on
asbab nuzul
- Get link
- X
- Other Apps
Pendahuluan
Sebagai pedoman hidup, al-Qur’an menjadi kitab yang
paling penting dan mulia bagi umat Islam. Namun, karena tidak semua orang
memiliki kapasitas untuk memahami al-Qur’an, maka penting untuk kita belajar
dan merujuk kepada kitab-kitab tafsir yang terdahulu. Di Indonesia sendiri ada
beberapa mufasir yang memang mumpuni dalam menafsirkan al-Qur’an dengan bahasa
yang mudah dipahami oleh masyarakat. Salah satu tokoh ulama Indonesia yang
menulis kitab tafsir adalah Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy. Beliau memiliki
dua kitab tafsir yaitu Tafsir al-Qur’anul Karim al-Bayan dan an-Nur.
Dalam tulisan ini
akan membahas tentang salah satu tafsir beliau yang sudah sangat terkenal di
Indonesia, yakni Tafsir al-Qur’anul Majid an-Nur. Pembahasan ini meliputi
biografi dan karya-karya T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, gambaran umum dan latar
belakang penulisan Tafsir al-Qur’anul Karim an-Nur, corak tafsir, sistematika
penafsiran, metode penafsiran, dan contoh Tafsir an-Nur.
Biografi T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy merupakan seorang
ulama Indonesia yang juga seorang ahli ilmu fiqh dan usul fiqh, tafsir, hadits,
dan ilmu kalam. Ia lahir di Lhokseumawe pada tanggal 10 Maret 1904 dan
meninggal dunia di Jakarta, 9 Desember 1975. Ayahnya, Teungku Qadhi Chik
Maharaja Mangkubumi Husein ibn Muhammad Su’ud, adalah seorang ulama terkenal di
kampungnya dan mempunyai sebuah pasantren (pondok/madrasah). Ibunya bernama
Teungku Amrah binti Teungku Chik Maharaja Mangkubumi Abdul Azis, putri seorang
qadhi Kesultanan Aceh ketika itu. Menurut silsilah, Hasbi ash-Shiddieqy adalah
keturunan Abu Bakar as-Siddiq (573-13H/634M), khalifah pertama setelah wafatnya
Rasulullah. Jadi, beliau adalah generasi ke-37 dari khalifah Abu Bakar dan
menggunakan gelaran ash-Shiddieqy di belakang namanya.[1]
Pendidikan agamanya diawali di dayah (pesantren) milik
ayahnya. Kemudian selama 20 tahun ia mengunjungi berbagai dayah dari satu kota
ke kota lain. Pengetahuan bahasa Arabnya diperoleh dari Syekh Muhammad ibn
Salim al-Kalali, seorang ulama berkebangsaan Arab. Pada tahun 1926, ia
berangkat ke Surabaya dan melanjutkan pendidikan di Madrasah al-Irsyad, sebuah
organisasi keagamaan yang didirikan oleh Syekh Ahmad Soorkati (1874-1943),
ulama yang berasal dari Sudan yang mempunyai pemikiran modern ketika itu. Di sini
ia mengambil pelajaran takhassus (spesialisasi) dalam bidang pendidikan dan
bahasa. Pendidikan ini dilaluinya selama 2 tahun. Al-Irsyad dan Ahmad Soorkati
inilah yang ikut berperan dalam membentuk pemikirannya yang modern sehingga
setelah kembali ke Aceh, Hasbi ash-Shiddieqy langsung bergabung dalam
organisasi Muhammadiyah.[2]
Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy menikah pada usia sembilan
belas tahun dengan Siti Khadidjah, seorang gadis yang masih ada hubungan
kekerabatan dengannya. Perkawinan dengan gadis pilihan orang tuanya ini tidak
berlangsung lama. Siti Khadidjah wafat ketika melahirkan anaknya yang pertama.
