on
asbab nuzul
- Get link
- X
- Other Apps
Dan ingatlah ketika
Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: Sesungguhnya Aku hendak menjadikan
seorang khalifah di muka bumi. Mereka berkata, Apakah Engkau akan menjadi
(khalifah) di muka bumi orang yang akan berbuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memujiMu dan
mensucikanMu? Tuhan berfirman, Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak
kalian ketahui. Dan Dia mengajari Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya.
Kemudian Dia mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman, Sebutkanlah
kepadaku nama-nama benda itu, jika kalian nyata-nyata orang-orang yang benar
(QS. al-Baqarah: 30-31).
Al-Thabathaba’i menuturkan bahwa ayat
tersebut mempunyai kandungan yang spesifik bila dibandingkan ayat-ayat lain
yang membicarakan tentang manusia. Pembicaraan tentang manusia dalam al-Qur’an
dapat dikelompokkan menjadi dua macam: bersifat “struktural” dan bersifat
“fungsional”. Macam yang pertama meliputi pembicaraan mengenai asal kejadian
manusia, unsur yang membentuk dirinya, fase-fase yang dilalui dalam
kejadiannya, dan sebagainya, sedangkan macam yang kedua adalah pembicaraan
mengenai misi dan tugas yang diemban manusia dengan dititahkan hidup di muka
bumi. Ayat tersebut di atas berkaitan dengan pembicaraan manusia yang macam
terakhir ini. Ayat ini menyebutkan bahwa manusia dijadikan khalifah Allah di
bumi. Menurut Fakhruddin al-Razi, ayat tersebut mengungkapkan bagaimana Allah
memuliakan Adam yang sekaligus menjadi karunia agung bagi segenap manusia.[1]
Setidaknya, terdapat dua kecenderungan
penafsiran kata khalifah dalam ayat itu, yakni khalifah diartikan sebagai
pengganti makhluk bumi sebelum manusia dan khalifah dimaknai sebagai wakil yang
menerima mandat Tuhan. Dalam tafsir al-Thabari disebutkan, khalîfah berarti
penghuni yang mendiami bumi dan memakmurkannya sebagai pengganti (makhluk
sebelumnya).[2] Jika direnungkan, maka kedua penafsiran itu
tidak perlu dipertentangkan, karena keduanya bisa dipadukan. Dalam arti, kata
khalifah mempunyai arti “pengganti makhluk bumi sebelum manusia dan penerima
mandat Tuhan di bumi sekaligus”. Hal ini didasarkan pada tanggapan Malaikat
terhadap inisiasi Tuhan menjadikan khalifah, dimana tanggapan itu muncul
didasarkan pada pengalaman Malaikat menyaksikan makhluk penghuni bumi sebelum
manusia yang selalu berbuat kerusakan dan penumpahan darah. Mereka beranggapan
bahwa khalifah di bumi hendaknya orang-orang yang tidak berbuat kerusakan dan
penumpahan darah serta selalu bertasbih dengan memuji dan menyucikan Tuhan.
Karena itu, malaikat menganggap diri mereka pantas menjadi khalifah Tuhan di
bumi. Namun ternyata Tuhan mempunyai rencana lain yang berbeda dengan anggapan
Malaikat tersebut. Khalifah yang diinginkan Tuhan tidak sekedar seperti yang
dikonsepsikan oleh para Malaikat. Selain khalifah di bumi tidak boleh berbuat
kerusakan dan penumpahan darah, ada prasyarat dan tuntutan lain yang tidak
mungkin bisa dipenuhi oleh Malaikat, yakni kondisi sebagai “makhluk bumi” dan
kapabilitas pengetahuan. Dalam hal ini Tuhan tidak menyangkal terhadap
tanggapan malaikat, yang mengisyaratkan arti bahwa dengan telah dijadikannya manusia sebagai khalifah, tidak secara
otomatis tindak kerusakan dan penumpahan darah terhapuskan dari muka bumi.
Mandat sebagai khalifah merupakan bentuk pengakuan teologis terhadap human
dignity (kemuliaan harkat manusia), yang terkandung di dalam pengakuan akan
keunggulan, kebebasan, otonomi, dan tanggungjawab manusia.[3]
Manusia secara potensial adalah khalifah Allah di bumi, akan tetapi ia
mempunyai kebebasan dalam mengaktualisasikannya, apakah ia mau
mengaktualisasikan diri dan menjalani hidup sesuai dengan tugas “primordial”
sebagai khalifah ataukah tidak.
