on
asbab nuzul
- Get link
- X
- Other Apps
A. Kajian Tafsir di Arab
Arab Saudi adalah Negara Arab yang terletak di
Jazirah Arab. Beriklim gurun dan wilayahnya sebagian besar terdiri dari gurun
pasir. Arab Saudi terkenal sebagai tempat lahirnya Nabi Muhammad SAW serta
tumbuh dan berkembangnya agama Islam. Adapun para mufassir Arab Saudi,[1]
Dimulai dari pada masa sahabat muncul beberapa madrasah
tafsir, yang mana madrasah tersebut adalah sarana yang digunakan oleh para
sahabat untuk mewariskan ilmu kepada tabi’in. Beberapa
dari kalangan sahabat membuka madrasah tafsir, diantaranya[2]:
1.
Abdullah
ibn ‘Abbas di Makkah. Diantara Murid-muridnya yang terkenal adalah:
a)
Said
ibn Jubair
b)
Mujahid
ibn Jubair al Makky (w.101 H)
c)
Ikrimah
(w. 105 H)
d)
Dan
lain-lain.
2.
Abdullah
ibn Mas’ud di Iraq. Diantara Murid-muridnya yang terkenal adalah:
a)
Alqamah
ibn Qais (w. 102 H)
b)
Qatadah
(w. 177 H)
c)
Al
Hasan al Bashri (w. 121 H)
d)
Dan
lain-lain.
3.
Ubay
ibn Ka’ab di Madinah. Diantara Murid-muridnya yang terkenal adalah:
a)
Muhammad
ibn Ka’ab (w. 118 H)
b)
Zaid
ibn Aslam
c)
Dan
lain-lain.
Kemudian dilanjutkan di masa modern olehpara ulama tafsir
periode itu, diantaranya:
1.
Abd
al-Rah}man al-Sa’diy
Nama lengkapnya adalah Abd al-Rah}man bin Nas}ir bin
Abd Allah al-Sadi al-Nas}iri al-Tamimi. Ia dilahirkan di kota Unaizah yang
terlak di Qasim dari ahli Najd pada tanggal 12 Muharrom 1307 Hijriyah.. Dia
wafat pada hari Kamis 22 Jumadil akhir tahun 1376 Hijriyah di Unaizah.[3]
Di antara karya-karyanya adalah Taisir al-karim al-Rahman
fi Tafsiri Kalami al-mannan, Taisir al-Lathif al-Mannan fi Khulasati Tafsiri
al-Qur’an, Al-Qawaid al-Hisan li-Tafsiri al-Qur’an, al-Dalail al-Qur’aniyyah fi
anna al-Uluma wa al-A’mala al-Nafi’ata al-‘Ishriyyah Dakhilatan fi al-Din, dan
lain sebagainya.[4]
2.
Muhammad
Ali al-Shabuniy
Nama lengkapnya adalah Muhammad Ali bin Jamil
al-Shabuniy. Dia merupakan salah satu dosen di Fakultas Syariah dan Dirasah
Isla, di Makkah al-Mukarromah. Dia dilahirkan di kota Halb pada tahun 1347
Hijriyah/ 1928 MasehiAli al-Shabuniy sangat produktif dalam menulis. Dia mempunyai
banyak karya, di antaranya adalah kitab Shafwatu al-Tafsir, Mukhtashar Ibnu
Kathir,Mukhtashar al-Thabariy, al-Tibyan fi Ulum al-Quran, Rawai’u al-Bayan fi
Tafsiri Ayati al-Ahkam, al-Nubuwwah wa al-Anbiya’, dan lain sebagainya.[5]
Sahfwatu al-Tafsir adalah kitab yang ijaz yang mencakup
seluruh ayat-ayat Alquran, sebagaimana yang tercantum di judul kitab yaitu
mengumpulkan antara yang ma’thur dan yang ma’qul yang bersumber dari beberapa
kitab Tafsir, seperti al-Thabariy, al-Kasysyaf, al-Alusiy, Ibnu Kathir,
al-Bahru al-Muhit, dan lain sebagainya dengan menggunakan gaya bahasa yang
mudah dipahami, dan menyantumkan hadith, beserta memperhatikan aspek penjelsan
dan bahasa.[6]
3.
Abd
al-Wahbah al-Zuhailiy
Nama lengkapnya adalah Wahbah bin Syaikh Mushtafa
al-Zuhailiy yang merupakan ulama di negeri Syam. Dilahirkan
di Negeri Dir Athiyyah yang terletak di pinggir Damaskus (Syuria) pada tahun
1932 .
Al-Zuhailiy merupakan ulama yang sangat produktif
dalam menghasilkan karya-karya berupa tulisan. Di antara karya-karya adalah
Ushul al-Fiqh al-Islamiy, Al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu, Al-Tafsir al-Munir,
Tafsir al-Wajiz, al-Washaya wa al-Waqfu, dan lain sebagainya. [7]
4.
