TAFSIR SURAH AL-BAQARAH AYAT DUA BAHASA INDONESIA


 


Setelah membahas mengenai penafsiran surah al-Baqarah ayat satu di tulisan terdahulu (klik di sini).. Sekarang akan dibahas mengenai penafsiran surah al-baqarah ayat dua menurut para mufassir.

ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ

Itu kitab tiada terdapat keraguan di dalamnya sebagai petunjuk bagi orang yang bertakwa.

Ada beberapa hal mengenai masalah bahasa sebelum kita masuk ke dalam makna atau tafsir ayat tersebut.

Pertama, penggunaan kata dzalika. Menurut Imam Muhyidin Darwis dalam kita I’rab al-Qur’an wa Bayanih kata dzalika disebut dengan isim isyarah yang menunjukan benda yang berada jauh.[1] Kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia biasanya menjadi kata “itu”. Berbeda dengan hazda kalau hadza adalah isim isyarah yang digunakan untuk menunjukan benda yang dekat. Dalam bahasa Indonesia sepadan dengan kata “ini”.

Mengapa demikian?

Menurut pakar tafsir Indonesia Prof. Quraish Shihab, penggunaan kata dzalika pada ayat ini menunjukan kesan bahwa al-Qur’an merupakan kitab yang agung lagi tinggi. Jauh dari jangkuan makhluk, karena al-Qur’an berasal dari Allah swt yang Maha Tinggi.[2]

Kedua, penggunaan kata rayba yang berarti keraguan. Dalam bahasa Arab kata yang digunakan untuk menunjukan makna ragu ada banyak. Di antaranya ada kata syak yang berarti ragu-ragu juga. Terus apa bedanya dua kata ini?

Ada yang berpendapat bahwa kata rayba menunjukan makna ragu namun belum sampai tingkatan syak. Artinya kata rayba tingkat keragu-raguannya  itu berada di bawah kata syak. Menurut ahli, kata syak ini kearaguan dan keyakinan berbanding seimbang masing-masing 50%. Akan tetapi ada juga yang memberikan makna rayb sama dengan kata syak. Seperti yang dilakukan oleh Imam al-Syaukani dalam kitab Fath al-Qadir.[3] Sekali lagi ini sifatnya penafsiran jadi tentu dari sini anda bisa menyimpulkan sendiri.

Selanjutnya mari kita bertadabbur mengenai makna ayat tersebut dengan melihat penafsiran para ulama.

Menurut imam al-Maraghi dalam kitab tafsirnya, ayat ini memberikan pemahaman tidak ada keraguan bahwa kitab ini berasal dari Allah swt dari semua aspeknya. Baik dari nilai petunjuknya, susunan kalimah dan  bahasa maupun dari aspek keindahan atau balaghahnya. Manusia tidak akan mampu membuat satu kalimah atau surat yang memiliki nilai keindahan bahasa dan makna seperti al-Qur’an.[4] Bahkan al-Qur’an juga pernah menantang para “pengingkar” dan orang yang ragu-ragu kalau al-Qur’an berasal dari Allah dengan ayat:

وَإِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنا عَلى عَبْدِنا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ

Namun nyatanya sampai saat ini tidak ada yang mampu dan dapat menandingi al-Qur’an.  Keyakinan ini penting untuk kita pegang, sebab belakangan banyak sekali para “pemikir” yang berupaya membangun logika bahwa lafadz al-Qur’an berasal dari Nabi Muhammad saw. Padahal baik lafadz maupun maknanya, semua berasal dari Allah swt.

Setelah menegaskan bahwa tidak ada keraguan di dalam al-Qur’an,  selanjutnya Allah swt menegaskan fungsi al-Qur’an sebagai huda> li al-muttaqin atau petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa. Bagaimana maksudnya ini? kok seolah al-Qur’an hanya petunjuk untuk orang yang bertaqwa saja tidak menjadi petunjuk bagi semua manusia? Bukankah kita yakin bahwa al-Qur’an adalah huda li al-na>s, petunjuk bagi semua manusia, tapi ayat ini kok hanya untuk orang bertaqwa>?

Imam al-Samarqandi dalam kitab tafsirnya Bah}r Ulu>m menjelaskan bahwa penyebutan “orang-orang bertaqwa” dalam ayat ini menunjukan bahwa yang mampu menggali dan mendapatkan aspek “petunjuk dari al-Qur’an adalah mereka saja (orang-orang yang bertaqwa). Jadi yang dimaksud di sini adalah ha>s}il al-baya>n. Selain itu, ia juga menyebutkan satu riwayat :

عن أبي روق أنه قال: هُدىً لِلْمُتَّقِينَ أي كرامة لهم

Kemudian Imam al-Samarqandi menjelaskan penyebutan al-muttaqin dalam ayat ini adalah sebagai bentuk memulyakan derajat golongan ini.[5] Artinya al-Qur’an tetap menjadi petunjuk untuk semua manusia, hanya saja yang mampu menggapai petunjuk itu adalah orang-orang yang bertaqwa saja.  

Selanjutnya, siapakah yang disebut oleh orang yang bertaqwa? Akan kita diskusikan ditulisan berikutnya.

 

Wallahu A’lam bisshawab



[1]I’rab al-Qur’an wa Bayanih, juz 1 hal, 23.

[2]Tafsir al-Misbah, Juz 1, hal, 87

[3]Fathul Qadir, juz 1, hal. 39

[4]Tafsir al-Maraghi, juz 1 hal, 40

[5]Bahr Ulum, juz 1, hal 22

Comments