qami’ al-Tughyan ‘ala Manzhumah Syu’ab al-Iman • Qathr al-Ghaits fi Syarh Masail Abi al-Laits • Naqawah al-‘Aqidah wa Syarhuh al-Musamma “al-Nahjah al-Jayyidah li Hall Naqawah al-‘Aqidah” • Nur al-Zhallam fi Syarh ‘Aqidah al-‘Awwam

d.      Bidang Fiqh dan Ushul Fiqh

 • Bahjah al-Wasail bi Syarh Masail • Al-Tsamar al-Yani’ah fi al-Riyadh al- Badi’ah • Sullam al-Munajah ‘ala Safinah al-Shalah • Suluk al-Jaddah fi Bayan al-Jum’ah wa al-Mu’adah • Fath al-Mujib bi Syarh Mukhtashar al-Khatib • Quth al-Habib al-Gharib Hasyiah ‘ala Fath al-Qarib al-Mujib • Kasyifah al-Saja Syarh Safinah al-Naja • Nihayah al-Zain fi Irsyad al-Mubtadi’in

e.       Bidang Tasawuf dan Akhlaq

• Salalim al-Fudhala Syarh Manzhumah Hidayah al-Adzkiya • Maraqi al-‘Ubudiyyah Syarh Bidayah al-Hidayah • Mirqah Shu’ud al-Tashdiq fi Syarh Sulam al-Taufiq • Mishbah al-Dhallam ‘ala al-Manhaj al- Atamm fi Tabwib al-Hikam • Minhaj al-Raghibin fi al-Shafa wa al-Uns

f.        Bidang Sirah (Sejarah Kehidupan Nabi SAW)

 • Al-Ibriz al-Dani fi Maulid Sayyidina Muhammad al-‘Adnani ughyah al-‘Awwam fi Syarh Maulid Sayyid al-Anam • Targhib al-Musytaqin li Bayan Manzhumah al-Sayyid alBarjanji fi Maulid Sayyid al- Awwalin wa al-Akhirin • Al-Durar al-Bahiyyah fi Syarh al-Khashaish al-Nabawiyyah • Fath al-Shamad al-‘Alim ‘ala Maulid al-Syekh Ahmad ibn Qasim • Madarij al-Shu’ud ila Iktisah al-Burud

g.      Bidang Nahwu, Sharf dan Balaghah

• Fath Ghafir al-Khathiyyah ‘ala al-Kawakib al-Jaliyyah fi Nazhm al- Ajrumiyyah • Al-Fushush al-Yaqutiyyah ‘ala al-Raudhah al-Bahiyyah • Al-Riyadh al-Qauliyyahfî al-Sharf • Kasyf al-Maruthiyyah ‘ala Sitar al-Ajrumiyyah • Lubab al-Bayan fi ‘Ilm al-Balaghah

 

Nama dan Latar Belakang Penulisan Marah Labid

Marah Labid li Kasyf ma’na Qur’an Majid adalah nama awal yang diberikan Syekh Nawawi kepada kitab tafsir karangannya. Beliau juga menamai kitab tersebut dengan al-Tafsir al-Munir li Ma’alim al-Tanzil. Oleh karena itu, nama kitab tafsir karangan beliau ialah Marah Labid pada cetakan pertamanya dan al-Tafsir al-Munir li Ma’alim al-Tanzil pada cetakan keduanya.

Marah apabila dilihat dari sudut kebahasaan, berasal dari kata raha–yaruhu–rawh, yang berarti datang dan pergi di sore hari untuk berkemas dan mempersiapkan kembali berangkat. Sedangkan marah yang menunjukkan tempat (ism al-makan) dari kata tersebut ialah al-maudh’ yaruhu li qaum minhu aw ilaih (tempat istirahat bagi sekelompok orang yang darinya mereka pergi dan kepadanya mereka kembali). Sedangkan labid dari kata labidayalbadu yang artinya berkumpul mengitari sesuatu. Dalam istilah ilmu hewan (zoologi), labid berarti sama dengan al-libadi yang artinya sejenis burung yang senang di daratan dan hanya terbangbila diterbangkan.[2]  Jadi, pengertian marah labid secara harfiah ialah ‘sarang burung’ atau istilah lainnya yaitu ‘tempat istirahat yang nyaman bagi orang-orang yang datang dan pergi’.[3]

Penulisan kita tafsir ini bukanlah atas kehendak Syekh Nawawi sendiri, tetapi merupakan anjuran atau saran dari sebagian ulama agar beliau menulis sebuah kitab tafsir yang di dalamnya menerangkan makna-makna al-Qur’an.[4]  Pada mulanya beliau ragu untuk menjawab hal tersebut. Penyebabnya ialah kekhawatiran beliau akan ancaman yang terdapat pada hadis Nabi Muhammad SAW yang berbunyi:

“Barangsiapa yang membicarakan al-Qur’an dengan pendapatnya sendiri, kendati ia benar, namun seseungguhnya dia keliru.”

