SERI TAFSIR TARBAWI: AL-QUR’AN SEBAGAI KITAB “TERBUKA” DAN PENTINGNYA PERSPEKTIF PENDIDIKAN

 


A.      Pendahuluan

Sahabat Ali bin Abi Thalib, seperti dikutip Zuhairi Misrawi, mengemukakan, “al-Qur‟an hanyalah tulisan yang tertera dalam mushaf, tidak bisa berbicara dengan lisan, melainkan harus ada yang memahaminya. AlQur‟an dibicarakan [dibuat bisa berbicara] oleh manusia”.[1] Pernyataan Imam Ali tersebut seolah ingin menegaskan bahwasanya umat Islam dari generasi ke generasi dituntut untuk selalu berdialog dengan al-Qur‟an dalam mengambil peran kesejarahan.

Di sini, al-Qur‟an adalah sumber nilai yang tiada hentihentinya menginspirasi dan memandu umat Islam dalam menyikapi pelbagai permasalahan hidup. Karena itu, sangat beralasan sekiranya dikatakan bahwa masa depan umat Islam diraih melalui penafsiran terhadap al-Qur‟an yang senantiasa baru.[2]

Sesuai dengan namanya, “bacaan sempurna”, Kitab Suci ini menempati kedudukan yang sedemikian sentral. Hal ini ditunjukkan, antara lain, oleh begitu besarnya perhatian umat Islam dari waktu ke waktu untuk terus membacanya, mempelajarinya, mendalaminya, dan mengamalkannya. Pendek kata, tiada satu bacaan pun sejak manusia mengenal tulis baca lebih dari lima ribu tahun lalu yang dapat menandingi al-Qur‟an.[3] Kendati demikian, tidak berarti selama ini penyikapan umat Islam terhadap Kitab Suci ini tanpa mengandung persoalan yang perlu dikritisi. Menurut Fazlur Rahman, setidaknya terdapat dua persoalan krusial yang tengah dihadapi umat Islam dewasa ini, terutama kalangan elit intelektualnya, yaitu (1) mereka kurang menghayati relevansi al-Qur‟an untuk masa sekarang sehingga mereka tidak mampu menghadirkan pesan-pesannya untuk memenuhi kebutuhankebutuhan kekinian umat, dan (2) mereka kuatir jika menghadirkan al-Qur‟an dengan “tafsir baru” dalam pelbagai hal, maka itu akan menyimpang dari pendapat ulama terdahulu yang telah diterima secara tradisional.[4] Padahal memahami dan menafsirkan al-Qur‟an persis sebagaimana dipahami dan ditafsirkan ulama‟ terdahulu tidaklah sepenuhnya benar. Al-Qur‟an harus diyakini berdialog dengan setiap generasi serta memerintahkan mereka untuk mempelajari dan memikirkannya.[5]

Tidak hanya Rahman, kritik serupa juga dikemukakan oleh Syaikh Muhammad al-Ghazali. Secara tegas al-Ghazali menyatakan, “Umat Islam, terutama setelah abad pertama hijriyah, banyak menitikberatkan pada masalah-masalah yang berkaitan dengan bacaan al-Qur‟an, ilmu tajwid, dan terpaku pada hafalan teks-teks al-Qur‟an semata. Mereka tidak begitu mementingkan aspek dialogisnya sehingga mengakibatkan ketertinggalan”.[6] Barangkali pendapat al-Ghazali tersebut nampak terlalu “berlebihan”, namun manakala dikaitkan dengan corak dominan ilmu-ilmu al-Qur‟an yang berkembang pesat pada masa itu memang demikian, maka pendapatnya pun cukup beralasan. Pewahyuan al-Qur‟an secara berangsur-angsur adalah bukti kuat akan pentingnya aspek dialogis yang menandai “wahyu progresif” Kitab Suci ini. Pola pewahyuan seperti itu merefleksikan adanya interaksi kreatif antara Keinginan Tuhan, realitas empirik kehidupan, dan kebutuhan masyarakat penerima.[7]

 Dalam kaitan ini, perhatian terhadap aspek dialogis mungkin sudah ditunjukkan melalui pengakuan para mufassir terhadap arti penting sabab al-nuzul untuk dapat menafsirkan secara akurat pesan ayat-ayat al-Qur‟an. Terdapat beberapa kegunaan sabab al-nuzul yang kerapkali disebutkan oleh pakar ilmu-ilmu al-Qur‟an, yakni (1) menjelaskan hikmah di balik pensyariatan suatu ketentuan hukum dan mengungkap perhatian syara‟ terhadap kemaslahatan publik, (2) menspesifikkan (membatasi) keberlakuan hukum yang diungkapkan dengan redaksi umum, (3) mengetahui makna tersembunyi al-Qur‟an, dan (4) memperjelas apa atau siapa yang dimaksudkan oleh ayat al-Qur‟an yang turun.[8]

 Namun demikian, mengingat sabab al-nuzul di sini masih sebatas dipahami dalam lingkup peristiwa kusuistik yang melatarbelakangi turunnya ayat al-Qur‟an atau pertanyaan yang diajukan kepada Nabi Saw lalu turunlah ayat al-Qur‟an sehingga tidak seluruh ayat alQur‟an memiliki sabab al-nuzul, maka sebagian pemikir Muslim kontemporer mengkritisinya. Pemaknaan sabab al-nuzul tersebut dinilai parsial lantaran masih sepotong-potong (atomistik) dalam melihat keterkaitan antara pewahyuan al-Qur‟an dengan konteks sosial-budaya yang melingkupinya. Aspek dialogis al-Qur‟an belum diapresiasi secara lebih utuh mengingat responsnya terhadap realitas empirik dan kebutuhan masyarakat dipandang insidental.

Tidak hanya itu, persyaratan sabab al-nuzul harus didasarkan pada riwayat bukan penalaran mengandung arti medan-konteks yang diakui terbatas pada kasus/pertanyaan ketika pewahyuan ayat yang didukung oleh otoritas yang ditransmisikan. Dengan demikian, analisa kesejarahan dan upaya kontekstualisasi ayat yang memang sarat dengan kegiatan penalaran tidak lagi diperlukan karena dicurigai akan membuka peluang terlalu lebar bagi subyektivitas manusia dalam menafsirkan al-Qur‟an. Padahal analisa kesejarahan dan upaya kontekstualisasi menjadikan aspek dialogis al-Qur‟an terasa dinamis. Sebab, respons al-Qur‟an bisa dihayati dalam spektrum konteks yang luas dan senantiasa menyertai dinamika sosial-budaya kehidupan manusia.

