SERI TAFSIR TARBAWI: KEUNGGULAN DAN KEMULIAAN MANUSIA

 


KEUNGGULAN DAN KEMULIAAN MANUSIA

Dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi. Mereka berkata, Apakah Engkau akan menjadi (khalifah) di muka bumi orang yang akan berbuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memujiMu dan mensucikanMu? Tuhan berfirman, Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui. Dan Dia mengajari Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya. Kemudian Dia mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman, Sebutkanlah kepadaku nama-nama benda itu, jika kalian nyata-nyata orang-orang yang benar (QS. al-Baqarah: 30-31).

Al-Thabathaba’i menuturkan bahwa ayat tersebut mempunyai kandungan yang spesifik bila dibandingkan ayat-ayat lain yang membicarakan tentang manusia. Pembicaraan tentang manusia dalam al-Qur’an dapat dikelompokkan menjadi dua macam: bersifat “struktural” dan bersifat “fungsional”. Macam yang pertama meliputi pembicaraan mengenai asal kejadian manusia, unsur yang membentuk dirinya, fase-fase yang dilalui dalam kejadiannya, dan sebagainya, sedangkan macam yang kedua adalah pembicaraan mengenai misi dan tugas yang diemban manusia dengan dititahkan hidup di muka bumi. Ayat tersebut di atas berkaitan dengan pembicaraan manusia yang macam terakhir ini. Ayat ini menyebutkan bahwa manusia dijadikan khalifah Allah di bumi. Menurut Fakhruddin al-Razi, ayat tersebut mengungkapkan bagaimana Allah memuliakan Adam yang sekaligus menjadi karunia agung bagi segenap manusia.[1]

Setidaknya, terdapat dua kecenderungan penafsiran kata khalifah dalam ayat itu, yakni khalifah diartikan sebagai pengganti makhluk bumi sebelum manusia dan khalifah dimaknai sebagai wakil yang menerima mandat Tuhan. Dalam tafsir al-Thabari disebutkan, khalîfah berarti penghuni yang mendiami bumi dan memakmurkannya sebagai pengganti (makhluk sebelumnya).[2]  Jika direnungkan, maka kedua penafsiran itu tidak perlu dipertentangkan, karena keduanya bisa dipadukan. Dalam arti, kata khalifah mempunyai arti “pengganti makhluk bumi sebelum manusia dan penerima mandat Tuhan di bumi sekaligus”. Hal ini didasarkan pada tanggapan Malaikat terhadap inisiasi Tuhan menjadikan khalifah, dimana tanggapan itu muncul didasarkan pada pengalaman Malaikat menyaksikan makhluk penghuni bumi sebelum manusia yang selalu berbuat kerusakan dan penumpahan darah. Mereka beranggapan bahwa khalifah di bumi hendaknya orang-orang yang tidak berbuat kerusakan dan penumpahan darah serta selalu bertasbih dengan memuji dan menyucikan Tuhan. Karena itu, malaikat menganggap diri mereka pantas menjadi khalifah Tuhan di bumi. Namun ternyata Tuhan mempunyai rencana lain yang berbeda dengan anggapan Malaikat tersebut. Khalifah yang diinginkan Tuhan tidak sekedar seperti yang dikonsepsikan oleh para Malaikat. Selain khalifah di bumi tidak boleh berbuat kerusakan dan penumpahan darah, ada prasyarat dan tuntutan lain yang tidak mungkin bisa dipenuhi oleh Malaikat, yakni kondisi sebagai “makhluk bumi” dan kapabilitas pengetahuan. Dalam hal ini Tuhan tidak menyangkal terhadap tanggapan malaikat, yang mengisyaratkan arti bahwa dengan telah dijadikannya manusia sebagai khalifah, tidak secara otomatis tindak kerusakan dan penumpahan darah terhapuskan dari muka bumi. Mandat sebagai khalifah merupakan bentuk pengakuan teologis terhadap human dignity (kemuliaan harkat manusia), yang terkandung di dalam pengakuan akan keunggulan, kebebasan, otonomi, dan tanggungjawab manusia.[3] Manusia secara potensial adalah khalifah Allah di bumi, akan tetapi ia mempunyai kebebasan dalam mengaktualisasikannya, apakah ia mau mengaktualisasikan diri dan menjalani hidup sesuai dengan tugas “primordial” sebagai khalifah ataukah tidak.

