on
asbab nuzul
- Get link
- X
- Other Apps
A.
Pendahuluan
Sahabat Ali bin Abi Thalib, seperti dikutip
Zuhairi Misrawi, mengemukakan, “al-Qur‟an hanyalah tulisan yang tertera dalam
mushaf, tidak bisa berbicara dengan lisan, melainkan harus ada yang
memahaminya. AlQur‟an dibicarakan [dibuat bisa berbicara] oleh manusia”.[1]
Pernyataan Imam Ali tersebut seolah ingin menegaskan bahwasanya umat Islam dari
generasi ke generasi dituntut untuk selalu berdialog dengan al-Qur‟an dalam
mengambil peran kesejarahan.
Di sini, al-Qur‟an adalah sumber nilai yang
tiada hentihentinya menginspirasi dan memandu umat Islam dalam menyikapi
pelbagai permasalahan hidup. Karena itu, sangat beralasan sekiranya dikatakan
bahwa masa depan umat Islam diraih melalui penafsiran terhadap al-Qur‟an yang
senantiasa baru.[2]
Sesuai dengan namanya, “bacaan sempurna”,
Kitab Suci ini menempati kedudukan yang sedemikian sentral. Hal ini
ditunjukkan, antara lain, oleh begitu besarnya perhatian umat Islam dari waktu
ke waktu untuk terus membacanya, mempelajarinya, mendalaminya, dan
mengamalkannya. Pendek kata, tiada satu bacaan pun sejak manusia mengenal tulis
baca lebih dari lima ribu tahun lalu yang dapat menandingi al-Qur‟an.[3]
Kendati demikian, tidak berarti selama ini penyikapan umat Islam terhadap Kitab
Suci ini tanpa mengandung persoalan yang perlu dikritisi. Menurut Fazlur
Rahman, setidaknya terdapat dua persoalan krusial yang tengah dihadapi umat
Islam dewasa ini, terutama
kalangan elit intelektualnya, yaitu (1) mereka kurang menghayati relevansi
al-Qur‟an untuk masa sekarang sehingga mereka tidak mampu menghadirkan
pesan-pesannya untuk memenuhi kebutuhankebutuhan kekinian umat, dan (2) mereka
kuatir jika menghadirkan al-Qur‟an dengan “tafsir baru” dalam pelbagai hal,
maka itu akan menyimpang dari pendapat ulama terdahulu yang telah diterima
secara tradisional.[4] Padahal
memahami dan menafsirkan al-Qur‟an persis sebagaimana dipahami dan ditafsirkan
ulama‟ terdahulu tidaklah sepenuhnya benar. Al-Qur‟an harus diyakini berdialog
dengan setiap generasi serta memerintahkan mereka untuk mempelajari dan
memikirkannya.[5]
Tidak hanya Rahman, kritik serupa juga
dikemukakan oleh Syaikh Muhammad al-Ghazali. Secara tegas al-Ghazali
menyatakan, “Umat Islam, terutama setelah abad pertama hijriyah, banyak
menitikberatkan pada masalah-masalah yang berkaitan dengan bacaan al-Qur‟an,
ilmu tajwid, dan terpaku pada hafalan teks-teks al-Qur‟an semata. Mereka tidak
begitu mementingkan aspek dialogisnya sehingga mengakibatkan ketertinggalan”.[6]
Barangkali pendapat al-Ghazali tersebut nampak terlalu “berlebihan”, namun
manakala dikaitkan dengan corak dominan ilmu-ilmu al-Qur‟an yang berkembang
pesat pada masa itu memang demikian, maka pendapatnya pun cukup beralasan.
Pewahyuan al-Qur‟an secara berangsur-angsur adalah bukti kuat akan pentingnya
aspek dialogis yang menandai “wahyu progresif” Kitab Suci ini. Pola pewahyuan
seperti itu merefleksikan adanya interaksi kreatif antara Keinginan Tuhan,
realitas empirik kehidupan, dan kebutuhan masyarakat penerima.[7]
Dalam
kaitan ini, perhatian terhadap aspek dialogis mungkin sudah ditunjukkan melalui
pengakuan para mufassir terhadap arti penting sabab al-nuzul untuk dapat
menafsirkan secara akurat pesan ayat-ayat al-Qur‟an. Terdapat beberapa kegunaan
sabab al-nuzul yang kerapkali disebutkan oleh pakar ilmu-ilmu al-Qur‟an, yakni
(1) menjelaskan hikmah di balik pensyariatan suatu ketentuan hukum dan
mengungkap perhatian syara‟ terhadap kemaslahatan publik, (2) menspesifikkan
(membatasi) keberlakuan hukum yang diungkapkan dengan redaksi umum, (3)
mengetahui makna tersembunyi al-Qur‟an, dan (4) memperjelas apa atau siapa yang
dimaksudkan oleh ayat al-Qur‟an yang turun.[8]
Namun
demikian, mengingat sabab al-nuzul di sini masih sebatas dipahami dalam lingkup
peristiwa kusuistik yang melatarbelakangi turunnya ayat al-Qur‟an atau
pertanyaan yang diajukan kepada Nabi Saw lalu turunlah ayat al-Qur‟an sehingga
tidak seluruh ayat alQur‟an memiliki sabab al-nuzul, maka sebagian pemikir
Muslim kontemporer mengkritisinya. Pemaknaan sabab al-nuzul tersebut dinilai
parsial lantaran masih sepotong-potong (atomistik) dalam melihat keterkaitan
antara pewahyuan al-Qur‟an dengan konteks sosial-budaya yang melingkupinya. Aspek
dialogis al-Qur‟an belum diapresiasi secara lebih utuh mengingat responsnya
terhadap realitas empirik dan kebutuhan masyarakat dipandang insidental.
Tidak hanya itu, persyaratan sabab al-nuzul
harus didasarkan pada riwayat bukan penalaran mengandung arti medan-konteks
yang diakui terbatas pada kasus/pertanyaan ketika pewahyuan ayat yang didukung
oleh otoritas yang ditransmisikan. Dengan demikian, analisa kesejarahan dan
upaya kontekstualisasi ayat yang memang sarat dengan kegiatan penalaran tidak
lagi diperlukan karena dicurigai akan membuka peluang terlalu lebar bagi
subyektivitas manusia dalam menafsirkan al-Qur‟an. Padahal analisa kesejarahan
dan upaya kontekstualisasi menjadikan aspek dialogis al-Qur‟an terasa dinamis.