Bertolak dari makna khalifah (pengganti;
mandataris), tanggapan Malaikat, dan pengajaran Adam tentang nama-nama,
setidaknya dapat dikemukakan empat hal pokok berkaitan dengan prasyarat sebagai
khalifah, yakni (1) haruslah “makhluk bumi”, makhluk “kasar” yang membutuhkan
makan, minum, dan kebutuhan biologis lain, (2) tidak berbuat kerusakan di bumi
dan penumpahan darah [terkait erat dengan habl min al-nâs wa al-kawn], (3)
bertasbih dengan memuji dan menyucikan Allah [terkait dengan habl minallâh],
dan (4) berpengetahuan “dinamis”. Prasyarat pertama dapat dipenuhi oleh makhluk
hidup “sebangsa manusia” yang pernah menghuni bumi sebelum manusia; prasyarat
kedua dan ketiga dapat dipenuhi oleh Malaikat, dan keempat prasyarat tersebut
secara potensial hanya dapat dipenuhi oleh Adam/manusia. Oleh karenanya, Tuhan
menjatuhkan pilihan pada Adam (manusia) untuk menjadi khalifahNya di bumi,
sebagaimana terungkap dalam penggalan akhir ayat, “Dia berfirman, Sesungguhnya
Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui”.
Dengan menjadi khalifahNya, manusia memiliki
kedudukan istimewa, yang dalam konsep Iqbal dinamakan dengan mitra Tuhan dalam
mencipta. Semesta alam diciptakanNya “belum sempurna”, manusialah yang ditugasi
memberinya nilai tambah dengan mengubah yang natural menjadi kultural, seperti
tanah liat yang menghasilkan aneka kerajinan, bahan tambang yang diolah menjadi
besi, baja, alumunium, dan lain-lain karena sentuhan kecerdasan kreatifnya. Ini
berarti manusia memiliki potensi yang luar biasa untuk diaktualisasikan dan
dimekarkan sebagai modal dalam membangun “kerajaan” di muka bumi.
Kuatnya pengaruh pemikiran teologi fatalis,
fikih tekstual, dan sufisme teosentris, khazanah pemikiran Islam selama ini
kurang memberi perhatian serius terhadap apresiasi kapabilitas manusia (human
capability). Orientasi perenungan adalah untuk “mengenal” Tuhan, dan orientasi
segala aktivitas adalah untuk “mendekatkan” diri kepadaNya. Di tengah desakan
cara pandang teologis dan sikap hidup asketis, orientasi tersebut acapkali
meredupkan nalar empiris-universal (al-„aql al-kauni), yakni nalar yang menjadikan
semesta alam sebagai medan perenungan dan pembuktian kecerdasan insaniah dalam
rangka mengeksplorasi hukum kealaman dan mendayagunakannya secara produktif
untuk menghasilkan kebudayaan adi luhung yang memajukan kehidupan manusia.
Konsep khalifah justru lebih populer dibahas dalam kerangka wacana politik dan
lebih banyak melahirkan kekuasaan otoriter karena khalifah dipahami sebagai
pemilik kuasa absolut langsung dari Tuhan sehingga ia tidak dituntut
mempertanggungjawabkannya kepada rakyat. Akibatnya, konsep khalifah telah
kehilangan ruh humanistiknya dan ditarik ke arah sakralisasi kuasa absolut.
Antara Kemuliaan dan
Kehinaan Eksistensi Manusia
Demi buah Tin dan zaitun
dan bukit Sinai dan Negeri yang aman ini (Mekah) Sungguh Kami menciptakan
manusia dalam sebaik-baik bentuk Kemudian Kami mengembalikannya kepada
(derajat) yang serendah-rendahnya Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal
saleh, maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya. Maka siapakah (lagi)
sesudah itu yang dapat mendustakan Hari Pembalasan Bukankah Allah seadil-adil
hakim? (QS. Al-Tin: 1 – 8).
Dalam surat ini, Allah mengawalinya dengan
sumpah. Para mufassir melihat adanya hikmah di balik sumpah Tuhan (qasamullâh)
tersebut. Ditinjau dari sisi obyek sumpah, sebagian mufasir berpendapat bahwa
al-tin, al-zaitun, thursinai, dan al-balad al-amin (Mekah) mengandung makna
simbolik yang menunjukkan tempat-tempat istimewa turunnya wahyu Tuhan (mahâbith
wahyillâh), karena di tempat-tempat itulah, yakni Damaskus, Bait al-Maqdis,
gunung Thursina, dan Mekah, Nabi Adam, Nabi Nuh, Nabi Musa, dan Nabi Muhammad
Saw menerima wahyu. Dengan mengutip penafsiran Jamaluddin al-Qasimi, Quraish
Shihab menuliskan bahwa yang dimaksud dengan al-Tin adalah nama pohon tempat
pendiri agama Budha mendapat bimbingan Ilahi. Zaitun adalah sebuah gunung di
Yerussalem tempat Nabi Isa menerima wahyu Ilahi. Thursinai adalah bukit Sinai
tempat Nabi Musa memperoleh wahyu Ilahi, dan al-balad al-amin adalah kota Mekah
yang aman, tempat Nabi Muhammad Saw menerima wahyu pertama kali. [4]
Selanjutnya, ditinjau dari “sesuatu yang
karenanya Tuhan bersumpah” (al-muqsam „alaih), sumpah Tuhan mengandung arti
bahwasanya Dia begitu memuliakan manusia, karena telah menciptakan manusia
dalam sebaik-baik bentuk (fî ahsani al-taqwîm). Namun manusia seringkali lupa
terhadap anugerah keunggulan dan kemuliaan manusia tersebut, sehingga Allah
perlu menegaskannya dengan bersumpah. Salah satu bentuk pemuliaan Allah kepada
manusia adalah dibekalinya manusia dengan fitrah (potensi diri positif) yang,
meminjam istilah Ibnu Taymiah, disebut dengan fitrah ghariziah. Fitrah ini akan
dapat diaktualisasikan dengan baik manakala mampu bersinergi dengan tuntunan
agamaNya, fitrah munazzalah. Dalam konteks ini, orangorang yang beriman dan
beramal saleh merupakan personifikasi sinergi kedua macam fitrah tersebut:
fitrah ghariziah dan fitrah munazzalah, yang bisa menyelamatkan manusia dari
kehinaan diri. Inilah keterkaitan makna antara bagian awal surat dengan bagian
akhirnya.
