SERI MUFASIR NUSANTARA: T. M. HASBI ASH-SHIDDIEQY DAN TAFSIR AL-QUR’ANUL MAJID AN-NUR

 

Pendahuluan


Sebagai pedoman hidup, al-Qur’an menjadi kitab yang paling penting dan mulia bagi umat Islam. Namun, karena tidak semua orang memiliki kapasitas untuk memahami al-Qur’an, maka penting untuk kita belajar dan merujuk kepada kitab-kitab tafsir yang terdahulu. Di Indonesia sendiri ada beberapa mufasir yang memang mumpuni dalam menafsirkan al-Qur’an dengan bahasa yang mudah dipahami oleh masyarakat. Salah satu tokoh ulama Indonesia yang menulis kitab tafsir adalah Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy. Beliau memiliki dua kitab tafsir yaitu Tafsir al-Qur’anul Karim al-Bayan dan an-Nur.

 Dalam tulisan ini akan membahas tentang salah satu tafsir beliau yang sudah sangat terkenal di Indonesia, yakni Tafsir al-Qur’anul Majid an-Nur. Pembahasan ini meliputi biografi dan karya-karya T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, gambaran umum dan latar belakang penulisan Tafsir al-Qur’anul Karim an-Nur, corak tafsir, sistematika penafsiran, metode penafsiran, dan contoh Tafsir an-Nur.

 

Biografi T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy

Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy merupakan seorang ulama Indonesia yang juga seorang ahli ilmu fiqh dan usul fiqh, tafsir, hadits, dan ilmu kalam. Ia lahir di Lhokseumawe pada tanggal 10 Maret 1904 dan meninggal dunia di Jakarta, 9 Desember 1975. Ayahnya, Teungku Qadhi Chik Maharaja Mangkubumi Husein ibn Muhammad Su’ud, adalah seorang ulama terkenal di kampungnya dan mempunyai sebuah pasantren (pondok/madrasah). Ibunya bernama Teungku Amrah binti Teungku Chik Maharaja Mangkubumi Abdul Azis, putri seorang qadhi Kesultanan Aceh ketika itu. Menurut silsilah, Hasbi ash-Shiddieqy adalah keturunan Abu Bakar as-Siddiq (573-13H/634M), khalifah pertama setelah wafatnya Rasulullah. Jadi, beliau adalah generasi ke-37 dari khalifah Abu Bakar dan menggunakan gelaran ash-Shiddieqy di belakang namanya.[1]

Pendidikan agamanya diawali di dayah (pesantren) milik ayahnya. Kemudian selama 20 tahun ia mengunjungi berbagai dayah dari satu kota ke kota lain. Pengetahuan bahasa Arabnya diperoleh dari Syekh Muhammad ibn Salim al-Kalali, seorang ulama berkebangsaan Arab. Pada tahun 1926, ia berangkat ke Surabaya dan melanjutkan pendidikan di Madrasah al-Irsyad, sebuah organisasi keagamaan yang didirikan oleh Syekh Ahmad Soorkati (1874-1943), ulama yang berasal dari Sudan yang mempunyai pemikiran modern ketika itu. Di sini ia mengambil pelajaran takhassus (spesialisasi) dalam bidang pendidikan dan bahasa. Pendidikan ini dilaluinya selama 2 tahun. Al-Irsyad dan Ahmad Soorkati inilah yang ikut berperan dalam membentuk pemikirannya yang modern sehingga setelah kembali ke Aceh, Hasbi ash-Shiddieqy langsung bergabung dalam organisasi Muhammadiyah.[2]

Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy menikah pada usia sembilan belas tahun dengan Siti Khadidjah, seorang gadis yang masih ada hubungan kekerabatan dengannya. Perkawinan dengan gadis pilihan orang tuanya ini tidak berlangsung lama. Siti Khadidjah wafat ketika melahirkan anaknya yang pertama. Hasbi kemudian menikah dengan Tengku Nyak Asiyah binti Tengku Haji Hanum, saudara sepupunya. Dengan istrinya inilah Hasbi mengayuh bahtera hidupnya sampai akhir hayat. Dari perkawinannya ini Hasbi memiliki empat anak, dua laki-laki dan dua perempuan.[3]

