on
asbab nuzul
- Get link
- X
- Other Apps
Pendahuluan
Proses awal masuknya Islam di Nusantara dibawa oleh para
penyebarnya yang berasal dari Gujarat, Persia, dan Arab. Bersamaan dengan itu,
kitab suci al-Qur’an diperkenalkan para juru dakwah kepada penduduk pribumi di
Nusantara. Dalam tradisi pemikiran Islam, al-Qur’an telah melahirkan sederetan
teks turunan yang demikian luas dan mengagumkan. Teks-teks turunan itu
merupakan teks kedua bila al-Qur’an dipandang sebagai teks pertama yang menjadi
pengungkap dan penjelas makna-makna yang terkandung di dalamnya. Dalam konteks
Indonesia, tradisi penulisan bidang tafsir alQur’an sebelum abad ke-20 masih
terbilang sedikit. Bahkan jika dilihat dari tingkat produktivitasnya, sampai
akhir abad ke-20, karya di bidang ini masih minim dibandingkan dengan bidang
lain seperti pemikiran, fiqh, tasawuf, dan sebagainya. Baru pada pertengahan
abad ke-17, sebuah karya tafsir yang ditulis oleh putra seorang Bangsa Melayu,
yang bernama Abdurrauf al-Singkili (1615-1693) dihasilkan. Kitab tafsir yang
diberi nama Tarjuman al-Mustafid ini dianggap sebagai karya tafsir paling tua
yang ditulis secara lengkap dalam bahasa Melayu.
Setelah karya di atas, selain naskah-naskah yang
menyerupai artikel, tidak pernah lagi muncul karya tafsir yang lain. Baru pada
pertengahan paruh terakhir abad ke-19, muncul sebuah karya anak bangsa dalam
bidang tafsir secara lengkap yang layak dijadikan sebagai representasi karya
tafsir di periode ini dan profil perkembangan awal tafsir di kawasan ini, yaitu
Tafsir Marah Labid karya Syekh Nawawi al-Bantani. Sekalipun tafsir ini
menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa pengantarnya dan ditulis di luar Nusantara,
yaitu Mekkah, tetapi proses awalnya memang merupakan jawaban atas kebutuhan
beberapa koleganya di Indonesia, dan memiliki pengaruh yang sangat besar dalam
perkembangan studi tafsir di Indonesia.
Dari latar belakang masalah di atas, maka permasalahan
yang akan dikaji dalam makalah ini adalah Syekh Nawawi al-Bantani dengan karya
tafsirnya Marah Labid sebagai bagian dari sejarah perkembangan tafsir di Indonesia.
Agar lebih sistematis, maka kajian ini dibatasi kepada biografi Syekh Nawawi
dan kajian tentang tafsir Marah Labid yang mencakup karakteristik umumnya dan
metode penafsirannya.
Biografi Syekh Nawawi
Nama lengkapnya adalah Abu Abd al-Mu’thi Muhammad Nawawi
ibn Umar ibn Arabi ibn Ali al-Jawi al-Bantani al-Tanara alSyafi’i al-Qadari. Di
dunia Arab beliau lebih dikenal dengan nama al-Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi
al-Makki, sedangkan di Indonesia lebih masyhur dengan nama Kiai Nawawi Banten.
Nama lengkapnya ini ditemukan dalam berbagai karya ilmiah beliau sendiri.
Nama Muhammad Nawawi sendiri diambil dari nama seorang
ulama Islam yang produktif dan penulis kitab-kitab fiqh madzhab Syafi’i, dengan
harapan agar kelak putera yang sudah punya tanda-tanda kecerdasan dan kesalehan
akan mengikuti jejak Imam Nawawi, dan hal itu terbukti dengan produktivitasnya
dengan banyaknya karya-karya yang dihasilkan dalam berbagai cabang ilmu
keagamaan.