Respons al-Qur‟an dipahami dalam bingkai moral idealnya, dan konteks pewahyuannya diletakkan dalam kerangka setting historis sosial-budaya. Bukti lain aspek dialogis al-Qur‟an adalah wahyu pertama kali yang diterima Nabi Saw yang berisi perintah “membaca”. Dengan perintah membaca, al-Qur‟an sebenarnya mengajak kita untuk (1) peka dan tanggap terhadap realitas sosial, budaya, dan kealaman, (2) mendayagunakan segenap potensi diri untuk merenungkan dan mempelajari realitas semesta, dan (3) meneguhkan etos belajar dan etos keilmuan guna memajukan kehidupan. Berdasarkan semangat wahyu pertama kali tersebut, sewajarnya Syaikh Abdul Halim Mahmud menamai al-Qur‟an dengan “kitab pendidikan”. Seakan mengafirmasi hal ini, Quraish Shihab dengan tegas mengatakan bahwa kalau merujuk pada ayat-ayat al-Qur‟an, maka kita dapat menemukannya berbicara secara langsung atau tidak langsung menyangkut hampir seluruh unsur pendidikan.[9]  Ini berarti al-Qur‟an adalah aktualisasi uslub Tuhan dalam mendorong, mengarahkan, dan membimbing manusia untuk menapaki jalan yang lurus agar mampu meraih kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Manusia ibaratnya adalah “subyek didik” Tuhan dan tema sentral dalam alQur‟an. Itu bisa dicermati dari wahyu pertama kali, Qs. Al-„Alaq: 1-5, yang mana selain Allah memperkenalkan diriNya sebagai Rabb (akar kata tarbiyah), juga menyebut manusia sebanyak dua kali. Pertama, manusia disebut dalam konteks berhadapan dengan Allah, sebagai makhluk yang diciptakan. Kedua, manusia disebut juga dalam konteks berhadapan dengan Allah, sebagai makhluk yang menerima pelajaran (pengetahuan) melalui perantaraan pena.[10] Sebagian kitab tafsir menerangkan bahwa disebutnya manusia secara khusus dalam ayat tadi menyiratkan arti kemuliaan manusia dan fitrahnya yang mengagumkan. Dengan kata lain, sebagai kitab pendidikan, al-Qur‟an sejak awal telah mengafirmasi kemuliaan harkat manusia dan mengakui potensi diri (fitrah) yang dimilikinya, terutama potensi diri siap dididik, berpengetahuan, dan berkesadaran keilahian primordial.

B.      Nilai Pedagogis dalam Pewahyuan al-Qur’an

 Malik Ben Nabi, salah seorang cendekiawan Muslim dari Aljazair, mengemukakan bahwa pewahyuan al-Qur‟an secara berangsur-angsur barangkali merupakan satu-satunya metode edukatif yang mungkin dalam sebuah zaman yang ditandai dengan kelahiran sebuah agama dan munculnya fajar sebuah peradaban.[11] Selama ini, para pakar ilmu-ilmu al-Qur‟an biasanya membagi masa pewahyuan al-Qur‟an kedalam dua periode: Makkiyah dan Madaniyah.[12]  Tidak sekedar graduasi, pewahyuan al-Qur‟an dalam kedua periode tersebut juga mempunyai karakteristik yang berbeda dalam gaya dan materi pesan yang disampaikan sesuai dengan tuntutan kondisi aktual. Inilah wujud dari al-Qur‟an sebagai “kitab terbuka”14 karena kendati ia tersusun dari sekian banyak ayat dan surat, namun masing-masing ayat dan surat ternyata merespons pelbagai situasi dan permasalahan yang beragam. Lebih dari itu, pewahyuan secara berangsur-angsur terbukti mampu menimbulkan dampak kejiwaan yang lebih kuat dibandingkan dengan seandainya pewahyuan berlangsung sekaligus.[13]

Sebagaimana diuraikan Quraish Shihab, masyarakat Arab masa pewahyuan al-Qur‟an dapat dibilang sebagai masyarakat yang “tidak pandai baca-tulis”. Konon saat itu hanya terdapat tidak lebih dari belasan orang yang pandai menulis. Bahkan bagi sebagian pihak kemampuan baca-tulis dipandang “tabu” sekiranya sampai diketahui banyak orang karena tolok ukur kecerdasan dan kemampuan ilmiah seseorang berada pada kemampuan menghafal.[14] Tambah lagi, sarana tulis menulis yang tersedia masa itu juga sangat terbatas. Tidak heran, jika upaya penghimpunan al-Qur‟an masih menggunakan sarana tulis menulis yang sederhana, seperti lempengan batu, pelepah kurma, kulit binatang yang sudah disamak, dan tulang-belulang. Dalam konteks seperti itu, pewahyuan al-Qur‟an secara berangsur-angsur memiliki signifikansi besar bagi efektivitas pesan yang disampaikannya. Sebab, masyarakat penerima tentu akan merasa terbantu sekali untuk lebih mudah menghafal, memahami, dan mengamalkannya, mengingat alat utama yang mereka andalkan hanyalah daya hafalan. Daya hafalan membutuhkan adanya proses bertahap masuknya pesan agar bisa dicerna dengan baik dan bisa bertahan lama. Konteks pewahyuan dalam hal ini berguna sekali untuk menguatkan kesan dari pesan yang diterima sehingga terasa lebih bermakna dan fungsional bagi penerimanya. Di sinilah salah satu nilai pedagogis pewahyuan al-Qur‟an secara berangsur-angsur yang bisa dijelaskan untuk konteks masa itu, sedangkan nilai pedagogisnya untuk konteks sekarang perlu dilihat dari responsnya yang dinamis terhadap permasalahan dan kebutuhan aktual masyarakat. Dengan demikian, terdapat dua langkah (double movement) yang perlu dilakukan seseorang untuk bisa menggali pesan al-Qur‟an, yaitu (1) ia harus memahami makna dari suatu pernyataan (ayat) dengan mengkaji situasi atau problem dimana pernyataan al-Qur‟an tersebut merupakan jawabannya, dan (2) mengeneralisasikan jawaban-jawaban spesifik dan menyatakannya sebagai pernyataan-pernyataan yang memiliki tujuan-tujuan moral-sosial umum.[15]

