SERI TAFSIR TARBAWI: URGENSI BELAJAR UNTUK PENINGKATAN KUALITAS HIDUP

 



A.      Membaca Ayat Membaca Alam

َ Artinya: Bacalah dengan menyebut asma Tuhanmu yang telah menciptakan Dia telah menciptakan manusia dari ‘alaq Bacalah dan Tuhanmu yang Maha Pemurah Yang mengajari dengan pena Mengajari manusia sesuatu yang belum ia ketahui (QS. Al-Alaq: 1 – 5).

Ayat ke-1

 Iqra’ mengandung arti pembacaan refleksif, tidak sekedar melihat dengan mata kepala dan mendengar dengan telinga. Ini menjadi modal pertama yang perlu dimiliki oleh Nabi Muhammad untuk mengemban misi risalah (misi profetik). Dengan “membaca” realitas sosial, budaya dan keagamaan masyarakat saat itu, Nabi bisa mengetahui permasalahan yang dihadapi kaumnya, mengenali faktor penyebabnya, dan memberikan solusi pemecahannya yang tepat. Pembacaan refleksif menuntut seseorang untuk peka dan responsif terhadap permasalahan lingkungan, baik sosial, budaya, keagamaan, maupun alam. Di samping itu, Dengan menyebut asma Tuhan(rabb)mu berisi tuntunan untuk selektif dalam membaca dan aksentuasi pada pesan dan pengenalan rubûbiyyah Tuhan. Ditekankannya dimensi rubûbiyyah, pertama, dimaksudkan untuk mengkonter cara pandang teologis Deistik, yakni pengakuan akan keberadaan Tuhan Sang Pencipta alam semesta, namun selesai menciptakan Dia tidak lagi campurtangan terhadap perjalanan alam semesta; Dia membiarkan alam semesta sepenuhnya berjalan secara otomatis-mekanistis. Dalam konteks ini, berhala-berhala yang dipertuhankan dan dipuja tidak hanya diyakini sebagai perantara ke Tuhan, melainkan juga dipandang sebagai sekutu bagiNya yang mengatur jalannya kehidupan manusia. Kedua, pentingnya pengenalan Allah melalui sifat (nama) dan tindakanNya yang terpancar dalam pagelaran semesta alam.

Kata iqra’ mengisyaratkan arti bahwa pengetahuan itu pada intinya diperoleh secara hushûli, yaitu diperoleh melalui proses belajar, eksperimentasi, dan penelitian. Kata qirâ’ah (akar kata iqra’) mengandung arti pembacaan, penelaahan, pengkajian, dan perenungan terhadap “kitab penciptaan” (kitâb alkhalq) dan “apa yang ditulis oleh pena”, atau terhadap ayat qawliyyah dan ayat kawniyyah. Pengertian ini lebih luas cakupan maknanya dibandingkan dengan kata tilâwah (akar kata utlu) yang hanya mengandung arti pembacaan terhadap kitab suci atau sesuatu yang pasti benarnya. Ayat ini sekaligus berisi tuntunan agar kita bersedia mengkaji “jejak-jejak” Tuhan dalam alam semesta ciptaanNya, yang menurut istilah Whitehead, dinamai dengan consequent nature Tuhan. Memang dalam sebuah hadis dinyatakan “renungkanlah ciptaan Allah, dan jangan kamu renungkan zatNya”. Konsep tentang Tuhan, sebagaimana dikemukakan oleh Whitehead yang menjadi tokoh Filsafat Proses, dapat dilihat dari dua sisi: Tuhan dalam artian Primordial nature dan Tuhan dalam artian Consequent nature. Dalam artian pertama, Zat Tuhan bersifat tetap dan tidak berubah, sedangkan dalam artian kedua, sifat-sifatNya yang termanifestasikan dalam pagelaran alam semesta bersifat dinamis dan terus berkembang.

Relasi manusia terhadap alam semesta meliputi tiga macam, yakni (1) relasi untuk direnungkan dan diambil pelajaran, (2) relasi untuk dikelola dan dimanfaatkan, dan (3) relasi spiritual-estetis yang berarti manusia perlu melestarikan apa yang ada di alam semesta ini karena ia telah disediakan oleh Allah untuk manusia.[1] Terkait dengan pesan ayat, salah satu hal yang bisa dijabarkan dari relasi tersebut adalah bahwa alam semesta selain berfungsi untuk menopang kelangsungan hidup manusia, ia juga berfungsi untuk memajukan pengetahuan manusia karena di dalamnya terkandung perbendaharaan yang luar biasa kaya dari Ilmu Tuhan yang telah menciptakan dan mengaturnya.