Pada zaman demokrasi liberal ia terlihat secara aktif mewakili Partai Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) dalam perdebatan idelogi di Konstituante. Pada tahun 1951 ia menetap di Yogyakarta dan mengkonsentrasikan diri dalam bidang pendidikan. Pada tahun 1960 ia diangkat menjadi dekan Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Jabatan ini dipegangnya hingga tahun 1972. Kedalaman pengetahuan keislamannya dan pengakuan ketokohannya sebagai ulama terlihat dari beberapa gelar doktor (honoris causa) yang diterimanya, seperti dari Universitas Islam Bandung pada 22 Maret 1975 dan dari IAIN Sunan Kalijaga pada 19 Oktober 1975. Sebelumnya, pada tahun 1960, ia diangkat sebagai guru besar dalam bidang ilmu hadits pada IAIN Sunan Kalijaga.[4]

Hasbi ash-Shiddieqy berpendirian bahwa syariat Islam bersifat dinamik dan sesuai dengan perkembangan masa dan tempat. Ruang lingkupnya meliputi segala aspek kehidupan manusia, ada dalam hubungannya dengan sesama manusia maupun dengan Tuhannya. Syariat Islam yang bersumber dari wahyu Allah SWT kemudian dipahami oleh umat Islam melalui metode ijtihad. Ijtihad inilah yang kemudian melahirkan hukum fiqh. Banyak kitab fiqh yang ditulis oleh ulama mujtahid. Di antara mereka yang terkenal adalah imam-imam mujtahid pendokong empat mazhab yaitu Abu Hanifah, Malik, asy-Syafi’i dan Ahmad ibn Hambal.

Akan tetapi, menurut Hasbi ash-Shiddieqy, banyak umat Islam, khususnya di Indonesia, yang tidak dapat membedakan antara hukum yang berasal dari Allah SWT dan hukum fiqh yang merupakan pemahaman ulama mujtahid terhadap sesuatu syariat tersebut. Selama ini, terdapat kesan bahwa umat Islam Indonesia cenderung menganggap fiqh sebagai syariat yang berlaku secara mutlak. Akibatnya, kitab-kitab fiqh yang ditulis imam-imam mazhab tersebut ada yang perlu diteliti dan dikemas isi kandungannya, karena hasil ijtihad mereka tidak terlepas dari situasi dan keadaan sosial budaya serta lingkungan kedudukan mereka. Tentu saja hal ini berbeda dengan keadaan masyarakat kita sekarang.[5]

Ada tiga hal yang Hasbi sangat jengkel jika dilakukan oleh anggota keluarganya. Pertama, bermalas-malas dan tidak menggunakan waktu senggang untuk membaca. Istrinya juga diharuskan membaca. Pukul setengah lima pagi, ia membangunkan keluarga seisi rumahnya. Tidur siang tidak boleh lebih dari satu jam. Kedua, pekerjaan tidak boleh ditunda. Semua pekerjaan harus diselesaikan secepatnya. Pernah anaknya harus mengetik naskahnya dari subuh sampai tengah malam dalam beberapa hari. Ia menghendaki agar anaknya mencontohnya dalam bekerja keras. Ketiga, buku-bukunya baik yang ada di rak maupun di atas meja, yang terbuka atau yang tertutup, tidak boleh ada yang berpindah tempat. Pulang kerja, yang pertama dilakukan ialah melihat buku, bukan membuka sepatu, jas dan dasi, pakaian, apalagi melihat makanan. Jika ada buku yang berubah letak, apalagi jika ia sedang membutuhkannya, ia bisa marah, kendati hanya sekadar suara.