Jika dicermati pelbagai literatur tafsir,
maka ditemukan adanya perbedaan penafsiran terhadap maksud penggalan ayat fi
ahsan al-taqwim dan asfala sâfilin. Sebagian ahli tafsir memaknainya dengan
“kondisi manusia di waktu usia muda” dan “deklinasi pertumbuhan dan
perkembangan manusia ketika usia senja”. Dengan penafsiran demikian, maka kata
illâ tidak berfungsi istisna‟ (pengecualian), mengingat orang-orang yang
beriman dan beramal saleh pun dimungkinkan mengalami kemerosotan pertumbuhan
dan perkembangan karena usia lanjut. Hanya saja, meski hal itu terjadi,
orangorang yang beriman dan beramal saleh tetap memperoleh curahan pahala dan
kebaikan sebagaimana yang pernah diterimanya ketika usia muda (sehat) dulu.
Usia uzur tidak menyebabkan seseorang
berkurang pahala dan kebaikannya dari amal yang telah secara istiqamah
dilakukan ketika masih usia muda (sehat), kendati usia uzur telah banyak
mengurangi kesanggupan beramalnya. Penafsiran demikian biasanya didasarkan pada
salah satu riwayat yang menerangkan bahwa pernah ada seorang perempuan tua
renta, yang tengah meratapi nasib dan setengah putus asa karena sudah tidak
lagi sanggup menunaikan amal kebaikan sebagaimana ketika usia muda (sehat)
dulu, bertanya kepada Nabi mengenai kemungkinan apakah dirinya bisa masuk
surga. Nabi pun menjawab bahwa ketuarentaan seseorang tidak menjadi penghalang
masuk surga. Setelah mendengar jawaban tersebut, perempuan tua tadi pun merasa
terhibur. Sementara itu, ahli tafsir lain memaknai penggalan ayat fi ahsani
taqwim dengan “keberadaan manusia sebagai manusia dengan beragam potensi diri,
baik jasmaniah, intelektual maupun rohaniah-spiritual”. Penafsiran ini sejalan
dengan penjelasan maksud ayat di atas.
Secara potensial, manusia bisa mencapai
derajat yang setinggi-tingginya dan bisa juga jatuh terjerembab ke derajat yang
serendah-rendahnya. Hal ini sangat bergantung pada sejauhmana kesungguhannya
merawat kemuliaan asali ciptaan Tuhan. Merawat kemuliaan fitrah potensi diri
tersebut perlu disinergikan dengan ketaatan pada ajaran Ilahi dan kesediaan
mengaktualisasikannya kedalam pelbagai bentuk amal kebajikan.
Pengakuan Human Dignity
Dan sesungguhnya telah
Kami muliakan anak cucu Adam, dan Kami angkat mereka di daratan dan lautan, dan
Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka atas
banyak dari siapa yang telah Kami ciptakan, dengan kelebihan yang sempurna (QS.
Al-Isra: 70).
Dalam kata pengantar buku al-„Aql bain
al-Firaq al-Islamiyyah, Prof. Yusuf Jum’ah Salamah Khathib mengemukakan bahwa
anugerah akal budi dan kemampuan menalar dengan baik merupakan sumbu pemuliaan
Allah terhadap manusia. Dengan anugerah ini, manusia berkesiapan untuk
mengemban amanat, melaksanakan tugas kekhalifahan, dan menerima seruanNya.[5]
Selain itu, ia juga mampu memilah dan memilih antara yang benar dan yang salah,
antara petunjuk dan kesesatan, sehingga semua ikhtiar yang dijalankannya tetap
berada dalam koridor kebenaran.