Hasbi kemudian menikah dengan Tengku Nyak Asiyah binti Tengku Haji Hanum,
saudara sepupunya. Dengan istrinya inilah Hasbi mengayuh bahtera hidupnya
sampai akhir hayat. Dari perkawinannya ini Hasbi memiliki empat anak, dua laki-laki
dan dua perempuan.[3]
Pada zaman demokrasi liberal ia terlihat secara aktif
mewakili Partai Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) dalam perdebatan
idelogi di Konstituante. Pada tahun 1951 ia menetap di Yogyakarta dan
mengkonsentrasikan diri dalam bidang pendidikan. Pada tahun 1960 ia diangkat
menjadi dekan Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Jabatan ini
dipegangnya hingga tahun 1972. Kedalaman pengetahuan keislamannya dan pengakuan
ketokohannya sebagai ulama terlihat dari beberapa gelar doktor (honoris causa)
yang diterimanya, seperti dari Universitas Islam Bandung pada 22 Maret 1975 dan
dari IAIN Sunan Kalijaga pada 19 Oktober 1975. Sebelumnya, pada tahun 1960, ia
diangkat sebagai guru besar dalam bidang ilmu hadits pada IAIN Sunan Kalijaga.[4]
Hasbi ash-Shiddieqy berpendirian bahwa syariat Islam
bersifat dinamik dan sesuai dengan perkembangan masa dan tempat. Ruang
lingkupnya meliputi segala aspek kehidupan manusia, ada dalam hubungannya
dengan sesama manusia maupun dengan Tuhannya. Syariat Islam yang bersumber dari
wahyu Allah SWT kemudian dipahami oleh umat Islam melalui metode ijtihad.
Ijtihad inilah yang kemudian melahirkan hukum fiqh. Banyak kitab fiqh yang
ditulis oleh ulama mujtahid. Di antara mereka yang terkenal adalah imam-imam
mujtahid pendokong empat mazhab yaitu Abu Hanifah, Malik, asy-Syafi’i dan Ahmad
ibn Hambal.
Akan tetapi, menurut Hasbi ash-Shiddieqy, banyak umat
Islam, khususnya di Indonesia, yang tidak dapat membedakan antara hukum yang
berasal dari Allah SWT dan hukum fiqh yang merupakan pemahaman ulama mujtahid
terhadap sesuatu syariat tersebut. Selama ini, terdapat kesan bahwa umat Islam
Indonesia cenderung menganggap fiqh sebagai syariat yang berlaku secara mutlak.
Akibatnya, kitab-kitab fiqh yang ditulis imam-imam mazhab tersebut ada yang
perlu diteliti dan dikemas isi kandungannya, karena hasil ijtihad mereka tidak
terlepas dari situasi dan keadaan sosial budaya serta lingkungan kedudukan
mereka. Tentu saja hal ini berbeda dengan keadaan masyarakat kita sekarang.[5]
Ada tiga hal yang Hasbi sangat jengkel jika dilakukan
oleh anggota keluarganya. Pertama, bermalas-malas dan tidak menggunakan waktu
senggang untuk membaca. Istrinya juga diharuskan membaca. Pukul setengah lima
pagi, ia membangunkan keluarga seisi rumahnya. Tidur siang tidak boleh lebih
dari satu jam. Kedua, pekerjaan tidak boleh ditunda. Semua pekerjaan harus
diselesaikan secepatnya. Pernah anaknya harus mengetik naskahnya dari subuh
sampai tengah malam dalam beberapa hari. Ia menghendaki agar anaknya mencontohnya
dalam bekerja keras. Ketiga, buku-bukunya baik yang ada di rak maupun di atas
meja, yang terbuka atau yang tertutup, tidak boleh ada yang berpindah tempat.
Pulang kerja, yang pertama dilakukan ialah melihat buku, bukan membuka sepatu,
jas dan dasi, pakaian, apalagi melihat makanan. Jika ada buku yang berubah
letak, apalagi jika ia sedang membutuhkannya, ia bisa marah, kendati hanya
sekadar suara.
Menurut pengakuan murid-murid Hasbi, dalam proses belajar
mengajar yang dilakukannya cukup menarik, dia menggunakan sistem dialog. Selain
itu, Hasbi memiliki kemampuan menjelaskan buah pikirannya dengan baik.