Bertolak dari makna khalifah (pengganti; mandataris), tanggapan Malaikat, dan pengajaran Adam tentang nama-nama, setidaknya dapat dikemukakan empat hal pokok berkaitan dengan prasyarat sebagai khalifah, yakni (1) haruslah “makhluk bumi”, makhluk “kasar” yang membutuhkan makan, minum, dan kebutuhan biologis lain, (2) tidak berbuat kerusakan di bumi dan penumpahan darah [terkait erat dengan habl min al-nâs wa al-kawn], (3) bertasbih dengan memuji dan menyucikan Allah [terkait dengan habl minallâh], dan (4) berpengetahuan “dinamis”. Prasyarat pertama dapat dipenuhi oleh makhluk hidup “sebangsa manusia” yang pernah menghuni bumi sebelum manusia; prasyarat kedua dan ketiga dapat dipenuhi oleh Malaikat, dan keempat prasyarat tersebut secara potensial hanya dapat dipenuhi oleh Adam/manusia. Oleh karenanya, Tuhan menjatuhkan pilihan pada Adam (manusia) untuk menjadi khalifahNya di bumi, sebagaimana terungkap dalam penggalan akhir ayat, “Dia berfirman, Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui”.

Dengan menjadi khalifahNya, manusia memiliki kedudukan istimewa, yang dalam konsep Iqbal dinamakan dengan mitra Tuhan dalam mencipta. Semesta alam diciptakanNya “belum sempurna”, manusialah yang ditugasi memberinya nilai tambah dengan mengubah yang natural menjadi kultural, seperti tanah liat yang menghasilkan aneka kerajinan, bahan tambang yang diolah menjadi besi, baja, alumunium, dan lain-lain karena sentuhan kecerdasan kreatifnya. Ini berarti manusia memiliki potensi yang luar biasa untuk diaktualisasikan dan dimekarkan sebagai modal dalam membangun “kerajaan” di muka bumi.

Kuatnya pengaruh pemikiran teologi fatalis, fikih tekstual, dan sufisme teosentris, khazanah pemikiran Islam selama ini kurang memberi perhatian serius terhadap apresiasi kapabilitas manusia (human capability). Orientasi perenungan adalah untuk “mengenal” Tuhan, dan orientasi segala aktivitas adalah untuk “mendekatkan” diri kepadaNya. Di tengah desakan cara pandang teologis dan sikap hidup asketis, orientasi tersebut acapkali meredupkan nalar empiris-universal (al-„aql al-kauni), yakni nalar yang menjadikan semesta alam sebagai medan perenungan dan pembuktian kecerdasan insaniah dalam rangka mengeksplorasi hukum kealaman dan mendayagunakannya secara produktif untuk menghasilkan kebudayaan adi luhung yang memajukan kehidupan manusia. Konsep khalifah justru lebih populer dibahas dalam kerangka wacana politik dan lebih banyak melahirkan kekuasaan otoriter karena khalifah dipahami sebagai pemilik kuasa absolut langsung dari Tuhan sehingga ia tidak dituntut mempertanggungjawabkannya kepada rakyat. Akibatnya, konsep khalifah telah kehilangan ruh humanistiknya dan ditarik ke arah sakralisasi kuasa absolut.

Antara Kemuliaan dan Kehinaan Eksistensi Manusia

Demi buah Tin dan zaitun dan bukit Sinai dan Negeri yang aman ini (Mekah) Sungguh Kami menciptakan manusia dalam sebaik-baik bentuk Kemudian Kami mengembalikannya kepada (derajat) yang serendah-rendahnya Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh, maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya. Maka siapakah (lagi) sesudah itu yang dapat mendustakan Hari Pembalasan Bukankah Allah seadil-adil hakim? (QS. Al-Tin: 1 – 8).

Dalam surat ini, Allah mengawalinya dengan sumpah. Para mufassir melihat adanya hikmah di balik sumpah Tuhan (qasamullâh) tersebut. Ditinjau dari sisi obyek sumpah, sebagian mufasir berpendapat bahwa al-tin, al-zaitun, thursinai, dan al-balad al-amin (Mekah) mengandung makna simbolik yang menunjukkan tempat-tempat istimewa turunnya wahyu Tuhan (mahâbith wahyillâh), karena di tempat-tempat itulah, yakni Damaskus, Bait al-Maqdis, gunung Thursina, dan Mekah, Nabi Adam, Nabi Nuh, Nabi Musa, dan Nabi Muhammad Saw menerima wahyu. Dengan mengutip penafsiran Jamaluddin al-Qasimi, Quraish Shihab menuliskan bahwa yang dimaksud dengan al-Tin adalah nama pohon tempat pendiri agama Budha mendapat bimbingan Ilahi. Zaitun adalah sebuah gunung di Yerussalem tempat Nabi Isa menerima wahyu Ilahi. Thursinai adalah bukit Sinai tempat Nabi Musa memperoleh wahyu Ilahi, dan al-balad al-amin adalah kota Mekah yang aman, tempat Nabi Muhammad Saw menerima wahyu pertama kali. [4]