Kata karramna menyiratkan arti bahwa Dia
telah memberikan kemuliaan dan kelebihan internal kepada manusia, suatu
kemuliaan dan kelebihan yang tidak diberikan kepada makhlukNya yang lain.[6]
Di dalam kitab-kitab fiqih disebutkan, lantaran pemuliaan Tuhan tersebutlah,
jenazah manusia kendati ia kafir tetaplah harus dihormati dan dimakamkan dengan
baik. Dalam suatu riwayat disebutkan, ketika jenazah seorang Yahudi diusung
melintas di depan Nabi Saw, beliau pun berhenti sebagai wujud penghormatan,
lalu salah seorang sahabat berkata, “Mengapa engkau berhenti wahai Rasulullah,
bukankah tadi itu jenazah orang Yahudi?”. Beliau menjawab, “Bukankah ia juga
manusia (yang sepantasnya dihormati)”.[7]
Dalam tafsir Mafatih al-Ghaib atau al-Tafsir al-Kabir, Imam Fakhruddin al-Razi
mengemukakan empat jenis keutamaan manusia yang disebutkan pada ayat tadi,
yakni: Kami telah memuliakan manusia, Kami telah memberinya rezeki yang baik,
Kami telah mengangkutnya di darat dan di laut, dan Kami telah melebihkannya di
atas sebagian banyak makhluk.[8]
Ditambahkan oleh Imam al-Razi, secara alamiah, manusia dianugerahi beragam
kelebihan seperti kecerdasan akal, kesempurnaan postur tubuh, dan kemampuan
berbicara, inilah manifestasi takrim (pemuliaan), lalu dengan kelebihan itu, ia
pun mempunyai keunggulan bisa menemukan keyakinan yang benar dan akhlak yang
terpuji, inilah wujud tafdlil (pengutamaan).
Dengan mengutip penafsiran al-Zamakhsyari
dalam kitabnya, alKasysyâf, Abid al-Jabiri mengungkapkan “hal terpikirkan” dari
konsep kelebihan manusia dalam ayat tersebut yang meliputi dua aspek, yaitu
aspek intelektual dan aspek kultural (pembentuk kebudayaan).[9]
Bahkan kelebihan manusia pun, menurut mayoritas mufassir, mengungguli semua
makhluk Tuhan yang lain, termasuk Malaikat, karena ia telah menerima mandat
kekhalifahan (istikhlâf). Dengan pemahaman ini, lanjut al-Jabiri, al-Qur’an
sama sekali tidak pernah memandang secara dualistik-dikotomik antara jiwa dan
raga, sehingga kemuliaan manusia pada dasarnya adalah kemuliaan jiwa dan raga
sekaligus.[10] Dari sini, amat mungkin dirumuskan hak-hak
dasariah manusia (HAM), seperti hak hidup, kebebasan, dan persamaan, yang
lintas etnis, agama, dan budaya, suatu hak dasariah kemanusiaan universal.
Preskripsi ayat tersebut mengandung arti (1) pengakuan terhadap hak-hak asasi
manusia, (2) pengakuan akan kapabilitas dan responsibilitas manusia, dan (3)
pengakuan akan kelebihan manusia dibandingkan dengan makhluk Tuhan yang lain.
Agama diturunkan kepada manusia sejatinya
dimaksudkan untuk melengkapi pemuliaan manusia (takrim al-insân) tersebut,
sehingga tidaklah pada tempatnya jika atasnama agama seseorang dengan gampang
mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan. Agama seharusnya difungsikan untuk
menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan, tidak justru sebaliknya
hanya lantaran berbeda keyakinan agama, antar satu dengan yang lain kemudian
saling bertikai, melukai, atau bahkan saling membunuh, yang mana hal ini
jelas-jelas bertentangan dengan prinsip pemuliaan manusia. Karena begitu
gerahnya terhadap fenomena maraknya kekerasan atasnama agama, sebagian kalangan
lantang menyuarakan agama kemanusiaan, yakni seruan mempertegas jati diri
keberagamaan melalui keberpihakan pada misi kemanusiaan, semisal pengentasaan
kemiskinan, persaudaraan, dan keadilan.
Pendidikan agama diharapkan mempunyai andil
besar dalam menumbuhkan kesadaran diri peserta didik menyangkut “pemuliaan
manusia” (takrim al-insan) tadi agar kelak ia pandai memanusiakan orang lain,
meski berbeda keyakinan, etnis, dan budayanya. Memanusiakan orang lain
merupakan salah satu inti dasar kemuliaan akhlak yang menjadi tolok ukur untuk
penilaian manusia terbaik. Wujud dari sikap pandai memanusiakan orang lain
antara lain dapat dilihat dari kesediaan seseorang mengasihi yang kecil/lemah
dan menghormati yang besar, sebagaimana terungkap dalam sabda Nabi, “Tidaklah
termasuk bagian dari golongan kami, orang yang tidak mengasihi yang kecil dan
tidak menghornati yang besar”. Mengasihi dan menghormati adalah pengejawantahan
memanusiakan sesama, sejalan dengan prinsip Islam sebagai syari‟at al-rahmah,[11]
yaitu tuntunannya memadukan antara kebenaran dan cinta, antara memaafkan dan
bertindak secara makruf. Ini mengandung arti, ide penerapan syariat seharusnya
dipahami sebagai upaya mengaktualisasikan nilai-nilai rahmah dalam kehidupan
nyata dan menjadikannya sebagai prinsip umum untuk menata segala aspek
kehidupan. Karena itu, ketika syariat ditegakkan, maka ia dituntut mampu
menjamin terhadap pemberian kemudahan hidup manusia, pemeliharaan kemaslahatan
publik, dan tiadanya represi atau eksploitasi kepada umat Islam.