Uraiannya mudah ditangkap dan dimengerti. Hanya ada satu hal yang membuat
mahasiswanya mengeluh, yakni Hasbi sering memakai istilah-istilah dalam bahasa
Arab yang sulit dipahami jika tidak mendalami kitab-kitab yang menjadi sumber
rujukannya. Dalam mengajar Hasbi menggunakan pendekatan tekstual dalam masalah
akidah dan ibadah. Dia sangat ketat berpegang pada dalil nash qat‘î dan
mutawâtir. Sementara dalam bidang muamalah, dia selalu menggunakan pendekatan
kontekstual. Dengan kata lain, dalam masalah akidah dan ibadah Hasbi lebih
banyak menggunakan metode deduksi, yakni dengan menggunakan nash yang jelas dan
tegas (sarîh) bersumber pada al-Qur’an dan Sunnah. Sementara dalam bidang
muamalah, Hasbi lebih banyak menekankan pada metode induktif,
dengan melihat situasi dan kondisi yang berkembang di masyarakat, kemudian
dianalisis dengan memanfaatkan potensi akal melalui ijtihadnya.
Hasbi juga termasuk orang yang sangat peduli terhadap
muridmuridnya. Gambaran tentang hal ini dikemukakan oleh Tengku Hasan Thalhas,
salah seorang muridnya. Menurut pengakuan Thalhas, ketika mau mengajar di
rumahnya, Hasbi sering bertanya terlebih dahulu kepada murid-muridnya, apakah
para mahasiswanya sudah makan atau belum. Pertanyaan ini sengaja disampaikan
karena dia sangat mengerti kondisi perekonomian para mahasiswa ketika itu.
Kalau para mahasiswanya menjawab belum, dia langsung mengajak makan di rumahnya
terlebih dahulu, baru setelah itu dia mulai mengajar.
Dari uraian di
atas menunjukkan bahwa sikap dan perilaku Hasbi tergolong orang yang sangat
disiplin, pekerja keras, demokratis, dan menghormati pendapat orang lain,
kritis, dan menolak taklid. Selain itu, Hasbi tergolong orang sangat kuat minat
membacanya, dan yang tak kalah pentingnya adalah kemampuan mengajarnya yang
sangat menarik dan sangat peduli dengan perkembangan kreativitas
murid-muridnya.[6]
Karya-Karya Hasbi Ash-Shiddiqieqy
Tafsir dan Ilmu
Al-Qur’an:
a. Tafsir
al-Qur’anul Majid an-Nur
b. Ilmu-Ilmu
Al-Qur’an
c. Sejarah dan
Pengantar Ilmu Al-Qur’an/Tafsir
d. Tafsir al-Bayan
Hadis:
a. Mutiara Hadis (Jilid I-VIII)
b. Sejarah dan
Pengantar Ilmu Hadis
c. Pokok-pokok
Ilmu Dirayah Hadis (I-II)
d. Koleksi
Hadis-hadis Hukum (I-IX)
Fiqih:
a. Hukum-Hukum
Fiqh Islam
b. Pengantar Ilmu
Fiqh
c. Pengantar Hukum
Islam
d. Pengantar Fiqh
Muamalah
e. Fiqh Mawaris
f.
Pedoman Sholat
g. Pedoman Zakat
h. Pedoman Puasa
i.
Pedoman Haji
j.
Peradilan dan Hukum Acara Islam
k. Interaksi Fiqh
Islam dengan Syariat Agama Lain (Hukum Antar Golongan)
l.