Sebab, respons al-Qur‟an bisa dihayati dalam spektrum konteks yang luas dan
senantiasa menyertai dinamika sosial-budaya kehidupan manusia.
Respons al-Qur‟an dipahami dalam bingkai
moral idealnya, dan konteks pewahyuannya diletakkan dalam kerangka setting
historis sosial-budaya. Bukti lain aspek dialogis al-Qur‟an adalah wahyu
pertama kali yang diterima Nabi Saw yang berisi perintah “membaca”. Dengan
perintah membaca, al-Qur‟an sebenarnya mengajak kita untuk (1) peka dan tanggap
terhadap realitas sosial, budaya, dan kealaman, (2) mendayagunakan segenap
potensi diri untuk merenungkan dan mempelajari realitas semesta, dan (3)
meneguhkan etos belajar dan etos keilmuan guna memajukan kehidupan. Berdasarkan
semangat wahyu pertama kali tersebut, sewajarnya Syaikh Abdul Halim Mahmud
menamai al-Qur‟an dengan “kitab pendidikan”. Seakan mengafirmasi hal ini,
Quraish Shihab dengan tegas mengatakan bahwa kalau merujuk pada ayat-ayat
al-Qur‟an, maka kita dapat menemukannya berbicara secara langsung atau tidak
langsung menyangkut hampir seluruh unsur pendidikan.[9]
Ini berarti al-Qur‟an adalah aktualisasi
uslub Tuhan dalam mendorong, mengarahkan, dan membimbing manusia untuk menapaki
jalan yang lurus agar mampu meraih kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Manusia ibaratnya adalah “subyek didik” Tuhan dan tema sentral dalam alQur‟an.
Itu bisa dicermati dari wahyu pertama kali, Qs. Al-„Alaq: 1-5, yang mana selain
Allah memperkenalkan diriNya sebagai Rabb (akar kata tarbiyah), juga menyebut
manusia sebanyak dua kali. Pertama, manusia disebut dalam konteks berhadapan
dengan Allah, sebagai makhluk yang diciptakan. Kedua, manusia disebut juga
dalam konteks berhadapan dengan Allah, sebagai makhluk yang menerima pelajaran
(pengetahuan) melalui perantaraan pena.[10]
Sebagian kitab tafsir menerangkan bahwa disebutnya manusia secara khusus dalam
ayat tadi menyiratkan arti kemuliaan manusia dan fitrahnya yang mengagumkan.
Dengan kata lain, sebagai kitab pendidikan, al-Qur‟an sejak awal telah
mengafirmasi kemuliaan harkat manusia dan mengakui potensi diri (fitrah) yang
dimilikinya, terutama potensi diri siap dididik, berpengetahuan, dan
berkesadaran keilahian primordial.
B.
Nilai Pedagogis dalam Pewahyuan al-Qur’an
Malik
Ben Nabi, salah seorang cendekiawan Muslim dari Aljazair, mengemukakan bahwa
pewahyuan al-Qur‟an secara berangsur-angsur barangkali merupakan satu-satunya
metode edukatif yang mungkin dalam sebuah zaman yang ditandai dengan kelahiran
sebuah agama dan munculnya fajar sebuah peradaban.[11]
Selama ini, para pakar ilmu-ilmu al-Qur‟an biasanya membagi masa pewahyuan
al-Qur‟an kedalam dua periode: Makkiyah dan Madaniyah.[12]
Tidak sekedar graduasi, pewahyuan
al-Qur‟an dalam kedua periode tersebut juga mempunyai karakteristik yang
berbeda dalam gaya dan materi pesan yang disampaikan sesuai dengan tuntutan
kondisi aktual. Inilah wujud dari al-Qur‟an sebagai “kitab terbuka”14 karena
kendati ia tersusun dari sekian banyak ayat dan surat, namun masing-masing ayat
dan surat ternyata merespons pelbagai situasi dan permasalahan yang beragam.
Lebih dari itu, pewahyuan secara berangsur-angsur terbukti mampu menimbulkan
dampak kejiwaan yang lebih kuat dibandingkan dengan seandainya pewahyuan
berlangsung sekaligus.[13]
Sebagaimana diuraikan Quraish Shihab,
masyarakat Arab masa pewahyuan al-Qur‟an dapat dibilang sebagai masyarakat yang
“tidak pandai baca-tulis”. Konon saat itu hanya terdapat tidak lebih dari
belasan orang yang pandai menulis. Bahkan bagi sebagian pihak kemampuan
baca-tulis dipandang “tabu” sekiranya sampai diketahui banyak orang karena
tolok ukur kecerdasan dan kemampuan ilmiah seseorang berada pada kemampuan
menghafal.[14] Tambah
lagi, sarana tulis menulis yang tersedia masa itu juga sangat terbatas. Tidak
heran, jika upaya penghimpunan al-Qur‟an masih menggunakan sarana tulis menulis
yang sederhana, seperti lempengan batu, pelepah kurma, kulit binatang yang
sudah disamak, dan tulang-belulang. Dalam konteks seperti itu, pewahyuan
al-Qur‟an secara berangsur-angsur memiliki signifikansi besar bagi efektivitas
pesan yang disampaikannya. Sebab, masyarakat penerima tentu akan merasa
terbantu sekali untuk lebih mudah menghafal, memahami, dan mengamalkannya,
mengingat alat utama yang mereka andalkan hanyalah daya hafalan. Daya hafalan
membutuhkan adanya proses bertahap masuknya pesan agar bisa dicerna dengan baik
dan bisa bertahan lama. Konteks pewahyuan dalam hal ini berguna sekali untuk
menguatkan kesan dari pesan yang diterima sehingga terasa lebih bermakna dan
fungsional bagi penerimanya. Di sinilah salah satu nilai pedagogis pewahyuan
al-Qur‟an secara berangsur-angsur yang bisa dijelaskan untuk konteks masa itu,
sedangkan nilai pedagogisnya untuk konteks sekarang perlu dilihat dari
responsnya yang dinamis terhadap permasalahan dan kebutuhan aktual masyarakat.