Dalam literatur ilmu-ilmu al-Qur‟an biasanya diungkapkan beberapa hikmah di balik pewahyuan al-Qur‟an secara berangsur-angsur, yakni: pertama, memperteguh hati Nabi Saw dalam menjalankan dakwah dan memudahkan beliau meresapi makna ayat-ayat al-Qur‟an. Kedua, memberikan kemudahan kepada para sahabat dalam menyimak, mempelajari, memahami, dan menghafalkan al-Qur‟an. Ketiga, agar ayat-ayat al-Qur‟an yang diturunkan relevan dengan situasi, kondisi dan perkembangan masyarakat. Keempat, agar ayat-ayat al-Qur‟an yang diturunkan dapat diterima dan dihayati oleh para sahabat secara lebih mendalam.[16]  Mencermati hikmah-hikmah tersebut nampak sekali nilai yang dielaborasikan hanya terkait dengan konteks masa pewahyuan, belum beranjak ke konteks kekinian. Diletakkan dalam kerangka rasionalitas hukum agama yang ditegakkan di atas (1) prinsip dasar (universal) syariat, (2) ketentuan hukum partikular, dan (3) tujuan hukum dan konteks pewahyuan, [17] relevansi pewahyuan al-Qur‟an secara berangsur-angsur sebenarnya mengindikasikan respons dinamis-dialektisnya terhadap realitas aktual kehidupan yang selalu berubah dan berkembang, bahkan Tuhan pun seolah-olah terlibat langsung menjawab persoalan-persoalan spesifik dalam proses sosial masa Nabi Saw.[18] Ini berarti al-Qur‟an membuktikan diri sebagai “kitab terbuka” karena memberi ruang kemungkinan untuk terus ditafsirkan secara baru. Dalam kaitan ini, penjelasan Nabi Saw terhadap makna ayat tidaklah “final” dan “tuntas” yang dimaksudkan sebagai pembatasan kecuali untuk sebagian kecil dari al-Qur‟an,[19]  sehingga setiap generasi terus berkesempatan untuk menggali mutiara maknanya sesuai dengan kesanggupan dan tuntutan lingkungan. Inilah nilai pedagogis lain yang bisa dicobajabarkan dari pewahyuan al-Qur‟an secara berangsur-angsur untuk konteks kekinian dan universalitas ajarannya yang lintas kurun.

Meskipun diyakini sebagai firman Tuhan, gaya bahasa al-Qur‟an terkesan unik melalui ungkapan-ungkapannya yang secara psikologis sangat manusiawi sehingga mampu menggugah imajinasi intelektual dan perasaan moral pembacanya.[20] Bagi yang mendalaminya sepenuh hati, ayat-ayat alQur‟an bagaikan berbicara dan berdialog dengan pembacanya, bukan secara khusus kepada Nabi Saw semata. Pesan moral yang diungkapkannya pun mewakili pesan suara batin manusia yang paling dalam, bukan pesan yang datang dari luar. Menurut ungkapan Abu Zayd, al-Qur‟an menggunakan beberapa sandi linguistik tertentu yang dinamis dalam upaya untuk menyampaikan pesan khasnya; [21] bahasa al-Qur‟an memiliki kemampuan membawa seorang Muslim kepada kehadiran Tuhan dan meletakkannya langsung berhubungan dengan perkataan aktualNya.[22] Pendek kata, al-Qur‟an dalam menyampaikan pesan menggunakan gaya bahasa “pathos” yang terlihat begitu memperhatikan aspek kejiwaan penerimanya. Ibarat sebuah “teks hidup”, al-Qur‟an memosisikan penerima pesan sebagai mitra-bicara untuk membuka dialog dan komunikasi seperti halnya yang berlangsung dalam bilik-bilik edukasi.

C.      Perbedaan Perspektif Fiqih dan Perspektif Pendidikan

Pada dasarnya perspektif fiqih dan perspektif pendidikan memang tidak perlu dipertentangkan, namun jika dicermati kedua perspektif itu bagaimanapun memiliki perbedaan. Perspektif fiqih sangat concern pada penetapan “hukum” (judgment), semisal haram, halal, wajib, dan sunah, yang bersifat baku dan seragam, sedangkan perspektif pendidikan sangat concern pada “nasihat” yang mengedepankan kearifan dengan memperhatikan graduasi dan keragaman individu. Jawaban atau respons Nabi Saw yang berbeda-beda ketika dimintai nasihat oleh para sahabat beliau mengenai sesuatu yang perlu dilakukan, semisal: “janganlah kamu marah”, “lakukanlah puasa”, dan “melaksanakan shalat tepat waktu”, adalah wujud kearifan beliau menyikapi keragaman individu yang dihadapi. Kebaikan dan kebenaran sebagai muatan isi edukasi tidak begitu saja disampaikan ke orang lain tanpa perlu memperhatikan kondisi, latar belakang kultural, atau tingkat perkembangan intelektualnya, sehingga beliau pun pernah berpesan “ajaklah orang lain bicara sesuai dengan tingkat perkembangan intelektualnya”. Di sini, Nabi Saw mengajak kita untuk piawai mempertimbangkan realitas kejiwaan dan kultural orang atau komunitas yang kita hadapi agar pesan edukasi tepat sasaran.