Dalam uraiannya mengenai sekelumit akhlak
Nabi Saw, Dr. Ahmad Fakîr menempatkan rahmah pada urutan pertama yang menandai
keluhuran khlak beliau.[12]
Nilai-nilai rahmah diejawantahkan Nabi dalam banyak hal, antara lain:
penghapusan beban tuntutan yang akan memberatkan umat. Hal ini terlihat dari
sikap Nabi menahan diri dari melakukan suatu amalan karena khawatir nanti
diwajibkan bagi umat, dan sikap beliau menahan diri dari menjawab sebagian
permasalahan karena khawatir bisa memberatkan umat.
Mengejawantahkan rahmah dalam pendidikan
setidaknya bisa melalui: tujuan, isi, cara/pendekatan, tindakan, dan
iklim/suasana. Mengejawantahkan melalui tujuan adalah merumuskan tujuan
pendidikan berlandaskan pada nilai kasih sayang. Dengan tujuan semacam ini,
pendidikan tidak lagi mengabdi pada keuntungan material semata karena akan bisa
menghasilkan manusia serakah, konsumtif, dan hedonis. Pendidikan juga tidak
mengajarkan kekerasan baik verbal maupun non verbal karena akan mendorong
timbulnya perilaku tidak santun, anarkhis, atau bahkan sadis. Mengejawantahkan
melalui isi mengandung arti mengintegrasikan nilai-nilai kasih sayang kedalam
muatan materi pendidikan sehingga menjadi bagian dari hal yang dipelajari,
ditanamkan, diresapi, dihayati, dipraktikkan, diamalkan, dan dievaluasi.
Mengejawantahkan melalui cara/pendekatan dapat dimaknai sebagai rangkaian
proses metodis yang menunjang upaya penanaman nilai kasih sayang, baik secara
langsung maupun tidak langsung. Mengejawantahkan melalui tindakan adalah aktualisasi
konkret nilai kasih sayang dalam proses interaksi edukatif, seperti secara
tulus guru membantu peserta didik yang mengalami kesulitan belajar dan
kesediaan saling membatu antar peserta didik dalam proses kegiatan belajar.
Selanjutnya, mengejawantahkan melalui iklim/suasana adalah menciptakan miliu
dan kultur kelas, sekolah, madrasah, PT, keluarga, dan sejenisnya yang kondusif
bagi tumbuh berkembangnya kasih sayang, seperti suasana kekeluargaan, suasana
saling asih, asah, dan asuh, dan suasana kooperatif-kolaboratif.
Kasih sayang (rahmah) merupakan nilai inti
humanisasi (memuliakan dan memanusiakan manusia); kasih sayang juga merupakan
nilai dasar akhlak mulia. Fenomena kekerasan yang mencoreng citra dunia
pendidikan karena terasa kian marak dari hari ke hari adalah indikator kuat
atas redupnya atau bahkan pudarnya nilai kasih sayang dalam menjiwai praktik
pendidikan yang berlangsung di pelbagai institusi. Barangkali nilai kasih
sayang telah tergerus oleh hiruk pikuk persiapan olimpiade sains, kegiatan
proyek anggaran, penambahan penghasilan, kegiatan seremoni, kegiatan persaingan
untuk saling menjatuhkan, dan sebagainya, sehingga praktik pendidikan yang
berlangsung cenderung dehumanistik dan amoral karena tidak lagi “berpusat pada
hati”. Mengingat begitu pentingnya masalah hati, karya-karya pendidikan Islam
klasik memberikan perhatian besar terhadap hal ini. Baik guru maupun peserta
didik, misalnya, diharuskan untuk meluruskan niat; guru diharuskan mampu
mengemban tugas dengan tulus dan penuh kasih sayang; peserta didik diajarkan
untuk memiliki rasa respek terhadap ilmu dan guru; orientasi pendidikan pun
adalah membersihkan hati, selain mencerdaskan akal dan mengasah keterampilan.
Ini adalah sebagian dari penjabaran makna pendidikan berpusat pada hati.