Dengan demikian, terdapat dua langkah (double movement) yang perlu dilakukan
seseorang untuk bisa menggali pesan al-Qur‟an, yaitu (1) ia harus memahami
makna dari suatu pernyataan (ayat) dengan mengkaji situasi atau problem dimana
pernyataan al-Qur‟an tersebut merupakan jawabannya, dan (2) mengeneralisasikan jawaban-jawaban
spesifik dan menyatakannya sebagai pernyataan-pernyataan yang memiliki
tujuan-tujuan moral-sosial umum.[15]
Dalam literatur ilmu-ilmu al-Qur‟an biasanya
diungkapkan beberapa hikmah di balik pewahyuan al-Qur‟an secara
berangsur-angsur, yakni: pertama, memperteguh hati Nabi Saw dalam menjalankan
dakwah dan memudahkan beliau meresapi makna ayat-ayat al-Qur‟an. Kedua,
memberikan kemudahan kepada para sahabat dalam menyimak, mempelajari, memahami,
dan menghafalkan al-Qur‟an. Ketiga, agar ayat-ayat al-Qur‟an yang diturunkan
relevan dengan situasi, kondisi dan perkembangan masyarakat. Keempat, agar
ayat-ayat al-Qur‟an yang diturunkan dapat diterima dan dihayati oleh para
sahabat secara lebih mendalam.[16]
Mencermati hikmah-hikmah tersebut nampak
sekali nilai yang dielaborasikan hanya terkait dengan konteks masa pewahyuan,
belum beranjak ke konteks kekinian. Diletakkan dalam kerangka rasionalitas
hukum agama yang ditegakkan di atas (1) prinsip dasar (universal) syariat, (2)
ketentuan hukum partikular, dan (3) tujuan hukum dan konteks pewahyuan, [17]
relevansi pewahyuan al-Qur‟an secara berangsur-angsur sebenarnya
mengindikasikan respons dinamis-dialektisnya terhadap realitas aktual kehidupan
yang selalu berubah dan berkembang, bahkan Tuhan pun seolah-olah terlibat
langsung menjawab persoalan-persoalan spesifik dalam proses sosial masa Nabi
Saw.[18]
Ini berarti al-Qur‟an membuktikan diri sebagai “kitab terbuka” karena memberi
ruang kemungkinan untuk terus ditafsirkan secara baru. Dalam kaitan ini,
penjelasan Nabi Saw terhadap makna ayat tidaklah “final” dan “tuntas” yang
dimaksudkan sebagai pembatasan kecuali untuk sebagian kecil dari al-Qur‟an,[19]
sehingga setiap generasi terus
berkesempatan untuk menggali mutiara maknanya sesuai dengan kesanggupan dan
tuntutan lingkungan. Inilah nilai pedagogis lain yang bisa dicobajabarkan dari
pewahyuan al-Qur‟an secara berangsur-angsur untuk konteks kekinian dan
universalitas ajarannya yang lintas kurun.
Meskipun diyakini sebagai firman Tuhan, gaya
bahasa al-Qur‟an terkesan unik melalui ungkapan-ungkapannya yang secara
psikologis sangat manusiawi sehingga mampu menggugah imajinasi intelektual dan
perasaan moral pembacanya.[20]
Bagi yang mendalaminya sepenuh hati, ayat-ayat alQur‟an bagaikan berbicara dan
berdialog dengan pembacanya, bukan secara khusus kepada Nabi Saw semata. Pesan
moral yang diungkapkannya pun mewakili pesan suara batin manusia yang paling
dalam, bukan pesan yang datang dari luar. Menurut ungkapan Abu Zayd, al-Qur‟an
menggunakan beberapa sandi linguistik tertentu yang dinamis dalam upaya untuk
menyampaikan pesan khasnya; [21]
bahasa al-Qur‟an memiliki kemampuan membawa seorang Muslim kepada kehadiran
Tuhan dan meletakkannya langsung berhubungan dengan perkataan aktualNya.[22]
Pendek kata, al-Qur‟an dalam menyampaikan pesan menggunakan gaya bahasa
“pathos” yang terlihat begitu memperhatikan aspek kejiwaan penerimanya. Ibarat
sebuah “teks hidup”, al-Qur‟an memosisikan penerima pesan sebagai mitra-bicara
untuk membuka dialog dan komunikasi seperti halnya yang berlangsung dalam
bilik-bilik edukasi.
C.
Perbedaan Perspektif Fiqih dan Perspektif
Pendidikan
Pada dasarnya perspektif fiqih dan perspektif
pendidikan memang tidak perlu dipertentangkan, namun jika dicermati kedua
perspektif itu bagaimanapun memiliki perbedaan. Perspektif fiqih sangat concern
pada penetapan “hukum” (judgment), semisal haram, halal, wajib, dan sunah, yang
bersifat baku dan seragam, sedangkan perspektif pendidikan sangat concern pada
“nasihat” yang mengedepankan kearifan dengan memperhatikan graduasi dan
keragaman individu. Jawaban atau respons Nabi Saw yang berbeda-beda ketika dimintai
nasihat oleh para sahabat beliau mengenai sesuatu yang perlu dilakukan,
semisal: “janganlah kamu marah”, “lakukanlah puasa”, dan “melaksanakan shalat
tepat waktu”, adalah wujud kearifan beliau menyikapi keragaman individu yang
dihadapi. Kebaikan dan kebenaran sebagai muatan isi edukasi tidak begitu saja
disampaikan ke orang lain tanpa perlu memperhatikan kondisi, latar belakang
kultural, atau tingkat perkembangan intelektualnya, sehingga beliau pun pernah
berpesan “ajaklah orang lain bicara sesuai dengan tingkat perkembangan
intelektualnya”. Di sini, Nabi Saw mengajak kita untuk piawai mempertimbangkan
realitas kejiwaan dan kultural orang atau komunitas yang kita hadapi agar pesan
edukasi tepat sasaran.