Jamal Badi dan Mustapha Tajdin dalam buku Islamic Creative Thinking: Berpikir Kreatif Berdasarkan Metode Qur’ani menyebutkan dua ciri aspek intelektual ke-i’jâz-an al-Qur‟an, yaitu (1) menyeru pada ihsân untuk segala perbuatan kita dalam hidup ini, yang mengandung arti tanggungjawab kita melakukan sesuatu dengan benar, sempurna, dan baik sehingga harus kompetitif dalam setiap pekerjaan, dan (2) perintah al-Qur‟an untuk membaca, iqra’, yang berarti pengetahuan.[2] Melalui “membaca”, pengenalan Tuhan akan senantiasa “dinamis” karena terus menerus mengalami pemekaran dan perkembangan seiring kian bertambahnya wawasan pengetahuan seseorang. Jika dibawa kedalam konteks realitas masyarakat berbasis pengetahuan dewasa ini, maka seruan al-Qur‟an tersebut terasa amat krusial bagi kemajuan umat. Sebab, “membaca” adalah pintu gerbang pengetahuan, sedangkan pengetahuan adalah basis keunggulan kompetitif masyarakat. Tak heran jika bangsa kita yang memiliki aneka keunggulan komparatif, seperti kekayaan sumber daya alam dan jumlah penduduk yang besar, belum juga mampu mengungguli bangsa-bangsa lain yang telah lebih dulu maju karena masih rendahnya keunggulan kompetitif yang dimilikinya. Dalam hal ini, terbukti keunggulan komparatif saja tidak cukup menjadi syarat suatu bangsa tampil sebagai pemenang sekiranya tanpa didukung dengan keunggulan kompetitif. Pendidikan merupakan determinan pencapaian keunggulan kompetitif, sehingga ia semestinya menjadi prioritas utama bagi bangsa manapun yang menginginkan keberhasilan dalam membangun keunggulan kompetitifnya.[3]

Ayat ke-2

 Dalam ayat ini, secara khusus disebutkan obyek dari kata khalaqa yang pada ayat sebelumnya tidak disebutkan. Menurut sebagian ahli tafsir, hal ini mengindikasikan keistimewaan manusia di antara segala sesuatu yang telah diciptakanNya. Keistimewaan manusia dapat dilihat dari sisi “ditundukkannya” apa yang ada di langit dan di bumi untuk siap dikelola demi pemenuhan kepentingan hidup manusia; dari sisi potensi manusia, untuk bisa menjadi makhlukNya yang terunggul, kendati dilihat dari asal kejadian mengandung “unsur tanah” yang tidak jauh berbeda dibandingkan dengan asal kejadian makhluk hidup lainnya. Penegasan tentang asal kejadian manusia yang sama, siapa pun dia tanpa pandang bulu dan strata sosial, menyiratkan arti ajaran persamaan dan kesamaan manusia. Dengan penegasan ini, paham tauhid yang memperkenalkan dimensi rubûbiyyah Allah dalam wahyu pertama ini tidak sekedar bercorak teologis, akan tetapi juga memiliki implikasi sosiologis, yaitu pengakuan akan kesamaan dan kesederajatan manusia. Jika manusia bersedia merenungkan asal kejadiannya, maka sikap lupa diri yang disebabkan status, kekayaan dan sejenisnya akan bisa dihindari karena menyadari bahwa diri manusia dahulunya bukanlah “apa-apa” dan semua berasal dari kejadian yang sama.

Selain itu, penyebutan manusia diciptakan dari ‘alaq juga mengandung arti salah satu fase kejadian manusia, yaitu fase dalam kandungan (pre natal). Pada minggu-minggu pertama kehamilan, otak manusia sebagai organ vital, misalnya, mengalami perkembangan luar biasa. Setiap hari diproduksi 250. 000 sel saraf yang belum matang.[4]  Perkembangan organ otak tersebut besar pengaruhnya terhadap potensi manusia, sehingga bisa jauh mengungguli makhluk lainnya. Di saat janin manusia dalam periode ‘alaq, ia sedemikian tengah berada dalam kondisi yang begitu riskan namun sekaligus amat penting bagi sejarah hidupnya mendatang.