Selanjutnya, ditinjau dari “sesuatu yang karenanya Tuhan bersumpah” (al-muqsam „alaih), sumpah Tuhan mengandung arti bahwasanya Dia begitu memuliakan manusia, karena telah menciptakan manusia dalam sebaik-baik bentuk (fî ahsani al-taqwîm). Namun manusia seringkali lupa terhadap anugerah keunggulan dan kemuliaan manusia tersebut, sehingga Allah perlu menegaskannya dengan bersumpah. Salah satu bentuk pemuliaan Allah kepada manusia adalah dibekalinya manusia dengan fitrah (potensi diri positif) yang, meminjam istilah Ibnu Taymiah, disebut dengan fitrah ghariziah. Fitrah ini akan dapat diaktualisasikan dengan baik manakala mampu bersinergi dengan tuntunan agamaNya, fitrah munazzalah. Dalam konteks ini, orangorang yang beriman dan beramal saleh merupakan personifikasi sinergi kedua macam fitrah tersebut: fitrah ghariziah dan fitrah munazzalah, yang bisa menyelamatkan manusia dari kehinaan diri. Inilah keterkaitan makna antara bagian awal surat dengan bagian akhirnya.

Jika dicermati pelbagai literatur tafsir, maka ditemukan adanya perbedaan penafsiran terhadap maksud penggalan ayat fi ahsan al-taqwim dan asfala sâfilin. Sebagian ahli tafsir memaknainya dengan “kondisi manusia di waktu usia muda” dan “deklinasi pertumbuhan dan perkembangan manusia ketika usia senja”. Dengan penafsiran demikian, maka kata illâ tidak berfungsi istisna‟ (pengecualian), mengingat orang-orang yang beriman dan beramal saleh pun dimungkinkan mengalami kemerosotan pertumbuhan dan perkembangan karena usia lanjut. Hanya saja, meski hal itu terjadi, orangorang yang beriman dan beramal saleh tetap memperoleh curahan pahala dan kebaikan sebagaimana yang pernah diterimanya ketika usia muda (sehat) dulu.

Usia uzur tidak menyebabkan seseorang berkurang pahala dan kebaikannya dari amal yang telah secara istiqamah dilakukan ketika masih usia muda (sehat), kendati usia uzur telah banyak mengurangi kesanggupan beramalnya. Penafsiran demikian biasanya didasarkan pada salah satu riwayat yang menerangkan bahwa pernah ada seorang perempuan tua renta, yang tengah meratapi nasib dan setengah putus asa karena sudah tidak lagi sanggup menunaikan amal kebaikan sebagaimana ketika usia muda (sehat) dulu, bertanya kepada Nabi mengenai kemungkinan apakah dirinya bisa masuk surga. Nabi pun menjawab bahwa ketuarentaan seseorang tidak menjadi penghalang masuk surga. Setelah mendengar jawaban tersebut, perempuan tua tadi pun merasa terhibur. Sementara itu, ahli tafsir lain memaknai penggalan ayat fi ahsani taqwim dengan “keberadaan manusia sebagai manusia dengan beragam potensi diri, baik jasmaniah, intelektual maupun rohaniah-spiritual”. Penafsiran ini sejalan dengan penjelasan maksud ayat di atas.

Secara potensial, manusia bisa mencapai derajat yang setinggi-tingginya dan bisa juga jatuh terjerembab ke derajat yang serendah-rendahnya. Hal ini sangat bergantung pada sejauhmana kesungguhannya merawat kemuliaan asali ciptaan Tuhan. Merawat kemuliaan fitrah potensi diri tersebut perlu disinergikan dengan ketaatan pada ajaran Ilahi dan kesediaan mengaktualisasikannya kedalam pelbagai bentuk amal kebajikan.

Pengakuan Human Dignity

Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak cucu Adam, dan Kami angkat mereka di daratan dan lautan, dan Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka atas banyak dari siapa yang telah Kami ciptakan, dengan kelebihan yang sempurna (QS. Al-Isra: 70).

Dalam kata pengantar buku al-„Aql bain al-Firaq al-Islamiyyah, Prof. Yusuf Jum’ah Salamah Khathib mengemukakan bahwa anugerah akal budi dan kemampuan menalar dengan baik merupakan sumbu pemuliaan Allah terhadap manusia. Dengan anugerah ini, manusia berkesiapan untuk mengemban amanat, melaksanakan tugas kekhalifahan, dan menerima seruanNya.[5] Selain itu, ia juga mampu memilah dan memilih antara yang benar dan yang salah, antara petunjuk dan kesesatan, sehingga semua ikhtiar yang dijalankannya tetap berada dalam koridor kebenaran.