Jalaluddin Rakhmat menyebutkan tiga
karakteristik perspektif [paradigma] fiqih, yakni (1) kebenaran tunggal, (2)
asas mazhab tunggal, dan (3) kesalehan diukur dari kesetiaan pada fiqih.[23]
Karakteristik pertama mengandung arti
hanya ada satu kebenaran, satu jawaban, selainnya adalah salah sehingga tidak
tersedia pilihan atau alternatif; karakteristik kedua mengandung maksud karena
kebenaran hanya satu maka konsekuensinya mazhab yang benar pun hanya satu;
karakteristik ketiga menunjukkan arti perlunya menjadikan fiqih sebagai tolok
ukur untuk menilai baik-buruknya seseorang atau menganggapnya sebagai bagian
dari suatu kelompok atau bukan. Tak dipungkiri karakteristik tersebut merupakan
hasil identifikasi dari realitas sosial-keagamaan sebagian masyarakat yang
dalam memahami dan mempraktikkan ajaran Islam terkesan rigid bahkan mungkin
“ideologis”. Karena itu, tidak berlebihan apabila dalam kaitan ini Abid
al-Jabiri sampai berkesimpulan bahwa gerakan-gerakan ekstrim masa lalu
mempraktikkan ekstrimisme pada tataran akidah, sedangkan gerakan-gerakan
ekstrim kontemporer menjalankannya pada tataran syariah (fiqih).[24]
Salah satu ekses yang patut disayangkan, ekstrimisme pada tataran syariah
(fiqih) ternyata tidak sekedar memicu konflik, melahirkan kecenderungan untuk
“menyesatkan” orang lain, melainkan juga mendorong aksi kekerasan dan teror
yang mengancam keselamatan hidup banyak orang.
Perspektif fiqih melihat manusia sebagai
subyek yang dikenai tanggungjawab, diikat oleh aturan, dan harus tunduk serta
patuh (mukallaf). Terkait dengan ini, Abu Zayd menyebutnya dengan fiqh
al-tha’ah, karena fiqih dibangun di atas kesediaan diri menerima dan tunduk
sepenuhnya terhadap otoritas sakral-transendental yang melampaui semua otoritas
profan-sekuler.[25]
Sementara itu, perspektif pendidikan lebih melihat manusia sebagai subyek yang
bertanggungjawab yang dituntut perlu kritis dan kreatif dalam mengemban
tanggungjawabnya tersebut. Dalam al-Qur‟an, salah satu istilah yang dekat
dengan konsep itu adalah khalifah yang menyiratkan arti pemuliaan Allah
terhadap manusia dengan mengaruniainya pelbagai potensi diri sehingga
memungkinkannya mengemban tanggungjawab memakmurkan bumi dan menggali segenap
sumberdaya alam untuk kemaslahatan hidup sesuai dengan titahNya.[26]
Untuk mengelaborasi pesan al-Qur‟an dalam perspektif pendidikan, setidaknya
ayat-ayat yang terkait dengan tema-tema ini perlu diangkat, yaitu (1) pandangan
al-Qur‟an mengenai ilmu, (2) tata cara perolehan ilmu, (3) penciptaan iklim
ilmu, (4) pendidikan individu, (5) pendidikan masyarakat, dan (6) ragam metode
pendidikan al-Qur‟an.[27]
Selama ini, lazimnya cara pandang yang dianut mayoritas umat Islam adalah
menempatkan al-Qur‟an dan sunah Nabi sebagai sumber penetapan hukum Islam.[28]
Memang tidaklah salah cara pandang tersebut, akan tetapi akibat terlalu kuatnya
pengaruh perspektif fiqih, tidak jarang mereka menjadi kurang peka meresapi
preskripsi edukatif al-Qur‟an dan sunah Nabi, apalagi sampai memformulasikannya
menjadi suatu “perspektif” pendidikan. Berdasarkan Qs. al-Baqarah: 129, 151,
Qs. Ali Imran: 164, dan Qs. al-Jumu‟ah: 2, salah satu misi profetik Nabi Saw
adalah berkaitan dengan ranah keilmuan dan pendidikan.[29]
Ini berarti fungsi al-Qur‟an dan sunah Nabi sebagai sumber ilmu dan peradaban
perlu diapresiasi kendati memang hal ini menuntut usaha serius karena masih
berupa barang baru yang dirasa asing dan belum banyak khazanah intelektualnya
yang diwariskan. Secara khusus, perspektif pendidikan adalah bagian dari usaha
menguak dan memformulasikan pesan-pesan edukasi al-Qur‟an, dan secara umum ia
adalah bagian dari usaha menempatkan al-Qur‟an sebagai sumber ilmu dan
peradaban, dengan tanpa bermaksud menafikan arti penting realitas empirik dan
kapabilitas intelektual manusia sebagai sumber pengembangan ilmu dan peradaban.
Di satu sisi, perspektif pendidikan
dibutuhkan untuk mengapresiasi kembali fungsi al-Qur‟an sebagai moral force
yang mampu mendorong inisiasi, kreativitas, dan kecerdasan manusia untuk
mendayagunakan segenap sumber daya yang tersedia bagi kemaslahatan hidup dan
kemajuan budayanya. Di sisi lain, perspektif pendidikan dalam menggali
pesan-pesan al-Qur‟an berguna untuk ikut mengkritisi realitas kegiatan edukasi
yang masih terjerembab dalam himpitan romantisisme historis dengan bertaklid ke
masa lalu dan himpitan realisme praktis dengan mengadopsi secara total sistem
Barat yang tidak selalu selaras dengan tuntunan Islam.[30]
Tak heran, jika masih ditemukan di banyak tempat praktik edukasi yang seolah
saling bertolak belakang, yakni adanya sistem “pendidikan Islam”
tradisional-konservatif dan sistem “pendidikan Islam” modern yang terbaratkan.
Hal ini telah melahirkan banyak dampak negatif terhadap intelektualisme Islam
dan mengakibatkan malaise of the ummah,[31]
semisal dikotomi keilmuan, dualisme
sistem pendidikan, dan disorientasi pendidikan.
D.