Menurut embriologi, proses kejadian manusia terbagi dalam tiga periode:

1. Periode ovum yang dimulai dari fertilisasi (pembuahan) karena adanya pertemuan antara sel kelamin ayah (sperma) dengan sel telur (ovum), yang kedua intinya bersatu dan membentuk struktur atau zat baru yang disebut zygote. Setelah fertilisasi berlangsung, zygote membelah menjadi dua, empat, delapan, enam belas sel, dan seterusnya. Selama pembelahan ini, zygote bergerak menuju ke kantong kehamilan, kemudian melekat dan akhirnya masuk ke dinding rahim. Peristiwa ini dikenal dengan nama implantasi.

2. Periode embrio, yaitu periode pembentukan organ-organ. Terkadang organ tidak terbentuk dengan sempurna atau sama sekali tidak terbentuk, misalnya jika hasil pembelahan zygote tidak bergantung atau berdempet pada dinding rahim. Ini dapat mengakibatkan keguguran atau kelahiran dengan cacat bawaan.

 3. Periode foetus, yaitu periode perkembangan dan penyempurnaan dari organ-organ tadi, dengan perkembangan yang amat cepat dan berakhir pada waktu kelahiran. Dalam salah satu tulisan mengenai seri keajaiban al-Qur‟an, “Pembungkusan Tulang oleh Otot”, sebagaimana terungkap dalam firman Allah (...kemudian Kami bungkus tulang-tulang itu dengan daging [QS. Al-Mukminun: 14]), diterangkan bahwa dalam mingguketujuh, rangka mulai tersebar keseluruh tubuh dan tulang-tulang mencapai bentuknya yang kita kenal. Pada akhir minggu ketujuh dan selama minggu kedelapan, otot-otot menempati posisinya di sekeliling bentukan tulang. Jadi, sangatlah sesuai apa yang diinformasikan alQur‟an tersebut dengan temuan ilmiah embriologi mutakhir.[5]

Kata al-'alaq yang oleh sebagian mufassir dimaknai segumpal darah beku mengandung pertentangan dengan hasil penyelidikan ilmiah. Karena periode ovum, dimana fase al-'alaq berlangsung, terdiri atas ekstoderm, endoderm, dan rongga amnion, yang terdapat di dalamnya cairan amnion. Unsur-unsur ini tidak mengandung komponen darah.[6]

Ayat ke-3

 Perintah membaca diulangi lagi di sini untuk menegaskan perintah sebelumnya. Sebagian mufassir memahami pengulangan tersebut sebagai isyarat betapa pentingnya arti membaca dan pembacaan yang dilakukan berulang-ulang akan tetap membuahkan hasil yang berguna karena memang Tuhan Maha Pemurah yang memberi tanpa batas. Selama kegiatan membaca dilakukan, maka pengetahuan akan terus berkembang tanpa mengenal batas. Secara potensial, manusia telah dibekali dengan beragam kemampuan yang memungkinkannya untuk “membaca”, sehingga menghasilkan aneka pengetahuan dan kemajuan budaya yang pada gilirannya akan mempengaruhi aktualitas potensi manusia tadi. Di sinilah kemudian, etos membaca bisa melahirkan etos keilmuan dan kemajuan budaya suatu bangsa; apa yang “dibaca”, bagaimana cara “membaca”, dan apa tujuan “membaca” berpengaruh besar terhadap proses dan produk budaya masyarakat. Itusebabnya, perintah membaca dibarengi dengan bismi rabbik, sebagai upaya “islamisasi” kegiatan membaca, yakni kegiatan membaca yang diorientasikan untuk mengenal dan mengagungkan asmaNya.