Namun, pada akhirnya beliau memenuhi saran dan anjuran tadi, sama halnya seperti ulama-ulama salaf terdahulu yang berbagi pengetahuan mereka agar bisa bermanfaat bagi generasi yang baru. Akan tetapi, dalam baliau tidak menambahkan sesuatu pun dalam karangannya.

Kitab Tafsir Marah Labid merupakan karya tafsir kedua yang dikarang oleh putra Melayu setelah Tafsir Tarjuman al-Mustafid karangan Abd al-Rauf al-Singkili, ulama kelahiran Aceh. Meskipun demikian, Tafsir Marah Labid tafsir karya anak Melayu pertama yang dituliskan dengan menggunkan bahasa Arab. Kitab ini selesai ditulis pada hari Selasa malam Rabu, 5 Rabiul Akhir 1305 Hijriah.[5]

Rujukan Dalam Menulis Tafsir

Yang menjadi rujukan beliau dalam menulis tafsir ini adalah sebagai berikut: 1. Tafsir Al-Futuhatul Ilahiyyah, (Syarah Tafsir Jalalain) 2. Tafsir Mafatihul Gaib 3. As-Sirajul Munir 4. Tanwirul Miqbas (tafsir Ibnu Abbas) 5. Tafsir Ibnu Mas’ud.[6]

Metode dan Corak Penafsiran Syekh Nawawi

Dalam studi ilmu tafsir, ada tiga ciri pokok yang perlu dilihat dalam setiap membahas metode tafsir dari suatu karya tafsir, yaitu teknik (manhaj/thariqah), orientasi (ittijah), dan coraknya (laun). Yang dimaksud teknik penafsiran di sini adalah bagaimana suatu tafsir menggunakan teknik pembahasannya, apakah ia menggunakan teknik analisis (tahlili), global (ijmali), perbandingan (muqaran), atau tematik (maudhu’i).[7]

Sedangkan yang dimaksud dengan bentuk di sini adalah sejauhmana suatu tafsir menggunakan sumber-sumber penafsiran, al-Qur’an, hadis, qaul shahabat (tafsir bi al-ma’tsur) atau pemikiran/ rasio (tafsir bi al-ra’y). Lalu yang dimaksud dengan corak adalah afiliasi terhadap disiplin ilmu apa penafsir terpengaruh dan biasanya tergantung latar belakang dan keahlian penafsir. Apakah ia seorang ahli hukum (fiqh), teolog (kalam), sufi, ahli bahasa (adab), dan lainlain.

Dari segi teknik penafsirannya, Marah Labid termasuk dalam kategori tafsir yang menggunakan metode ijmali, di mana Nawawi berusaha untuk menafsirkan seringkas mungkin, tetapi tetap mencakup banyak hal dengan menggabungkan pendapatpendapat dalam bahasa yang ringkas. Sebagai contoh, penafsiran Nawawi terhadap awal surat Yusuf, sebagaimana dikutip Mamat:



Setelah menyebutkan nama surat dan status makiyah atau madaniyah, Nawawi selalu menjelaskan terlebih dahulu jumlah ayat, kata (kalimat), dan huruf suatu surat di mana hal ini beliau lakukan dengan mengikuti langkah kitab tafsir referensinya yaitu Abu Su’ud dan al-Siraj al-Munir yang selalu menyebut jumlah ayat, kata, dan huruf setiap surat. Dalam menafsirkan surat Yusuf ini, Nawawi memulainya dengan menyebutkan asbab al-nuzul dengan memotong sanadnya dan langsung menyebutkan sumbernya dari sahabat, sehingga lebih ringkas.

Menurut penelitian Mustamin, pola seperti ini tidak selalu sama untuk setiap surat. Nawawi juga kadang memulai dengan makna ayat secara umum, terkadang juga dengan membahas i’rabnya, kadang dengan menyebutkan hadis yang menafsirkan ayatnya, dengan kata lain sangat variatif, sesuai dengan pemahamannya mana yang dianggap lebih penting untuk mendapat penjelasan lebih awal.

Dari segi bentuk penafsirannya, Marah Labid termasuk perpaduan antara bentuk tafsir bi al-ma’tsur dan bi al-ra’y. Nawawi juga banyak mengutip perkataan shahabat sebagai sumber penafsirannya, seperti perkataan Ibn Abbas, Ibn Mas’ud, Ali bin Abi Thalib, dan lain-lain. Begitu pula sumber dari tabi’in.

Corak penafsiran Nawawi dipengaruhi oleh keluasan ilmunya yang meliputi berbagai bidang ilmu agama Islam dan hal ini terlihat dengan banyaknya karya yang beliau hasilkan dalam berbagai bidang ilmu tersebut. Karenanya, ketika mengkaji kitab tafsir karyanya, didapati berbagai aspek kajian di dalamnya. Mustamin menyingkap setidaknya lima bidang ilmu, yaitu: ulum al-qur’an, ilmu bahasa (nahw, sharf, dan balaghah), fiqh-ushul fiqh, ilmu kalam (teologi), dan tasawuf. Bidang Ulum al-Qur’an mencakup bahasan tentang i’jaz al-qur’an, muhkam dan mutasyabih, tartib al-ayat wa al-suwar, ‘ilm al-munasabat, asbab al-nuzul, waqf dan washal, dan nâsikh dan mansukh.