Kuliah Ibadah
m. Pidana Mati
dalam Syariat Islam
Umum:
a. Al-Islam (Jilid
I-II)[7]
Latar Belakang Penulisan dan Gambaran Umum
Tafsir AlQur’anul Majid An-Nur
Hasbi Ash-Shiddiqieqy mulai menulis tafsir ini
sejak tahun 1952 hingga 1961, di sela-sela kesibukan mengajar, memimpin
fakultas, menjadi anggota konstituante, dan kegiatan-kegiatan lainnya. Dengan
ilmu pengetahuan, semangat, dan impiannya untuk menghasilkan sebuah kitab
tafsir dalam bahasa Indonesia yang tidak hanya sekadar terjemahan, beliau
mendiktekan naskah kitab tafsirnya ini kepada seorang pengetik dan langsung
menjadi naskah siap cetak. Untuk cetakan pertama diterbitkan oleh CV. Bulan
Bintang Jakarta pada tahun 1956, kemudian menyusul cetakan kedua pada tahun
1965. Untuk terbitan edisi II cetakan terakhir pada tahun 2000 yang dicetak
setelah Hasbi wafat dan diedit oleh kedua putranya, yakni Nouruzzaman dan Fuad
Hasbi Ash-Shiddieqy.[8]
Tafsir an-Nur ini terdiri dari 10 jilid dengan
menggunakan bahasa latin ejaan lama. Jilid I terdiri dari juz 1 s.d 3, jilid II
(juz 4 s.d 6), jilid III (juz 7 s.d 9), jilid IV (juz 10 s.d 12), jilid V (juz
13 s.d 15), jilid VI (juz 16 s.d 18), jilid VII (juz 19 s.d 21), jilid VIII
(juz 22 s.d 24), jilid IX (juz 25 s.d 27) dan jilid X terdiri dari juz 28 s.d
30. Namun, sekitar pada tahun 1995, hak penerbitan Tafsir al-Qur’anul Majid
An-Nur oleh ahli waris diberikan kepada PT. Pustaka Rizki Putra dan diterbitkan
sebagai cetakan pertama edisi kedua. Pada edisi kedua ini, tafsir ini kemudian
diterbitkan dalam 5 jilid dan pada edisi keempat tafsir ini diterbitkan dalam 4
jilid format finishing hard cover dengan tampilan desain sampul dan tata letak
(layout) yang lebih menarik serta jenis huruf (font) yang berbeda dengan edisi
sebelumnya sehingga dapat menarik minat para pembaca untuk membacanya.
Berkenaan dengan latar belakang penulisan
kitab Tafsir an-Nur, pada pendahuluan juz I, Hasbi mengemukakan motivasi
menulis kitab tafsirnya ini, antara lain berkenaan dengan perkembangan
perguruan-perguruan tinggi Islam di Indonesia yang dicintai dalam suasana baru,
adanya perhatian yang melebar dan meluaskan perkembangan kebudayaan Islam,
perkembangan kitabullah, sunah rasul, dan kitab-kitab Islam dalam bahasa
persatuan Indonesia. Kemudian bagi para pecinta tafsir yang kurang pengetahuan
bahasa Arab tentunya mereka kesulitan dalam memahami tafsir yang berbahasa
Arab, maka untuk menjawab kebutuhan tersebut, Hasbi kemudian membuat satu
tafsir yang sederhana yang dapat menuntun para pembacanya untuk memahami dengan
baik.
Kehadiran kitab tafsir ini tidak lain untuk
dijadikan sebagai pegangan karena kitab ini disusun dengan bahasa yang mudah
sehingga dapat menuntun masyarakat Indonesia untuk mengamalkan ajaran Islam
yang berlandaskan al-Qur’an dan hadis.
Dalam penulisan kitab tafsir ini, beliau
merujuk kepada beberapa kitab tafsir induk yang menjadi pegangannya baik tafsir
bi al ma’tsur, tafsir bi al- ma’qul maupun kitab tafsir yang menyarikan uraian
tafsir induk, seperti Tafsir Ibn Katsir, Tafsir al-Manar, Tafsir al- Qasimy,
Tafsir al-Maragy, dan Tafsir al-Wadhih. Untuk lebih jelasnya mengenai sumber
Tafsir an-Nur, lihat Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir al-Qur’anul Majid
An-Nur, Jilid I, Cet. II, hlm 11-12. Di dalam tafsir tersebut dijelaskan bahwa
rujukan kitab tafsir ada 23 kitab, sirah nabawiyah ada 6 kitab, kamus ada 4
kitab dan kitab-kitab lainnya ada 7 kitab, dengan total keseluruhan rujukan
Tafsir an-Nur ini berjumlah 40 kitab.