Kehidupan dan Silsilah Keluarga
Syekh Nawawi
dilahirkan di kampung Tanara, Serang, Banten pada tahun 1813 M/1230 H. dari
pasangan K.H. Umar dan Zubaidah. Ayahnya seorang tokoh karismatik yang
disegani, karena di sampingsebagai seorang ulama yang memimpin pesantren di
Tanara, ia juga masih keturunan bangsawan yang taat beragama. Ibunya adalah
seorang ibu rumah tangga yang sukses mendidik semua puteraputeranya. Dari
silsilahnya, beliau adalah keturunan kedua belas dari Maulana Syarif
Hidayatullah (Sunan Gunung Jati), yang silsilahnya masih bersambung dengan Nabi
Muhammad SAW.
Beliau menikah dengan seorang wanita yang berasal dari daerah
yang sama dengan beliau. Sang istri senantiasa mendampingi beliau selama
perjalanan hidupnya dan memegang peranan penting dalam keluarga. Dengan sukses
dia berusaha menentang hasrat suaminya untuk mengambil isteri yang kedua. Dari
isterinya itu, beliau dikarunia satu orang putera yang meninggal ketika masih
balita, dan empat orang puteri.
Perjalanan Menuntut Ilmu
Pendidikan beliau dimulai sejak masa kanak-kanak. Nawawi
dikenal sebagai orang yang tekun dan ulet dalam mencari ilmu. Bersama
saudaranya Ahmad dan Tamim, beliau belajar ilmu pengetahuan agama Islam dari
ayahnya sendiri. Ilmu-ilmu yang dipelajari meliputi pengetahuan dasar bahasa
Arab (nahwu dan sharf), fiqh, tauhid, dan tafsir. Mereka juga belajar pada Kiai
Sahal, seorang ulama terkenal di daerah Banten. Kemudian mereka dikirim oleh
ayahnya ke daerah Purwakarta (Karawang) untuk melanjutkan studi pada K.H. Yusuf,
seorang kiai alim yang muridnya banyak berasal dari luar Jawa Barat.[1]
Pada usia 15 tahun ia mendapatkan kesempatan untuk pergi
ke Mekkah menunaikan ibadah haji. Kesempatan ini ia manfaatkan dengan bermukim
di Tanah Haram untuk belajar Ilmu Kalam, Bahasa dan Sastra Arab, Ilmu Hadis,
Tafsir, dan terutama ilmu Fiqh. Dengan kecerdasannya, di usia 18 tahun ia telah
berhasil menghafal seluruh al- Qur’an. Lalu ia kembali ke daerahnya tahun 1833
dengan khazanah ilmu keagamaan yang relatif cukup lengkap untuk membantu
ayahnya mengajar para santri. Nawawi langsung mendapat simpati dari masyarakat.
Kedatangannya membuat pesantren yang dibina ayahnya membludak didatangi oleh
santri yang datang dari berbagai pelosok.
Pengaruh dari nama besar Syekh Nawawi Banten dan
pesantren yang dibinanya (saat telah diserahkan oleh ayahnya untuk dipimpinnya)
cukup membuat khawatir pemerintah Kolonial Belanda akan munculnya kader-kader
gerakan pemberontakan, lantaran sudah trauma terhadap gerakan perlawanan santri
Diponegoro (1825-1830). Syekh Nawawi menganggap mereka (kolonial Belanda)
sebagai pemerintahan kafir. Atas dasar itu, Nawawi bertekad melakukan
perlawanan terhadap kekuatan pemerintahan Belanda dan bercita-cita mengembalikan
kerajaan Islam Banten.
Syekh Nawawi lalu memutuskan untuk kembali ke Mekkah
sebagai salah satu strategi perjuangannya melalui jalur pendidikan dengan
mengkader tokoh-tokoh agama yang datang belajar ke Mekkah. Di lain pihak,
Nawawi juga merasa masih belum cukup dengan ilmu yang dimilikinya sehingga
tidak mau membiarkan waktu berlalu begitu saja tanpa menimba ilmu, di samping
mengajarkan ilmu yang sudah dimilikinya.