Aspek lain yang bisa dilihat dari tafsir Nawawi adalah qira’at. Nawawi termasuk mufasir yang menempuh tradisi menafsirkan dan memahami ayat-ayat al-Qur’an dengan pendekatan ilmu qira’at, sehingga jarang ditemukan ayat yang tidak dikomentari perbedaan qira’atnya dan terkadang mengemukakan argumentasi setiap penganut qira’at yang ada.[8]

Dari contoh-contoh yang dikemukakan di atas, maka teknik interpretasi yang digunakan oleh Nawawi selain teknik interpretasi tekstual, adalah interpretasi linguistik (kaidah-kaidah bahasa), interpretasi sosio-historis (asbab al-nuzul), interpretasi teleologis (kaidah-kaidah fiqh), interpretasi kultural (pengetahuan yang mapan), dan interpretasi logis.[9] Dengan segala kelebihan yang dimiliki oleh Nawawi, sebuah catatan kecil akan tafsirnya adalah adanya kisah-kisah Israiliyyat yang masuk ke dalam tafsirnya dengan tanpa memberikan ta’liq (komentar).

Sebagai contoh ketika menafsirkan Q.S. Yusuf/12: 4 yang bercerita tentang mimpi nabi Yusuf a.s. melihat sebelas bintang, matahari, dan bulan, beliau menukil riwayat Wahab bin Munabbih yang notabene merupakan rujukan kisah-kisah israiliyyat:



Simpulan

Syekh Nawawi merupakan tokoh ulama Indonesia yang mendunia dikarenakan separuh hidupnya dihabiskan dengan belajar dan mengajar keilmuan dalam ajaran Islam. Karya-karyanya ditulis menggunakan bahasa Arab dengan berbagai bidang ilmu agama Islam seperti tafsir, hadist, fiqh, tauhid, dan lain-lain. Salah satu karyanya dari bidang tafsir yaitu Tafsir Marah Labid yang ditulis dengan menggunakan bahasa Arab dan diakui oleh dunia. Kitab-kitab yang dirujuk oleh beliau adalah Tafsir Al-Futuhatul Ilahiyyah, (Syarah Tafsir Jalalain), Tafsir Mafatihul Gaib, As-Sirajul Munir, Tanwirul Miqbas (tafsir Ibnu Abbas), dan Tafsir Ibnu Mas’ud. Dari segi bentuk penafsirannya, Marah Labid termasuk perpaduan antara bentuk tafsir bi al-ma’tsur dan bi al-ra’y. Nawawi juga banyak mengutip perkataan shahabat sebagai sumber penafsirannya, seperti perkataan Ibn Abbas, Ibn Mas’ud, Ali bin Abi Thalib, dan lain-lain. Begitu pula sumber dari tabi’in.

link download kitab tafsir marah labid di sini




[1] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Studi Tentang Pandangan Hidup Kiyai, (Jakarta: LP3S, 1982), hal. 87.

[2] Aan Parhani, “Metode Penafsiran Syekh Nawawi al-Bantani Dalam Tafsir Marah Labid”, dalam Tafsere Vol. 1 No. 1 Tahun 2013, hal. 13.

[3] Aan Parhani, “Metode Penafsiran Syekh Nawawi al-Bantani .... hal. 13.

[4] Syekh Muhammad Nawawi Al-Jawi (Banten), Tafsir al-Munir (Marah Labid) Jilid 1, Terj. Bahrun Abu Bakar dan Anwar Abu Bakar, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2017).

[5] Muhammad Rizki Fauzi, “Al-Hubb Fil Qur’an Kajian Tafsir Marah Labid Karya Syaikh Nawawi”, Skripsi, (Lampung: UIN Raden Intan, 2016), hal. 45.

[6] Muhammad Rizki Fauzi, “Al-Hubb Fil Qur’an .... Hal. 47.

[7] Pembahasan selengkapnya tentang teknik penafsiran, lihat misalnya Abd al-Hayy al-Farmawi, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu’i, Kairo: Maktabah alJumhuriyyah, 1979, h. 3. Lihat pula terjemahannya oleh Suryan A. Jamrah, Metode Tafsir Maudhu`i; Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafido Persada, 1994, cet. I, h. 35-36.

[8] Mustamin Arsyad, Signifikansi Tafsir Marâh Labîd, h. 635.

[9] Selengkapnya tentang teknik-teknik interpretasi, lihat, Abdul Muin Salim, Fiqh Siyasah, h. 23-31. Lihat pula, Abd. Muin Salim, Metodologi Tafsir , h. 33-36 dan lihat pula, M. Alfatih Suryadilaga, dkk., Metodologi Ilmu Tafsir, h. 84-91.


Comments