Kata karramna menyiratkan arti bahwa Dia telah memberikan kemuliaan dan kelebihan internal kepada manusia, suatu kemuliaan dan kelebihan yang tidak diberikan kepada makhlukNya yang lain.[6] Di dalam kitab-kitab fiqih disebutkan, lantaran pemuliaan Tuhan tersebutlah, jenazah manusia kendati ia kafir tetaplah harus dihormati dan dimakamkan dengan baik. Dalam suatu riwayat disebutkan, ketika jenazah seorang Yahudi diusung melintas di depan Nabi Saw, beliau pun berhenti sebagai wujud penghormatan, lalu salah seorang sahabat berkata, “Mengapa engkau berhenti wahai Rasulullah, bukankah tadi itu jenazah orang Yahudi?”. Beliau menjawab, “Bukankah ia juga manusia (yang sepantasnya dihormati)”.[7] Dalam tafsir Mafatih al-Ghaib atau al-Tafsir al-Kabir, Imam Fakhruddin al-Razi mengemukakan empat jenis keutamaan manusia yang disebutkan pada ayat tadi, yakni: Kami telah memuliakan manusia, Kami telah memberinya rezeki yang baik, Kami telah mengangkutnya di darat dan di laut, dan Kami telah melebihkannya di atas sebagian banyak makhluk.[8] Ditambahkan oleh Imam al-Razi, secara alamiah, manusia dianugerahi beragam kelebihan seperti kecerdasan akal, kesempurnaan postur tubuh, dan kemampuan berbicara, inilah manifestasi takrim (pemuliaan), lalu dengan kelebihan itu, ia pun mempunyai keunggulan bisa menemukan keyakinan yang benar dan akhlak yang terpuji, inilah wujud tafdlil (pengutamaan).

Dengan mengutip penafsiran al-Zamakhsyari dalam kitabnya, alKasysyâf, Abid al-Jabiri mengungkapkan “hal terpikirkan” dari konsep kelebihan manusia dalam ayat tersebut yang meliputi dua aspek, yaitu aspek intelektual dan aspek kultural (pembentuk kebudayaan).[9] Bahkan kelebihan manusia pun, menurut mayoritas mufassir, mengungguli semua makhluk Tuhan yang lain, termasuk Malaikat, karena ia telah menerima mandat kekhalifahan (istikhlâf). Dengan pemahaman ini, lanjut al-Jabiri, al-Qur’an sama sekali tidak pernah memandang secara dualistik-dikotomik antara jiwa dan raga, sehingga kemuliaan manusia pada dasarnya adalah kemuliaan jiwa dan raga sekaligus.[10]  Dari sini, amat mungkin dirumuskan hak-hak dasariah manusia (HAM), seperti hak hidup, kebebasan, dan persamaan, yang lintas etnis, agama, dan budaya, suatu hak dasariah kemanusiaan universal. Preskripsi ayat tersebut mengandung arti (1) pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia, (2) pengakuan akan kapabilitas dan responsibilitas manusia, dan (3) pengakuan akan kelebihan manusia dibandingkan dengan makhluk Tuhan yang lain.

Agama diturunkan kepada manusia sejatinya dimaksudkan untuk melengkapi pemuliaan manusia (takrim al-insân) tersebut, sehingga tidaklah pada tempatnya jika atasnama agama seseorang dengan gampang mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan. Agama seharusnya difungsikan untuk menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan, tidak justru sebaliknya hanya lantaran berbeda keyakinan agama, antar satu dengan yang lain kemudian saling bertikai, melukai, atau bahkan saling membunuh, yang mana hal ini jelas-jelas bertentangan dengan prinsip pemuliaan manusia. Karena begitu gerahnya terhadap fenomena maraknya kekerasan atasnama agama, sebagian kalangan lantang menyuarakan agama kemanusiaan, yakni seruan mempertegas jati diri keberagamaan melalui keberpihakan pada misi kemanusiaan, semisal pengentasaan kemiskinan, persaudaraan, dan keadilan.

Pendidikan agama diharapkan mempunyai andil besar dalam menumbuhkan kesadaran diri peserta didik menyangkut “pemuliaan manusia” (takrim al-insan) tadi agar kelak ia pandai memanusiakan orang lain, meski berbeda keyakinan, etnis, dan budayanya. Memanusiakan orang lain merupakan salah satu inti dasar kemuliaan akhlak yang menjadi tolok ukur untuk penilaian manusia terbaik. Wujud dari sikap pandai memanusiakan orang lain antara lain dapat dilihat dari kesediaan seseorang mengasihi yang kecil/lemah dan menghormati yang besar, sebagaimana terungkap dalam sabda Nabi, “Tidaklah termasuk bagian dari golongan kami, orang yang tidak mengasihi yang kecil dan tidak menghornati yang besar”. Mengasihi dan menghormati adalah pengejawantahan memanusiakan sesama, sejalan dengan prinsip Islam sebagai syari‟at al-rahmah,[11] yaitu tuntunannya memadukan antara kebenaran dan cinta, antara memaafkan dan bertindak secara makruf. Ini mengandung arti, ide penerapan syariat seharusnya dipahami sebagai upaya mengaktualisasikan nilai-nilai rahmah dalam kehidupan nyata dan menjadikannya sebagai prinsip umum untuk menata segala aspek kehidupan. Karena itu, ketika syariat ditegakkan, maka ia dituntut mampu menjamin terhadap pemberian kemudahan hidup manusia, pemeliharaan kemaslahatan publik, dan tiadanya represi atau eksploitasi kepada umat Islam.