Sejak pertama kali keberadaannya di Mekkah, Nawawi sudah
berguru pada ulama-ulama besar yang terkenal, seperti Syekh Ahmad Khatib
Sambas, Syekh Abdul Ghani Bima, dan Syekh Ahmad al-Nahrawi. Kemudian ia
melanjutkan pelajarannya pada ulamaulama besar di Mesir dan Syam (Syiria), di
antaranya kepada Syekh Ahmad al-Mirshafi, seorang ulama Mesir yang banyak
menulis buku tentang ilmu tauhid, hadis, dan balaghah, juga kepada Syekh Yusuf
al-Sunbulawini, dan Abdul Hamid al-Daghastani.
Dengan keluasan ilmunya, Syekh Nawawi konsisten dengan
profesinya sampai usia senja dengan menghabiskan hampir seluruh hidupnya
sebagai pengajar dan penulis. Karena sikapnya yang komunikatif, membuat para
pencari ilmu di Mekkah simpati padanya. Ketika mengajar di Masjid al-Haram,
Ma’had Nashr al-Ma’arif al-Diniyyah, ia dikenal sebagai guru yang disukai
banyak murid. Di Indonesia, murid-murid Syekh Nawawi termasuk tokoh nasional
Islam yang cukup banyak berperan selain dalam dakwah Islam, juga dalam perjuangan
nasional. Di antaranya adalah K.H. Hasyim Asy’ari dari Tebu Ireng Jombang, Jawa
Timur (pendiri organisasi Nahdlatul Ulama).
Kehidupan Syekh Nawawi penuh dengan kesederhanaan.
Menurut muridnya, Abd al-Sattar al-Dihlawi dalam biografinya mengatakan bahwa
Syekh Nawawi adalah sosok seorang yang masyhur kesalehannya, tawadhu’, dan
zahid. Syekh Nawawi juga adalah orang yang sangat sayang terhadap sesama,
terutama keluarganya. Ini terbukti dengan adanya beberapa orang yang hidup
bersama dalam keluarganya yang menjadi tanggungannya, termasuk adiknya Abdullah
yang ditinggal wafat ayahnya ketika masih kecil, pemeliharaan dan pendidikannya
beliau ambil alih sampai kemudian menjadi seorang ulama yang terkenal juga di
Banten. Pada tanggal 25 Syawwal 1314 H/1897 M., Nawawi menghembuskan napas
terakhirnya di usia 84 tahun. Beliau dimakamkan di Ma’la (sebuah tempat
pemakaman umum di Mekkah, ke arah Timur dari Masjid al-Haram) di dekat makam
Siti Khadijah, Ummul Mukminin.
Karya-Karya Syekh Nawawi
a.
Bidang Tafsir
Nawawi menulis Marah Labid li Kasyf Ma’na
Qur’an Majid, yang lebih dikenal dengan al-Tafsir al-Munir li Ma’alim al-Tanzil
alMusfar ‘an Wujuh Mahasin al-Ta’wil, yang diterbitkan pertama kali di Kairo
tahun 1305 H.
b.
Bidang Hadis
Tanqih al-Qaul al-Hatsits bi Syarh Lubab
al-Hadis, Nashaih al-‘Ibad fi Bayan Alfazh Munabbihat ‘ala al-Isti’dad li Yaum
al-Ma’ad
c.