Menurut pengakuan murid-murid Hasbi, dalam proses belajar mengajar yang dilakukannya cukup menarik, dia menggunakan sistem dialog. Selain itu, Hasbi memiliki kemampuan menjelaskan buah pikirannya dengan baik. Uraiannya mudah ditangkap dan dimengerti. Hanya ada satu hal yang membuat mahasiswanya mengeluh, yakni Hasbi sering memakai istilah-istilah dalam bahasa Arab yang sulit dipahami jika tidak mendalami kitab-kitab yang menjadi sumber rujukannya. Dalam mengajar Hasbi menggunakan pendekatan tekstual dalam masalah akidah dan ibadah. Dia sangat ketat berpegang pada dalil nash qat‘î dan mutawâtir. Sementara dalam bidang muamalah, dia selalu menggunakan pendekatan kontekstual. Dengan kata lain, dalam masalah akidah dan ibadah Hasbi lebih banyak menggunakan metode deduksi, yakni dengan menggunakan nash yang jelas dan tegas (sarîh) bersumber pada al-Qur’an dan Sunnah. Sementara dalam bidang muamalah, Hasbi lebih banyak menekankan pada metode induktif, dengan melihat situasi dan kondisi yang berkembang di masyarakat, kemudian dianalisis dengan memanfaatkan potensi akal melalui ijtihadnya.

Hasbi juga termasuk orang yang sangat peduli terhadap muridmuridnya. Gambaran tentang hal ini dikemukakan oleh Tengku Hasan Thalhas, salah seorang muridnya. Menurut pengakuan Thalhas, ketika mau mengajar di rumahnya, Hasbi sering bertanya terlebih dahulu kepada murid-muridnya, apakah para mahasiswanya sudah makan atau belum. Pertanyaan ini sengaja disampaikan karena dia sangat mengerti kondisi perekonomian para mahasiswa ketika itu. Kalau para mahasiswanya menjawab belum, dia langsung mengajak makan di rumahnya terlebih dahulu, baru setelah itu dia mulai mengajar.

 Dari uraian di atas menunjukkan bahwa sikap dan perilaku Hasbi tergolong orang yang sangat disiplin, pekerja keras, demokratis, dan menghormati pendapat orang lain, kritis, dan menolak taklid. Selain itu, Hasbi tergolong orang sangat kuat minat membacanya, dan yang tak kalah pentingnya adalah kemampuan mengajarnya yang sangat menarik dan sangat peduli dengan perkembangan kreativitas murid-muridnya.[6]

Karya-Karya Hasbi Ash-Shiddiqieqy

 Tafsir dan Ilmu Al-Qur’an:

a.       Tafsir al-Qur’anul Majid an-Nur

b.      Ilmu-Ilmu Al-Qur’an

c.       Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an/Tafsir

d.      Tafsir al-Bayan

Hadis:

a.        Mutiara Hadis (Jilid I-VIII)

b.      Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis

c.       Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis (I-II)

d.      Koleksi Hadis-hadis Hukum (I-IX)

Fiqih:

a.       Hukum-Hukum Fiqh Islam

b.      Pengantar Ilmu Fiqh

c.       Pengantar Hukum Islam

d.      Pengantar Fiqh Muamalah

e.       Fiqh Mawaris

f.        Pedoman Sholat

g.      Pedoman Zakat

h.      Pedoman Puasa

i.        Pedoman Haji

j.        Peradilan dan Hukum Acara Islam

k.      Interaksi Fiqh Islam dengan Syariat Agama Lain (Hukum Antar Golongan)

l.        Kuliah Ibadah

m.    Pidana Mati dalam Syariat Islam

Umum:

a.       Al-Islam (Jilid I-II)[7]

Latar Belakang Penulisan dan Gambaran Umum Tafsir AlQur’anul Majid An-Nur

Hasbi Ash-Shiddiqieqy mulai menulis tafsir ini sejak tahun 1952 hingga 1961, di sela-sela kesibukan mengajar, memimpin fakultas, menjadi anggota konstituante, dan kegiatan-kegiatan lainnya. Dengan ilmu pengetahuan, semangat, dan impiannya untuk menghasilkan sebuah kitab tafsir dalam bahasa Indonesia yang tidak hanya sekadar terjemahan, beliau mendiktekan naskah kitab tafsirnya ini kepada seorang pengetik dan langsung menjadi naskah siap cetak. Untuk cetakan pertama diterbitkan oleh CV. Bulan Bintang Jakarta pada tahun 1956, kemudian menyusul cetakan kedua pada tahun 1965. Untuk terbitan edisi II cetakan terakhir pada tahun 2000 yang dicetak setelah Hasbi wafat dan diedit oleh kedua putranya, yakni Nouruzzaman dan Fuad Hasbi Ash-Shiddieqy.[8]