Dalam uraiannya mengenai sekelumit akhlak Nabi Saw, Dr. Ahmad Fakîr menempatkan rahmah pada urutan pertama yang menandai keluhuran khlak beliau.[12] Nilai-nilai rahmah diejawantahkan Nabi dalam banyak hal, antara lain: penghapusan beban tuntutan yang akan memberatkan umat. Hal ini terlihat dari sikap Nabi menahan diri dari melakukan suatu amalan karena khawatir nanti diwajibkan bagi umat, dan sikap beliau menahan diri dari menjawab sebagian permasalahan karena khawatir bisa memberatkan umat.

Mengejawantahkan rahmah dalam pendidikan setidaknya bisa melalui: tujuan, isi, cara/pendekatan, tindakan, dan iklim/suasana. Mengejawantahkan melalui tujuan adalah merumuskan tujuan pendidikan berlandaskan pada nilai kasih sayang. Dengan tujuan semacam ini, pendidikan tidak lagi mengabdi pada keuntungan material semata karena akan bisa menghasilkan manusia serakah, konsumtif, dan hedonis. Pendidikan juga tidak mengajarkan kekerasan baik verbal maupun non verbal karena akan mendorong timbulnya perilaku tidak santun, anarkhis, atau bahkan sadis. Mengejawantahkan melalui isi mengandung arti mengintegrasikan nilai-nilai kasih sayang kedalam muatan materi pendidikan sehingga menjadi bagian dari hal yang dipelajari, ditanamkan, diresapi, dihayati, dipraktikkan, diamalkan, dan dievaluasi. Mengejawantahkan melalui cara/pendekatan dapat dimaknai sebagai rangkaian proses metodis yang menunjang upaya penanaman nilai kasih sayang, baik secara langsung maupun tidak langsung. Mengejawantahkan melalui tindakan adalah aktualisasi konkret nilai kasih sayang dalam proses interaksi edukatif, seperti secara tulus guru membantu peserta didik yang mengalami kesulitan belajar dan kesediaan saling membatu antar peserta didik dalam proses kegiatan belajar. Selanjutnya, mengejawantahkan melalui iklim/suasana adalah menciptakan miliu dan kultur kelas, sekolah, madrasah, PT, keluarga, dan sejenisnya yang kondusif bagi tumbuh berkembangnya kasih sayang, seperti suasana kekeluargaan, suasana saling asih, asah, dan asuh, dan suasana kooperatif-kolaboratif.

Kasih sayang (rahmah) merupakan nilai inti humanisasi (memuliakan dan memanusiakan manusia); kasih sayang juga merupakan nilai dasar akhlak mulia. Fenomena kekerasan yang mencoreng citra dunia pendidikan karena terasa kian marak dari hari ke hari adalah indikator kuat atas redupnya atau bahkan pudarnya nilai kasih sayang dalam menjiwai praktik pendidikan yang berlangsung di pelbagai institusi. Barangkali nilai kasih sayang telah tergerus oleh hiruk pikuk persiapan olimpiade sains, kegiatan proyek anggaran, penambahan penghasilan, kegiatan seremoni, kegiatan persaingan untuk saling menjatuhkan, dan sebagainya, sehingga praktik pendidikan yang berlangsung cenderung dehumanistik dan amoral karena tidak lagi “berpusat pada hati”. Mengingat begitu pentingnya masalah hati, karya-karya pendidikan Islam klasik memberikan perhatian besar terhadap hal ini. Baik guru maupun peserta didik, misalnya, diharuskan untuk meluruskan niat; guru diharuskan mampu mengemban tugas dengan tulus dan penuh kasih sayang; peserta didik diajarkan untuk memiliki rasa respek terhadap ilmu dan guru; orientasi pendidikan pun adalah membersihkan hati, selain mencerdaskan akal dan mengasah keterampilan. Ini adalah sebagian dari penjabaran makna pendidikan berpusat pada hati.