Bidang Tauhid dan Ushuluddin
• Tijan al-Durari Syarh Risalah al-Bajuri •
Dzari’ah al-Yaqin ‘ala Umm al-Barahin • Syarh ‘Ala Manzhumah al-Syekh Muhammad
al-Dimyathi fi al- Tawashshul bi Asma Allah al-Husna • al-‘Aqd al-Tsamin Syarh
Fath al-Mubin • Fath al-Majid fi Syarh al-Durr al-Farid • Qami’ al-Tughyan ‘ala
Manzhumah Syu’ab al-Iman • Qathr al-Ghaits fi Syarh Masail Abi al-Laits •
Naqawah al-‘Aqidah wa Syarhuh al-Musamma “al-Nahjah al-Jayyidah li Hall Naqawah
al-‘Aqidah” • Nur al-Zhallam fi Syarh ‘Aqidah al-‘Awwam
d.
Bidang Fiqh dan Ushul Fiqh
•
Bahjah al-Wasail bi Syarh Masail • Al-Tsamar al-Yani’ah fi al-Riyadh al-
Badi’ah • Sullam al-Munajah ‘ala Safinah al-Shalah • Suluk al-Jaddah fi Bayan
al-Jum’ah wa al-Mu’adah • Fath al-Mujib bi Syarh Mukhtashar al-Khatib • Quth
al-Habib al-Gharib Hasyiah ‘ala Fath al-Qarib al-Mujib • Kasyifah al-Saja Syarh
Safinah al-Naja • Nihayah al-Zain fi Irsyad al-Mubtadi’in
e.
Bidang Tasawuf dan Akhlaq
• Salalim al-Fudhala Syarh Manzhumah Hidayah
al-Adzkiya • Maraqi al-‘Ubudiyyah Syarh Bidayah al-Hidayah • Mirqah Shu’ud
al-Tashdiq fi Syarh Sulam al-Taufiq • Mishbah al-Dhallam ‘ala al-Manhaj al-
Atamm fi Tabwib al-Hikam • Minhaj al-Raghibin fi al-Shafa wa al-Uns
f.
Bidang Sirah (Sejarah Kehidupan Nabi SAW)
•
Al-Ibriz al-Dani fi Maulid Sayyidina Muhammad al-‘Adnani ughyah al-‘Awwam fi
Syarh Maulid Sayyid al-Anam • Targhib al-Musytaqin li Bayan Manzhumah al-Sayyid
alBarjanji fi Maulid Sayyid al- Awwalin wa al-Akhirin • Al-Durar al-Bahiyyah fi
Syarh al-Khashaish al-Nabawiyyah • Fath al-Shamad al-‘Alim ‘ala Maulid al-Syekh
Ahmad ibn Qasim • Madarij al-Shu’ud ila Iktisah al-Burud
g.
Bidang Nahwu, Sharf dan Balaghah
• Fath Ghafir al-Khathiyyah ‘ala al-Kawakib
al-Jaliyyah fi Nazhm al- Ajrumiyyah • Al-Fushush al-Yaqutiyyah ‘ala al-Raudhah
al-Bahiyyah • Al-Riyadh al-Qauliyyahfî al-Sharf • Kasyf al-Maruthiyyah ‘ala
Sitar al-Ajrumiyyah • Lubab al-Bayan fi ‘Ilm al-Balaghah
Nama dan Latar Belakang Penulisan Marah Labid
Marah Labid li Kasyf ma’na Qur’an Majid adalah nama awal
yang diberikan Syekh Nawawi kepada kitab tafsir karangannya. Beliau juga
menamai kitab tersebut dengan al-Tafsir al-Munir li Ma’alim al-Tanzil. Oleh
karena itu, nama kitab tafsir karangan beliau ialah Marah Labid pada cetakan
pertamanya dan al-Tafsir al-Munir li Ma’alim al-Tanzil pada cetakan keduanya.