Selain itu, dalam menerjemahkan ayat ke dalam
bahasa Indonesia, Hasbi juga berpedoman kepada beberapa kitab tafsir, seperti:
Tafsir Abu Su’ud, Tafsir Shidieq Hasan Chan dan Tafsir Qasimy. Dengan banyaknya
sumber rujukan yang digunakan dalam Tafsir an-Nur bukan berarti Hasbi hanya
sekadar mengutip dari kitabkitab tafsir tersebut, tetapi ia juga mengemukakan
kesimpulan atau inti sari dari kitab yang dirujuk serta dalam beberapa tempat
Hasbi juga menguatkan makna ayat tertentu dan mengemukakan sesuatu yang ia pahami
dari ayat al-Qur’an.[9]
Corak Tafsir
Adapun
yang dimaksud dengan corak tafsir adalah bidang keilmuan yang mewarnai suatu
kitab tafsir. Hal ini disebabkan karena setiap mufasir pasti memiliki latar
belakang keilmuan yang berbeda-beda sehingga tafsir yang dihasilkan pun
memiliki corak sesuai dengan disiplin ilmu yang dikuasainya. Dalam kajian
tafsir dikenal ada beberapa macam corak penafsiran, di antaranya:
1. Tafsir sufi
adalah tafsir yang berusaha menjelaskan makna ayatayat al-Qur’an dari sudut
esiterik atau berdasarkan isyaratisyarat tersirat yang tampak oleh seorang
sufi.
2. Tafsir fikih,
yakni corak penafsiran yang lebih banyak menyoroti masalah-masalah fikih dan
menitikberatkan pembahasan dan tinjauannya pada aspek hukum dari al-Qur’an.
3. Tafsir ‘ilmi,
yakni tafsir yang lebih menekankan pada pendekatan ilmu-ilmu pengetahuan umum.
4. Tafsir adabi
ijtima’i, yakni tafsir yang menekankan pembahasannya pada masalah sosial
kemasyarakatan.
Dari keempat model corak penafsiran di atas,
jika ditelusuri secara mendalam, maka Tafsir an-Nur karya beliau lebih
cenderung kepada corak fikih atau hukum Islam yang cukup jelas. Hal ini
terbukti dengan luasnya penafsiran ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah
hukum. Penyajian model tersebut tentu tidak bisa lepas dari disiplin keilmuan
Hasbi sebagai akademisi syariah. Oleh karena itu, dapat diambil kesimpulan
bahwa corak Tafsir an-Nur ini adalah corak tafsir fikih. Namun, meskipun tafsir
ini lebih mendominasi warna fikih, tetapi tidak menafikan corak yang lainnya
seperti corak adabi ijtima’i. Sebagaimana yang diungkap oleh Hasbi dalam spirit
menulis kitab tafsir ini, yakni tidak lain bahwa ia ingin menjadikan Tafsir
an-Nur ini mudah dipahami dan diterima oleh masyarakat.[10]
Sistematika dan Metode Penafsiran
Untuk sistematika penyusunan kitab tafsir, ada
tiga bentuk penyusunan kitab tafsir yang dikenal di kalangan para ahli tafsir,
yakni pertama, tartib mushafi (urutan ayat dan surah). Dalam sistematika ini
mufasir menguraikan penafsirannya berdasarkan urutan ayat dan surah dalam
mushaf yang dimulai dari surah alFatihah dan diakhiri dengan surah an-Nas.
Kedua, tartib nuzuli (urutan kronologi turunnya surat-surat), yakni menafsirkan
alQur’an berdasarkan kronologi turunnya surat-surat al-Qur’an. Ketiga, tartib
maudhu’i (urutan sesuai tema), yakni menafsirkan al-Qur’an berdasarkan
topik-topik tertentu dengan mengumpulkan ayat-ayat yang ada hubungannya dengan
topik tersebut.
