TAFSIR SURAH AL-BAQARAH AYAT TIGA BAHASA INDONESIA

 

Setelah membahas mengenai penafsiran ulama terhadap surah al-Baqarah ayat dua di sini. Yang secara singkat dapat dipahami bahwa al-Qur’an merupakan kitab suci yang tidak ada keraguan dan merupakan kitab petunjuk. Sementara petunjuk itu hanya bisa didapatkan oleh orang yang bertaqwa. Nah, siapakah orang yang bertaqwa ini. Dalam ayat selanjutnya disebutkan bahwa maksud dari orang yang bertaqwa adalah :

الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ

“(orang bertakwa adalah) Orang yang mempercayai hal ghaib, menegakkan sembahyang, dan sebagian dari yang Kami anugerahkan kepada mereka itu mereka menginfakkannya

Jadi orang yang bertaqwa adalah orang yang beriman atau percaya dengan perkara yang ghaib, menegakan shalat dan berinfak. Pertanyaan besarnya apakah iman hanya cukup percaya saja?

Imam al-Baghawi[1] mengutip salah satu pendapat yang mendefinisikan iman dengan :

الْإِيمَانُ مَأْخُوذٌ مِنَ الْأَمَانِ، فَسُمِّيَ الْمُؤْمِنُ مُؤْمِنًا لِأَنَّهُ يُؤَمِّنُ نَفْسَهُ مِنْ عَذَابِ اللَّهِ، وَاللَّهُ تَعَالَى مُؤْمِنٌ لِأَنَّهُ يُؤَمِّنُ الْعِبَادَ مِنْ عَذَابِهِ

Kata iman itu diambil dari kata al-aman. Orang mukmin disebut sebagai mukmin, karena ia aman ia mengamankan dirinya dari siksa Allah swt. Sedang Allah swt memiliki sifat mukmin karena Allah swt mengamankan hamba-Nya dari siksa-Nya.

Nah lanjut kepertanyaan berikutnya, apakah iman itu hanya cukup percaya saja?  Imam al-Sam’ani dalam kitab Tafsir al-Qur’an menjelaskan :

الْإِيمَان فِي الشَّرِيعَة يشْتَمل على الِاعْتِقَاد بِالْقَلْبِ، وَالْإِقْرَار بِاللِّسَانِ، وَالْعَمَل بالأركان

Jadi secara syariat yang disebut iman itu mengandung tiga komponen :

1.     Menyakini dengan hati

2.     Menyatakan dengan lisan

3.     Melakukan dengan anggota badan.[2]

Tiga komponen ini jika ditanggalkan salah satunya maka tentu keimanan seseorang menjadi kurang sempurna.

Berikutnya adalah terma al-Ghayib, apakah maksud dari kata ghayb ini?

Imam al-Samarqandi dalam kitab Bahr al-Ulum menjelaskan bahwa “al-ghayb” adalah maa ghaba ‘anil ayni wa huwa muhdhar fil qalbi yaitu, sesuatu yang tidak kasat mata, tidak nampak dilihat mata tetapi ia bisa hadir di dalam hati.[3]

Sahabat Ibn Abbas memberikan perincian secara jelas apa yang dimaksud dengan al-ghayb. Dalam sebuah riwayat yang disandarkan kepada beliau disebutkan :

قَالَ ابْن عَبَّاس: الْغَيْب كل مَا أمرت بِالْإِيمَان بِهِ مِمَّا غَابَ عَن بَصرك، وَذَلِكَ مثل الْمَلَائِكَة، وَالْجنَّة، وَالنَّار، والصراط، وَالْمِيزَان، وَنَحْوهَا.

Perkara ghayb adalah satu perkara yang engkau diperintahkan untuk mempercayai segala sesuatu yang tidak kasat mata. Seperti perihal malaikat, surga, neraka, shirat, mizan dan sejenisnya.

Dari sini nampak bahwa yang dimaksud dengan ghayb adalah segala hal yang tidak bisa dilihat oleh mata dzahir kita. Namun kita diperintahkan untuk mengimani atau mempercayai hal-hal tersebut.

Berikutnya adalah penggalan ayat yuqimunaa al-shalah, Imam al-Baghawi memberikan penjelasan potongan ayat ini dengan :

أَيْ يُدِيمُونَهَا وَيُحَافِظُونَ عَلَيْهَا فِي مَوَاقِيتِهَا

Melanggengkan (melakukan secara kontinu) shalat dan menjaga (melakukan shalat) pada waktunya.  

Dapat dilihat redaksi yang digunakan oleh imam al-Baghawi “ fi mawaqitiha” di dalam waktu-waktu (yang telah ditentukan) untuk salat. Tidak menggunakan “fi awwali waqtiha” di awal waktu shalat. Artinya, jika mengikuti pendapat imam al-Baghawi ini, maka orang yang salat tidak di awal waktu ia tetap masuk dalam kategori yuqimuna al-shalah (orang yang menegakan shalat). Selama tidak sampai melewati batas yang telah ditentukan dalam hukum-hukum fiqh.

Ini bukan berarti penulis tidak suka terhadap perilaku dan kampanye shalat di awal waktu. Sekali lagi tidak begitu maksud penulis. Dalam hal ini penulis tetap setuju dengan “keutamaan” orang yang shalat di awal waktu apalagi berjamaah. Hanya saja, yang hendak penulis tekankan adalah, “jangan sampai orang yang melakukan shalat di awal waktu merasa lebih baik dari pada yang shalat tidak di awal waktu”. Sebab bagaimanapun, merasa lebih baik dari orang lain itu merupakan perbuatan yang tidak baik.

Berikutnya adalah penggalan ayat wa mimmaa razaqnaahu hum yunfiqun. Imam Izzudin bin Abdisalam menjelaskan bahwa nafaqah ini bentuknya bisa beragam. Bisa zakat, nafkah kepada keluarga atau infaq yang dikeluarkan sebagai sarana taqarub kepada Allah swt. [4]

Dari semua ciri-ciri tersebut beriman kepada yang ghayb, mendirikan shalat dan berinfak) kemudian Imam al-Samarqandi memberikan penjelasan siapa yang dimaksud dalam dalam ayat ini, mereka adalah  :

وإنما أراد به أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم ومن تابعهم إلى يوم القيامة

Yang dimaksud dalam ayat ini adalah ashab Rasulillah saw  dan orang-orang yang mengikuti para sahabat Nabi sampai hari Kiamat.

Perhatikan potongan ini secara seksama, kata wa mimma razaqnaa hum yang artinya dan dari yag kami rizkikan kepada mereka. Jika kita meresapi makna ayat ini maka kita bisa menyimpulkan bahwa sebenarnya apa yang kita peroleh itu bukan milik kita secara mutlak. Semua itu merupakan karunia atau pemberian dari Allah swt. Karena bersifat pemberian, maka wajar jika kemudian kita diperintahkan untuk memberikan pula kepada orang lain. Agar kita tidak memiliki rasa kepemilikan secara mutlak. Wallahu A’lam bishawab



[1] Tafsir al-Baghawi, juz 1, hal 62

[2]Tafsri al-Sam’ani, juz 1 hal 43

[3]Bahr Ulum, Juz 1 hal 22

[4]Ikhtishar Tafsir Mawardi, Juz 1, hal 99.

Comments