Arti Penting Perspektif Pendidikan dalam
Memahami Al-Qur’an
Syaikh Muhammad al-Ghazali berpendapat bahwa
untuk bisa memahami kandungan isi al-Qur‟an secara komprehensif, kita perlu
meninggalkan perspektif tunggal yang terlalu didominasi oleh paradigmafiqih.[32]
Karena dominasi paradigma ini, tidak berlebihan sekiranya peradaban Islam
kemudian disebut dengan “peradaban fiqih”, mengingat fiqih begitu kuat
mempengaruhi aktivitas praktis dan aktivitas intelektual umat Islam.[33]
Secara tegas, Syaikh al-Ghazali mengungkapkan bahwa universalitas al-Qur‟an
tidak diperhatikan karena al-Qur‟an hanya difokuskan pada bentuk ilmu agama
tertentu, yaitu ilmu fiqih saja. Sedangkan ayat yang memerintahkan untuk
melihat, mengkaji, dan menganalisis belum dijadikan sebagai fondasi
tumbuh-berkembangnya ilmu-ilmu kemanusiaan dalam sejarah, serta hal-hal lainnya
yang erat hubungannya dengan masalah itu belum dijadikan basis kebudayaan Islam
yang benar.[34]
Implikasi dari kecenderungan ini adalah (1)
bergesernya agama Islam menuju sekedar sebagai agama ritual dan mu‟amalah, (2)
meredupnya nalar ilmiah, (3) hilangnya cara pandang multidimensional digantikan
cara pandang hitam-putih, dan (4) pola pendidikan indoktrinatif yang mengebiri
kritisisme.[35] Bertolak
dari penilaian tersebut, kesan kuat bahwasanya al-Qur‟an sebagai kitab “sumber
hukum” mengandung bias dominasi perspektif tertentu yang acapkali meminggirkan
makna perspektif lain dalam melihat al-Qur‟an. Sewajarnya apabila al-Qur‟an
kemudian diapresiasi secara tidak utuh karena ia didekati dan diapresiasi hanya
dari satu sisi seraya mengabaikan sisi-sisi yang lain.
Apabila dalam kajian tafsir selama ini telah
dikenal luas pelbagai corak pendekatan, semisal corak fiqih, corak kalam, dan
corak tasawuf, maka semestinya sangat mungkin dikenal juga adanya corak
pendidikan. Dengan corak ini, al-Qur‟an dicobadekati dan dicobajabarkan dari
perspektif upaya pemuliaan manusia, pengembangan potensinya, penanaman nilai, pembentukan
kepribadian, dan respons terhadap kebutuhan hidup manusia. Secara ontologis,
corak pendidikan sangat mungkin dihasilkan mengingat seluruh kandungan isi
al-Qur‟an memang berbicara terhadap manusia atau berbicara tentang manusia. Ini
berarti manusia menjadi subyek sentral upaya edukasi al-Qur‟an; manusialah yang
diseru, dikritik, didorong, diajak, dan dijadikan sebagai mitra dialog
al-Qur‟an. Terkait dengan ini, Qs. al-Baqarah: 185 misalnya menegaskan, “bulan
Ramadlan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur‟an sebagai
petunjuk manusia dan penjelasanpenjelasan mengenai petunjuk itu serta
pembeda...”. Dengan fungsi demikian, al-Qur‟an jelas telah memosisikan manusia
pada pusat perhatiannya, ibarat subyek didik, dalam proses kegiatan edukasi
yang dilaksanakan Nabi Saw selaku penerima wahyu dan pengemban misi risalah.
Dalam perspektif pendidikan, kei‟jazan al-Qur‟an lebih dilihat dari dampak
transformatifnya terhadap mentalitas dan pola pikir umat Islam. Secara
bertahap, kitab suci ini mampu membangun mentalitas dan pola pikir positif
mereka dengan meninggalkan kultur Jahiliyah sehingga tampil menjadi bangsa yang
berhasil mengukir prestasi budaya yang gemilang mengungguli bangsa-bangsa lain.
Sepantasnya jika dampak transformatif seperti itu memperoleh perhatian khusus
untuk dielaborasi, sebagaimana yang pernah dituliskan oleh Syeikh Rashid Ridla.
Ia bahkan menganggap hal tersebut sebagai bagian integral dari kei‟jazan
al-Qur‟an karena menjadi bukti begitu dahsyatnya daya revolusioner yang ditimbulkan
Kitab Suci ini sehingga mampu menggerakkan perubahan sosial secara eskalatif. [36]
Lebih lanjut, ia menambahkan bahwa al-Qur‟an adalah kitab pendidikan dan
pengajaran. Maka dari itu, diantara tujuan pokoknya adalah memperbaiki individu
dan masyarakat, mengantarkan mereka ke tahap kedewasaan berpikir, mewujudkan
persaudaraan kemanusiaan, meningkatkan kecerdasan akal budi, dan membersihkan
jiwa mereka.
Dengan
tujuan pokok tersebut, kehadiran al-Qur‟an dalam menyapa pembacanya ibarat
medan interaksi edukatif yang senantiasa menstimuli kecerdasan pikir, emosi,
hati, fisik, dan segenap totalitas diri manusia untuk didayagunakan sebaik
mungkin agar mampu mengemban tanggungjawab sebagai hamba dan khalifahNya dalam
kehidupan ini. Sekedar bukti, tidak kurang dari 1.200 pertanyaan dalam
al-Qur‟an yang dimaksudkan untuk merangsang pikiran dan keingintahuan manusia,
baik menyangkut penciptaan alam semesta, hukum Ilahi yang mengatur dunia dan
kehidupan ini, pesan al-Qur‟an sendiri, introspeksi diri, maupun pemecahan
masalah.[37] Salah
satu wujud stimuli al-Qur‟an adalah mengajak manusia untuk saling berkompetisi
dalam meraih kebajikan hidup. Di sini, manusia tidak hanya dipandang sebagai
person yang unik, melainkan juga sebagai individu yang hidup di tengah-tengah
masyarakat yang beragam. Ia dituntut untuk terusmenerus mempertegas dan
memperbarui eksistensinya yang memang selalu berada dalam “proses menjadi”
(becoming) guna pencapaian kesempurnaan diri. Pemuliaan Allah kepada manusia
yang begitu tinggi, seperti disebutkan misalnya dalam Qs. al-Thin: 6 dan Qs.
al-Isra‟: 70, paling tidak mengisayaratkan makna menyangkut adanya (1)
pengakuan terhadap hakhak asasi manusia, (2) pengakuan terhadap kapabilitas dan
responsibilitas manusia, dan (3) pengakuan akan kelebihunggulan manusia dibandingkan
dengan para makhlukNya yang lain. Dari pemahaman ini kemudian muncul suatu
penilaian, preskripsi al-Qur‟an sejatinya sarat nilai-nilai “humanistik” yang relevan untuk (pengembangan) perspektif pendidikan.[38]
Perspektif pendidikan bisa diformulasikan dari semisal uraian al-Qur‟an
mengenai kekuatan dan kelemahan manusia, tugas-tugas yang perlu ditunaikannya,
dan akibat/konsekuensi yang harus ditanggungnya, seraya dikorelasikan dengan
hadis-hadis Nabi terkait. Tentu saja, pengalaman empirik dan penalaran
rasional-kritis sangat dibutuhkan di sini untuk memperkaya pemahaman “normatif”
tersebut agar tidak terjebak dalam cara pandang “tekstualis” (i’tha’u
al-awwaliyyah li al-nash), sehingga pelbagai konsep yang dihasilkan mampu
merespons tuntutan aktual. Hal demikian dibutuhkan mengingat sebagian banyak
dari apa yang diungkapkan al-Qur‟an memang masih bersifat global dan tidak
sedikit pula hadis-hadis Nabi yang terkait pun lebih sebagai penjelasan
“kontekstual”, suatu penjelasan yang relevansinya berlaku untuk masa beliau.
