TAFSIR SURAH AL-FATIHAH AYAT 4 BAHASA INDONESIA

 

Pada tulisan terdahulu telah dibahas mengenai tafsir surah al-Fatihah ayat 3. Pada tulisan ini penulis berusaha menguraikan sedikit mengenai penafsiran surah al-Fatihah ayat 4 :

مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ

Terdapat perbedaan pendalat di kalangan ulama mengenai cara baca lafadz malik. Menurut Imam Imam Na>fi’, Ibn Kathi>r, Hamzah Abu ‘Amr dan Ibn ‘A>mir kata malik dibaca pendek tanpa alif setelah huruf mi>m yang memiliki arti raja.  Sementara menurut Imam ‘A>shim dan al-Kisa>’i dibaca panjang huruf mi>m-nya. [1]Lafadz Malik dibaca dengan cara ini memiliki makna pemilik.  Pendapat ini juga didukung oleh Abu> H}a>tim al-Sijistani.

M. Quraish Shihab salah satu pakar tafsir Indonesia memberikan pendapat yang mengindikasikan bahwa lafadz ma>lik  (dengan mi>m panjang) lebih kuat secara pemaknaannya dibanding dengan malik (tanpa alif di mim-nya). Selain berdasarkan riwayat mutawatir, beliau juga menggunakan analisis logika dalam menjelaskan perbedaan makna dua lafadz ini.

Menurutnya setiap raja belum tentu seorang pemilik, meskipun ada kalanya kepemilik seorang raja lebih besar dibanding yang bukan raja. Akan tetapi ada juga moment dimana raja hanya menjadi lambang negara saja, sementara semua aspek kepemilikan, kebijakan dan lain sebagainya dipegang oleh perdana menteri.[3]

Statemen di atas mengindikasikan bahwa Quraish Shihab lebih cenderung kepada pendapat yang diungkapkan oleh imam A>shim dan al-Kisa>’i.

Namun diakhir pembahasa beliau juga melakukan kolaborasi dua pendapat di atas dengan menyatakan bahwa Allah merupakan Raja sekaligus Pemilik hari Kiamat. Hal lain diungkapkan oleh al-Baghawi yang menyatakan bahwa keduanya (baik malik dengan mim panjang ataupun pendek) memiliki arti yang sama yakni bermakna ­al-rab.[4]

Selanjutnya kata yawm,  di dalam al-Qur’an kata ini terulang sebanyak 365 kali persis dengan jumlah hari dalam satu tahun. Namun tidak semua kata yawm dalam al-Qur’an memiliki arti yang sama dengan hari dalam perspektif manusia (24 jam). Terkadang al-Qur’an menggunakan kata ini untuk menunjukan satu periode  atau waktu yang sangat panjang. Seperti firman Allah yang menyatakan bahwa alam semesta diciptakan selama enam hari.

Berikutnya adalah kata al-di>n. Kata ini memiliki kesamaan dengan kata dayn yang berarti hutang dan kata da>na yang berarti menghukum. Ketiga kata ini menunjukan interaksi antara dua belah pihak, dimana pihak pertama lebih unggul dibanding dengan pihak kedua. Secara logika orang yang memberi hutangan (pihak pertama) tentu lebih unggul dibanding dengan orang yang berhutang (pihak kedua).  Orang yang menghukum (pihak pertama) tentu lebih memiliki kekuatan dibanding dengan orang yang dihukum (pihak kedua). Pun, dengan agama, antara yang menurunkan agama (Allah/pihak pertama) tentu lebih unggul dibanding pihak kedua yang menganut agama.

Demikan pemaknaan al-din dalam perspektif bahasa. Namun di ayat ini kata yawm al-din sebagai hari pembalasan. Dimana semua amal manusia dunia ini kelak akan dibalas oleh Allah swt. Orang yang baik akan memperoleh balasan yang baik, dan orang yang berprilaku buruk akan dibalas dengan hal yang mengerikan kelak.

Oleh karena itu, melalui penjelasan di atas hendaknya kita dapat bermunasabah bahwa semua yang kita lakukan akan memperoleh balasan. Sehingga sebagai manusia yang merupakan khalifah fi al-ard hendaknya selalu menebarkan kebaikan kepada seluruh alam semesta. Menjaga hubungan baik dengan Tuhan, Manusia dan Alam sekitar. Agar yang kita tanam adalah biji dengan buah yang memiliki kualitas terbaik. Bukan lubang galian atau hewan buas yang sewaktu-waktu kita bisa terperosok dan diterkam olehnya.



[1]Imam Samarqandi, Bahr al-Ulu>m, Juz 1, Hal 17

[3]M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Juz 1 Hal, 43

[4]Al-Baghawi, Ma’alim al-Tanzil fi Tafsir al-Qur’an, Vol. 1, Hal. 53

Comments