Termasuk kedalam bukti kuat bahwa kasih sayang menjadi akhlak Nabi Saw adalah (1) beliau menghilangkan beban dan kesulitan dari umatnya dalam menetapkan taklif syar’i, (2) beliau menghindari melakukan sesuatu karena khawatir akan diwajibkan bagi umatnya, dan (3) beliau menolak menjawab sebagian persoalan karena khawatir akan memberatkan umatnya. [13] Kasih sayang diletakkan pada urutan pertama dari akhlak Nabi Saw yang menunjukkan begitu jelasnya keberadaan akhlak ini pada perilaku keseharian beliau dan ajaran Islam yang didakwahkannya. Akhlak kasih sayang mengajarkan “kebajikan plus” karena dengan akhlak ini kita dituntut untuk mampu lebih bersemangat membalas kebaikan orang lain secara tulus dan memaafkan kesalahannya secara legowo.[14] Dengan memperhatikan bukti kuat akhlak kasih sayang Nabi tersebut, setidaknya terdapat tiga hal yang bisa diambil pelajaran untuk diteladani, yakni (1) janganlah kita bersikap egoistik dengan hanya mementingkan diri sendiri dan abai terhadap kebaikan orang lain terlebih kalangan yang membutuhkan, (2) janganlah kita mudah menyalahkan, merendahkan, dan menzalimi orang lain, dan (3) upayakan segala sikap dan perilaku yang kita perbuat bisa memberi manfaat bagi kehidupan bersama. Tindak kekerasan atasnama agama atau atasnama “sesuatu yang diagamakan” boleh jadi adalah manifestasi ketidaksanggupan mengapresiasi akhlak kasih sayang dalam beragama.

Manusia dan Alam sebagai Ayat Tuhan

Di antara tanda-tanda kekuasaanNya adalah Ia menciptakan kamu dari tanah, kemudian tiba-tiba kamu (menjadi) manusia yang berkembang biak (bertebaran). Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung (tenang) kepadanya, dan dijadikanNya di antara kamu mawaddah dan kasih sayang, sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. Dan di antara tandatandaNya adalah penciptaan langit dan bumi serta perbedaan lidah (bahasa) kamu dan warna kulit kamu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tandatanda bagi orang-orang yang mengetahui. Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya adalah tidur kamu di waktu malam dan siang dan usaha kamu mencari sebagian dari karuniaNya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat bukti bagi kaum yang mau mendengarkan (QS. Al-Rum: 20-23).

Dalam buku Min „Ilm al-Nafs al-Qur‟ani, Adnan Syarif mengemukakan kualifikasi iman yang disebutkan dalam al-Qur’an, yaitu iman al-fitrah (keimanan yang bersifat naluriah) dan iman al-burhan (keimanan yang berlandaskan pada bukti ilmiah-rasional). Dalam rangka membina kualitas keimanan dari iman naluriah menuju iman burhan dibutuhkan tahapan “pembuktian” untuk penguatan iman melalui: critical mind(akal pikir kritis), knowledgeable mind (akal pikir yang berpengetahuan luas),dan open mind (akal pikir yang terbuka), sebagaimana diisyaratkan oleh penggalan akhir ayat: li qawmin yatafakkarun, lil „alimin, dan li qawmin yasma‟un.

Menurut M. Quraish Shihab, penuturan al-Qur’an tentang penciptaan manusia meliputi dua macam, yaitu: produksi dan reproduksi manusia. [15] Penuturan produksi manusia adalah terkait dengan penciptaan Adam dan Hawa, sedangkan penuturan reproduksi adalah terkait dengan penciptaan anak keturunan Adam (bani Adam). Terkait dengan ayat ke-20 tersebut, jika dicermati tampak kecenderungan yang berbeda antara ahli tafsir terdahulu dengan ahli tafsir belakangan; kitab-kitab tafsir terdahulu umumnya menafsirkan “penciptaan dari tanah” pada ayat tersebut dengan produksi manusia, yakni penciptaan Adam, sedangkan kitab-kitab tafsir belakangan nampak lebih condong menafsirkannya dengan reproduksi manusia, sehingga maksud “penciptaan dari tanah” pada ayat tersebut adalah uangkapan alegoris, karena manusia (bani Adam) tidaklah diciptakan dari tanah secara langsung seperti halnya pembuatan patung dari tanah liat, melainkan diciptakan dari saripati tanah yang terserap dalam makanan yang telah dikonsumsi, baik nabati maupun hewani, yang kemudian menjadi bahan asal bagi pembentukan sel sperma dan sel telur. Dari sel sperma dan sel telur yang mengalami pembuahan itulah bakal janin manusia diciptakan.

Terkait dengan kata tantasyirun pada ayat tersebut, sebagian ahli tafsir mengartikannya dengan berkembang biak, dan sebagian yang lain mengartikannya dengan bertebaran. Jika diartikan berkembang biak, maka konotasinya adalah pertumbuhan dan perkembangan populasi manusia, sedangkan jika diartikan bertebaran, maka konotasinya adalah penyebaran manusia ke pelbagai penjuru bumi. Dua arti ini bisa tercakup di dalamnya sehingga dari Adam dan Hawa, manusia terus berkembang biak dan bertebaran di segala penjuru bumi dengan beragam budaya, etnis, dan bahasa.