Marah apabila dilihat dari sudut kebahasaan, berasal dari
kata raha–yaruhu–rawh, yang berarti datang dan pergi di sore hari untuk
berkemas dan mempersiapkan kembali berangkat. Sedangkan marah yang menunjukkan
tempat (ism al-makan) dari kata tersebut ialah al-maudh’ yaruhu li qaum minhu
aw ilaih (tempat istirahat bagi sekelompok orang yang darinya mereka pergi dan
kepadanya mereka kembali). Sedangkan labid dari kata labidayalbadu yang artinya
berkumpul mengitari sesuatu. Dalam istilah ilmu hewan (zoologi), labid berarti
sama dengan al-libadi yang artinya sejenis burung yang senang di daratan dan
hanya terbangbila diterbangkan.[2] Jadi, pengertian marah labid secara harfiah
ialah ‘sarang burung’ atau istilah lainnya yaitu ‘tempat istirahat yang nyaman
bagi orang-orang yang datang dan pergi’.[3]
Penulisan kita tafsir ini bukanlah atas kehendak Syekh
Nawawi sendiri, tetapi merupakan anjuran atau saran dari sebagian ulama agar
beliau menulis sebuah kitab tafsir yang di dalamnya menerangkan makna-makna
al-Qur’an.[4] Pada mulanya beliau ragu untuk menjawab hal
tersebut. Penyebabnya ialah kekhawatiran beliau akan ancaman yang terdapat pada
hadis Nabi Muhammad SAW yang berbunyi:
“Barangsiapa yang membicarakan al-Qur’an
dengan pendapatnya sendiri, kendati ia benar, namun seseungguhnya dia keliru.”
Namun, pada akhirnya beliau memenuhi saran dan anjuran
tadi, sama halnya seperti ulama-ulama salaf terdahulu yang berbagi pengetahuan
mereka agar bisa bermanfaat bagi generasi yang baru. Akan tetapi, dalam baliau
tidak menambahkan sesuatu pun dalam karangannya.
Kitab Tafsir Marah Labid merupakan karya tafsir kedua
yang dikarang oleh putra Melayu setelah Tafsir Tarjuman al-Mustafid karangan
Abd al-Rauf al-Singkili, ulama kelahiran Aceh. Meskipun demikian, Tafsir Marah
Labid tafsir karya anak Melayu pertama yang dituliskan dengan menggunkan bahasa
Arab. Kitab ini selesai ditulis pada hari Selasa malam Rabu, 5 Rabiul Akhir
1305 Hijriah.[5]
Rujukan Dalam Menulis Tafsir
Yang menjadi rujukan beliau dalam menulis tafsir ini
adalah sebagai berikut: 1. Tafsir Al-Futuhatul Ilahiyyah, (Syarah Tafsir
Jalalain) 2. Tafsir Mafatihul Gaib 3. As-Sirajul Munir 4. Tanwirul Miqbas
(tafsir Ibnu Abbas) 5. Tafsir Ibnu Mas’ud.[6]
Metode dan Corak Penafsiran Syekh Nawawi
Dalam studi ilmu tafsir, ada tiga ciri pokok yang perlu
dilihat dalam setiap membahas metode tafsir dari suatu karya tafsir, yaitu
teknik (manhaj/thariqah), orientasi (ittijah), dan coraknya (laun). Yang
dimaksud teknik penafsiran di sini adalah bagaimana suatu tafsir menggunakan
teknik pembahasannya, apakah ia menggunakan teknik analisis (tahlili), global
(ijmali), perbandingan (muqaran), atau tematik (maudhu’i).[7]
Sedangkan yang dimaksud dengan bentuk di sini adalah
sejauhmana suatu tafsir menggunakan sumber-sumber penafsiran, al-Qur’an, hadis,
qaul shahabat (tafsir bi al-ma’tsur) atau pemikiran/ rasio (tafsir bi al-ra’y).
Lalu yang dimaksud dengan corak adalah afiliasi terhadap disiplin ilmu apa
penafsir terpengaruh dan biasanya tergantung latar belakang dan keahlian
penafsir. Apakah ia seorang ahli hukum (fiqh), teolog (kalam), sufi, ahli
bahasa (adab), dan lainlain.