Ayat ke-4

Pena (al-qalam) mengandung arti segala hal yang berfungsi untuk mendokumentasikan hasil pengetahuan dari membaca. Tentu saja, wujud “pena” mengalami perubahan dan perkembangan dari waktu ke waktu, dari yang amat sederhana hingga yang canggih bentuknya. Dengan pena itu, capaian pengetahuan dapat ditransmisikan dan ditransformasikan dari satu kawasan ke kawasan lain, dari satu generasi ke generasi berikutnya, sehingga memungkinkan terjadinya pengembangan ilmu pengetahuan karena pengetahuan tidak selalu bermula dari nol. Buah pemikiran seseorang yang masih berada di benak (alam ide) setelah dituangkan dalam tulisan, kemudian dibaca banyak orang ternyata mampu memunculkan aksi sosial. Ini berarti melalui pena, sesuatu yang semula abstrak karena masih di benak (alam ide) menjadi begitu konkret dan memiliki kekuatan mengubah. Bahkan tak jarang, pena lebih tajam daripada pedang karena kekuatan/pengaruh yang ditimbulkan terasa lebih dahsyat.

Ayat ke-5 Ayat ini mengungkapkan bahwa pengetahuan manusia bukanlah pengetahuan statis seperti pengetahuan naluriah yang dimiliki binatang, melainkan pengetahuan yang sangat dinamis. Perubahan dan perkembangan pengetahuan manusia bisa berasal dari capaian pengetahuan sebelumnya yang terdokumentasikan lewat pena, dan bisa bersumber dari shifting paradigm yang sama sekali berlawanan dengan khasanah pengetahuan sebelumnya. MenurutImam al-Ghazali, jalur pemerolehan pengetahuan bagi manusia itu meliputi dua macam: (1) al-Ta’allum al-Insâni (proses belajar) dan (2) al-Ta’lĩm al-Rabbâni (pengajaran Ilahi). Dalam jalur pemerolehan yang pertama, pengetahuan diraih melalui proses belajar, meneliti, uji coba, diskusi dan sejenisnya. Jenis pengetahuan demikian dinamai dengan pengetahuan yang “diperoleh” (acquired knowledge). Sementara itu, dalam jalur pemerolehan kedua, pengetahuan yang dimiliki seseorang bersifat presensial (intuitif), tidak melalui cerapan inderawi atau penalaran rasional lagi. Jenis pengetahuan ini ibarat pengetahuan badîhi (aksiomatik dan tanpa memerlukan proses penalaran) yang hadir di saat potensi rohaniah manusia tercerahkan karena pancaran cahaya Ilahi. Ini tidak berarti jenis pengetahuan tersebut irrasional sehingga tidak memadai bila dipegangi. Al-Ghazali memberikan ilustrasi tentang dua jenis jalur pemerolehan pengetahuan tersebut dengan ibarat air dalam sebuah mata air yang bisa berasal dari aliran saluran air dari hulu dan bisa berasal dari sumber mata air dari dalam tanah.

Agar pengakuan akan adanya dua jalur pemerolehan pengetahuan dan dua jenis pengetahuan tidak menghilangkan etos belajar dan keilmuan, maka perlu dilihat kedua jalur dan jenis pengetahuan tersebut dalam hubungan sekuensial, yakni jalur pemerolehan pengetahuan yang pertama dan jenis pengetahuan yang pertama (‘ilm hushûli) menjadi prasyarat bagi pencapaian jenis pengetahuan yang kedua. Selain itu, “peran” Tuhan dalam kegiatan belajar seseorang tidak hanya pada pemberian bekal potensi diri, melainkan juga pada pemberian taufiq (pertolongan), sehingga do‟a dan keta‟atan diri dalam hal ini diyakini secara spiritual mempunyai pengaruh positif bagi keberhasilan belajar seseorang. Menurut al-Ghazali, salah satu argumen yang dapat dikemukakan berkaitan dengan kemungkinan diperolehnya pengetahuan laduni adalah pemerolehan pengetahuan yang benar melalui mimpi (ru’ya shâdiqah). Jika dalam kondisi tidak terjaga seseorang bisa mendapatkan pengetahuan yang benar, maka sewaktu terjaga tentunya hal ini sangat dimungkinkan.