 Jalaluddin Rakhmat menyebutkan tiga karakteristik perspektif [paradigma] fiqih, yakni (1) kebenaran tunggal, (2) asas mazhab tunggal, dan (3) kesalehan diukur dari kesetiaan pada fiqih.[23]  Karakteristik pertama mengandung arti hanya ada satu kebenaran, satu jawaban, selainnya adalah salah sehingga tidak tersedia pilihan atau alternatif; karakteristik kedua mengandung maksud karena kebenaran hanya satu maka konsekuensinya mazhab yang benar pun hanya satu; karakteristik ketiga menunjukkan arti perlunya menjadikan fiqih sebagai tolok ukur untuk menilai baik-buruknya seseorang atau menganggapnya sebagai bagian dari suatu kelompok atau bukan. Tak dipungkiri karakteristik tersebut merupakan hasil identifikasi dari realitas sosial-keagamaan sebagian masyarakat yang dalam memahami dan mempraktikkan ajaran Islam terkesan rigid bahkan mungkin “ideologis”. Karena itu, tidak berlebihan apabila dalam kaitan ini Abid al-Jabiri sampai berkesimpulan bahwa gerakan-gerakan ekstrim masa lalu mempraktikkan ekstrimisme pada tataran akidah, sedangkan gerakan-gerakan ekstrim kontemporer menjalankannya pada tataran syariah (fiqih).[24] Salah satu ekses yang patut disayangkan, ekstrimisme pada tataran syariah (fiqih) ternyata tidak sekedar memicu konflik, melahirkan kecenderungan untuk “menyesatkan” orang lain, melainkan juga mendorong aksi kekerasan dan teror yang mengancam keselamatan hidup banyak orang.

Perspektif fiqih melihat manusia sebagai subyek yang dikenai tanggungjawab, diikat oleh aturan, dan harus tunduk serta patuh (mukallaf). Terkait dengan ini, Abu Zayd menyebutnya dengan fiqh al-tha’ah, karena fiqih dibangun di atas kesediaan diri menerima dan tunduk sepenuhnya terhadap otoritas sakral-transendental yang melampaui semua otoritas profan-sekuler.[25] Sementara itu, perspektif pendidikan lebih melihat manusia sebagai subyek yang bertanggungjawab yang dituntut perlu kritis dan kreatif dalam mengemban tanggungjawabnya tersebut. Dalam al-Qur‟an, salah satu istilah yang dekat dengan konsep itu adalah khalifah yang menyiratkan arti pemuliaan Allah terhadap manusia dengan mengaruniainya pelbagai potensi diri sehingga memungkinkannya mengemban tanggungjawab memakmurkan bumi dan menggali segenap sumberdaya alam untuk kemaslahatan hidup sesuai dengan titahNya.[26] Untuk mengelaborasi pesan al-Qur‟an dalam perspektif pendidikan, setidaknya ayat-ayat yang terkait dengan tema-tema ini perlu diangkat, yaitu (1) pandangan al-Qur‟an mengenai ilmu, (2) tata cara perolehan ilmu, (3) penciptaan iklim ilmu, (4) pendidikan individu, (5) pendidikan masyarakat, dan (6) ragam metode pendidikan al-Qur‟an.[27] Selama ini, lazimnya cara pandang yang dianut mayoritas umat Islam adalah menempatkan al-Qur‟an dan sunah Nabi sebagai sumber penetapan hukum Islam.[28] Memang tidaklah salah cara pandang tersebut, akan tetapi akibat terlalu kuatnya pengaruh perspektif fiqih, tidak jarang mereka menjadi kurang peka meresapi preskripsi edukatif al-Qur‟an dan sunah Nabi, apalagi sampai memformulasikannya menjadi suatu “perspektif” pendidikan. Berdasarkan Qs. al-Baqarah: 129, 151, Qs. Ali Imran: 164, dan Qs. al-Jumu‟ah: 2, salah satu misi profetik Nabi Saw adalah berkaitan dengan ranah keilmuan dan pendidikan.[29] Ini berarti fungsi al-Qur‟an dan sunah Nabi sebagai sumber ilmu dan peradaban perlu diapresiasi kendati memang hal ini menuntut usaha serius karena masih berupa barang baru yang dirasa asing dan belum banyak khazanah intelektualnya yang diwariskan. Secara khusus, perspektif pendidikan adalah bagian dari usaha menguak dan memformulasikan pesan-pesan edukasi al-Qur‟an, dan secara umum ia adalah bagian dari usaha menempatkan al-Qur‟an sebagai sumber ilmu dan peradaban, dengan tanpa bermaksud menafikan arti penting realitas empirik dan kapabilitas intelektual manusia sebagai sumber pengembangan ilmu dan peradaban.

Di satu sisi, perspektif pendidikan dibutuhkan untuk mengapresiasi kembali fungsi al-Qur‟an sebagai moral force yang mampu mendorong inisiasi, kreativitas, dan kecerdasan manusia untuk mendayagunakan segenap sumber daya yang tersedia bagi kemaslahatan hidup dan kemajuan budayanya. Di sisi lain, perspektif pendidikan dalam menggali pesan-pesan al-Qur‟an berguna untuk ikut mengkritisi realitas kegiatan edukasi yang masih terjerembab dalam himpitan romantisisme historis dengan bertaklid ke masa lalu dan himpitan realisme praktis dengan mengadopsi secara total sistem Barat yang tidak selalu selaras dengan tuntunan Islam.[30] Tak heran, jika masih ditemukan di banyak tempat praktik edukasi yang seolah saling bertolak belakang, yakni adanya sistem “pendidikan Islam” tradisional-konservatif dan sistem “pendidikan Islam” modern yang terbaratkan. Hal ini telah melahirkan banyak dampak negatif terhadap intelektualisme Islam dan mengakibatkan malaise of the ummah,[31]  semisal dikotomi keilmuan, dualisme sistem pendidikan, dan disorientasi pendidikan.