Dalam diskursus dialog dan integrasi agama dan sains di Barat, lahir suatu diskursus teologis baru yang diistilahkan dengan gagasan Natural Theology, yakni wawasan teologis yang bertolak dari wawasan antropologis dan kosmologis “ilmiah”, dan wawasan teologis yang menjiwai wawasan antropologis dan kosmologis. Pada ayat tersebut, internalisasi nilai keimanan terhadap kekuasaan Tuhan sebagai wawasan teologis diberangkatkan dari perenungan fenomena manusia, sejarah, dan alam semesta, wawasan antropologis dan wawasan kosmologis. Artinya, wawasan “teologis” perlu diasaskan pada wawasan antropologis dan kosmologis, dan demikian sebaliknya. Karena itu, Ibnu Rusyd mengatakan bahwa bukti (dalil) adanya Allah, sebagaimana terungkap dalam ayat-ayat tersebut, meliputi dua jenis, yakni: dalil ikhtira‟ dan dalil „inayah. Dalil pertama adalah bukti ciptaan yang terbentang di alam semesta, sedangkan dalil kedua adalah bukti berkenaan bahwa segala sesuatu diciptakan Tuhan untuk kemaslahatan hidup manusia. Dalam hal ini, kedudukan manusia ibarat “buah” bagi sebuah pohon, kendati ia muncul belakangan, akan tetapi keberadaan akar, batang, dahan, ranting, dan daun pohon adalah demi menghasilkan buah tersebut.

Diciptakannya manusia berpasang-pasangan (azwaj) mengandung arti akan adanya mutual affinity (saling keterkaitan) antar pasangan, laki-laki dan perempuan, mengingat antar pasangan secara kodrati memang saling membutuhkan dan saling melengkapi, sehingga bisa diperoleh “ketenangan” (litaskunu ilaha). Menurut Husein al-Thabathabai’i, pada masing-masing pasangan secara biologis dibekali organ reproduksi (jihaz al-tanasul) yang belum berfungsi sempurna tanpa ditemukan dengan pasangannya, dan secara psikis dibekali libido seksual yang menuntut pemenuhan dan menimbulkan ketertarikan pada lawan jenisnya, sehingga terjadilah ketegangan psikologis. Ketegangan psikologis ini dapat diatasi dengan “pertemuan pasangan” agar tercipta ketenangan jiwa (sakinah).

Kata khalaqa dan ja‟ala mempunyai aksentuasi arti yang berbeda; kata khalaqa menekankan arti peranan Tuhan yang sangat menentukan, meski tanpa menafikan andil manusia, sedangkan kata ja‟ala menekankan arti pentingnya peranan manusia, tanpa menegasikan peran Tuhan. Maksudnya, penciptaan berpasang-pasangan sudah menjadi sunah Tuhan, terlepas dari apakah manusia setuju ataukah tidak, manusia menginginkan atau tidak. Sementara itu, rasa mawaddah dan rahmah yang dibekalkan Tuhan pada masing-masing pasangan bisa cepat layu dan pupus sebelum berkembang, lantaran tidak ada upaya dari manusia (pasangan) bersangkutan untuk mau memupuk dan membinanya.

Di kalangan mufassirun terdapat perbedaan penafsiran menyangkut arti kata mawaddah dan rahmah. Sebagian mereka menafsirkan mawaddah dengan cinta yang disertai hasrat dan keromantisan, dan rahmah dengan sayang, yaitu rasa kasih yang tanpa disertai adanya “hasrat”. Dalam kehidupan rumah tangga, pasangan di usia-usia produktif biasanya yang lebih menonjol adalah rasa mawaddah daripada rahmah-nya, sedangkan pasangan di usia senja biasanya yang lebih menonjol adalah rasa rahmah daripada rasa mawaddah-nya. Sebagian mufassirun yang lain, seperti al-Thabathabai’i, menafsirkan mawaddah dengan rasa cinta yang diaktualisasikan kedalam tindakan nyata, dan rahmah dengan rasa kasih/sayang yang mendorong orang bersangkutan melakukan sesuatu yang dibutuhkan oleh/atau bermanfaat bagi orang yang disayangi. AlThabathabai’i membawa penafsiran mawaddah dan rahmah tersebut tidak hanya kedalam konteks pilar keharmonian hidup rumah tangga, melainkan juga kedalam konteks pilar keharmonian hidup bermasyarakat. Pendapat alThabathaba’i ini cukup berdasar terlebih dikaitkan dengan kecenderungan tata kehidupan masyarakat yang menjurus pada praktik homo homini lupus, saling “memangsa” satu sama lain, akibat kian tergerusnya rasa kemanusiaan, semisal: tenggang rasa, saling asih, asuh, dan asah, sebagaimana dikehendaki oleh preskripsi ayat tersebut.