Atas dasar itu, perspektif pendidikan tidak
bisa dilepaskan dari kesanggupan kita melakukan pembacaan produktif, yakni
upaya pembacaan untuk serius mengungkap meaning dan significance (maghza)
ayat-ayat alQur‟an terutama yang berkenaan dengan manusia, alam, dan kehidupan
dalam rangka memaksimalkan responsnya terhadap permasalahan aktual kehidupan
agar pesan-pesannya terasa begitu comprehensible (diterima akal sehat;
ma’quliyyah) dan applicable (bisa diterapkan; ma’muliyyah). Jika al-Qur‟an
diibaratkan sebagai wujud “jamuan” Tuhan, maka hal yang perlu diprioritaskan di
sini adalah bagaimana kita bisa memperoleh sebanyak mungkin “nutrisi” dari
jamuan tersebut. Pesan-pesan al-Qur‟an yang bisa dicerna dengan baik akan
menjadi asupan yang berguna bagi proses tumbuhkembang potensi diri dan fitrah
kemanusiaan manusia. Dalam kaitan ini, perspektif pendidikan sangat
berkepentingan untuk bisa menyuguhkan jamuan yang dapat dicerna sebagai asupan
bagi setiap insan yang bersedia mengikuti tuntunan edukatif al-Qur‟an. Untuk
itu, selain keseimbangan menu jamuan yang disuguhkan, hal lain yang perlu
diperhatikan adalah kondisi diri subyek yang akan menikmatinya. Tanpa
memperhatikan keseimbangan, jamuan yang disuguhkan justru bisa memicu
keberagamaan ekstrim subyek yang menikmatinya; demikian pula, tanpa
memperhatikan kondisi diri subyek, jamuan yang disuguhkan boleh jadi
mengakibatkan ia “tersedak”. Ini merupakan suatu pengibaratan bahwa pesan-pesan
al-Qur‟an sebagai muatan edukatif memang harus dihadirkan dalam formulasi
“resep” yang memperhatikan semisal aspek normatif dan historis/kontekstual,[39]
aspek graduasi, aspek memanusiakan, dan aspek keseimbangan.
Majid Irsan al-Kailani menuturkan beberapa
prinsip dasar orientasi tuntunan edukatif al-Qur‟an sebagai berikut: (1)
mengenalkan manusia dengan Tuhan Penciptanya dan membangun pola hubungan
diantara keduanya di atas landasan ke-rabbaniyah-an Tuhan dan ke-‘ubudiyyah-an
manusia, (2) mengembangkan perilaku setiap individu agar selaras dengan
tuntunan Islam, (3) melatih individu untuk mampu memenuhi tuntutan kebutuhan
material kehidupan, (4) melahirkan generasi umat Islam yang berdiri tegak di
atas sendi-sendi akidah Islam dan syariatnya yang adil, (5) mengarahkan umat
Islam untuk sanggup mengemban risalah Islam ke seluruh alam, dan (6) menanamkan
keyakinan akan kesatuan umat manusia dan kesederajatan mereka.[40]
Dengan orientasi tersebut, jelas tidak
benar anggapan yang cenderung menyamakan begitu saja pendidikan Islam dengan
pendidikan agama Islam. Anggapan ini telah mereduksi makna pendidikan Islam dan
menjauhkannya dari keselarasan dengan tuntunan edukatif al-Qur‟an. Demikian halnya tidak benar persepsi sebagian kalangan
bahwasanya pendidikan Islam hanya mementingkan kebutuhan “akhirat” dan
menomorduakan kebutuhan “dunia”. Sesuai dengan tuntunan edukatif alQur‟an,
pendidikan Islam bertujuan untuk mengembangkan kemampuan subyek didik dalam
memenuhi secara seimbang kebutuhan keduanya.
Salah satu hal yang tidak kalah penting
diperhatikan dalam pengembangan perspektif pendidikan adalah elaborasi tuntutan
al-Qur‟an menyangkut Islam sebagai agama perdamaian, agama yang sangat
mengapresiasi kebhinekaan dan menyelesaikan segenap persoalan yang timbul dari
perbedaan itu secara adil dan nirkekerasaan. Setidaknya terdapat delapan
prinsip yang bisa dijabarkan untuk itu, yakni (1) Islam adalah agama “alami”
(fitri), agama yang selaras dengan alam dan fitrah manusia, (2) Islam adalah
agama rasional, (3) Islam adalah agama humanistik (kemanusiaan) yang
menempatkan manusia sebagai inti kehidupan dan khalifahNya, (4) manusia condong
pada transendensi (prinsip kebajikan universal), (5) manusia adalah bebas dalam
memilih dan bertindak, (6) manusia tidaklah hidup sendiri, melainkan sebagai
makhluk sosial, (7) Islam adalah agama kemajuan yang mendorong gerak kesadaran
manusia, dan (8) Islam adalah agama-afirmatif dunia, agama yang mengajarkan
perlunya etos kerja, kreativitas, dan kesungguhan berusaha.[41]
Dengan prinsip-prinsip tersebut, misi
rasional dan empiris Islam coba direaktualisasikan sebagai modal memajukan
kehidupan aktual umat manusia. Misi rasional Islam terlihat dari begitu
besarnya perhatian al-Qur‟an terhadap kesanggupan manusia mendayagunakan
potensi rasionalnya untuk mengungkap kebenaran, sedangkan misi empiris Islam
nampak dari kesadaran obyektif yang dikembangkan al-Qur‟an dengan menghadirkan
bukti empiris dan responsnya terhadap realitas aktual. Karena itu sangat
beralasan pendapat yang mengatakan, “al-Qur‟an memberikan suatu perspektif
dalam sejarah manusia, yang tidak normatif belaka, namun pula senantiasa
empiris. Ia tidak hanya menyajikan logika, tetapi juga bukti empiris”[42]
Secara epistemologis, misi rasional dan
empiris Islam terefleksikan dengan baik dalam konsep al-nadzar yang merupakan
proses intelektual merenungkan sesuatu berdasarkan kemampuan rasional dan
inderawi seseorang.[43]
Kecenderungan spekulasi rasional yang tanpa disertai observasi atas kenyataan
luar kurang mendukung pengembangan keilmuan empiriseksperimental, seperti
terlihat pada karakter ilmu-ilmu kealaman Yunani masa lalu yang bersifat kajian
filosofis-metafisis dan bertumpu pada metode rasional-deduktif. Karena pengaruh
dari apresiasi konsep al-nadzar, para ilmuwan Muslim masa Keemasan mengubah
karakter keilmuan tersebut menjadi bentuk kajian ilmiah yang bersandarkan pada
metode eksperimentalinduktif,[44]
sehingga banyak dihasilkan pelbagai cabang ilmu sosial-kealaman empiris seperti
psikologi, astronomi, kimia, biologi, dan sosiologi. Pelbagai cabang keilmuan
ini pun dimasukkan ke dalam materi utama pendidikan masa itu dan telah
mendorong pencapaian puncak kecemerlangan dalam prestasi intelektual dan
konfidensi ilmiah dunia Islam.[45]
Hal ini menunjukkan manakala misi rasional dan empiris Islam mampu diapresiasi
dengan baik dan dikembangkan melalui kegiatan edukasi dan intelektual, maka ia
akan menjadi unsur penting yang menopang geliat kemajuan budaya umat.