Termasuk kedalam bukti kuat bahwa kasih
sayang menjadi akhlak Nabi Saw adalah (1) beliau menghilangkan beban dan
kesulitan dari umatnya dalam menetapkan taklif syar’i, (2) beliau menghindari
melakukan sesuatu karena khawatir akan diwajibkan bagi umatnya, dan (3) beliau
menolak menjawab sebagian persoalan karena khawatir akan memberatkan umatnya. [13]
Kasih sayang diletakkan pada urutan pertama dari akhlak Nabi Saw yang menunjukkan
begitu jelasnya keberadaan akhlak ini pada perilaku keseharian beliau dan
ajaran Islam yang didakwahkannya. Akhlak kasih sayang mengajarkan “kebajikan
plus” karena dengan akhlak ini kita dituntut untuk mampu lebih bersemangat
membalas kebaikan orang lain secara tulus dan memaafkan kesalahannya secara
legowo.[14]
Dengan memperhatikan bukti kuat akhlak kasih sayang Nabi tersebut, setidaknya
terdapat tiga hal yang bisa diambil pelajaran untuk diteladani, yakni (1)
janganlah kita bersikap egoistik dengan hanya mementingkan diri sendiri dan
abai terhadap kebaikan orang lain terlebih kalangan yang membutuhkan, (2)
janganlah kita mudah menyalahkan, merendahkan, dan menzalimi orang lain, dan
(3) upayakan segala sikap dan perilaku yang kita perbuat bisa memberi manfaat
bagi kehidupan bersama. Tindak kekerasan atasnama agama atau atasnama “sesuatu
yang diagamakan” boleh jadi adalah manifestasi ketidaksanggupan mengapresiasi
akhlak kasih sayang dalam beragama.
Manusia dan Alam sebagai
Ayat Tuhan
Di antara tanda-tanda
kekuasaanNya adalah Ia menciptakan kamu dari tanah, kemudian tiba-tiba kamu
(menjadi) manusia yang berkembang biak (bertebaran). Dan diantara tanda-tanda
kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri,
supaya kamu cenderung (tenang) kepadanya, dan dijadikanNya di antara kamu
mawaddah dan kasih sayang, sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. Dan di antara tandatandaNya
adalah penciptaan langit dan bumi serta perbedaan lidah (bahasa) kamu dan warna
kulit kamu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tandatanda
bagi orang-orang yang mengetahui. Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya adalah
tidur kamu di waktu malam dan siang dan usaha kamu mencari sebagian dari
karuniaNya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat bukti bagi
kaum yang mau mendengarkan (QS. Al-Rum: 20-23).
Dalam buku Min „Ilm al-Nafs al-Qur‟ani, Adnan
Syarif mengemukakan kualifikasi iman yang disebutkan dalam al-Qur’an, yaitu
iman al-fitrah (keimanan yang bersifat naluriah) dan iman al-burhan (keimanan
yang berlandaskan pada bukti ilmiah-rasional). Dalam rangka membina kualitas
keimanan dari iman naluriah menuju iman burhan dibutuhkan tahapan “pembuktian”
untuk penguatan iman melalui: critical mind(akal pikir kritis), knowledgeable
mind (akal pikir yang berpengetahuan luas),dan open mind (akal pikir yang terbuka),
sebagaimana diisyaratkan oleh penggalan akhir ayat: li qawmin yatafakkarun, lil
„alimin, dan li qawmin yasma‟un.
Menurut M. Quraish Shihab, penuturan
al-Qur’an tentang penciptaan manusia meliputi dua macam, yaitu: produksi dan
reproduksi manusia. [15]
Penuturan produksi manusia adalah terkait dengan penciptaan Adam dan Hawa,
sedangkan penuturan reproduksi adalah terkait dengan penciptaan anak keturunan
Adam (bani Adam). Terkait dengan ayat ke-20 tersebut, jika dicermati tampak
kecenderungan yang berbeda antara ahli tafsir terdahulu dengan ahli tafsir
belakangan; kitab-kitab tafsir terdahulu umumnya menafsirkan “penciptaan dari
tanah” pada ayat tersebut dengan produksi manusia, yakni penciptaan Adam,
sedangkan kitab-kitab tafsir belakangan nampak lebih condong menafsirkannya
dengan reproduksi manusia, sehingga maksud
“penciptaan dari tanah” pada ayat tersebut adalah uangkapan alegoris, karena
manusia (bani Adam) tidaklah diciptakan dari tanah secara langsung seperti
halnya pembuatan patung dari tanah liat, melainkan diciptakan dari saripati
tanah yang terserap dalam makanan yang telah dikonsumsi, baik nabati maupun
hewani, yang kemudian menjadi bahan asal bagi pembentukan sel sperma dan sel
telur. Dari sel sperma dan sel telur yang mengalami pembuahan itulah bakal
janin manusia diciptakan.
Terkait dengan kata tantasyirun pada ayat
tersebut, sebagian ahli tafsir mengartikannya dengan berkembang biak, dan
sebagian yang lain mengartikannya dengan bertebaran. Jika diartikan berkembang
biak, maka konotasinya adalah pertumbuhan dan perkembangan populasi manusia,
sedangkan jika diartikan bertebaran, maka konotasinya adalah penyebaran manusia
ke pelbagai penjuru bumi. Dua arti ini bisa tercakup di dalamnya sehingga dari
Adam dan Hawa, manusia terus berkembang biak dan bertebaran di segala penjuru
bumi dengan beragam budaya, etnis, dan bahasa.