Tafsir an-Nur ini terdiri dari 10 jilid dengan menggunakan bahasa latin ejaan lama. Jilid I terdiri dari juz 1 s.d 3, jilid II (juz 4 s.d 6), jilid III (juz 7 s.d 9), jilid IV (juz 10 s.d 12), jilid V (juz 13 s.d 15), jilid VI (juz 16 s.d 18), jilid VII (juz 19 s.d 21), jilid VIII (juz 22 s.d 24), jilid IX (juz 25 s.d 27) dan jilid X terdiri dari juz 28 s.d 30. Namun, sekitar pada tahun 1995, hak penerbitan Tafsir al-Qur’anul Majid An-Nur oleh ahli waris diberikan kepada PT. Pustaka Rizki Putra dan diterbitkan sebagai cetakan pertama edisi kedua. Pada edisi kedua ini, tafsir ini kemudian diterbitkan dalam 5 jilid dan pada edisi keempat tafsir ini diterbitkan dalam 4 jilid format finishing hard cover dengan tampilan desain sampul dan tata letak (layout) yang lebih menarik serta jenis huruf (font) yang berbeda dengan edisi sebelumnya sehingga dapat menarik minat para pembaca untuk membacanya.

Berkenaan dengan latar belakang penulisan kitab Tafsir an-Nur, pada pendahuluan juz I, Hasbi mengemukakan motivasi menulis kitab tafsirnya ini, antara lain berkenaan dengan perkembangan perguruan-perguruan tinggi Islam di Indonesia yang dicintai dalam suasana baru, adanya perhatian yang melebar dan meluaskan perkembangan kebudayaan Islam, perkembangan kitabullah, sunah rasul, dan kitab-kitab Islam dalam bahasa persatuan Indonesia. Kemudian bagi para pecinta tafsir yang kurang pengetahuan bahasa Arab tentunya mereka kesulitan dalam memahami tafsir yang berbahasa Arab, maka untuk menjawab kebutuhan tersebut, Hasbi kemudian membuat satu tafsir yang sederhana yang dapat menuntun para pembacanya untuk memahami dengan baik.

Kehadiran kitab tafsir ini tidak lain untuk dijadikan sebagai pegangan karena kitab ini disusun dengan bahasa yang mudah sehingga dapat menuntun masyarakat Indonesia untuk mengamalkan ajaran Islam yang berlandaskan al-Qur’an dan hadis.

Dalam penulisan kitab tafsir ini, beliau merujuk kepada beberapa kitab tafsir induk yang menjadi pegangannya baik tafsir bi al ma’tsur, tafsir bi al- ma’qul maupun kitab tafsir yang menyarikan uraian tafsir induk, seperti Tafsir Ibn Katsir, Tafsir al-Manar, Tafsir al- Qasimy, Tafsir al-Maragy, dan Tafsir al-Wadhih. Untuk lebih jelasnya mengenai sumber Tafsir an-Nur, lihat Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir al-Qur’anul Majid An-Nur, Jilid I, Cet. II, hlm 11-12. Di dalam tafsir tersebut dijelaskan bahwa rujukan kitab tafsir ada 23 kitab, sirah nabawiyah ada 6 kitab, kamus ada 4 kitab dan kitab-kitab lainnya ada 7 kitab, dengan total keseluruhan rujukan Tafsir an-Nur ini berjumlah 40 kitab.