E.
Penutup
Aspek dialogis al-Qur‟an ditunjukkan oleh
pola pewahyuannya secara berangsur-angsur yang menandai wahyu progresif Kitab
Suci ini. Pola pewahyuan seperti ini merefleksikan adanya interaksi kreatif
antara Keinginan Tuhan, realitas empirik kehidupan, dan kebutuhan masyarakat
penerima. Tidak hanya itu, aspek dialogis al-Qur‟an juga ditunjukkan oleh wahyu
pertama kali yang diterima Nabi Saw yang berisi perintah “membaca”. Dengan
perintah membaca, al-Qur‟an sebenarnya menyeru manusia untuk: pertama, peka dan
tanggap terhadap realitas sosial, budaya, dan kealaman; kedua, mendayagunakan
segenap potensi diri untuk merenungkan dan mempelajari realitas semesta, dan
ketiga, meneguhkan etos belajar dan etos keilmuan guna memajukan kehidupan.
Berdasarkan semangat wahyu pertama kali itu, sangat beralasan sekiranya
al-Qur‟an dinamai dengan “kitab pendidikan”. Sebab, ayat-ayat al-Qur‟an baik
secara langsung atau tidak langsung mengulas hampir seluruh unsur pendidikan.
Al-Qur‟an pun dalam menyampaikan pesan menggunakan gaya bahasa “pathos” yang
terlihat begitu memperhatikan aspek kejiwaan penerimanya. Ibarat sebuah “teks
hidup” atau “kitab terbuka”, al-Qur‟an memosisikan penerima pesan sebagai
mitra-bicara untuk membuka dialog dan komunikasi sebagaimana yang berlangsung
dalam bilik-bilik edukasi.
Untuk mengelaborasi pesan al-Qur‟an dalam
perspektif pendidikan, setidaknya ayat-ayat yang berhubungan dengan tema
bahasan berikut ini perlu diprioritaskan, yaitu: pandangan al-Qur‟an mengenai
ilmu, tata cara perolehan ilmu, penciptaan iklim ilmu, pendidikan individu,
pendidikan masyarakat, dan ragam metode pendidikan al-Qur‟an. Perspektif
pendidikan diperlukan untuk mengapresiasi kembali fungsi al-Qur‟an sebagai
moral force yang mampu mendorong inisiasi, kreativitas, dan kecerdasan manusia
untuk mendayagunakan segenap sumber daya yang tersedia bagi kemaslahatanhidup
dan kemajuan budayanya. Tak hanya itu, perspektif pendidikan juga diperlukan
untuk menggali preskripsi al-Qur‟an dalam rangka ikut mengkritisi fenomena
malpraktik pendidikan. Ini berarti perspektif pendidikan tidak bisa dilepaskan
dari kesanggupan kita melakukan pembacaan produktif, yakni upaya pembacaan
serius melalui pendekatan multidisipliner untuk bisa mengungkap makna dan
signifikansi ayat-ayat al-Qur‟an khususnya yang berkenaan dengan manusia, alam,
dan kehidupan dalam rangka memaksimalkan responsnya terhadap denyut
permasalahan aktual kehidupan. Jika al-Qur‟an diumpamakan sebagai wujud
“jamuan” Tuhan, maka hal yang perlu diutamakan adalah bagaimana kita bisa
mendapatkan sebanyak mungkin “nutrisi” dari jamuan tersebut.
[1] Zuhairi Misrawi, Al-Qur’an Kitab Toleransi: Tafsir Tematik Islam
Rahmatan Lil ‘Alamin (Jakarta: Oasis, 2010), hlm. 56.
[2] M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi al-Qur’an: Tafsir al-Qur’an Berdasarkan
Konsep-konsep Kunci (Jakarta: Paramadina, cet. II,
2002), hlm.2.
[3] M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai
Persoalan Umat (Bandung: Mizan, cet. IX, 1999), hlm.3.
[4] Fazlur Rahman, Tema Pokok al-Qur’an, terj. Anas Mahyuddin (Bandung:
Pustaka, cet. II, 1996), hlm. xi.
[5] M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu
dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, cet. XVI, 1997), hlm.93.
[6] Muhammad al-Ghazali, Berdialog dengan al-Qur’an, terj. Masykur
Hakim (Bandung: Mizan, 1997), hlm.15.
[7] Farid Esack, Qur’an, Liberation, and Pluralism: An Islamic
Perspective of Interreligious Solidarity against Oppression (Oxford: Oneworld
Publications, 1997), hlm.54.
[8] Manna al-Qaththan, Mabahithfi‘Ulumal-Qur’an(ttp.: tnp, tt.),
hlm.79-81
[9] M. Quraish Shihab, Menabur Pesan Ilahi: Al-Qur’an dan Dinamika
Kehidupan Masyarakat (Jakarta: Lentera Hati, 2006), hlm.333.