Syaikh
Nawawi al-Banteniy al-Jawiy
Nama lengkpanya adalah Muhammad bin Umar bin Arabiy
bin Ali Nawawi al-Jawi. Dia adalah seorang mufassir, sufi, dan fukaha’ yang
bermadzhab Syafi’y. Dia wafat pada tahun 1316 Hijriyah di Makkah.[8]
Di antara karya-karya Syaikh Nawawi al-Jawiy adalah Muraqiy al-‘Ubudiyyah Syarhu Bidayati al-Hidayah, Qami’u al-Tughyan ‘ala Mandzhumati Syu’abi al-Iman, Qatru al-Ghaith fi Syarhi Masaili Abi al-Laith, Uqudu al-Lijjain fi Bayani Huquqi al-Zaujain, Syarhu Fathi al-Rahman fi Tajwidi al-Quran, Kasyifatu al-Saja fi Syarhi Safinati al-Najati, dan lain sebagainya.[9] Bahkan kalau dinisbahkan dengan Negara kelahirannya Indonesia, terdapat dua kitab Fikihnya yang dikenal dengan S-2, yaitu Sullam Safina.
B.
Kajian
Tafsir di Mesir
Mesir
merupakan salah satu Negeri yang paling tua dalam sejarah dunia dan paling lama
memiliki peradaban serta ilmu. Dalam Al-Qur’an, kata Misr sering disebut
beberapa kali dan selalu terkait dengan kisah Nabi Yusuf a.s dan Nabi Musa a.s.
1.
Fase
Pembentukan (‘Aṣr
al-Takwīn)
Pada fase awal islam masuk ke wilayah mesir, tafsir pun menjadi salah satu tuntutan yang mutlak diperlukan. Dalam hal ini, ‘Amr bin al-As, sebagai pemimpin pasukan islam yang berhasil merebut mesir dari kekuasaan bizantium, dianggap sangat berjasa dalam menyeberluaskan tafsir Al-Qur’an.[10]
2.
Fase
Kodifikasi [‘Aṣr
al-Tadwīn]
Berkat jasa Ibn Abbās dan dua muridnya, Mujāhid dan Ikrimah dalam menyebarluaskan mazhab tafsir Mekkah di Mesir, pada fase ini muncullah mazhab tafsir Mesir yang kiblatnya memang banyak berorientasi pada riwayat-riwayat Ibn Abbās. Dalam catatan Khūrshīd, ada sejumlah tokoh mufasir Mesir awal yang berhasil dilacak seperti Aṭā ibn Dīnār al-Hadhālī (w. 126 H.), Ubayd ibn Suwayyah al-Anṣārī (w. 135 H.), Abd Allāh ibn Wahb (w. 197 H.), al-Imām al-Shāfi‟ī (w. 204 H.), „Abd al-Allāh ibn Ṣālih (w. 223 H.), Abd al-Ghanī ibn Sa‟īd al-Thaqafī (w. 229 H.), Abū Ja‟far al-Naḥās (w. 338 H.), dan Abū Bakr al-Adfawī (w. 388 H.).13 Diperkirakan, sejumlah mufasir ini telah mulai menulis tafsirnya atau setidaknya tafsir mereka telah ditulis oleh para muridnya dan dinisbahkan kepada mereka.[11] Termasuk kitab Tafsir periode ini adalah:
a.
Tafsir
Jalālayn; al-Maḥallī
[w. 864 H.] dan al-Suyūṭī
[w. 911 H.]
Biografi Imam Jalalauddin As-Suyuti
Imam Jalaluddin as-Suyuthi,
dilahirkan di Cairo pada ba’da magrib, pada malam ahad bulan Rajab tahun 849 H
bertepatan dengan tanggal 3 bulan Oktober tahun 1445 M.[12]
as-Suyuti hidup pada masa Dinasti Mamalik pada abad ke-15. Ia berasal dari
keluarga keturunan persia yang semula bermukim di Baghdad, kemudian pindah ke
Asyut. Bapaknya adalah seorang guru fiqh di salah satu madrasah di Cairo.
Bapaknya tersebut meninggal ketika as-Suyuti masih berumur 6 tahun.