Selain itu, dalam menerjemahkan ayat ke dalam bahasa Indonesia, Hasbi juga berpedoman kepada beberapa kitab tafsir, seperti: Tafsir Abu Su’ud, Tafsir Shidieq Hasan Chan dan Tafsir Qasimy. Dengan banyaknya sumber rujukan yang digunakan dalam Tafsir an-Nur bukan berarti Hasbi hanya sekadar mengutip dari kitabkitab tafsir tersebut, tetapi ia juga mengemukakan kesimpulan atau inti sari dari kitab yang dirujuk serta dalam beberapa tempat Hasbi juga menguatkan makna ayat tertentu dan mengemukakan sesuatu yang ia pahami dari ayat al-Qur’an.[9]

Corak Tafsir

 Adapun yang dimaksud dengan corak tafsir adalah bidang keilmuan yang mewarnai suatu kitab tafsir. Hal ini disebabkan karena setiap mufasir pasti memiliki latar belakang keilmuan yang berbeda-beda sehingga tafsir yang dihasilkan pun memiliki corak sesuai dengan disiplin ilmu yang dikuasainya. Dalam kajian tafsir dikenal ada beberapa macam corak penafsiran, di antaranya:

1.      Tafsir sufi adalah tafsir yang berusaha menjelaskan makna ayatayat al-Qur’an dari sudut esiterik atau berdasarkan isyaratisyarat tersirat yang tampak oleh seorang sufi.

2.      Tafsir fikih, yakni corak penafsiran yang lebih banyak menyoroti masalah-masalah fikih dan menitikberatkan pembahasan dan tinjauannya pada aspek hukum dari al-Qur’an.

3.      Tafsir ‘ilmi, yakni tafsir yang lebih menekankan pada pendekatan ilmu-ilmu pengetahuan umum.

4.      Tafsir adabi ijtima’i, yakni tafsir yang menekankan pembahasannya pada masalah sosial kemasyarakatan.

Dari keempat model corak penafsiran di atas, jika ditelusuri secara mendalam, maka Tafsir an-Nur karya beliau lebih cenderung kepada corak fikih atau hukum Islam yang cukup jelas. Hal ini terbukti dengan luasnya penafsiran ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah hukum. Penyajian model tersebut tentu tidak bisa lepas dari disiplin keilmuan Hasbi sebagai akademisi syariah. Oleh karena itu, dapat diambil kesimpulan bahwa corak Tafsir an-Nur ini adalah corak tafsir fikih. Namun, meskipun tafsir ini lebih mendominasi warna fikih, tetapi tidak menafikan corak yang lainnya seperti corak adabi ijtima’i. Sebagaimana yang diungkap oleh Hasbi dalam spirit menulis kitab tafsir ini, yakni tidak lain bahwa ia ingin menjadikan Tafsir an-Nur ini mudah dipahami dan diterima oleh masyarakat.[10]

Sistematika dan Metode Penafsiran

Untuk sistematika penyusunan kitab tafsir, ada tiga bentuk penyusunan kitab tafsir yang dikenal di kalangan para ahli tafsir, yakni pertama, tartib mushafi (urutan ayat dan surah). Dalam sistematika ini mufasir menguraikan penafsirannya berdasarkan urutan ayat dan surah dalam mushaf yang dimulai dari surah alFatihah dan diakhiri dengan surah an-Nas. Kedua, tartib nuzuli (urutan kronologi turunnya surat-surat), yakni menafsirkan alQur’an berdasarkan kronologi turunnya surat-surat al-Qur’an. Ketiga, tartib maudhu’i (urutan sesuai tema), yakni menafsirkan al-Qur’an berdasarkan topik-topik tertentu dengan mengumpulkan ayat-ayat yang ada hubungannya dengan topik tersebut.