Teori belajar Barat tidak banyak menyinggung peran Tuhan. Dalam pandangan teori Barat, keberhasilan belajar dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal adalah kondisi fisik-psikologis seseorang, semisal: fungsi penglihatan, motivasi, dan kecerdasan, sedangkan faktor eksternal adalah unsur-unsur lingkungan di luar diri subyek bersangkutan yang mempengaruhi aktivitas belajarnya, seperti: ruang kelas, media belajar, dan guru. Secara eksplisit tidak diungkapkan taufiq Tuhan sebagai bagian dari faktor yang mempengaruhi keberhasilan belajar seseorang. Memang terdapat kesulitan tersendiri untuk memberikan eksplanasi ilmiah mengenai hal ini, terlebih apabila bertolak hanya dari asumsi dasar positivistik. Preskripsi Qs. al„Alaq tersebut mengisyaratkan cara pandang yang berbeda dengan teori belajar Barat yang sepenuhnya “empiris-humanistik”. Selain cara pandang empiris-humanistik, preskripsi ayat melengkapinya lagi dengan wawasan etistransendental, yakni kesadaran moral-keilahian. Karena itu, sewajarnya ketika pernah mengalami kesulitan dalam menuntut ilmu dan menjalani pelbagai aktivitas belajar, al-Syafi‟i diberi nasihat oleh sang guru untuk bersungguhsungguh meningggalkan dosa dan kemaksiatan. Pengalaman ini terekam dalam bait syair beliau, “Aku pernah mengadu dan berkonsultasi ke guruku Waki‟ mengenai kesulitan belajar dalam menuntut ilmu yang kualami, lalu beliau memberiku nasihat agar aku mau bersungguh-sungguh meninggalkan kemaksiatan”.

B.      Etos Ilmu dan Masyarakat Belajar

Tidak sepantasnya orang-orang mukmin itu pergi berperang semuanya; hendaknya berangkat berperang (berjihad) dari tiap-tiap golongan sekelompok orang, agar (yang lain) mendalami agama dan memberi peringatan kepada mereka sekembalinya dari berperang, supaya mereka waspada (terhadap azab Tuhan) (QS. al-Taubah: 122).

Ayat ini termasuk dari sekian ayat yang berbicara mengenai jihad. Dalam ayat ini ditegaskan, kewajiban untuk menuntut ilmu dan tafaqquh fi aldîn tidak boleh terabaikan lantaran adanya perintah untuk berjihad. Alasannya, jihad itu seharusnya bertumpu pada ilmu dan penyebaran Islam juga bersandar pada kesanggupan mendakwahkan Islam melalui bukti yang logisrasional, ilmiah dan argumentatif. Dengan demikian, manifestasi jihad melalui “berperang” hanyalah berfungsi protektif-defensif, yaitu bertujuan untuk melindungi dan mempertahankan Islam dari ancaman dan serangan musuh, bertujuan membela korban kesewenang-wenangan dan penindasan, sedangkan menuntut ilmu dan tafaqquh fi al-dîn berfungsi promoting (mengangkat dan memajukan) Islam. Dalam suatu kesempatan Mohammed Arkoun pernah mengemukakan, fenomena Islam dicitrakan seram, menakutkan, senang dengan tindak kekerasan, atau bahkan sarang teroris, erat terkait dengan kecenderungan sebagian umat Islam untuk mendengungkan semangat jihad, namun tidak dibarengi dengan semangat ijitihad. Akibatnya, modal utama dalam berjihad adalah keberanian dan sentimen keagamaan, tanpa prestasi kultural-intelektual. Padahal sekiranya, semangat ijtihad juga digelorakan, komitmen keagamaan yang kuat sebagaimana terwujud dalam “jihad” akan melahirkan banyak sikap dan tindakan cerdas, arif, kreatif dan progresif, yang pada gilirannya mampu membangun citra Islam sebagai agama peradaban.

Terkait dengan perintah berjihad yang kemudian banyak dimaknai sebagai perintah berperang memang dianut oleh banyak mufassir. Mereka berpendapat bahwa perintah Tuhan untuk berdamai dengan orang-orang kafir adalah sebelum perintah memerangi mereka. Perintah berdamai dengan orang-orang kafir yang disebutkan dalam 114 ayat dalam berbagai surat dinilai telah dihapuskan oleh QS al-Taubah: 5 dan al-Baqarah: 216 yang mewajibkan untuk berperang.[7]  Mengutip pendapat Dr. Jeffrey Lang, seorang muslim Amerika dan profesor matematika di Universitas Kansas, Jalaluddin Rakhmat memandang penilaian tadi sebagai rentan kritik dan simplistik karena sama halnya dengan mengakui adanya pertentangan dalam al-Qur‟an, sehingga untuk merekonsiliasikannya ayat yang satu diklaim telah dihapuskan oleh ayat yang lain. Atas dasar ini, “tampaklah berlebihan jika penghapusan (pembatalan) perintah hidup dengan damai bersama orang-orang kafir diulang dalam setiap bacaan al-Qur‟an”.[8]

