on
asbab nuzul
- Get link
- X
- Other Apps
Setelah
membahas mengenai penafsiran ulama terhadap surah al-Baqarah ayat dua di sini. Yang
secara singkat dapat dipahami bahwa al-Qur’an merupakan kitab suci yang tidak
ada keraguan dan merupakan kitab petunjuk. Sementara petunjuk itu hanya bisa didapatkan
oleh orang yang bertaqwa. Nah, siapakah orang yang bertaqwa ini. Dalam ayat
selanjutnya disebutkan bahwa maksud dari orang yang bertaqwa adalah :
الَّذِينَ
يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ
يُنْفِقُونَ
“(orang
bertakwa adalah) Orang yang mempercayai hal ghaib, menegakkan sembahyang, dan
sebagian dari yang Kami anugerahkan kepada mereka itu mereka menginfakkannya”
Jadi
orang yang bertaqwa adalah orang yang beriman atau percaya dengan perkara yang ghaib,
menegakan shalat dan berinfak. Pertanyaan besarnya apakah iman hanya cukup
percaya saja?
Imam
al-Baghawi[1] mengutip salah satu pendapat
yang mendefinisikan iman dengan :
الْإِيمَانُ
مَأْخُوذٌ مِنَ الْأَمَانِ، فَسُمِّيَ الْمُؤْمِنُ مُؤْمِنًا لِأَنَّهُ يُؤَمِّنُ
نَفْسَهُ مِنْ عَذَابِ اللَّهِ، وَاللَّهُ تَعَالَى مُؤْمِنٌ لِأَنَّهُ يُؤَمِّنُ
الْعِبَادَ مِنْ عَذَابِهِ
Kata
iman itu diambil dari kata al-aman. Orang mukmin disebut sebagai mukmin, karena
ia aman ia mengamankan dirinya dari siksa Allah swt. Sedang Allah swt memiliki
sifat mukmin karena Allah swt mengamankan hamba-Nya dari siksa-Nya.
Nah
lanjut kepertanyaan berikutnya, apakah iman itu hanya cukup percaya saja? Imam al-Sam’ani dalam kitab Tafsir al-Qur’an
menjelaskan :
الْإِيمَان فِي الشَّرِيعَة
يشْتَمل على الِاعْتِقَاد بِالْقَلْبِ، وَالْإِقْرَار بِاللِّسَانِ، وَالْعَمَل
بالأركان
Jadi
secara syariat yang disebut iman itu mengandung tiga komponen :
1. Menyakini dengan hati
2.
Menyatakan dengan lisan
3. Melakukan dengan
anggota badan.[2]
Tiga
komponen ini jika ditanggalkan salah satunya maka tentu keimanan seseorang
menjadi kurang sempurna.
Berikutnya
adalah terma al-Ghayib, apakah maksud dari kata ghayb ini?
Imam
al-Samarqandi dalam kitab Bahr al-Ulum menjelaskan bahwa “al-ghayb”
adalah maa ghaba ‘anil ayni wa huwa muhdhar fil qalbi yaitu, sesuatu
yang tidak kasat mata, tidak nampak dilihat mata tetapi ia bisa hadir di dalam
hati.[3]
Sahabat
Ibn Abbas memberikan perincian secara jelas apa yang dimaksud dengan al-ghayb.
Dalam sebuah riwayat yang disandarkan kepada beliau disebutkan :
قَالَ ابْن
عَبَّاس: الْغَيْب كل مَا أمرت بِالْإِيمَان بِهِ مِمَّا غَابَ عَن بَصرك،
وَذَلِكَ مثل الْمَلَائِكَة، وَالْجنَّة، وَالنَّار، والصراط، وَالْمِيزَان،
وَنَحْوهَا.
Perkara
ghayb adalah satu perkara yang engkau diperintahkan untuk mempercayai segala
sesuatu yang tidak kasat mata. Seperti perihal malaikat, surga, neraka, shirat,
mizan dan sejenisnya.
Dari
sini nampak bahwa yang dimaksud dengan ghayb adalah segala hal yang
tidak bisa dilihat oleh mata dzahir kita. Namun kita diperintahkan untuk
mengimani atau mempercayai hal-hal tersebut.
Berikutnya
adalah penggalan ayat yuqimunaa al-shalah, Imam al-Baghawi memberikan
penjelasan potongan ayat ini dengan :
أَيْ يُدِيمُونَهَا
وَيُحَافِظُونَ عَلَيْهَا فِي مَوَاقِيتِهَا
Melanggengkan
(melakukan secara kontinu) shalat dan menjaga (melakukan shalat) pada waktunya.
Dapat
dilihat redaksi yang digunakan oleh imam al-Baghawi “ fi mawaqitiha” di
dalam waktu-waktu (yang telah ditentukan) untuk salat. Tidak menggunakan “fi
awwali waqtiha” di awal waktu shalat. Artinya, jika mengikuti pendapat imam
al-Baghawi ini, maka orang yang salat tidak di awal waktu ia tetap masuk dalam
kategori yuqimuna al-shalah (orang yang menegakan shalat). Selama tidak
sampai melewati batas yang telah ditentukan dalam hukum-hukum fiqh.
Ini
bukan berarti penulis tidak suka terhadap perilaku dan kampanye shalat di awal
waktu. Sekali lagi tidak begitu maksud penulis. Dalam hal ini penulis tetap
setuju dengan “keutamaan” orang yang shalat di awal waktu apalagi berjamaah. Hanya
saja, yang hendak penulis tekankan adalah, “jangan sampai orang yang
melakukan shalat di awal waktu merasa lebih baik dari pada yang shalat tidak di
awal waktu”. Sebab bagaimanapun, merasa lebih baik dari orang lain itu merupakan
perbuatan yang tidak baik.
Berikutnya
adalah penggalan ayat wa mimmaa razaqnaahu hum yunfiqun. Imam Izzudin
bin Abdisalam menjelaskan bahwa nafaqah ini bentuknya bisa beragam. Bisa zakat,
nafkah kepada keluarga atau infaq yang dikeluarkan sebagai sarana taqarub kepada
Allah swt. [4]
Dari
semua ciri-ciri tersebut beriman kepada yang ghayb, mendirikan shalat dan berinfak)
kemudian Imam al-Samarqandi memberikan penjelasan siapa yang dimaksud dalam dalam
ayat ini, mereka adalah :
وإنما أراد به
أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم ومن تابعهم إلى يوم القيامة
Yang
dimaksud dalam ayat ini adalah ashab Rasulillah saw dan orang-orang yang mengikuti para sahabat
Nabi sampai hari Kiamat.
Perhatikan
potongan ini secara seksama, kata wa mimma razaqnaa hum yang artinya dan
dari yag kami rizkikan kepada mereka. Jika kita meresapi makna ayat ini maka
kita bisa menyimpulkan bahwa sebenarnya apa yang kita peroleh itu bukan milik
kita secara mutlak. Semua itu merupakan karunia atau pemberian dari Allah swt. Karena
bersifat pemberian, maka wajar jika kemudian kita diperintahkan untuk memberikan
pula kepada orang lain. Agar kita tidak memiliki rasa kepemilikan secara
mutlak. Wallahu A’lam bishawab
Comments
Post a Comment