[10] M. Dawam Rahardjo, Paradigma al-Qur’an: Metodologi Tafsir dan
Kritik Sosial (Jakarta: PSAP, 2005), hlm.88
[11] Malik Ben Nabi, Fenomena al-Qur’an: Pemahaman Baru Kitab Suci
Agama-Agama Ibrahim, terj. Farid Wajdi (Bandung: Marja‟, 2002), hlm.91
[12] M. Abid al-Jabiri, Madkhalilaal-Qur’anal-Karim:Fial-Ta’rifbial-Qur’an, juz
I (Beirut: Markaz Dirasat al-Wahdah al-„Arabiyah, 2007), hlm.235.
[13] Ben Nabi, Fenomena al-Qur’an, hlm.91
[14] M. Quraish Shihab, Mukjizat al-Qur’an Ditinjau dari Aspek Kebahasaan,
Isyarat Ilmiah, dan Pemberitaan Ghaib (Bandung: Mizan, 2007), hlm.74-75.
[15] Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas: Tentang Transformasi
Intelektual, terj. Ahsin Mohammad (Bandung: Pustaka, cet. II, 2000), hlm.7.
[16] A. Athaillah, Sejarah al-Qur’an: Verifikasi tentang Otentisitas
al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm.153-168.
[17] M. Abid al-Jabiri, al-DimuqrathiyyahwaHuquqal-Insan(Beirut: Markaz
Dirasat al-Wahdah al-„Arabiyah, 1994), hlm.174.
[18] Moeslim Abdurrahman, Islam sebagai Kritik Sosial (Jakarta: Penerbit
Erlangga, 2003), hlm.114-115.
[19] Thaha Jabir al-‘Ulwani,
LaIkrahafial-Din:Ishkaliyyatal-Riddawaal-MurtaddinminShadr
al-IslamHattaal-Yawm(Kairo: Maktabah al-Shuruq al-Dauliyyah, 2003), hlm.19-20.
[20] Komaruddin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan (Jakarta: Teraju,
2004), hlm.8.
[21] Nasr Hamid Abu Zayd, al-Qur’an, Hermeneutik dan Kekuasaan, terj.
Dede Iswadi, dkk. (Bandung: RQiS, 2003), hlm.95.
[22] Ibid., hlm.101.
[23] Jalaluddin Rakhmat, Dahulukan Akhlak Diatas Fiqih (Bandung: Mizan,
2007), hlm.42.
[24] M. Abid al-Jabiri, Agama, Negara dan Penerapan Syariah, terj.
Mujiburrahman (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2001), hlm.144-145. Syariah
sebenarnya tidaklah sama dengan fiqih, akan tetapi klaim sebagian kalangan yang
mengusung ide penerapan syariah (seharusnya penerapan fiqih) seolah telah
menyamakan fiqih dengan syariah.
[25] Nasr Hamid Abu Zayd, Dawa’iral-Khawf:Qira’ahfiKhithabal-Mar’ah(Beirut:
al-Markaz alThaqafi al-Arabi, 2000), hlm.164-165.
[26] Abbas Mahjub, Ushul al-Fikr al-Tarbawiy fi al-Islam (Damaskus: Dar
Ibn Kathir, 1987), hlm.57-58
[27] Shihab, Menabur Pesan, hlm.337-344. Di sini, ayat-ayat al-Qur‟an
yang terkait dengan tematema itu disebutkan.
[28] Yusuf al-Qaradlawi, al-SunnahMahdaranlial-Ma’rifahwaal-Hadlarah(Kairo: Dar
al-Shuruq, 1997), hlm.7.
[29] ibid., hlm.7-8.
[30] Majid Irsan al-Kailani, Falsafat al-Tarbiyah al-Islamiyyah (Mekah:
Maktabah Hadi, 1988), hlm.67
[31] AbdulHamid AbuSulayman (ed.), Islamization of Knowledge: General
Principles and Work Plan (USA: IIIT, 1989), hlm.5-6.
[32] al-Ghazali, Berdialog, hlm.44-45.
[33] M. Abid al-Jabiri, Takwinal-‘Aqlal-‘Arabiy(Beirut: al-Markaz
al-Thaqafi al-„Arabi, 1991), hlm.96.
[34] Ghazali, Berdialog, hlm.10
[35] Muhammad Shahrur, al-Kitabwaal-Qur’an:Qira’ahMu’ashirah (Damaskus: al-Ahali
li alThiba’ah, 1990), hlm.726-728.
[36] Lihat M. Rashid Ridla, al-Wahyual-Muhammadiy(Mesir: Nahdlah, cet.
VI, 1956), hlm.130, 140-142.
[37] Jamal Badi dan Musthapa Tajdin, Islamic Creative Thinking: Berpikir
Kreatif Berdasarkan Metode Qur’ani, terj. Munir Mun‟im (Bandung: Mizania,
2007), hlm.24-26, 41.
[38] Mahmud Arif, Menyelami Makna Kewahyuan Kitab Suci: Pesan
Transformatif dan Edukatif al-Qur’an untuk Kehidupan (Yogyakarta: Idea Press,
2009), hlm.40.
[39] Asghar Ali Engineer, “Islam, Women, and Gender Justice”, Islamic
Millennium Journal (Vol. I, Number 1, Sept-Nov 2001), hlm.120.
[40] Majid Irsan al-Kailani, Tathawwur Mafhumi al-Nazariyyah al-Tarbawiyyah
al-Islamiyyah (Damaskus: Dar Ibn Kathir, 1987), hlm.34-36.
[41] Hassan Hanafi, “Reconciliation and Preparation of Societies for
Life in Peace”, Islamic Millenium Journal (Vol. I, Number 1, Sept-Nov 2001),
hlm.16-18.
[42] Rahardjo, Paradigma al-Qur’an, hlm.112.
[43] al-Kailani, Falsafat al-Tarbiyah, hlm. 234.
[44] Jalal Muhammad Musa, Manhaj al-Bahth al-‘Ilmi inda al-‘Arab fi Majal
al-‘Ulum alThabi’yyahwaal-Kawniyyah(Beirut: Dar al-Kutub al-Lubnani, 1972),
hlm.23.
[45] Umar Farroukh, ‘Abqariyyat al-‘Arab fi al-‘Ilm wa al-Falsafah
(Beirut: al-Maktabah al‘Ashriyah, 1989), hlm.149.
Comments
Post a Comment