Jika mengacu pada tiga bentuk sistematika
penafsiran di atas, maka dapat dikatakan bahwa Tafsir an-Nur karya Hasbi
AshShiddieqy ini menggunakan sistematika tartib mushafi, karena dalam tafsir
ini Hasbi menyajikan penafsirannya sesuai dengan urutan surat yang dimulai dari
surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Nas. Adapun sistematika sebagai
langkah metodis adalah sebagai berikut:
1. Sebelum memulai
penafsiran, terlebih dahulu ia menyajikan penjelasan umum tentang surah yang
akan dibahas, menyebutkan jumlah ayat, alasan penamaan surat, tujuan surat dan
persesuaian atau keterkaitan surah dengan ayat sebelumnya.[11]
2. Menerjemahkan
makna ayat ke dalam bahasa Indonesia dengan cara yang mudah dipahami dan
memperhatikan makna-makna yang dikehendaki masing-masing lafal.
3. Menafsirkan
ayat-ayat itu dengan menunjuk kepada sari patinya.
4. Menerangkan
ayat-ayat yang terdapat di lain-lain surat atau tempat yang dijadikan
penafsiran bagi ayat yang sedang ditafsirkan atau yang sepokok, supaya
memudahkan pembaca mengumpulkan ayat-ayat yang sepokok dan dapatlah ayat-ayat
itu ditafsirkan oleh ayat-ayat yang berkaitan.
5. Menerangkan
sebab-sebab turunnya ayat, jika diperoleh atsar yang sahih yang diakui
kesahihannya oleh ahli-ahli hadis.[12]
Dari penjabaran di atas dapat sedikit
disimpulkan bahwa Tafsir an-Nur menggabungkan dua metode yaitu metode bi
al-ma’tsur (naqli) dan bi al-ra’yi (aqli). Namun, di dalam tafsir beliau lebih dominan
ke pendekatan metode bi al-ra’yi (rasional). Tujuan beliau melakukan hal
terseebut karena supaya tafsir al-Qur’an lebih mudah dipahami bahkan untuk
kalangan awam sekalipun dan beliau juga berharap tafsir al-Qur’an yang sesuai
dengan perkembangan zaman.[13]
Contoh Penafsiran
Untuk mengetahui lebih detail tentang metode
penafsiran Hasbi Ash-Shiddieqy dalam kitab Tafsir an-Nur, berikut contohnya:
Q.S. Al-Baqarah ayat 23. Namun, sebelum menafsirkan ayat ini, terlebih dahulu
beliau menjelaskan tentang surah al-Baqarah, yaitu nama, sejarah turun,
kandungan isi, dan kaitan dengan surah sebelumnya. Al-Baqarah artinya lembu
betina. Penamaan surah dengan nama al-baqarah itu karena surah ini menerangkan
secara khusus tentang peristiwa pembunuhan yang terjadi pada masa Nabi Musa di
kalangan Bani Israil. Oleh karena itu, untuk menyingkap tabir dari pembunuhan
itu, Allah kemudian memerintahkan Bani Israil agar menyembelih seekor lembu.
Lembu tersebut adalah binatang yang pernah dipuja oleh Bani Israil.
Surah al-Baqarah diturunkan di Madinah,
terdiri dari 286 ayat. Adapun ayat ini 281 diturunkan di Mina tatkala Nabi
sedang melakukan haji wada’. Menurut suatu pendapat, ayat tersebut adalah ayat
yang terakhir diturunkan. Sebagian besar ayat ini diturunkan ketika Nabi
Muhammad berhijrah atau sebelum Nabi lama berada di Madinah.