Ayat tersebut mengandung pesan sosial untuk membangun learning society (masyarakat belajar), yakni masyarakat yang menjadikan “belajar” sebagai inti (core) kegiatan sosial. Di tengah kesibukan kegiatan bisnis, misalnya, mereka masih menyediakan waktu untuk kajian-kajian rutin keagamaan. Ayat ini sekaligus juga mengandung pesan sosial untuk membangun religious and critical society (masyarakat agamis dan kritis), mengingat orientasi kegiatan “belajar” (menuntut ilmu dan tafaqquh fi al-dîn) adalah transformasi sosial menuju tatanan masyarakat yang memiliki kesadaran beragama yang kritis, seperti ditunjukkan oleh ayat “...memberi peringatan kepada mereka, supaya mereka waspada”.

C.      Pentingnya Ilmu, Amal, dan Keistiqamahan diri

Apabila manusia ditimpa kesulitan, maka ia memohon kepada Tuhannya seraya kembali kepadaNya, kemudian apabila Dia memberinya kenikmatan, maka manusia pun lalai kepada Tuhan atas permohonan sebelumnya, dan ia pun menjadikan sekutusekutu bagi Allah untuk menyesatkan dari jalanNya; katakanlah, bersenang-senanglah kamu dengan kekufuranmu untuk sementara waktu, karena sesungguhnya kamu termasuk penghuni neraka. Apakah orang yang taat di waktu-waktu malam sambil sujud dan berdiri (menegakkan shalat), takut terhadap siksa akhirat, dan mengharap kasih sayang Tuhannya (sama dengan orang yang durhaka); katakanlah, apakah sama orang-orang yang mengetahui dan orang-orang yang tidak mengetahui; sesungguhnya hanyalah orang-orang berakal budi sehat yang bisa menerima pelajaran (QS. alZumar: 8 – 9).

Dalam ayat 8, Allah menuturkan karakteristik keberagamaan orang kafir yang inkonsisten, yakni ia bersungguh-sungguh dalam beragama dan bertuhan ketika berada dalam kesulitan hidup, melupakan agama dan Tuhan ketika telah meraih kelapangan, dan menjadikan sekutu bagi Allah. Model beragama demikian berarti memposisikan agama dan Tuhan pada posisi “instrumental”, menjadikan agama sebagai “alat” yang hanya dibutuhkan sewaktu tujuan belum dicapai, atau agama hanyalah semacam “siasat” hidup demi pencapaian kepentingan pribadi, bukan sebagai metamotivation (dorongan luhur) dalam hidup. Dalam kaitan ini, ada relevansinya dengan sindiran ayat tersebut, pendapat sebagian pemikir Barat yang menganggap agama sebagai candu (opium) masyarakat, karena agama hanya diperlukan oleh orang-orang yang didera derita hidup, atau orang-orang lemah, sebagai cara untuk “mengurangi” penderitaan, pelipur lara, dengan menumbuhkanharapan akan meraih kesenangan dan kebahagian di hari Akhir nanti. Agama yang mengabarkan adanya kebahagian akhirat bagi orang yang tabah menjalani ujian hidup ibarat “angin surga” agar orang yang mempercayainya bersikap nrimo, tidak berputus asa. Jadi, beragama dan bertuhan adalah simbol ketidakberdayaan. Secara tegas Sigmund Freud, tokoh Psikoanalisa, mengatakan, “ide tentang Tuhan muncul dalam pikiran manusia ketika masih lemah dan tidak mampu berpikir rasional serta tidak mampu menghadapi tantangan lingkungan alam secara rasional. Tuhan kemudian tercipta dalam pikiran manusia sebagai proyeksi dari kelemahan, keterbatasan, dan kesengsaraan manusia sendiri ketika menghadapi alam lingkungan”. [9] Roger Garaudy, seorang filsuf Perancis yang memeluk Islam, mengemukakan tiga kondisi di mana agama bisa menjadi opium dan faktor pembius bagi individu dan masyarakat, yaitu: (1) ketika orang beragama percaya bahwa arah menuju Tuhan menuntut untuk lari dari problema-problema kehidupan dan konflikkonflik sejarah; (2) ketika manusia mencari Tuhan dalam keadaan lemah, bodoh, dan goncang; dan (3) ketika agama mengambil bentuk ideologis atau aliran resmi (sekte) yang eksklusif.[10]