Imam Suyuti adalah seorang
Ulama’ dan penulis yang sangat produktif. Banyak sekali karya-karya beliau
dalam berbagai disiplil Ilmu. Dalam bidang tafsir dan Ilmu tafsir, beliau
mengarang kitab Tarjuman al-Qur’an fiy Tafsir al-Musnad, yang berisi
tentang kumpulan hadis yang berhubungan dengan penafsiran ayat-ayat al-Qur’an; ad-Durr
al-Mansur fiy Tafsir bil Ma’tsur; Mubhamat al-Aqran fiy al-Mubhamat
al-Qur’an; Lubab an-Nuqul fiy al-Asbab an-Nuzul; Tafsir jallalain,
yang mana dia menyelesaikan tafsir yang belum selesai ditulis oleh
gurunya,Jallaluddin al-Mahalliy; Majma’al-Bahrain wa Mathla’ al-Badrain,
yang memaparkan segala permasalahan furu’ dalam al-Qur’an; at-Takhyir fiy
‘Ulum at-Tafsir, yang kemudian diperluas pemaparannya dengan judul al-Itqan
fiy ‘Ulum al-Qur’an.[13]
Imam Jalaluddin As-Suyuti
meninggal pada waktu sahur, pada malam jum’at tanggal 19 Jumadil Ula tahun 911
H, bertepatan dengan tanggal 17 bulan Oktober tahun 1505 M, pada usia 61 tahun
lebih 10 bulan lebih 18 hari.[14]
Biografi Imam Jalalauddin Al-Mahalliy
Adapun Jalaludin Al Mahali
terkenal dengan pangilan Jalaludin, nama panjangnya adalah Muhammad
Ibnu Ahmad Ibnu Muhammad Ibnu Ibrahim Al Mahalli As- Syafi’i. Imam
Jalaludin Al Mahalli lahir di kota Mesir pada tahun 791 hijriyah dan Beliu
wafat pada tahun 864 hijriyah. Beliu ahli dalam bidang Fiqih, Kalam, Ushul, Nahwu, Mantiq dan
lain-lain. Diantara guru beliu adalah Al
Badri Muhammad Al-Aqshoroi, Burhani
Al-Baijuri, Syamsul Al- Basati, A’lai Al- Bukhori. Diantara karya –karya
beliu seperti : Kitab Ghoyah
Al-Ikhtishol, Kitab Tahrir, Kitab
Tankih, Kitab Salamatul ‘Ibaroh, Kitab Hasanil Mazji Wal Hal, Syarah Jam’ul
Jawami’ Fil Ushul , Syarah Al-Minhah Fiy Fiqh As-Syafi’i. Sarah Warqotu Fil
Ushul dan Kitab Tafsir Jalalin.[15]
Fase
Pembaharuan [‘Aṣr
al-Tajdīd]
Era pembaharuan dalam sejarah tafsir di mesir di
mulai sejak fase Muhammad Abduh (w. 1905). Termasuk tafsir di era ini adalah;[16]
b.
Tafsir
Muḥammad
‘Abduh [1848-1905 M.] dan Rashīd
Riḍā
(1865-1935 M.)
Shekh Muhammad Abduh Beliau pelopor pertama dalam
perkembangan tafsir modern. Dilahirkan di Manhallat Nash pada tahun 1849 M
(Lubis, 1993: 111-112) sebuah dusun di dekat sungai Nil, propinsi
Gharbiyyah-Mesir. Karya-karya Muhammad Abduh di bidang tafsi>r al-Qura>n
ialah; Tafsir Juz ‘Amma, Tafsir Surah al-‘Ashr, Tafsir Ayat-ayat Surah An-Nisa’
ayat 77-dan 87, Al-Hajj ayat 52-54, Al-Ahzab ayat 37, dan Tafsir al-Qur’an dari
Al-Fatihah sampai dengan An-Nisa’ ayat 129 (Shihab, 2006: 17-18). Penafsiran
ayat-ayat al-Qura>n tersebut tidak ditulis langsung oleh Muhammad Abduh,
melainkan ditulis oleh muridnya, yaitu Muhammad Rasyid Ridha
Muhammad Rashid
Rid}a memiliki nama lengkap Sayyid Muhammad
Rashid Rid}a ibn ‘Ali ibn M Rid}a uhammad Syamsuddin ibn al-Sayyid
Baha’uddin ibn al-Sayyid Manlan ‘Ali Khalifah al-Baghdadi.[17] Ia dilahirkan pada hari rabu,
tanggal 27 Jumadi al-Ula 1282 H atau 18 Oktober 1865 M di Qalamun, Sayyid
Muhammad Rashid Rid}a mengalami kecalakaan ketika dalam
perjalanan pulang setelah mengantarkan pangeran Sa’ud al-Faisal. Ia menderita
gegar otak, kemudian wafat pada tanggal 22 Agustus 1935 M.[18]
Karyanya yang
paling fenomenal “Tafsir al-Manar” berasal dari gurunyaa kuliah mengenai tafsir al-Qura>n
di al-Azhar. Kuliah kuliah itu dimulai pada tahun 1899. Keterangan-keterangan
yang diberikan gurunya oleh rashid rida dicatat untuk selanjutnya disusun dalam
bentuk karangan teratur. Apa yang ia tulis ia serahkan kepada gurunya untuk
diperiksa. Setelah mendapat persetujuan lalu disiarkan dalam al-Manar. Dengan
demikian, akhirnya muncullah apa yang kemudian dikenal dengan tafsir al-Manar.[19]
Disamping
tafsir al-Manar Muhammad Rashid Rid}a berhasil menulis banyak karya ilmiah. Beberapa karyanya yang
patut dicatat antara lain: Al-Hikmah Ash-Shar’iyyah fi Muhakamati
al-Qadariyyah wa ar-Rifa’iyyah (buku ini adalah awal kitab yang disusunnya
ketika beliau masih pelajar di Tripoli negeri Syam), Tarikh al-Ustadz
al-Imam Muhammad Abduh (terdiri 3 jilid)
c.
