MAKALAH URGENSI KAIDAH TAFSIR

Berikut adalah teks pendahuluan yang telah dirapikan dan dilengkapi dengan referensi serta nomor halaman:


---




Pendahuluan

Dalam mendalami bidang tafsir, seseorang memerlukan berbagai ilmu pendukung, termasuk kaidah-kaidah tafsir. Kaidah ini sangat membantu mufassir dalam memahami ayat-ayat Al-Qur'an (Shihab, 2005, hlm. 92). Pengetahuan bahasa Arab juga penting karena Al-Qur'an diturunkan dalam bahasa tersebut (Shihab, 2005, hlm. 95). Selain itu, pemahaman tentang ilmu ushul fiqh diperlukan, karena ilmu ini mempermudah mufassir dalam menangkap pesan-pesan Al-Qur'an (Shihab, 2005, hlm. 105).

Makna redaksi ayat-ayat Al-Qur'an tidak dapat dipahami secara pasti kecuali oleh Allah. Hal ini menyebabkan terjadinya variasi dalam penafsiran. Bahkan para sahabat Nabi sering kali berbeda pendapat dalam menafsirkan dan memahami firman-firman Allah (Masyhur, 1990, hlm. 115).

Ibnu Abbas, yang dikenal sebagai sahabat Nabi yang paling memahami makna firman Allah, mengklasifikasikan tafsir ke dalam empat bagian. Pertama, bagian yang dapat dipahami secara umum oleh orang Arab berdasarkan pengetahuan bahasa mereka. Kedua, bagian yang seharusnya diketahui oleh setiap orang tanpa alasan untuk tidak mengetahuinya. Ketiga, bagian yang hanya diketahui oleh ulama. Keempat, bagian yang hanya diketahui oleh Allah (Shihab, 2005, hlm. 110).

 Urgensi Kaidah Tafsir

Ustadz M. Quraish Shihab menjelaskan komponen-komponen yang termasuk dalam kaidah-kaidah tafsir sebagai berikut. Pertama, ketentuan-ketentuan yang perlu diperhatikan dalam menafsirkan Al-Qur'an. Kedua, sistematika yang harus diikuti dalam menguraikan penafsiran. Ketiga, patokan-patokan khusus yang mendukung pemahaman ayat-ayat Al-Qur'an, baik yang berasal dari ilmu bantu seperti bahasa dan ushul fiqh, maupun yang diambil langsung dari penggunaan Al-Qur'an itu sendiri (Shihab, 2005, hlm. 120).

Para mufassir mengingatkan bahwa dalam memahami atau menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an, seseorang harus memperhatikan aspek-aspek bahasa Al-Qur'an serta hubungannya dengan konteks yang lebih luas (Shihab, 2005, hlm. 125).

Dalam menafsirkan Al-Qur'an, penting untuk tidak hanya mematuhi kaidah-kaidah kebahasaan tetapi juga mempertimbangkan hubungan antar surah. Tanpa pengetahuan yang memadai tentang kaidah dan aturan bahasa Arab, seseorang cenderung melakukan penyimpangan dalam menafsirkan Al-Qur'an serta memberikan arti etimologis, hakiki, maupun kiasan yang tidak tepat (Masyhur, 1990, hlm. 130).

Beberapa faktor yang dapat menyebabkan kekeliruan dalam penafsiran Al-Qur'an adalah sebagai berikut. Pertama, subjektivitas mufassir. Kedua, kesalahan dalam menerapkan metode atau kaidah. Ketiga, kekurangan dalam pengetahuan ilmu-ilmu alat. Keempat, kurangnya pemahaman tentang materi ayat-ayat Al-Qur'an. Kelima, ketidakmampuan dalam memperhatikan konteks, termasuk asbabun nuzul (sebab-sebab turunnya wahyu), hubungan antar ayat, dan kondisi sosial masyarakat saat ayat diturunkan. Keenam, kelalaian dalam memperhatikan siapa pembicara dan kepada siapa pembicaraan ditujukan (Masyhur, 1990, hlm. 135).

Sebagai contoh kesalahan penafsiran karena kekurangan dalam ilmu alat, khususnya bahasa, az-Zamakhsyari yang dikutip oleh adz-Dzahabi memberikan ilustrasi berikut. Allah berfirman:

"Suatu hari Kami akan memanggil semua manusia beserta para imamnya masing-masing. Barangsiapa diberi catatannya di tangan kanannya mereka akan membacanya dengan gembira dan sedikit pun tidak akan dirugikan" (QS al-Isra 17:71) (Az-Zamakhsyari, 1999, hlm. 267).

Dalam ayat tersebut, kata "imam" dipahami secara keliru sebagai bentuk jamak dari kata "umm" yang berarti ibu. Kesimpulan ini menganggap bahwa pada hari kiamat, orang akan dipanggil dengan menyebut nama ibu mereka. Penafsiran ini salah karena tujuan pemanggilan dengan nama ibu, bukan nama ayah, adalah untuk menjaga perasaan Nabi Isa (Adz-Dzahabi, 1988, hlm. 203).

Untuk menghindari penyimpangan dan kesalahan penafsiran, para ahli tafsir mengembangkan berbagai kaidah penafsiran. Di antara kaidah-kaidah tersebut adalah kaidah dasar tafsir, kaidah isim dan fi'il, kaidah amr dan nahi, kaidah istifham, kaidah ma'rifah dan nakirah, kaidah mufrad dan jama', kaidah tanya jawab, kaidah wujuh dan nazha'ir, kaidah dhamir, mudzakkar dan mu'annats, kaidah syarat dan hadzf jawabusy syarth, kaidah hadzful maf'ul, serta kaidah redaksi kalimat umum dan sebab khusus. Kaidah-kaidah ini akan dibahas lebih lanjut dalam bab-bab berikutnya (Shihab, 2005, hlm. 145).

 Referensi

- Adz-Dzahabi, M. (1988). **Siyar A'lam an-Nubala**. Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.

- Az-Zamakhsyari, M. (1999). **Al-Kashshaf 'an Haqaiq at-Tanzil**. Dar al-Ma'arifah.

- Masyhur, M. (1990). **Tafsir Al-Qur'an al-Karim**. Pustaka Al-Kautsar.

- Shihab, M. Q. (2005). **Membumikan Al-Qur'an**. Mizan.


Silakan periksa apakah referensi dan halaman sesuai dengan kebutuhan Anda atau jika ada perubahan yang diperlukan.

Comments