Dalam diskursus dialog dan integrasi agama
dan sains di Barat, lahir suatu diskursus teologis baru yang diistilahkan
dengan gagasan Natural Theology, yakni wawasan teologis yang bertolak dari
wawasan antropologis dan kosmologis “ilmiah”, dan wawasan teologis yang
menjiwai wawasan antropologis dan kosmologis. Pada ayat tersebut, internalisasi
nilai keimanan terhadap kekuasaan Tuhan sebagai wawasan teologis diberangkatkan
dari perenungan fenomena manusia, sejarah, dan alam semesta, wawasan
antropologis dan wawasan kosmologis. Artinya, wawasan “teologis” perlu
diasaskan pada wawasan antropologis dan kosmologis, dan demikian sebaliknya.
Karena itu, Ibnu Rusyd mengatakan bahwa bukti (dalil) adanya Allah, sebagaimana
terungkap dalam ayat-ayat tersebut, meliputi dua jenis, yakni: dalil ikhtira‟
dan dalil „inayah. Dalil pertama adalah bukti ciptaan yang terbentang di alam semesta, sedangkan dalil kedua adalah bukti berkenaan
bahwa segala sesuatu diciptakan Tuhan untuk kemaslahatan hidup manusia. Dalam
hal ini, kedudukan manusia ibarat “buah” bagi sebuah pohon, kendati ia muncul
belakangan, akan tetapi keberadaan akar, batang, dahan, ranting, dan daun pohon
adalah demi menghasilkan buah tersebut.
Diciptakannya manusia berpasang-pasangan
(azwaj) mengandung arti akan adanya mutual affinity (saling keterkaitan) antar
pasangan, laki-laki dan perempuan, mengingat antar pasangan secara kodrati
memang saling membutuhkan dan saling melengkapi, sehingga bisa diperoleh
“ketenangan” (litaskunu ilaha). Menurut Husein al-Thabathabai’i, pada
masing-masing pasangan secara biologis dibekali organ reproduksi (jihaz
al-tanasul) yang belum berfungsi sempurna tanpa ditemukan dengan pasangannya,
dan secara psikis dibekali libido seksual yang menuntut pemenuhan dan
menimbulkan ketertarikan pada lawan jenisnya, sehingga terjadilah ketegangan
psikologis. Ketegangan psikologis ini dapat diatasi dengan “pertemuan pasangan”
agar tercipta ketenangan jiwa (sakinah).
Kata khalaqa dan ja‟ala mempunyai aksentuasi
arti yang berbeda; kata khalaqa menekankan arti peranan Tuhan yang sangat
menentukan, meski tanpa menafikan andil manusia, sedangkan kata ja‟ala
menekankan arti pentingnya peranan manusia, tanpa menegasikan peran Tuhan.
Maksudnya, penciptaan berpasang-pasangan sudah menjadi sunah Tuhan, terlepas
dari apakah manusia setuju ataukah tidak, manusia menginginkan atau tidak.
Sementara itu, rasa mawaddah dan rahmah yang dibekalkan Tuhan pada
masing-masing pasangan bisa cepat layu dan pupus sebelum berkembang, lantaran
tidak ada upaya dari manusia (pasangan) bersangkutan untuk mau memupuk dan
membinanya.
Di kalangan mufassirun terdapat perbedaan
penafsiran menyangkut arti kata mawaddah dan rahmah. Sebagian mereka
menafsirkan mawaddah dengan cinta yang disertai hasrat dan keromantisan, dan
rahmah dengan sayang, yaitu rasa kasih yang tanpa disertai adanya “hasrat”.
Dalam kehidupan rumah tangga, pasangan di usia-usia produktif biasanya yang
lebih menonjol adalah rasa mawaddah daripada rahmah-nya, sedangkan pasangan di
usia senja biasanya yang lebih menonjol adalah rasa rahmah daripada rasa
mawaddah-nya. Sebagian mufassirun yang lain, seperti al-Thabathabai’i,
menafsirkan mawaddah dengan rasa cinta yang diaktualisasikan kedalam tindakan
nyata, dan rahmah dengan rasa kasih/sayang yang mendorong orang bersangkutan
melakukan sesuatu yang dibutuhkan oleh/atau bermanfaat bagi orang yang
disayangi. AlThabathabai’i membawa penafsiran mawaddah dan rahmah tersebut
tidak hanya kedalam konteks pilar keharmonian hidup rumah tangga, melainkan
juga kedalam konteks pilar keharmonian hidup bermasyarakat. Pendapat
alThabathaba’i ini cukup berdasar terlebih dikaitkan dengan kecenderungan tata
kehidupan masyarakat yang menjurus pada praktik homo homini lupus, saling
“memangsa” satu sama lain, akibat kian tergerusnya rasa kemanusiaan, semisal:
tenggang rasa, saling asih, asuh, dan asah, sebagaimana dikehendaki oleh
preskripsi ayat tersebut.