D.     Arti Penting Perspektif Pendidikan dalam Memahami Al-Qur’an

Syaikh Muhammad al-Ghazali berpendapat bahwa untuk bisa memahami kandungan isi al-Qur‟an secara komprehensif, kita perlu meninggalkan perspektif tunggal yang terlalu didominasi oleh paradigmafiqih.[32] Karena dominasi paradigma ini, tidak berlebihan sekiranya peradaban Islam kemudian disebut dengan “peradaban fiqih”, mengingat fiqih begitu kuat mempengaruhi aktivitas praktis dan aktivitas intelektual umat Islam.[33] Secara tegas, Syaikh al-Ghazali mengungkapkan bahwa universalitas al-Qur‟an tidak diperhatikan karena al-Qur‟an hanya difokuskan pada bentuk ilmu agama tertentu, yaitu ilmu fiqih saja. Sedangkan ayat yang memerintahkan untuk melihat, mengkaji, dan menganalisis belum dijadikan sebagai fondasi tumbuh-berkembangnya ilmu-ilmu kemanusiaan dalam sejarah, serta hal-hal lainnya yang erat hubungannya dengan masalah itu belum dijadikan basis kebudayaan Islam yang benar.[34]

Implikasi dari kecenderungan ini adalah (1) bergesernya agama Islam menuju sekedar sebagai agama ritual dan mu‟amalah, (2) meredupnya nalar ilmiah, (3) hilangnya cara pandang multidimensional digantikan cara pandang hitam-putih, dan (4) pola pendidikan indoktrinatif yang mengebiri kritisisme.[35] Bertolak dari penilaian tersebut, kesan kuat bahwasanya al-Qur‟an sebagai kitab “sumber hukum” mengandung bias dominasi perspektif tertentu yang acapkali meminggirkan makna perspektif lain dalam melihat al-Qur‟an. Sewajarnya apabila al-Qur‟an kemudian diapresiasi secara tidak utuh karena ia didekati dan diapresiasi hanya dari satu sisi seraya mengabaikan sisi-sisi yang lain.

Apabila dalam kajian tafsir selama ini telah dikenal luas pelbagai corak pendekatan, semisal corak fiqih, corak kalam, dan corak tasawuf, maka semestinya sangat mungkin dikenal juga adanya corak pendidikan. Dengan corak ini, al-Qur‟an dicobadekati dan dicobajabarkan dari perspektif upaya pemuliaan manusia, pengembangan potensinya, penanaman nilai, pembentukan kepribadian, dan respons terhadap kebutuhan hidup manusia. Secara ontologis, corak pendidikan sangat mungkin dihasilkan mengingat seluruh kandungan isi al-Qur‟an memang berbicara terhadap manusia atau berbicara tentang manusia. Ini berarti manusia menjadi subyek sentral upaya edukasi al-Qur‟an; manusialah yang diseru, dikritik, didorong, diajak, dan dijadikan sebagai mitra dialog al-Qur‟an. Terkait dengan ini, Qs. al-Baqarah: 185 misalnya menegaskan, “bulan Ramadlan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur‟an sebagai petunjuk manusia dan penjelasanpenjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda...”. Dengan fungsi demikian, al-Qur‟an jelas telah memosisikan manusia pada pusat perhatiannya, ibarat subyek didik, dalam proses kegiatan edukasi yang dilaksanakan Nabi Saw selaku penerima wahyu dan pengemban misi risalah. Dalam perspektif pendidikan, kei‟jazan al-Qur‟an lebih dilihat dari dampak transformatifnya terhadap mentalitas dan pola pikir umat Islam. Secara bertahap, kitab suci ini mampu membangun mentalitas dan pola pikir positif mereka dengan meninggalkan kultur Jahiliyah sehingga tampil menjadi bangsa yang berhasil mengukir prestasi budaya yang gemilang mengungguli bangsa-bangsa lain. Sepantasnya jika dampak transformatif seperti itu memperoleh perhatian khusus untuk dielaborasi, sebagaimana yang pernah dituliskan oleh Syeikh Rashid Ridla. Ia bahkan menganggap hal tersebut sebagai bagian integral dari kei‟jazan al-Qur‟an karena menjadi bukti begitu dahsyatnya daya revolusioner yang ditimbulkan Kitab Suci ini sehingga mampu menggerakkan perubahan sosial secara eskalatif. [36] Lebih lanjut, ia menambahkan bahwa al-Qur‟an adalah kitab pendidikan dan pengajaran. Maka dari itu, diantara tujuan pokoknya adalah memperbaiki individu dan masyarakat, mengantarkan mereka ke tahap kedewasaan berpikir, mewujudkan persaudaraan kemanusiaan, meningkatkan kecerdasan akal budi, dan membersihkan jiwa mereka.

 Dengan tujuan pokok tersebut, kehadiran al-Qur‟an dalam menyapa pembacanya ibarat medan interaksi edukatif yang senantiasa menstimuli kecerdasan pikir, emosi, hati, fisik, dan segenap totalitas diri manusia untuk didayagunakan sebaik mungkin agar mampu mengemban tanggungjawab sebagai hamba dan khalifahNya dalam kehidupan ini. Sekedar bukti, tidak kurang dari 1.200 pertanyaan dalam al-Qur‟an yang dimaksudkan untuk merangsang pikiran dan keingintahuan manusia, baik menyangkut penciptaan alam semesta, hukum Ilahi yang mengatur dunia dan kehidupan ini, pesan al-Qur‟an sendiri, introspeksi diri, maupun pemecahan masalah.[37] Salah satu wujud stimuli al-Qur‟an adalah mengajak manusia untuk saling berkompetisi dalam meraih kebajikan hidup. Di sini, manusia tidak hanya dipandang sebagai person yang unik, melainkan juga sebagai individu yang hidup di tengah-tengah masyarakat yang beragam. Ia dituntut untuk terusmenerus mempertegas dan memperbarui eksistensinya yang memang selalu berada dalam “proses menjadi” (becoming) guna pencapaian kesempurnaan diri. Pemuliaan Allah kepada manusia yang begitu tinggi, seperti disebutkan misalnya dalam Qs. al-Thin: 6 dan Qs. al-Isra‟: 70, paling tidak mengisayaratkan makna menyangkut adanya (1) pengakuan terhadap hakhak asasi manusia, (2) pengakuan terhadap kapabilitas dan responsibilitas manusia, dan (3) pengakuan akan kelebihunggulan manusia dibandingkan dengan para makhlukNya yang lain. Dari pemahaman ini kemudian muncul suatu penilaian, preskripsi al-Qur‟an sejatinya sarat nilai-nilai “humanistik” yang relevan untuk (pengembangan) perspektif pendidikan.[38] Perspektif pendidikan bisa diformulasikan dari semisal uraian al-Qur‟an mengenai kekuatan dan kelemahan manusia, tugas-tugas yang perlu ditunaikannya, dan akibat/konsekuensi yang harus ditanggungnya, seraya dikorelasikan dengan hadis-hadis Nabi terkait. Tentu saja, pengalaman empirik dan penalaran rasional-kritis sangat dibutuhkan di sini untuk memperkaya pemahaman “normatif” tersebut agar tidak terjebak dalam cara pandang “tekstualis” (i’tha’u al-awwaliyyah li al-nash), sehingga pelbagai konsep yang dihasilkan mampu merespons tuntutan aktual. Hal demikian dibutuhkan mengingat sebagian banyak dari apa yang diungkapkan al-Qur‟an memang masih bersifat global dan tidak sedikit pula hadis-hadis Nabi yang terkait pun lebih sebagai penjelasan “kontekstual”, suatu penjelasan yang relevansinya berlaku untuk masa beliau.