Dari segi teknik penafsirannya, Marah Labid termasuk
dalam kategori tafsir yang menggunakan metode ijmali, di mana Nawawi berusaha
untuk menafsirkan seringkas mungkin, tetapi tetap mencakup banyak hal dengan
menggabungkan pendapatpendapat dalam bahasa yang ringkas. Sebagai contoh,
penafsiran Nawawi terhadap awal surat Yusuf, sebagaimana dikutip Mamat:
Setelah menyebutkan nama surat dan status makiyah atau
madaniyah, Nawawi selalu menjelaskan terlebih dahulu jumlah ayat, kata
(kalimat), dan huruf suatu surat di mana hal ini beliau lakukan dengan
mengikuti langkah kitab tafsir referensinya yaitu Abu Su’ud dan al-Siraj
al-Munir yang selalu menyebut jumlah ayat, kata, dan huruf setiap surat. Dalam
menafsirkan surat Yusuf ini, Nawawi memulainya dengan menyebutkan asbab
al-nuzul dengan memotong sanadnya dan langsung menyebutkan sumbernya dari
sahabat, sehingga lebih ringkas.
Menurut penelitian Mustamin, pola seperti ini tidak
selalu sama untuk setiap surat. Nawawi juga kadang memulai dengan makna ayat
secara umum, terkadang juga dengan membahas i’rabnya, kadang dengan menyebutkan
hadis yang menafsirkan ayatnya, dengan kata lain sangat variatif, sesuai dengan
pemahamannya mana yang dianggap lebih penting untuk mendapat penjelasan lebih
awal.
Dari segi bentuk penafsirannya, Marah Labid termasuk
perpaduan antara bentuk tafsir bi al-ma’tsur dan bi al-ra’y. Nawawi juga banyak
mengutip perkataan shahabat sebagai sumber penafsirannya, seperti perkataan Ibn
Abbas, Ibn Mas’ud, Ali bin Abi Thalib, dan lain-lain. Begitu pula sumber dari
tabi’in.
Corak penafsiran Nawawi dipengaruhi oleh keluasan ilmunya
yang meliputi berbagai bidang ilmu agama Islam dan hal ini terlihat dengan
banyaknya karya yang beliau hasilkan dalam berbagai bidang ilmu tersebut.
Karenanya, ketika mengkaji kitab tafsir karyanya, didapati berbagai aspek
kajian di dalamnya. Mustamin menyingkap setidaknya lima bidang ilmu, yaitu:
ulum al-qur’an, ilmu bahasa (nahw, sharf, dan balaghah), fiqh-ushul fiqh, ilmu
kalam (teologi), dan tasawuf. Bidang Ulum al-Qur’an mencakup bahasan tentang
i’jaz al-qur’an, muhkam dan mutasyabih, tartib al-ayat wa al-suwar, ‘ilm
al-munasabat, asbab al-nuzul, waqf dan washal, dan nâsikh dan mansukh.
Aspek lain yang bisa dilihat dari tafsir Nawawi adalah
qira’at. Nawawi termasuk mufasir yang menempuh tradisi menafsirkan dan memahami
ayat-ayat al-Qur’an dengan pendekatan ilmu qira’at, sehingga jarang ditemukan
ayat yang tidak dikomentari perbedaan qira’atnya dan terkadang mengemukakan
argumentasi setiap penganut qira’at yang ada.[8]
Dari contoh-contoh yang dikemukakan di atas, maka teknik
interpretasi yang digunakan oleh Nawawi selain teknik interpretasi tekstual,
adalah interpretasi linguistik (kaidah-kaidah bahasa), interpretasi
sosio-historis (asbab al-nuzul), interpretasi teleologis (kaidah-kaidah fiqh),
interpretasi kultural (pengetahuan yang mapan), dan interpretasi logis.[9]
Dengan segala kelebihan yang dimiliki oleh Nawawi, sebuah catatan kecil akan
tafsirnya adalah adanya kisah-kisah Israiliyyat yang masuk ke dalam tafsirnya
dengan tanpa memberikan ta’liq (komentar).