Selanjutnya beliau juga menerangkan tentang
tujuan inti surah, yakni pertama, mendakwahkan Bani Israil dan mendiskusikan
pendirian mereka yang sesat serta memperingatkan mereka dengan nikmat Allah
(bagian ini dimulai dari ayat 40 sampai ayat 176). Kedua, men-tasyri’-kan
hukum-hukum yang dikehendaki oleh masyarakat Islam yang menjadikan mereka umat
yang istimewa baik dalam bidang ibadah, muamalah maupun adat
(yang demikian ini dimulai dari ayat 177 sampai akhir surat). Di samping itu,
Hasbi juga melakukan penyesuaian atau keterkaitan surah dengan surah
sebelumnya, di mana menurut Hasbi surah sebelumnya menerangkan tentang
dasar-dasar pokok pembicaraan al-Qur’an, sedangkan surah ini menjelaskan
tentang sebagian dari persoalanpersoalan pokok yang ditekankan oleh surah
sebelumnya. Secara umum surah al-Baqarah ini dibagi menjadi dua pembahasan,
yakni pertama, dimulai dari ayat 1 sampai ayat ke 176 menjelaskan bahwa Allah
menantang kaum Yahudi dan menerangkan masalah-masalah yang berkaitan dengan
ketauhidan. Kedua, dari ayat 176 sampai akhir surah (286) dalam bagian ini
Tuhan menerangkan beberapa hukum syari.[14]
Kemudian setelah itu, barulah masuk kepada
pembahasan ayatnya, misal ayat ke 23 dari surah al-Baqarah:
“Dan jika kamu selalu dalam keraguan dari apa
yang Kami wahyukan kepada hamba Kami, maka datangkanlah satu surat yang
sepertinya: dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang
yang benar”
Tafsirnya: Wa in kuntum fi raibin mimma nazzalna ‘ala
‘abdina fa’tu bi suratin min mitslihi: dan jika kamu selalu dalam keraguan dari
apa yang Kami wahyukan kepada hamba Kami, maka datangkanlah satu surat yang
sepertinya. Yakni: jika kamu raguragu kepada al-Qur’an ini dan kamu mendakwanya
sebagai kalam manusia, maka buatlah yang sepertinya, karena kamu tentu sanggup
mengerjakan apa yang disanggupi oleh manusia lainnya.
Wad’u syuhada akum min dunillahi: dan
panggillah penolongpenolongmu selain Allah. Yakni: panggillah semua mereka yang
hadir dalam perhimpunanmu, pemimpin-pemimpinmu yang kamu perlukan dikala kamu
ditimpa kesusahan dan bencana atau panggillah berhala-berhalamu yang kamu
jadikan Tuhan dan kamu katakan bahwa dia menjadi saksi untukmu di hari kiamat.
In kuntum shadiqin: jika kamu memang orang-orang yang benar. Yakni : jika kamu
benar dalam pendakwaan bahwa al-Qur’an itu bukan dari Allah, hanya Muhammad
yang membuatnya dan sekarang al-Qur’an itu terletak di hadapanmu, cobalah buat
sebuah surat untuk kamu buktikan bahwa al-Qur’an itu adalah buatan manusia.
Selain itu, beliau juga mencoba melakukan
munasabah ayat yang terkait dengan ayat yang ditafsirkan ini seperti dalam Q.S.
al-Isra’ ayat 88, Q.S. al-Qashash ayat 49, Q.S. Hud ayat 13, dan Q.S. Yunus
ayat 38. Setelah menyebutkan munasabah ayat, barulah kemudian beliau
menyimpulkan tentang maksud ayat ini, yakni sebagai berikut:
Dalam ayat ini Tuhan menyeru manusia kepada
tauhid. Tuhan menyebut nikmat-nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada
hamba-hamba-Nya itu supaya mereka beribadah dan bersyukur kepada-Nya. Di antara
nikmat Tuhan adalah menciptakan alam dan bumi menjadi tempat kediaman manusia
untuk mengambil manfaat darinya. Langit yang dihiasi dengan bintang yang
berkilau guna menjadi petunjuk bagi orang yang berjalan malam dan diturunkannya
hujan agar tumbuh segala macam tanaman.[15]
Simpulan
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy merupakan
seorang ulama Indonesia, yang juga seorang ahli ilmu fiqh dan usul fiqh,
tafsir, hadits, dan ilmu kalam. Lahir di Lhokseumawe pada tanggal 10 Maret
1904. Beliau aktif menulis dan menghasilkan karya. Salah satu karya beliau
yaitu Tafsir al-Qur’anul Majid an-Nur.
Latar belakang penulisan Tafsir al-Qur’anul
Karim an-Nur, pada pendahuluan juz I, Hasbi mengemukakan motivasi menulis kitab
tafsirnya ini, antara lain berkenaan dengan perkembangan perguruan-perguruan
tinggi Islam di Indonesia yang dicintai dalam suasana baru, adanya perhatian
yang melebar dan meluaskan perkembangan kebudayaan Islam, perkembangan
kitabullah, sunah rasul dan kitab-kitab Islam dalam bahasa persatuan Indonesia.