Tafsir
Bint al-Shāṭi’
Nama lengkapnya adalah `Āishah Ābdu al-Raḥman yang sering dikenal dengan nama Bintu al-Shaṭi’(nama tersebut adalah nama pena yang Ia gunakan
ketika menulis yang berarti putri pesisir). Seorang guru
besar Sastra dan Bahasa Arab di Universitas ‘Ain al-Shams, Mesir dan juga
menjadi guru besar tamu di Universitas Umm-Durman, Sudan, serta guru besar tamu
di Universitas Qarawiyyin, Maroko.[20]Dilahirkan
pada tanggal 6 November 1913/6 Dzulhijjah 1331 H di Dimyat
(sebuah kota pesisir sungai Nil daerah utama Mesir)..[21]
Dua tahun
kemudian Ia berhasil mendapat gelar magister dengan tesis yang berjudul al-Hayah
al-Insaniyyah ‘Inda Abi ‘Ala dan pada tahun 1950 meraih gelar doktor pada
bidang yang sama dengan disertasi yang berjudul “al-Gufran li Abi al-‘Ala
al-Ma’arī”.[22]
` Āishah Ābdu al-Raḥman wafat
pada awal bulan Desember tahun 1998, pada usia 85 tahun karena serangan
jantung.
Karya-karyanya mencakup bidang Sastra, Fiqih dan Sejarah. Diantara
karya-karya yang dipublikasikan terdapat 60 karyadiantaranya sebagai berikut :al-Hayah
al-Insāniyyah
‘IndaAbi al-A‘la yang merupakantesis , 1941.al-Gufrān li Abū al-A‘la
al-Ma’āri yang
merupakan disertasi, Al-Tafsīr al-BayānililQur’ān al-Karīm jilid I, Manhaj
al-Dirasah al-Qur’aniyah, Al-Tafsīr al-Bayānilil Qur’an
al-KarīmJilid II, Min Asrari al-Arabiyah Fi al-Bayani al-Qur’āniyah.
d.
Tafsir
al-Sha’rawī [1911-1998 M.]
Nama lengkap Imam Sha’ra>wi> adalah Muh}ammad Mutawali al-Sha’ra>wi>. Mufassir asal Mesir yang terkenal
pada abad 20 ini lahir pada hari Ahad tanggal 17 Rabi>’ al-tha>ni>
1329 H bertepatan dengan tanggal 16 April 1911 Masehi di desa Daqadus, distrik Mith Ghamr, provinsi
Daqahlia, Republik Arab Mesir dan wafat pada Rabu pagi 22 Safar 1419 H
bertepatan dengan tanggal 17 Juni 1998 M, dalam usia 87 tahun..[23]
Muh}ammad Mutawali al-Sha’ra>wi mempunyai banyak karya. Dan yang paling popular adalah Tafsi>r al-Sha’ra>wi>. Adapun karya-karya beliau, antara lain sebagai berikut:[24]Tafsi>r al-Sha’ra>wi>, Al-Mar`ah fi> al-Qur’a>n, Al-Fata>wa> al-Kubra>, Al-Si>rah al-Nabawiyyah.
C.
Kajian
Tafsir di Andalusia
1.
Tafsir
Al-Qurtubi (w. 671 H).