Ayat 9 berisi penuturan karakteristik orang mukmin yang senantiasa taat (qânit) kepada Tuhan dengan beribadah di waktu-waktu malam, takut terhadap siksa akhirat, dan mengharap kasih sayang Tuhan. Selain itu, ayat ini juga memperbandingkan kedudukan dua kelompok: kelompok orang kafir yang inkonsisten dalam beragama dan kelompok orang mukmin yang teguh dan konsisten. Jawabannya jelas, tidak sama. Demikian halnya, tidak sama antara orang-orang yang mengetahui (berilmu) dengan orang-orang yang tidak mengetahui. Lalu, bagian akhir ayat menggarisbawahi bahwasannyahanya ulul albâb yang bisa mengambil pelajaran dari hal tersebut. Makna mengambil pelajaran di sini adalah kesanggupan melakukan refleksi dan aksi, sehingga ulul albâb merupakan representasi orang-orang yang mampu memadukan sosok qânit (kaya amal kebaikan) dan sosok ‘âlim (luas wawasan pengetahuan). Relevan dengan ini, terdapat pepatah yang mengatakan, “pengalaman adalah guru yang terbaik”, artinya sesuatu yang pernah terjadi pada diri seseorang lalu ia bisa mengambil hikmah darinya sebagai pijakan dalam melangkah ke depan dan memperbaiki diri merupakan pemandu menuju kebaikan hidup. Kehidupan nyata tidaklah sebatas rangkaian peristiwa tanpa makna, melainkan konteks pembelajaran diri yang tidak berkesudahan dan momen berbuat kebaikan.

Ditilik dari sisi pembinaan karakter, kandungan isi ayat tersebut menekankan pentingnya kesungguhan dan konsistensi diri, mengingat sikap inilah yang menjadi ciri pembeda antara orang yang baik dalam beragama dan yang tidak. Manis dan getirnya kehidupan merupakan ujian untuk mengukur sejauhmana tingkat kesungguhan dan konsistensi diri seseorang. Dengan kesungguhan, seseorang akan terus berjuang dan berani berkorban, sedangkan dengan konsistensi diri, ia akan terus berpegang pada prinsip yang diyakini kebenarannya. Lebih suka menerima, budaya instan, dan kecenderungan mengambil jalan pintas adalah sebagian contoh betapa sikap bersungguhsungguh dan konsisten dalam hidup beragama masyarakat kita masih jauh dari harapan.



[1] Zainab Abdus Salam Abu al-Fadl, ‘Inâyat al-Qur’an bi Huqûq al-Insân, juz I (Kairo: Dar alHadits, 2008), hlm.76-87

[2] Jamal Badi dan Mustapha Tajdin, Islamic Creative Thinking: Berpikir Kreatif Berdasarkan Metode Qur’ani, terj. Munir Mun’im (Bandung: Mizania, 2007), hlm. 34-35.

[3] Riant Nugroho, Pendidikan Indonesia: Harapan, Visi, dan Strategi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 10-11.

[4] Jalaluddin Rakhmat, Belajar Cerdas: Belajar Berbasiskan Otak (Bandung: MLC, cet. VI, 2007), hlm. 181.

[5] Lihat dalam Dialog Jum’at Tabloid Republika (1 Agustus 2008), hlm. 11.

[6] M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur'an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, cet. VXI, 1997), hlm. 58-59.

[7] Jalaluddin Rakhmat, Islam dan Pluralisme: Akhlak Qur’an Menyikapi Perbedaan (Jakarta: Serambi, 2006), hlm. 206-208.

[8] Ibid., hlm. 207.

[9] Mulyadhi Kartanegara, Mengislamkan Nalar: Sebuah Reaspons terhadap Modernitas (Jakarta: Erlangga, 2007), hlm. 47.

[10] Muhsin al-Mayli, Pergulatan Mencari Islam: Perjalanan Religius Roger Garaudy, terj. Rifyal Ka’bah (Jakarta: Paramadina, 1996), hlm. 111-125.

Comments