Tafsir an-Nur karya beliau lebih cenderung kepada corak fikih atau hukum Islam yang
cukup jelas. Sistematikanya yaitu tartib mushafi, karena dalam tafsir ini Hasbi
menyajikan penafsirannya sesuai dengan urutan surat yang dimulai dari surat
al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Nas.
Untuk metode penafsirannya, sebelum memulai
penafsiran, terlebih dahulu ia menyajikan penjelasan umum tentang surah yang
akan dibahas, menyebutkan jumlah ayat, alasan penamaan surat, tujuan surat dan
persesuaian atau keterkaitan surah dengan ayat sebelumnya. Menerjemahkan makna
ayat ke dalam bahasa Indonesia dengan cara yang mudah dipahami dan
memperhatikan makna-makna yang dikehendaki masing-masing lafal. Menafsirkan
ayat-ayat itu dengan menunjuk kepada sari patinya. Menerangkan ayat-ayat yang
terdapat di lain-lain surat atau tempat yang dijadikan penafsiran bagi ayat
yang sedang ditafsirkan atau yang sepokok, supaya memudahkan pembaca
mengumpulkan ayat-ayat yang sepokok dan dapatlah ayat-ayat itu ditafsirkan oleh
ayat-ayat yang berkaitan. Menerangkan sebab-sebab turunnya ayat, jika diperoleh
atsar yang sahih yang diakui kesahihannya oleh ahli-ahli hadis.
[1] Nurdin, Pengaruh Metode Al-Ma-tsur Dalam Khazanah Tafsir di
Indonesia (Banda Aceh: LKKI Publisher, 2020), 10.
[2] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid
An-Nur, Jilid I, (Semarang: PT. Pustaka Rizky putra,2000), xvii.
[3] Aan Supian, “Kontribusi Pemikiran Hasbi Ash-Shiddieqy Dalam Bidang
Fikih”, Media Syariah, Vol. 16, No.2, Juli-Desember 2012, 187.
[4] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid
An-Nur, Jilid I, (Semarang: PT. Pustaka Rizky Putra, 2000), xvii.
[5] Nurdin, Pengaruh Metode Al-Ma-tsur Dalam Khazanah Tafsir di
Indonesia (Banda Aceh: LKKI Publisher, 2020), 11-12.
[6] Aan Supian, “Kontribusi Pemikiran Hasbi Ash-Shiddieqy Dalam Kajian
Ilmu Hadis”, Jurnal Mutawâtir, Vol.4, No.2, Juli-Desember 2014, 274-275.
[7] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid
An-Nur, 29-30.
[8] Yunahar Ilyas, Konstruksi Pemikiran Gender dalam Pemikiran Mufasir
(Jakarta: Program Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik Ditjen Bimas Islam dan
Penyelenggaraan Haji Departemen Agama, 2005), 89.
[9] Sudariyah, “Kontruksi Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nur Karya M.
Hasbi AshShiddieqy,” Shahih, Vol. 3, No. I, Januari-Juni 2018, 97-98.
[10] Sudariyah, “Kontruksi Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nur Karya M.
Hasbi AshShiddieqy,” 98-99.
[11] Andi Miswar, “Tafsir Al-Qur’an Al-Majid An-Nur Karya T.M. Hasbi
AshShiddieqy (Corak Tafsir berdasarkan Perkembangan Kebudayaan Islam
Nusantara),” Jurnal Adabiyah, Vol. 15, No. 2, 2015, 87.
[12] Sudariyah, “Kontruksi Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nur Karya M.
Hasbi AshShiddieqy,” 99-100.
[13] Muhammad Syahrial Razali Ibrahim, “Rasionalitas Al-Qur’an dalam
Tafsir An-Nur: Studi Penafsiran Surah Al-Nisa’ Ayat 1,” Mutawatir: Jurnal
Keilmuan Tafsir Hadis, Vol. 6, No. 1, Juni 2016, 186-187.
[14] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid
An-Nur (Semarang: PT. Pustaka Rizky putra,2000), xx-xxi.
[15] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid
AnNur, 57-60
Comments
Post a Comment