Ayat di atas banyak mengajak kita untuk merenungkan bukti kemahakuasaan Allah yang bisa diungkap dalam “jagat kecil” (mikrokosmos) dan “jagat besar” (makrokosmos), yakni jagat penciptaan manusia dan alam semesta, berupa adanya pengaturan dan keteraturan. Dalam hal ini, relevan disimak apa yang pernah dikemukakan oleh Prof. Kazuo Murakami, seperti dikutip Dr. Masaru Emoto, bahwa karya alam bukanlah sebuah kebetulan, melainkan hasil dari rencana induk yang tersembunyi, “Sesuatu yang agung”, Suatu Eksistensi yang telah menandatangani setiap sel dari sekitar enam puluh miliar sel tubuh kita, dimana masing-masing sel mengandung informasi genetik yang cukup untuk mengisi ribuan buku setebal ribuan halaman. “Sesuatu yang agung” inilah yang telah mendatangkan keteraturan pada alam semesta dan membuatnya tetap bergerak di dalam keteraturan.[16]

Jika jagat kecil dan jagat besar merupakan cerminan kemahakuasaan dan kemahabenaran Tuhan, maka pendidikan Islam bertanggungjawab mengasah kepekaan dan kesadaran keilahian anak dengan memasukkan telaah fenomena empirik insaniah-kealaman kedalam kurikulum pendidikan dan kegiatan pembelajaran. Dengan demikian, pendidikan Islam tidak cuma sibuk mengenalkan anak kandungan teks-teks keagamaan secara normatifreproduktif dan terlepas dari orientasi menautkannya dengan pemahaman realitas empirik insaniah-kealaman,[17]  sehingga anak kurang terlatih mengintegrasikan antara cerapan inderawiahnya terhadap realitas empirik dengan ketajaman analisis ilmiah-rasionalnya karena dominasi rasionalitas tekstual dalam proses pendidikan yang dialaminya selama ini.



[1] Fakhruddin al-Razi, al-Tafsîr al-Kabîr, jilid I, juz II (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2009), hlm.146.

[2] Ibnu Jarir al-Thabari, Tafsîr al-Thabari, jilid I (Beirut: Dar al-Kutub al-„Ilmiyah, 2005), hlm.236.

[3] Bandingkan dengan Musa Asy‟arie, Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam al-Qur‟an (Yogyakarta: LESFI, 1992), hlm. 139.

[4] M. Quraish Shihab, Dia Dimana-mana: “Tangan” Tuhan di Balik Setiap Fenomena (Jakarta: Lentera Hati, cet. IX, 2011), hlm.335.

[5] Yusuf Jum‟ah Salamah Khathib, “Kata Pengantar” dalam A.M. Muhammad Abid, al-„Aql bain al-Firaq al-Islamiyyah Qadiman wa Haditsan (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2012), hlm.5-6.

[6] Lihat, M Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟an, vol. 7 (Jakarta: Lentera Hati, cet. VIII, 2007), hlm. 522.

[7] Zainab Abdus Salam Abu al-Fadl, „Inâyat al-Qur‟ân bi Huqûq al-Insân, juz II (Kairo: Dar alHadits, 2008), hlm.172.

[8] Fakhruddin al-Razi, al-Tafsir al-Kabir, jilid XI, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 2009), hlm.10.

[9] M. Abid al-Jabiri, al-Dimuqrathiyyah wa Huquq al-Insan (Beirut: Markaz Dirasat al-Wahdah al„Arabiyyah, 1994), hlm. 202.

[10] Ibid., hlm.206.

[11] Sa‟id al-„Asymawi, Jauhar al-Islâm (Beirut: al-Intisyâr al-„Arabi, 2004), hlm.28-29.

[12] Ahmad Fakîr, Qabasun min al-Akhlâq al-Nabawiyah (Kairo: Dar al-Salam, 2007), hlm.29-30

[13] Ibid., hlm.33.

[14] M. Jawwad Mughniyah, Falsafat al-Akhlâq fi al-Islâm (Ttp: Mu‟asasat Dar al-Kitab al-Islami, 2007), hal.244.

[15] M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur‟an: Tafsir Maudhu‟i atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, cet. IX, 1999), hlm. 280.

[16] Masaru Emoto, The Secret Life of Water: Menguak Rahasia Mengapa Air Dapat Menyembuhkan, terj. Susi Purwoko (Jakarta: Gramedia Pustaka, 2006), hlm. 112-113.

[17] Lihat misalnya, Mahmud Arif, Pendidikan Islam Transformatif (Yogyakarta: LKiS, 2008), hlm

Comments