Nama lengkapnya Muh{ammad bin Ah}mad bin
Abi Bakr Ibn Farrah} Abu Abdillah al-Ans}ari, al-Khazraji, al-Qurt}ubi,
al-Andalusi, al-Maliki (w.671H),[25]Al-Qurt}ubi
wafat pada malam Senin 9 Shawwal 671 H/1273 M dan makamnya sendiri berada di
Elmania, di timur Sungai Nil. Berkat pengabdiannya terhadap ilmu agama dan
keinginannya dalam memajukan peradaban Islam, para penduduk di sana sangat
menghormati jasa al-Qurt}ubi.[26]
Seperti dikatakan diatas bahwa al-Qurt}ubi dikenal sebagai orang yang salih yang menghabiskan waktunya untuk beribadah dan menulis. Oleh karenanya banyak karya yang telah diwariskan yang sangat bermanfaat untuk generasi setelahnya. Karya-karya yang telah ditulis adalah :Al-Ja>mi’ li Ah}ka>m al-Qur’a>n wa al-Mubayyin lima> Tadlammanah min al-Sunnah wa A<y al-Furqa>n, ini adalah karya al-Qurt}ubi yang paling fenomenal dalam bidang tafsir. Al-Usna> fi> Sharh} Asma> Allah al-H{usna> wa S{ifatihi, berisi tentang penjelasan mengenai nama-nama Allah SWT, tertulis dalam 2 jilid, Al-Tidhka>r fi> Afd}al al-Adhka>r berkisar tentang dhikir. Dalam penulisannya al-Qurt}ubi menulisnya seperti kitab al-Tibya>n karya al-Nawawi namun lebih sempurna dan lebih banyak muatannya, Qamh} al-H{irs} bi al-Zuhd wa al-Qana>’ah,[27] dan beberapa karangannya yang lain.
Pertumbuhan dan Perkembangan Tafsir di Kepulauan
Nusantara
Pertumbuhan dan perkembangan tafsir al-Qur’an di kepulauan Nusantara tidak lepas dari
proses pengakajian produk-produk penafsiran berupa ekslampar kitab tafsir dan
proses penulisan kitab tafsir dalam ragam askara dan bahasa berbeda. Secara
paradigmatik kajian tafsir dapat dikaji dalam dua aspek, kajian tafsir sebagai produk berupa examplar
kitab-kitab tafsir dalam berbagai bentuk dan tafsir sebagai suatu proses
kegiatan penafsiran melalui beberapa pendekatan dan metode penafsiran al-Qur’an[28].
Kajian terhadap produk-produk tafsir al-Qur’an di Nusantara
dilakukan untuk memahami makna al-Qur’an melalui beberapa kitab tafsir,
mengingat bahwa tidak semua umat Islam mampu menafsirkan al-Qur’an dan sebagai
awal pengenalan ajaran-ajaran Islam. Sedangkan, kajian atas proses penafsiran,
lebih terhadap telaah kritis atas pendekatan dan metode yang digunakan mufasir
(penafsir) dalam menafsirkan al-Qur’an. Dalam konteks ini, kedua aspek
tersebut menjadi sebuah bangunan epistemologis untuk mempetakan tumbuh dan
berkembangnya penafsiran al-Qur’an di Nusantara.
Cakupan kepulauan Nusantara saat ini menjadi kawasan
negara-negara diwilayah Asia Tenggara, menurut pendapat beberapa tokoh, kawasan
Nusantara pada awalnya merupakan wilayah-wilayah yang termasuk dalam kekuasan
kerajaan Majapahit dimasa jayanya.[29] Pendapat ini banyak didukung
bukti-bukti sejarah bahwa wilayah-wilayah “perdikan” taklukan Majapahit adalah
kawasan yang berada dikepulauan Nusantara. Disatu sisi penggunaan Istilah
Nusantara yang melekat kepada masyarakat Indonesia adalah asal kata Nusantara
yang berasal dari bahasa sangsekerta yang berarti, “Nusa” bermakna pulau atau
kepulauan dan “antara” adalah kawasan diantara beberapa pulau-pulau.[30]
Namun, dalam makalah ini penulisa akan memfokuskan
Pemetaan Tafsir di kepulauan Nusantara
dalam konteks di Indonesia. Tafsir di
Indonesia memiliki dinamika sejarah yang cukup panjang. Penafsiran di Indonesia
merupakan gamabaran dari proses penyebaran islam, sehingga kegiatan penafsiran
pada awalnya merupakan kajian terhadap al-Qur’an untuk memperoleh makna-makna
yang diperlukan dalam mensyiarkan ajaran-ajaran Islam. Nasruddin Baidan
menggambarkan bahwa embrio tafsir di Indonesia telah ada sejak penyebaran Islam
seperti halnya yang dilakukan oleh para wali dalam menjelaskan kandungan makna
ayat al-Qur’an di surau dan pondok[31], sehingga dalam konteks ini tafsir masih berupa
penjelasan-penjelasan verbal tentang makna ayat al-Qur’an.
