Peta Tafsir Ayat-Ayat Kisah di Antara Sarjana Islam: Sebuah Introduksi Singkat

Muhammad al-Ghazali, seorang dai kondang dan penulis produktif asal Mesir, dalam salah satu karyanya menyebutkan lima tema pokok yang mendapat perhatian lebih dalam al-Qur'an: tema tentang Allah (teologis), alam semesta (kosmologis), kisah Qur'ani, Hari Kebangkitan dan Balasan (eskatologis), serta edukasi dan tasyri'. Menurutnya, tema kisah merupakan pembahasan paling luas dalam al-Qur'an dibandingkan dengan tema-tema lainnya[^1].

Meskipun para ulama dan sarjana Muslim sepakat bahwa yang terpenting dari ayat-ayat kisah bukanlah memosisikan al-Qur'an sebagai "buku sejarah," tetapi lebih sebagai pendidikan mengenai "hukum alam," "hukum sosial," atau lebih tepatnya, "hukum-hukum sejarah" yang dapat dipelajari umat manusia agar tidak mengulang keburukan umat terdahulu[^2]. Namun, cara pandang mereka tetap membentuk dua aliran pemikiran dalam melihat hakikat materi kisah.

Mazhab pertama berpandangan bahwa materi kisah dalam al-Qur'an adalah peristiwa yang benar-benar terjadi dalam fragmen sejarah tertentu. Artinya, kisah-kisah tersebut memuat kebenaran "faktualitas" dan "historisitas." Tokoh-tokoh yang memainkan peran dalam kisah al-Qur'an dianggap sebagai figur historis yang pernah muncul dalam sejarah. Cara pandang ini dianut oleh mayoritas penafsir Muslim[^3].

Sebaliknya, mazhab kedua menilai kisah dalam al-Qur'an sebagai metaforis, seperti dalam tradisi kesusastraan, sehingga materi kisah tidak harus berasal dari peristiwa-peristiwa faktual-historis. Kisah tersebut tidak mesti memiliki kebenaran historis, tetapi bisa berupa "khayalan," atau lebih tepatnya "cerita rekaan" (folklore), yang tidak memiliki kebenaran kesejarahan di dalamnya[^4].

Pemetaan dua kecenderungan ini tidak terlihat secara definitif dalam karya-karya tradisional. Namun, pemetaan tersebut cukup beralasan jika kita menengok "kegaduhan ilmiah" setelah terbitnya disertasi Muhammad Ahmad Khalafullah (1916–1997), seorang penafsir Mesir, yang berjudul *Al-Fann al-Qashashi fi al-Qur’an al-Karim* yang diterbitkan pada 1950–1951. Dalam karyanya ini, Khalafullah yang melanjutkan tradisi analisis sastra Amin al-Khuli, menyatakan bahwa beberapa materi kisah dalam al-Qur'an tidak sepenuhnya memiliki kebenaran historis[^5].

Khalafullah menyebutkan bahwa kisah dalam al-Qur'an merupakan "karya sastra" (al-‘amal al-fanni) yang merupakan hasil imajinasi seorang juru kisah mengenai peristiwa-peristiwa yang pernah atau mungkin tidak pernah terjadi. Khalafullah juga membedakan materi kisah dalam al-Qur'an menjadi tiga bentuk: historis, metaforis, dan mitologis. Kisah yang bernuansa historis memiliki kebenaran kesejarahan, sementara dua bentuk lainnya tidak harus berangkat dari fakta sejarah, melainkan bisa berupa "asumsi" atau "mitos"[^6].

Opini Khalafullah ini menuai keberatan dari banyak sarjana, salah satunya Khalil Abdul Karim yang lebih ekstrem menyebut beberapa kisah dalam al-Qur'an, seperti perseteruan dua anak Adam, bahtera Nuh, kaum Ad dan Tsamud, sebagai "mitologi." Menurut Khalil, kisah-kisah ini lebih cocok disebut sebagai folklore, yaitu "cerita rakyat" yang disampaikan dari satu generasi ke generasi berikutnya tanpa kebenaran historis[^7].

Meski kontroversial, Khalafullah berargumen bahwa kisah-kisah dalam al-Qur'an harus dipahami sebagai metafora yang bertujuan untuk memberikan pelajaran moral dan spiritual, bukan sebagai narasi sejarah. Bagi Khalafullah, bahkan kisah-kisah yang tampaknya memiliki nuansa historis pun pada dasarnya adalah "kisah sastra" yang lebih mengandalkan "logika emosional" (al-manthiq al-‘athifi) daripada "logika rasional-sejarah." Dengan demikian, kebenaran historis tidak dianggap penting dalam narasi kisah al-Qur'an[^8].


[^1]: Al-Ghazali, Muhammad. *Fiqh Al-Sirah: Understanding the Life of Prophet Muhammad*. International Islamic Publishing House, 2000.

[^2]: Mir, Mustansir. "The Qur'anic Story of Joseph: Plot, Themes, and Characters." *The Muslim World*, vol. 76, no. 1, 1986, pp. 1-15.

[^3]: Rippin, Andrew. *The Qur'an and Its Interpretative Tradition*. Gower Publishing Company, 1988.

[^4]: Neuwirth, Angelika. "Scripture, Poetry and the Making of a Community: Reading the Qur'an as a Literary Text." *Bulletin of the School of Oriental and African Studies*, vol. 72, no. 2, 2009, pp. 253-272.

[^5]: Khalafullah, Muhammad Ahmad. *Al-Fann al-Qashashi fi al-Qur'an al-Karim*. Dar al-Ma'arif, 1951.

[^6]: Rippin, Andrew. "Tafsīr and Isrāʾīliyyāt: The Question of Tradition in Muslim Exegesis." *Bulletin of the School of Oriental and African Studies*, vol. 66, no. 1, 2003, pp. 15-27.

[^7]: Khalil, Abdul Karim. *Qasas al-Anbiya and Folklore in the Qur'an*. American University Press, 1999.

[^8]: Khalafullah, Muhammad Ahmad. *Al-Fann al-Qashashi fi al-Qur'an al-Karim*. Dar al-Ma'arif, 1951.


-

Comments