Atas dasar itu, perspektif pendidikan tidak bisa dilepaskan dari kesanggupan kita melakukan pembacaan produktif, yakni upaya pembacaan untuk serius mengungkap meaning dan significance (maghza) ayat-ayat alQur‟an terutama yang berkenaan dengan manusia, alam, dan kehidupan dalam rangka memaksimalkan responsnya terhadap permasalahan aktual kehidupan agar pesan-pesannya terasa begitu comprehensible (diterima akal sehat; ma’quliyyah) dan applicable (bisa diterapkan; ma’muliyyah). Jika al-Qur‟an diibaratkan sebagai wujud “jamuan” Tuhan, maka hal yang perlu diprioritaskan di sini adalah bagaimana kita bisa memperoleh sebanyak mungkin “nutrisi” dari jamuan tersebut. Pesan-pesan al-Qur‟an yang bisa dicerna dengan baik akan menjadi asupan yang berguna bagi proses tumbuhkembang potensi diri dan fitrah kemanusiaan manusia. Dalam kaitan ini, perspektif pendidikan sangat berkepentingan untuk bisa menyuguhkan jamuan yang dapat dicerna sebagai asupan bagi setiap insan yang bersedia mengikuti tuntunan edukatif al-Qur‟an. Untuk itu, selain keseimbangan menu jamuan yang disuguhkan, hal lain yang perlu diperhatikan adalah kondisi diri subyek yang akan menikmatinya. Tanpa memperhatikan keseimbangan, jamuan yang disuguhkan justru bisa memicu keberagamaan ekstrim subyek yang menikmatinya; demikian pula, tanpa memperhatikan kondisi diri subyek, jamuan yang disuguhkan boleh jadi mengakibatkan ia “tersedak”. Ini merupakan suatu pengibaratan bahwa pesan-pesan al-Qur‟an sebagai muatan edukatif memang harus dihadirkan dalam formulasi “resep” yang memperhatikan semisal aspek normatif dan historis/kontekstual,[39] aspek graduasi, aspek memanusiakan, dan aspek keseimbangan.

Majid Irsan al-Kailani menuturkan beberapa prinsip dasar orientasi tuntunan edukatif al-Qur‟an sebagai berikut: (1) mengenalkan manusia dengan Tuhan Penciptanya dan membangun pola hubungan diantara keduanya di atas landasan ke-rabbaniyah-an Tuhan dan ke-‘ubudiyyah-an manusia, (2) mengembangkan perilaku setiap individu agar selaras dengan tuntunan Islam, (3) melatih individu untuk mampu memenuhi tuntutan kebutuhan material kehidupan, (4) melahirkan generasi umat Islam yang berdiri tegak di atas sendi-sendi akidah Islam dan syariatnya yang adil, (5) mengarahkan umat Islam untuk sanggup mengemban risalah Islam ke seluruh alam, dan (6) menanamkan keyakinan akan kesatuan umat manusia dan kesederajatan mereka.[40]  Dengan orientasi tersebut, jelas tidak benar anggapan yang cenderung menyamakan begitu saja pendidikan Islam dengan pendidikan agama Islam. Anggapan ini telah mereduksi makna pendidikan Islam dan menjauhkannya dari keselarasan dengan tuntunan edukatif al-Qur‟an. Demikian halnya tidak benar persepsi sebagian kalangan bahwasanya pendidikan Islam hanya mementingkan kebutuhan “akhirat” dan menomorduakan kebutuhan “dunia”. Sesuai dengan tuntunan edukatif alQur‟an, pendidikan Islam bertujuan untuk mengembangkan kemampuan subyek didik dalam memenuhi secara seimbang kebutuhan keduanya.

Salah satu hal yang tidak kalah penting diperhatikan dalam pengembangan perspektif pendidikan adalah elaborasi tuntutan al-Qur‟an menyangkut Islam sebagai agama perdamaian, agama yang sangat mengapresiasi kebhinekaan dan menyelesaikan segenap persoalan yang timbul dari perbedaan itu secara adil dan nirkekerasaan. Setidaknya terdapat delapan prinsip yang bisa dijabarkan untuk itu, yakni (1) Islam adalah agama “alami” (fitri), agama yang selaras dengan alam dan fitrah manusia, (2) Islam adalah agama rasional, (3) Islam adalah agama humanistik (kemanusiaan) yang menempatkan manusia sebagai inti kehidupan dan khalifahNya, (4) manusia condong pada transendensi (prinsip kebajikan universal), (5) manusia adalah bebas dalam memilih dan bertindak, (6) manusia tidaklah hidup sendiri, melainkan sebagai makhluk sosial, (7) Islam adalah agama kemajuan yang mendorong gerak kesadaran manusia, dan (8) Islam adalah agama-afirmatif dunia, agama yang mengajarkan perlunya etos kerja, kreativitas, dan kesungguhan berusaha.[41]

Dengan prinsip-prinsip tersebut, misi rasional dan empiris Islam coba direaktualisasikan sebagai modal memajukan kehidupan aktual umat manusia. Misi rasional Islam terlihat dari begitu besarnya perhatian al-Qur‟an terhadap kesanggupan manusia mendayagunakan potensi rasionalnya untuk mengungkap kebenaran, sedangkan misi empiris Islam nampak dari kesadaran obyektif yang dikembangkan al-Qur‟an dengan menghadirkan bukti empiris dan responsnya terhadap realitas aktual. Karena itu sangat beralasan pendapat yang mengatakan, “al-Qur‟an memberikan suatu perspektif dalam sejarah manusia, yang tidak normatif belaka, namun pula senantiasa empiris. Ia tidak hanya menyajikan logika, tetapi juga bukti empiris”[42]