Berdasarkan dari asumsi diatas Baidan mendefinisikan
tafsir di Indonesia sebagai bentuk kegiatan pemahaman terhadap kandungan
makna-makna al-Qur’an melalui simbol-simbol, bahasa dan dialek lokal indonesia
baik berupa bahasa verbal maupun literatur tafsir al-Qur’an.[32] Penemuan literatur surat al-kahfi
pada abad 16 M menjadi bukti kitab tafsir pertama yang berbahasa melayu di
Indonesia, meskipun nama pengarang kitab tersebut diperkerikan ditullis oleh
Hamzah al-Fansury atau Saym al-Din al-Samatrani. Hanya saja selang satu abad
berikutnya, penemuan produk tafsir Tarjuman al-Mustafid berbahasa melayu
oleh dikarang oleh Abd al-Ra’uf Al-Sinkili[33] 17 M
dikatakan oleh banyak peneliti sebagai kitab tafsir paling awal di Nusantara.
Sosok Abd al-Ra’uf diyakini sebagai awal perintis penulisan
tafsir di Indonesia, sehingga kedudukannya dalam jaringan ulama’ berpengaruh
hingga Timur Tengah. kitab tafsirnya yang dikatakan sebagai sarah atau gambaran
dari kitab tafsir al-khazin, tetap dikonsumsi oleh umat Islam di Nusantara,
Singapura, Penang Jakarta dan Bombay bahkan kitab tafsir tersbut, diterbitkan
pula di Istanbul, oleh Mathba’ah al-Ustmanyyah (1302/1894 H/M), kemudian di
Kairo (oleh Sulayman al-Maraghi dan di Mekkah)[34]. Dengan
demikian kajian tafsir nusantara memiliki jaringan yang kuat dalam dunia Islam
Pemetaan Tafsir di Indonesia
Pemetaan Tafsir di Indonesia tidak lepas dari aspek
pengkajian dan penulisan tafsir al-Qur’an. Dalam hal ini para
peneliti kajian tafsir di Indonesia memetakan
tafsir di Indonesia berdasarkan priodesasi. Dalam
memaparkan periodesasi pengkajian dan penulisan
tafsir di Indonesia memiliki perbedaan.
Howard M. Federspiel misalnya
dalam bukunya yang melakukan pembagian kemunculan dan perkembangan tafsir
al-Quran di Indonesia dari segi generasi. Ia membagi periodisasi tersebut
berdasarkan pada tahun, dalam tiga generasi. Generasi ke-1, kira-kira dari
permulaan abad ke-20 sampai awal tahun 1960-an, yang ditandai dengan adanya
penerjemahan secara terpisah dan cenderung pada surat-surat tertentu sebagai
objek tafsir. Generasi ke-2, merupakan penyempurnaan atas generasi pertama yang
muncul pada pertengahan 1960-an sampai tahun 1970-an, yang mempunysi ciri
diantaranya terdapat beberapa catatan, catatan kaki, terjemahan kata perkata,
dan kadang-kadang disertai dengan indeks yang sederhana. Sedangkan generasi
ke-3 dimulai antara pertengahan tahun 1970-an, merupakan penafsiran lengkap
dengan uraian yang sangat luas.[35]
Pemetaan tafsir yang dilakukan Federspiel banyak
ditanggapi oleh peneliti berikutnya, salah satunya Islah Gusmian yang memandang
bahwa periodisasi tafsir di Indonesia oleh Federspiel ini memang bermanfaat
dalam rangka melihat dinamika penulisan tafsir di Indonesia. Namun, dari segi
tahun pemilahannya dinilai agak rancu. Misalnya, ketika Federspiel memasukkan
tiga karya tafsir, yaitu: (1) Tafsir al-Furqan karya A. Hassan (1962); (2)
Tafsir al-Qur’an karya H. Zainuddin Hamidy dan Fachruddin Hs.(1959), dan (3)
Tafsir al-Qur’an al-Karim karya H. Mahmud Yunus, sebagai karya tafsir yang
representatif untuk mewakili generasi ke-2. Padahal
menurut Gusmian, ketiga tafsir itu muncul pada pertengahan dan akhir 1950-an,
yang dalam kategorisasi yang ia susun masuk dalam generasi pertama.[36] Setelah
mengkritisi periodisasi federspiel. Gusmian memaparkan kategori tafsir al-Quran
di Indonesia dengan mengacu pada periodisasi tahun, yaitu: (1) Periode ke-1,
yakni antara awal abad ke-20 hingga tahun 1960; (2) Periode ke-2, tahun 1970-an
sampai tahun 1980-an. (3) Periode ke-3, antara 1990-an hingga seterusnya.[37]
Pada
bagian lainnya, Nashruddin Baidan dalam bukunya yang berjudul Perkembangan
tafsir al-Quran di Indonesia memaparkan periodisasi yang agak berbeda dengan
Federspiel maupun Gusmian. Baidan membagi periodisasi perkembangan tafsir di
Indonesia dalam empat periode, yaitu: (1) periode klasik, dimulai antara abad
ke-8 hingga abad ke-15 M. (2) periode tengah, yang dimulai antara abad ke-16
sampai abad ke-18, (3) periode pramodern yang terjadi pada abad ke-19, (4)
adalah periode Modern, yang dimulai abad ke-20 hingga seterusnya. Periode
modern ini dibagi lagi oleh Baidan menjadi tiga bagian yaitu: kurun waktu
pertama (1900-1950), kurun waktu ke-2 (1951-1980), dan terakhir adalah kurun
waktu ke-3 (1981-2000).[38]
Perbedaan
periodesasi diatas, bisa terjadi antara lain disebabkan karena terdapat
perbedaan data yang diperoleh oleh para peneliti perkembangan tafsir di
Indonesia. Selain itu perbedaan sudut pandang tentang objek kajian, bisa
menjadi salah satu sebab timbulnya perbedaan pemilahan tahun yang terjadi
diantara tafsirtafsir diatas. Dalam kajian ini, penulis disini bukan berada
dalam posisi sebagai pengkritik terhadap periodisasi yang telah dipaparkan
diatas. Dengan demikian berdasarkan pemetaan yang dari beberapa peneliti
diatas, dapat disimpulkan beberapa periodesasi untuk saling melengkapi satu dan
lainnya.