Jika mengacu pada tiga bentuk sistematika penafsiran di atas, maka dapat dikatakan bahwa Tafsir an-Nur karya Hasbi AshShiddieqy ini menggunakan sistematika tartib mushafi, karena dalam tafsir ini Hasbi menyajikan penafsirannya sesuai dengan urutan surat yang dimulai dari surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Nas. Adapun sistematika sebagai langkah metodis adalah sebagai berikut:

1.      Sebelum memulai penafsiran, terlebih dahulu ia menyajikan penjelasan umum tentang surah yang akan dibahas, menyebutkan jumlah ayat, alasan penamaan surat, tujuan surat dan persesuaian atau keterkaitan surah dengan ayat sebelumnya.[11]

2.      Menerjemahkan makna ayat ke dalam bahasa Indonesia dengan cara yang mudah dipahami dan memperhatikan makna-makna yang dikehendaki masing-masing lafal.

3.      Menafsirkan ayat-ayat itu dengan menunjuk kepada sari patinya.

4.      Menerangkan ayat-ayat yang terdapat di lain-lain surat atau tempat yang dijadikan penafsiran bagi ayat yang sedang ditafsirkan atau yang sepokok, supaya memudahkan pembaca mengumpulkan ayat-ayat yang sepokok dan dapatlah ayat-ayat itu ditafsirkan oleh ayat-ayat yang berkaitan.

5.      Menerangkan sebab-sebab turunnya ayat, jika diperoleh atsar yang sahih yang diakui kesahihannya oleh ahli-ahli hadis.[12]

Dari penjabaran di atas dapat sedikit disimpulkan bahwa Tafsir an-Nur menggabungkan dua metode yaitu metode bi al-ma’tsur (naqli) dan bi al-ra’yi (aqli). Namun, di dalam tafsir beliau lebih dominan ke pendekatan metode bi al-ra’yi (rasional). Tujuan beliau melakukan hal terseebut karena supaya tafsir al-Qur’an lebih mudah dipahami bahkan untuk kalangan awam sekalipun dan beliau juga berharap tafsir al-Qur’an yang sesuai dengan perkembangan zaman.[13]

Contoh Penafsiran

Untuk mengetahui lebih detail tentang metode penafsiran Hasbi Ash-Shiddieqy dalam kitab Tafsir an-Nur, berikut contohnya: Q.S. Al-Baqarah ayat 23. Namun, sebelum menafsirkan ayat ini, terlebih dahulu beliau menjelaskan tentang surah al-Baqarah, yaitu nama, sejarah turun, kandungan isi, dan kaitan dengan surah sebelumnya. Al-Baqarah artinya lembu betina. Penamaan surah dengan nama al-baqarah itu karena surah ini menerangkan secara khusus tentang peristiwa pembunuhan yang terjadi pada masa Nabi Musa di kalangan Bani Israil. Oleh karena itu, untuk menyingkap tabir dari pembunuhan itu, Allah kemudian memerintahkan Bani Israil agar menyembelih seekor lembu. Lembu tersebut adalah binatang yang pernah dipuja oleh Bani Israil.

Surah al-Baqarah diturunkan di Madinah, terdiri dari 286 ayat. Adapun ayat ini 281 diturunkan di Mina tatkala Nabi sedang melakukan haji wada’. Menurut suatu pendapat, ayat tersebut adalah ayat yang terakhir diturunkan. Sebagian besar ayat ini diturunkan ketika Nabi Muhammad berhijrah atau sebelum Nabi lama berada di Madinah.

Selanjutnya beliau juga menerangkan tentang tujuan inti surah, yakni pertama, mendakwahkan Bani Israil dan mendiskusikan pendirian mereka yang sesat serta memperingatkan mereka dengan nikmat Allah (bagian ini dimulai dari ayat 40 sampai ayat 176). Kedua, men-tasyri’-kan hukum-hukum yang dikehendaki oleh masyarakat Islam yang menjadikan mereka umat yang istimewa baik dalam bidang ibadah, muamalah maupun adat (yang demikian ini dimulai dari ayat 177 sampai akhir surat). Di samping itu, Hasbi juga melakukan penyesuaian atau keterkaitan surah dengan surah sebelumnya, di mana menurut Hasbi surah sebelumnya menerangkan tentang dasar-dasar pokok pembicaraan al-Qur’an, sedangkan surah ini menjelaskan tentang sebagian dari persoalanpersoalan pokok yang ditekankan oleh surah sebelumnya. Secara umum surah al-Baqarah ini dibagi menjadi dua pembahasan, yakni pertama, dimulai dari ayat 1 sampai ayat ke 176 menjelaskan bahwa Allah menantang kaum Yahudi dan menerangkan masalah-masalah yang berkaitan dengan ketauhidan. Kedua, dari ayat 176 sampai akhir surah (286) dalam bagian ini Tuhan menerangkan beberapa hukum syari.[14]

