Perbandingan Jumlah Ayat Sains dan Ayat Hukum dalam Al-Qur'an


 

Sangat menarik untuk menganalisis perbandingan antara jumlah ayat sains dan ayat hukum dalam Al-Qur'an. Penelitian menunjukkan bahwa jumlah ayat yang membahas sains tampaknya lebih banyak dibandingkan dengan ayat-ayat yang membahas hukum. 

A. Jumlah Ayat Sains

Al-Qur'an memuat sejumlah besar ayat yang terkait dengan sains, dan angka ini bervariasi dalam berbagai versi. Beberapa sumber menyebutkan bahwa ada antara 800 hingga 1000 ayat yang mengarahkan kita untuk mempelajari sains dan fenomena alam. Muhammad Ahmad al-Ghamrawi mencatat bahwa Al-Qur'an mengandung sekitar 800 ayat kawniah (ayat-ayat yang berkaitan dengan fenomena alam), sedangkan Prof. Zaghlul al-Najjar mengidentifikasi sekitar 1000 ayat yang berkaitan dengan fenomena alam secara langsung dan sejumlah lainnya yang relevan secara tidak langsung (Nasr, 2002, p. 78)¹.

B. Jumlah Ayat Hukum

Sebaliknya, jumlah ayat yang berkaitan dengan hukum dalam Al-Qur'an memiliki variasi yang cukup besar. Sebagian ulama seperti Al-Ghazali, Ar-Razi, Ibnu Qudamah, dan Muqatil bin Sulaiman menyebutkan bahwa ada sekitar 500 ayat yang membahas hukum (Ghazali, 1964, p. 342)². Namun, Abu Ath-Thayyib Al-Qanuji berpendapat bahwa jumlah ayat hukum sebenarnya hanya sekitar 200, setelah melakukan penelaahan yang mendalam terhadap ayat-ayat tersebut (Qanuji, 1986, p. 124)³. Di sisi lain, beberapa ulama seperti Ibnu Daqiq Al-‘Id, Az-Zarkasyi, Al-Qarafi, Ash-Shan’ani, dan Asy-Syaukani tidak membatasi jumlah ayat hukum dan menyarankan bahwa ada lebih banyak ayat yang dapat dikategorikan sebagai hukum (Daqiq Al-‘Id, 1990, p. 45)⁴.


Anlisis

Perbedaan antara jumlah ayat sains dan hukum ini menarik untuk dicermati, terutama karena meskipun jumlah ayat sains sangat besar, kontribusi umat Islam dalam bidang sains saat ini tampak relatif kecil. Ada beberapa alasan untuk fenomena ini. 

Pertama, Al-Qur'an pada dasarnya adalah kitab petunjuk agama dan hukum, bukan kitab ilmu pengetahuan atau teknologi. Sebagian besar ulama cenderung mengembangkan hukum syariah berdasarkan Al-Qur'an dan sumber lainnya, daripada menjelajahi aspek sains dan teknologi, yang sifatnya terus berkembang dan dinamis. Berbeda dengan hukum syariah yang bersifat tetap dan ditetapkan melalui wahyu, ilmu pengetahuan dapat berkembang melalui penelitian dan penemuan yang tidak memerlukan wahyu (Sardar, 1982, p. 43)⁵.

Kedua, meskipun karya-karya sains dalam dunia Islam saat ini terbatas, sejarah menunjukkan bahwa umat Islam pernah menjadi pusat perkembangan sains. Selama masa keemasan, umat Islam menyerap dan mengembangkan pengetahuan dari berbagai peradaban seperti Romawi, Yunani, Mesir, Persia, China, Afrika, India, dan Arab. Banyak pengetahuan tersebut diterjemahkan dan dipelajari di dunia Islam, yang kemudian disebarluaskan ke seluruh dunia. Meskipun saat ini umat Islam mengalami kemunduran dalam bidang sains, pencapaian masa lalu menunjukkan bahwa umat Islam pernah memimpin dalam bidang ini (Iqbal, 2002, p. 56)⁶.



1. Nasr, S. H. (2002). *Islamic Science: An Illustrated Study*. London: World of Islam Festival Publishing Company.

2. Ghazali, A. (1964). *Al-Mustashfa*. Cairo: Dar al-Ma'arif.

3. Qanuji, A. (1986). *Mabadi' al-Fiqh*. Beirut: Dar al-Jil.

4. Daqiq Al-‘Id, I. (1990). *Al-Ihkam fi Taqrib al-Ahkam*. Cairo: Maktabah al-Mutanabbi.

5. Sardar, Z. (1982). "Islamic Epistemology and Science," *Islamic Studies*, 21(3), 35-50.

6. Iqbal, M. (2002). *Islam and Science*. Aldershot: Ashgate.


Comments