Sebagai contoh ketika menafsirkan Q.S. Yusuf/12: 4 yang
bercerita tentang mimpi nabi Yusuf a.s. melihat sebelas bintang, matahari, dan
bulan, beliau menukil riwayat Wahab bin Munabbih yang notabene merupakan
rujukan kisah-kisah israiliyyat:
Simpulan
Syekh Nawawi merupakan tokoh ulama Indonesia yang mendunia
dikarenakan separuh hidupnya dihabiskan dengan belajar dan mengajar keilmuan
dalam ajaran Islam. Karya-karyanya ditulis menggunakan bahasa Arab dengan
berbagai bidang ilmu agama Islam seperti tafsir, hadist, fiqh, tauhid, dan
lain-lain. Salah satu karyanya dari bidang tafsir yaitu Tafsir Marah Labid yang
ditulis dengan menggunakan bahasa Arab dan diakui oleh dunia. Kitab-kitab yang
dirujuk oleh beliau adalah Tafsir Al-Futuhatul Ilahiyyah, (Syarah Tafsir
Jalalain), Tafsir Mafatihul Gaib, As-Sirajul Munir, Tanwirul Miqbas (tafsir
Ibnu Abbas), dan Tafsir Ibnu Mas’ud. Dari segi bentuk penafsirannya, Marah
Labid termasuk perpaduan antara bentuk tafsir bi al-ma’tsur dan bi al-ra’y.
Nawawi juga banyak mengutip perkataan shahabat sebagai sumber penafsirannya,
seperti perkataan Ibn Abbas, Ibn Mas’ud, Ali bin Abi Thalib, dan lain-lain.
Begitu pula sumber dari tabi’in.
link download kitab tafsir marah labid di sini
[1] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Studi Tentang Pandangan
Hidup Kiyai, (Jakarta: LP3S, 1982), hal. 87.
[2] Aan Parhani, “Metode Penafsiran Syekh Nawawi al-Bantani Dalam
Tafsir Marah Labid”, dalam Tafsere Vol. 1 No. 1 Tahun 2013, hal. 13.
[3] Aan Parhani, “Metode Penafsiran Syekh Nawawi al-Bantani .... hal.
13.
[4] Syekh Muhammad Nawawi Al-Jawi (Banten), Tafsir al-Munir (Marah
Labid) Jilid 1, Terj. Bahrun Abu Bakar dan Anwar Abu Bakar, (Bandung: Sinar
Baru Algensindo, 2017).
[5] Muhammad Rizki Fauzi, “Al-Hubb Fil Qur’an
Kajian Tafsir Marah Labid Karya Syaikh Nawawi”, Skripsi, (Lampung: UIN Raden
Intan, 2016), hal. 45.
[6] Muhammad Rizki Fauzi, “Al-Hubb Fil Qur’an .... Hal. 47.
[7] Pembahasan selengkapnya tentang teknik penafsiran, lihat misalnya Abd
al-Hayy al-Farmawi, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu’i, Kairo: Maktabah
alJumhuriyyah, 1979, h. 3. Lihat pula terjemahannya
oleh Suryan A. Jamrah, Metode Tafsir Maudhu`i; Suatu Pengantar, Jakarta: Raja
Grafido Persada, 1994, cet. I, h. 35-36.
[8] Mustamin Arsyad, Signifikansi Tafsir Marâh Labîd, h. 635.
[9] Selengkapnya tentang teknik-teknik interpretasi, lihat, Abdul Muin
Salim, Fiqh Siyasah, h. 23-31. Lihat pula, Abd. Muin Salim, Metodologi Tafsir ,
h. 33-36 dan lihat pula, M. Alfatih Suryadilaga, dkk., Metodologi Ilmu Tafsir,
h. 84-91.
Comments
Post a Comment