Kemudian setelah itu, barulah masuk kepada pembahasan ayatnya, misal ayat ke 23 dari surah al-Baqarah:

“Dan jika kamu selalu dalam keraguan dari apa yang Kami wahyukan kepada hamba Kami, maka datangkanlah satu surat yang sepertinya: dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar”

Tafsirnya: Wa in kuntum fi raibin mimma nazzalna ‘ala ‘abdina fa’tu bi suratin min mitslihi: dan jika kamu selalu dalam keraguan dari apa yang Kami wahyukan kepada hamba Kami, maka datangkanlah satu surat yang sepertinya. Yakni: jika kamu raguragu kepada al-Qur’an ini dan kamu mendakwanya sebagai kalam manusia, maka buatlah yang sepertinya, karena kamu tentu sanggup mengerjakan apa yang disanggupi oleh manusia lainnya.

Wad’u syuhada akum min dunillahi: dan panggillah penolongpenolongmu selain Allah. Yakni: panggillah semua mereka yang hadir dalam perhimpunanmu, pemimpin-pemimpinmu yang kamu perlukan dikala kamu ditimpa kesusahan dan bencana atau panggillah berhala-berhalamu yang kamu jadikan Tuhan dan kamu katakan bahwa dia menjadi saksi untukmu di hari kiamat. In kuntum shadiqin: jika kamu memang orang-orang yang benar. Yakni : jika kamu benar dalam pendakwaan bahwa al-Qur’an itu bukan dari Allah, hanya Muhammad yang membuatnya dan sekarang al-Qur’an itu terletak di hadapanmu, cobalah buat sebuah surat untuk kamu buktikan bahwa al-Qur’an itu adalah buatan manusia.

Selain itu, beliau juga mencoba melakukan munasabah ayat yang terkait dengan ayat yang ditafsirkan ini seperti dalam Q.S. al-Isra’ ayat 88, Q.S. al-Qashash ayat 49, Q.S. Hud ayat 13, dan Q.S. Yunus ayat 38. Setelah menyebutkan munasabah ayat, barulah kemudian beliau menyimpulkan tentang maksud ayat ini, yakni sebagai berikut:

Dalam ayat ini Tuhan menyeru manusia kepada tauhid. Tuhan menyebut nikmat-nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada hamba-hamba-Nya itu supaya mereka beribadah dan bersyukur kepada-Nya. Di antara nikmat Tuhan adalah menciptakan alam dan bumi menjadi tempat kediaman manusia untuk mengambil manfaat darinya. Langit yang dihiasi dengan bintang yang berkilau guna menjadi petunjuk bagi orang yang berjalan malam dan diturunkannya hujan agar tumbuh segala macam tanaman.[15]

Simpulan

Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy merupakan seorang ulama Indonesia, yang juga seorang ahli ilmu fiqh dan usul fiqh, tafsir, hadits, dan ilmu kalam. Lahir di Lhokseumawe pada tanggal 10 Maret 1904. Beliau aktif menulis dan menghasilkan karya. Salah satu karya beliau yaitu Tafsir al-Qur’anul Majid an-Nur.