1.
Periode Klasik
Karya-karya
tafsir pada periode ini dapat ditelaah sebelum bad ke- 20 M, dengan beberapa
kecenderungan, pertama, penafsiran yang dilakukan bergerak dalam model yang
sederhana serta tekhnis penulisan yang tergolong elementer. Dalam naskah tafsir
surat al-Kahfi yang disimpan diperpustakaan
Cambridge misalnya, tidak ada pemisahan ruang antara teks arab al-Quran,
terjemah dan tafsirnya. Ketiganya diletakkan dalam halaman yang sama tanpa
pemisahan yang tegas kecuali warna tinta. Manuskrip ini menulis surat al-Kahfi
dalam tinta merah diiringi dengan terjemah serta komentar dalam tinta hitam.
Model seperti ini menurut Feener memang terus diterapkan didunia melayu sampai
abad ke-19.[39]
Kecenderungan
yang kedua dan ketiga pada dasarnya merupakan titik persinggungan antara tafsir
dan budaya lokal. Hal ini dapat ditelaah dari aspek tulisan yang dipakai
rata-rata adalah huruf pegon[40] meski
dalam bahasa Melayu, Jawa maupun Sunda. Hal ini dimungkinkan terjadi karena
pada akhir abad ke-16 terjadi pembahasalokalan Islam di berbagai wilayah
Nusantara. Misalnya huruf ini dipakai dalam tafsir Tarjuman al-Mustafid
serta naskah Surat al-Kahfi dan naskah anonim lainnya yakni Kitab Fara’id
al-Qur’an ataupun Jam‘u al-jawami‘ al-musannafat.[41]
Persinggungan
penafsiran al-Quran juga merambah pada aspek sufisme, yang kala itu kental
mewarnai keberislaman penduduk Nusantara utamanya kawasan Melayu (Sumatra) dan
Jawa. Walaupun A. John merasa heran dengan sedikitnya tafsir sufistik yang
ditemukan, karena memang awal kegiatan intelektual dikawasan ini masih
didomonasi oleh tradisi lisan (oral tradition) dalam melakukan transmisi
ilmunya kepada orang lain, sehingga menelusuri diskursus bidang tafsir sulit
dilakukan melalui bukti-bukti karya tulis. Faktor lain yang menghambat penemuan
karya tafsir sufistik adalah adanya benturan tasawuf heterodoks Hamzah
al-Fansuri dan Syams al-Din al-Sumatrani dengan tasawuf ortodoks Nurudin
ar-Raniri yang berujung dengan pembakaran karya-karya tulis. Tetapi, hasil
karya persentuhan tasawuf dengan penafsiran al-Qur‘an dapat dilihat dari
fregmen sufistik Tasdiq al-Ma‘arif yang tak bertahun.[42]
2.
Periode Modern
Penulisan
tafsir di Indonesia menemui titik kulminatif dari dari segi teknis penulisan
lebih sedikit maju dan mencapai produktivitas yang mulai tinggi pada awal abad 20 Hingga Tahun 1970-an. Hal ini
disebabkan beberapa faktor. Pertama adalah di akhir abad ke-19 sampai awal abad
ke-20 kebijakan politik makro yang dilakukan oleh Kolonial Belanda yakni
politik etis mulai terasa dampaknya. Kebijakan yang salah satu poinnya adalah
memajukan edukasi bangsa Indonesia ini, mulai memunculkan kesadaran intelektual
dari sebagian masyarakat Indonesia. Kaum terdidik yang naik ke permukaan baik
dari bidang politik ataupun agama mulai menempati posposnya sebagai motor
penggerak pemikiran. Termasuk dalam hal ini banyak mufassir-mufassir
yang lahir dan mulai menuliskan karyanya. Kedua adalah peranan penting dari
dunia percetakan di Indonesia yang memudahkan untuk menulis karya termasuk
karya tafsir untuk kemudian disampaikan kepada masyarakat Indonesia. ketiga dan
juga faktor yang paling penting adalah pengaruh dari pemikiran Muhammad Abduh
yang mempunyai semboyan “kembali kepada al-Quran” membuat kebutuhan untuk
menafsirkan al-Qur’an semakin diperlukan.