Ayat di atas banyak mengajak kita untuk
merenungkan bukti kemahakuasaan Allah yang bisa diungkap dalam “jagat kecil”
(mikrokosmos) dan “jagat besar” (makrokosmos), yakni jagat penciptaan manusia
dan alam semesta, berupa adanya pengaturan dan keteraturan. Dalam hal ini,
relevan disimak apa yang pernah dikemukakan oleh Prof. Kazuo Murakami, seperti
dikutip Dr. Masaru Emoto, bahwa karya alam bukanlah sebuah kebetulan, melainkan
hasil dari rencana induk yang tersembunyi, “Sesuatu yang agung”, Suatu Eksistensi
yang telah menandatangani setiap sel dari sekitar enam puluh miliar sel tubuh kita, dimana masing-masing sel
mengandung informasi genetik yang cukup untuk mengisi ribuan buku setebal
ribuan halaman. “Sesuatu yang agung” inilah yang telah mendatangkan keteraturan
pada alam semesta dan membuatnya tetap bergerak di dalam keteraturan.[16]
Jika jagat kecil dan jagat besar merupakan
cerminan kemahakuasaan dan kemahabenaran Tuhan, maka pendidikan Islam
bertanggungjawab mengasah kepekaan dan kesadaran keilahian anak dengan
memasukkan telaah fenomena empirik insaniah-kealaman kedalam kurikulum
pendidikan dan kegiatan pembelajaran. Dengan demikian, pendidikan Islam tidak
cuma sibuk mengenalkan anak kandungan teks-teks keagamaan secara
normatifreproduktif dan terlepas dari orientasi menautkannya dengan pemahaman
realitas empirik insaniah-kealaman,[17]
sehingga anak kurang terlatih
mengintegrasikan antara cerapan inderawiahnya terhadap realitas empirik dengan
ketajaman analisis ilmiah-rasionalnya karena dominasi rasionalitas tekstual
dalam proses pendidikan yang dialaminya selama ini.
[1] Fakhruddin al-Razi, al-Tafsîr al-Kabîr, jilid I, juz II (Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2009), hlm.146.
[2] Ibnu Jarir al-Thabari, Tafsîr al-Thabari, jilid I (Beirut: Dar
al-Kutub al-„Ilmiyah, 2005), hlm.236.
[3] Bandingkan dengan Musa Asy‟arie, Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam
al-Qur‟an (Yogyakarta: LESFI, 1992), hlm. 139.
[4] M. Quraish Shihab, Dia Dimana-mana: “Tangan” Tuhan di Balik Setiap
Fenomena (Jakarta: Lentera Hati, cet. IX, 2011), hlm.335.
[5] Yusuf Jum‟ah Salamah Khathib, “Kata Pengantar” dalam A.M. Muhammad
Abid, al-„Aql bain al-Firaq al-Islamiyyah Qadiman wa Haditsan (Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyah, 2012), hlm.5-6.
[6] Lihat, M Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan
Keserasian al-Qur‟an, vol. 7 (Jakarta: Lentera Hati, cet. VIII, 2007), hlm.
522.
[7] Zainab Abdus Salam Abu al-Fadl, „Inâyat al-Qur‟ân bi Huqûq al-Insân, juz II
(Kairo: Dar alHadits, 2008), hlm.172.
[8] Fakhruddin al-Razi, al-Tafsir al-Kabir, jilid XI, (Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiah, 2009), hlm.10.
[9] M. Abid al-Jabiri, al-Dimuqrathiyyah wa Huquq al-Insan (Beirut:
Markaz Dirasat al-Wahdah al„Arabiyyah, 1994), hlm. 202.
[10] Ibid., hlm.206.
[11] Sa‟id al-„Asymawi, Jauhar al-Islâm (Beirut: al-Intisyâr al-„Arabi,
2004), hlm.28-29.
[12] Ahmad Fakîr, Qabasun min al-Akhlâq al-Nabawiyah (Kairo: Dar
al-Salam, 2007), hlm.29-30
[13] Ibid., hlm.33.
[14] M. Jawwad Mughniyah, Falsafat al-Akhlâq fi al-Islâm (Ttp: Mu‟asasat
Dar al-Kitab al-Islami, 2007), hal.244.
[15] M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur‟an: Tafsir Maudhu‟i atas Pelbagai
Persoalan Umat (Bandung: Mizan, cet. IX, 1999), hlm. 280.
[16] Masaru Emoto, The Secret Life of Water: Menguak Rahasia Mengapa Air
Dapat Menyembuhkan, terj. Susi Purwoko (Jakarta: Gramedia Pustaka, 2006), hlm.
112-113.
[17] Lihat misalnya, Mahmud Arif, Pendidikan Islam Transformatif
(Yogyakarta: LKiS, 2008), hlm
Comments
Post a Comment