Latar belakang penulisan Tafsir al-Qur’anul Karim an-Nur, pada pendahuluan juz I, Hasbi mengemukakan motivasi menulis kitab tafsirnya ini, antara lain berkenaan dengan perkembangan perguruan-perguruan tinggi Islam di Indonesia yang dicintai dalam suasana baru, adanya perhatian yang melebar dan meluaskan perkembangan kebudayaan Islam, perkembangan kitabullah, sunah rasul dan kitab-kitab Islam dalam bahasa persatuan Indonesia. Tafsir an-Nur karya beliau lebih cenderung kepada corak fikih atau hukum Islam yang cukup jelas. Sistematikanya yaitu tartib mushafi, karena dalam tafsir ini Hasbi menyajikan penafsirannya sesuai dengan urutan surat yang dimulai dari surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Nas.

Untuk metode penafsirannya, sebelum memulai penafsiran, terlebih dahulu ia menyajikan penjelasan umum tentang surah yang akan dibahas, menyebutkan jumlah ayat, alasan penamaan surat, tujuan surat dan persesuaian atau keterkaitan surah dengan ayat sebelumnya. Menerjemahkan makna ayat ke dalam bahasa Indonesia dengan cara yang mudah dipahami dan memperhatikan makna-makna yang dikehendaki masing-masing lafal. Menafsirkan ayat-ayat itu dengan menunjuk kepada sari patinya. Menerangkan ayat-ayat yang terdapat di lain-lain surat atau tempat yang dijadikan penafsiran bagi ayat yang sedang ditafsirkan atau yang sepokok, supaya memudahkan pembaca mengumpulkan ayat-ayat yang sepokok dan dapatlah ayat-ayat itu ditafsirkan oleh ayat-ayat yang berkaitan. Menerangkan sebab-sebab turunnya ayat, jika diperoleh atsar yang sahih yang diakui kesahihannya oleh ahli-ahli hadis.




[1] Nurdin, Pengaruh Metode Al-Ma-tsur Dalam Khazanah Tafsir di Indonesia (Banda Aceh: LKKI Publisher, 2020), 10.

[2] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nur, Jilid I, (Semarang: PT. Pustaka Rizky putra,2000), xvii.

[3] Aan Supian, “Kontribusi Pemikiran Hasbi Ash-Shiddieqy Dalam Bidang Fikih”, Media Syariah, Vol. 16, No.2, Juli-Desember 2012, 187.

[4] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nur, Jilid I, (Semarang: PT. Pustaka Rizky Putra, 2000), xvii.

[5] Nurdin, Pengaruh Metode Al-Ma-tsur Dalam Khazanah Tafsir di Indonesia (Banda Aceh: LKKI Publisher, 2020), 11-12.

[6] Aan Supian, “Kontribusi Pemikiran Hasbi Ash-Shiddieqy Dalam Kajian Ilmu Hadis”, Jurnal Mutawâtir, Vol.4, No.2, Juli-Desember 2014, 274-275.

[7] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nur, 29-30.

[8] Yunahar Ilyas, Konstruksi Pemikiran Gender dalam Pemikiran Mufasir (Jakarta: Program Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik Ditjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji Departemen Agama, 2005), 89.

[9] Sudariyah, “Kontruksi Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nur Karya M. Hasbi AshShiddieqy,” Shahih, Vol. 3, No. I, Januari-Juni 2018, 97-98.

[10] Sudariyah, “Kontruksi Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nur Karya M. Hasbi AshShiddieqy,” 98-99.

[11] Andi Miswar, “Tafsir Al-Qur’an Al-Majid An-Nur Karya T.M. Hasbi AshShiddieqy (Corak Tafsir berdasarkan Perkembangan Kebudayaan Islam Nusantara),” Jurnal Adabiyah, Vol. 15, No. 2, 2015, 87.

[12] Sudariyah, “Kontruksi Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nur Karya M. Hasbi AshShiddieqy,” 99-100.

[13] Muhammad Syahrial Razali Ibrahim, “Rasionalitas Al-Qur’an dalam Tafsir An-Nur: Studi Penafsiran Surah Al-Nisa’ Ayat 1,” Mutawatir: Jurnal Keilmuan Tafsir Hadis, Vol. 6, No. 1, Juni 2016, 186-187.

[14] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nur (Semarang: PT. Pustaka Rizky putra,2000), xx-xxi.

[15] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid AnNur, 57-60


Comments