Secara epistemologis, misi rasional dan empiris Islam terefleksikan dengan baik dalam konsep al-nadzar yang merupakan proses intelektual merenungkan sesuatu berdasarkan kemampuan rasional dan inderawi seseorang.[43] Kecenderungan spekulasi rasional yang tanpa disertai observasi atas kenyataan luar kurang mendukung pengembangan keilmuan empiriseksperimental, seperti terlihat pada karakter ilmu-ilmu kealaman Yunani masa lalu yang bersifat kajian filosofis-metafisis dan bertumpu pada metode rasional-deduktif. Karena pengaruh dari apresiasi konsep al-nadzar, para ilmuwan Muslim masa Keemasan mengubah karakter keilmuan tersebut menjadi bentuk kajian ilmiah yang bersandarkan pada metode eksperimentalinduktif,[44] sehingga banyak dihasilkan pelbagai cabang ilmu sosial-kealaman empiris seperti psikologi, astronomi, kimia, biologi, dan sosiologi. Pelbagai cabang keilmuan ini pun dimasukkan ke dalam materi utama pendidikan masa itu dan telah mendorong pencapaian puncak kecemerlangan dalam prestasi intelektual dan konfidensi ilmiah dunia Islam.[45] Hal ini menunjukkan manakala misi rasional dan empiris Islam mampu diapresiasi dengan baik dan dikembangkan melalui kegiatan edukasi dan intelektual, maka ia akan menjadi unsur penting yang menopang geliat kemajuan budaya umat.

E.      Penutup

Aspek dialogis al-Qur‟an ditunjukkan oleh pola pewahyuannya secara berangsur-angsur yang menandai wahyu progresif Kitab Suci ini. Pola pewahyuan seperti ini merefleksikan adanya interaksi kreatif antara Keinginan Tuhan, realitas empirik kehidupan, dan kebutuhan masyarakat penerima. Tidak hanya itu, aspek dialogis al-Qur‟an juga ditunjukkan oleh wahyu pertama kali yang diterima Nabi Saw yang berisi perintah “membaca”. Dengan perintah membaca, al-Qur‟an sebenarnya menyeru manusia untuk: pertama, peka dan tanggap terhadap realitas sosial, budaya, dan kealaman; kedua, mendayagunakan segenap potensi diri untuk merenungkan dan mempelajari realitas semesta, dan ketiga, meneguhkan etos belajar dan etos keilmuan guna memajukan kehidupan. Berdasarkan semangat wahyu pertama kali itu, sangat beralasan sekiranya al-Qur‟an dinamai dengan “kitab pendidikan”. Sebab, ayat-ayat al-Qur‟an baik secara langsung atau tidak langsung mengulas hampir seluruh unsur pendidikan. Al-Qur‟an pun dalam menyampaikan pesan menggunakan gaya bahasa “pathos” yang terlihat begitu memperhatikan aspek kejiwaan penerimanya. Ibarat sebuah “teks hidup” atau “kitab terbuka”, al-Qur‟an memosisikan penerima pesan sebagai mitra-bicara untuk membuka dialog dan komunikasi sebagaimana yang berlangsung dalam bilik-bilik edukasi.

Untuk mengelaborasi pesan al-Qur‟an dalam perspektif pendidikan, setidaknya ayat-ayat yang berhubungan dengan tema bahasan berikut ini perlu diprioritaskan, yaitu: pandangan al-Qur‟an mengenai ilmu, tata cara perolehan ilmu, penciptaan iklim ilmu, pendidikan individu, pendidikan masyarakat, dan ragam metode pendidikan al-Qur‟an. Perspektif pendidikan diperlukan untuk mengapresiasi kembali fungsi al-Qur‟an sebagai moral force yang mampu mendorong inisiasi, kreativitas, dan kecerdasan manusia untuk mendayagunakan segenap sumber daya yang tersedia bagi kemaslahatanhidup dan kemajuan budayanya. Tak hanya itu, perspektif pendidikan juga diperlukan untuk menggali preskripsi al-Qur‟an dalam rangka ikut mengkritisi fenomena malpraktik pendidikan. Ini berarti perspektif pendidikan tidak bisa dilepaskan dari kesanggupan kita melakukan pembacaan produktif, yakni upaya pembacaan serius melalui pendekatan multidisipliner untuk bisa mengungkap makna dan signifikansi ayat-ayat al-Qur‟an khususnya yang berkenaan dengan manusia, alam, dan kehidupan dalam rangka memaksimalkan responsnya terhadap denyut permasalahan aktual kehidupan. Jika al-Qur‟an diumpamakan sebagai wujud “jamuan” Tuhan, maka hal yang perlu diutamakan adalah bagaimana kita bisa mendapatkan sebanyak mungkin “nutrisi” dari jamuan tersebut.

 



[1] Zuhairi Misrawi, Al-Qur’an Kitab Toleransi: Tafsir Tematik Islam Rahmatan Lil ‘Alamin (Jakarta: Oasis, 2010), hlm. 56.

[2] M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi al-Qur’an: Tafsir al-Qur’an Berdasarkan Konsep-konsep Kunci (Jakarta: Paramadina, cet. II, 2002), hlm.2.

[3] M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, cet. IX, 1999), hlm.3.

[4] Fazlur Rahman, Tema Pokok al-Qur’an, terj. Anas Mahyuddin (Bandung: Pustaka, cet. II, 1996), hlm. xi.

[5] M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, cet. XVI, 1997), hlm.93.

[6] Muhammad al-Ghazali, Berdialog dengan al-Qur’an, terj. Masykur Hakim (Bandung: Mizan, 1997), hlm.15.

[7] Farid Esack, Qur’an, Liberation, and Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity against Oppression (Oxford: Oneworld Publications, 1997), hlm.54.

[8] Manna al-Qaththan, Mabahithfi‘Ulumal-Qur’an(ttp.: tnp, tt.), hlm.79-81

[9] M. Quraish Shihab, Menabur Pesan Ilahi: Al-Qur’an dan Dinamika Kehidupan Masyarakat (Jakarta: Lentera Hati, 2006), hlm.333.

[10] M. Dawam Rahardjo, Paradigma al-Qur’an: Metodologi Tafsir dan Kritik Sosial (Jakarta: PSAP, 2005), hlm.88

[11] Malik Ben Nabi, Fenomena al-Qur’an: Pemahaman Baru Kitab Suci Agama-Agama Ibrahim, terj. Farid Wajdi (Bandung: Marja‟, 2002), hlm.91

[12] M. Abid al-Jabiri, Madkhalilaal-Qur’anal-Karim:Fial-Ta’rifbial-Qur’an, juz I (Beirut: Markaz Dirasat al-Wahdah al-„Arabiyah, 2007), hlm.235.

[13] Ben Nabi, Fenomena al-Qur’an, hlm.91

[14] M. Quraish Shihab, Mukjizat al-Qur’an Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah, dan Pemberitaan Ghaib (Bandung: Mizan, 2007), hlm.74-75.

[15] Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas: Tentang Transformasi Intelektual, terj. Ahsin Mohammad (Bandung: Pustaka, cet. II, 2000), hlm.7.

[16] A. Athaillah, Sejarah al-Qur’an: Verifikasi tentang Otentisitas al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm.153-168.

[17] M. Abid al-Jabiri, al-DimuqrathiyyahwaHuquqal-Insan(Beirut: Markaz Dirasat al-Wahdah al-„Arabiyah, 1994), hlm.174.

[18] Moeslim Abdurrahman, Islam sebagai Kritik Sosial (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2003), hlm.114-115.

[19] Thaha Jabir al-‘Ulwani, LaIkrahafial-Din:Ishkaliyyatal-Riddawaal-MurtaddinminShadr al-IslamHattaal-Yawm(Kairo: Maktabah al-Shuruq al-Dauliyyah, 2003), hlm.19-20.

[20] Komaruddin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan (Jakarta: Teraju, 2004), hlm.8.

[21] Nasr Hamid Abu Zayd, al-Qur’an, Hermeneutik dan Kekuasaan, terj. Dede Iswadi, dkk. (Bandung: RQiS, 2003), hlm.95.

[22] Ibid., hlm.101.

[23] Jalaluddin Rakhmat, Dahulukan Akhlak Diatas Fiqih (Bandung: Mizan, 2007), hlm.42.

[24] M. Abid al-Jabiri, Agama, Negara dan Penerapan Syariah, terj. Mujiburrahman (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2001), hlm.144-145. Syariah sebenarnya tidaklah sama dengan fiqih, akan tetapi klaim sebagian kalangan yang mengusung ide penerapan syariah (seharusnya penerapan fiqih) seolah telah menyamakan fiqih dengan syariah.

[25] Nasr Hamid Abu Zayd, Dawa’iral-Khawf:Qira’ahfiKhithabal-Mar’ah(Beirut: al-Markaz alThaqafi al-Arabi, 2000), hlm.164-165.

[26] Abbas Mahjub, Ushul al-Fikr al-Tarbawiy fi al-Islam (Damaskus: Dar Ibn Kathir, 1987), hlm.57-58

[27] Shihab, Menabur Pesan, hlm.337-344. Di sini, ayat-ayat al-Qur‟an yang terkait dengan tematema itu disebutkan.

[28] Yusuf al-Qaradlawi, al-SunnahMahdaranlial-Ma’rifahwaal-Hadlarah(Kairo: Dar al-Shuruq, 1997), hlm.7.

[29] ibid., hlm.7-8.

[30] Majid Irsan al-Kailani, Falsafat al-Tarbiyah al-Islamiyyah (Mekah: Maktabah Hadi, 1988), hlm.67

[31] AbdulHamid AbuSulayman (ed.), Islamization of Knowledge: General Principles and Work Plan (USA: IIIT, 1989), hlm.5-6.

[32] al-Ghazali, Berdialog, hlm.44-45.

[33] M. Abid al-Jabiri, Takwinal-‘Aqlal-‘Arabiy(Beirut: al-Markaz al-Thaqafi al-„Arabi, 1991), hlm.96.

[34] Ghazali, Berdialog, hlm.10

[35] Muhammad Shahrur, al-Kitabwaal-Qur’an:Qira’ahMu’ashirah (Damaskus: al-Ahali li alThiba’ah, 1990), hlm.726-728.

[36] Lihat M. Rashid Ridla, al-Wahyual-Muhammadiy(Mesir: Nahdlah, cet. VI, 1956), hlm.130, 140-142.

[37] Jamal Badi dan Musthapa Tajdin, Islamic Creative Thinking: Berpikir Kreatif Berdasarkan Metode Qur’ani, terj. Munir Mun‟im (Bandung: Mizania, 2007), hlm.24-26, 41.

[38] Mahmud Arif, Menyelami Makna Kewahyuan Kitab Suci: Pesan Transformatif dan Edukatif al-Qur’an untuk Kehidupan (Yogyakarta: Idea Press, 2009), hlm.40.

[39] Asghar Ali Engineer, “Islam, Women, and Gender Justice”, Islamic Millennium Journal (Vol. I, Number 1, Sept-Nov 2001), hlm.120.

[40] Majid Irsan al-Kailani, Tathawwur Mafhumi al-Nazariyyah al-Tarbawiyyah al-Islamiyyah (Damaskus: Dar Ibn Kathir, 1987), hlm.34-36.

[41] Hassan Hanafi, “Reconciliation and Preparation of Societies for Life in Peace”, Islamic Millenium Journal (Vol. I, Number 1, Sept-Nov 2001), hlm.16-18.

[42] Rahardjo, Paradigma al-Qur’an, hlm.112.

[43] al-Kailani, Falsafat al-Tarbiyah, hlm. 234.

[44] Jalal Muhammad Musa, Manhaj al-Bahth al-‘Ilmi inda al-‘Arab fi Majal al-‘Ulum alThabi’yyahwaal-Kawniyyah(Beirut: Dar al-Kutub al-Lubnani, 1972), hlm.23.

[45] Umar Farroukh, ‘Abqariyyat al-‘Arab fi al-‘Ilm wa al-Falsafah (Beirut: al-Maktabah al‘Ashriyah, 1989), hlm.149.

Comments