Arus
modernisasi yang sudah mulai menyentuh dalam kehidupan beragama di kalangan
masyarakat Islam di Nusantara berpengaruh terhadap pembentukan kemajuan
penulisan dalam bidang tafsir. Ciri perkembangannya pun berjalan seiring dengan
perubahan intelektual masyarakat ketika itu. Dari segi tata letak, bila
dibandingkan teknik lay-out penulisan tafsir pada periode klasik yang belum
memisahkan ruang teks al-Quran, terjemah dan tafsirnya, dimana ketiganya masih
diletakkan dalam halaman yang sama tanpa pemisahan yang tegas kecuali warna
tinta, maka seiring dengan mode, cetakan di awal abad ke-20 mulai dikembangkan
tekhnik lain yang lebih sistematis. Yakni penulisan teks Arab al-Quran agak
renggang secara berurutan untuk membagi ruang bagi penulisan terjemahan atau
tafsir disela-sela garisnya. Dengan kata lain, teknik yang dikembangkan ini
adalah membagi setiap halaman menjadi 2 ruang, yaitu satu teks Arab dan satunya
untuk terjemahan.[43] Bahkan
untuk tahun-tahun selanjutnya dikembangkan penempatan tafsir atas teks terjemah
terpisah dalam bentuk catatan kaki atau catatan pinggir. Tafsir yang
menggunakan teknik ini salah satu contohnya adalah tafsir Raudah al-‘Irfan
karya Ahmad Sanusi.
Pada
sisi lain, proses penterjemahan terhadap al-Qur’an mengindikasikan bahwa
modernisasi dalam kajian islam dapat dikategorikan suatu kebutuahan bagi umat
Islam. sebagai contoh dapat dikemukakan penafsir yang berani melakukan
terobosan ini misalnya Mahmud Yunus. Disebut berani karena ia menerjemahkan
al-Quran kedalam bahasa selain bahasa Arab ditengah-tengah masyarakat yang
menganggapnya haram. Saat itu menerjemahkan dan menafsirkan al-Qur‘an diluar
bahasa Arab belum dapat diterima oleh semua ulama. Karyanya adalah tafsir al-Qur’an
al-Karim (1922) dalam bahasa Indonesia.[44] Tokoh lain
yang melakukan hal serupa adalah Ahmad Sanusi yang menerjemahkan al-Qur‘an
dalam bahasa Indonesia dalam karyanya Tamsyiyyat al-Muslimin dan dengan
karyanya Malja’ at-Talibin serta Raudat al-‘Irfan dalam bahasa
Sunda.
Dengan
demikian,
karakteristik perkembangan tafsir pada periode modern terletak pada penggunaan
bahasa dengan hurup Latin yang menggeser kepopuleran hurup pegon, selain
diintrodusirnya aksara Roman oleh Pemerintah Belanda. Proses Romanisasi atau
Latinisasi ini, pada akhirnya menjadi dominan dari pusat hingga daerah,
terutama setelah dihapuskannya sistem tanam paksa yang kemudian menerapkan
politik etis. Disamping itu munculnya media massa, terutama koran dan majalah
pribumi, pada dekade 1900-an seperti media massa Medan Prijaji yang terbit
pertama kali 1906 dan al-Islam pada tahun yang terbit 1916 juga
mendorong romanisasi lebih jauh.[45] Hal ini
juga selanjutnya diikuti oleh karya-karya tafsir. Diantaranya adalah tafsir
al-Furqan (1928) karya A. Hassan dan tafsir Tamsyiyyah al-Muslimin
(1934) karya Ahmad Sanusi.
Namun,
aksara pegon sebagai pengungkap dalam karya tafsir tidak hilang sepenuhnya dan
masih bisa dapati sampai setidak-tidaknya dekade 1980-an. Kita bisa menyebut
beberapa karya misalnya: tafsir al-Qur’an al-Karim (1922) karya Mahmud Yunus;
tafsir al-Burhan (1922), tafsir juz ‘amma karya Hamka; tafsir Malja’
at-Thalibin (1931) karya Ahmad Sanusi; dan tafsir al-Ibriz (1980)
karya KH. Bisri Musthofa. Dalam karya-karya periode modern, juga bisa dilihat
kecenderunganpenafsiran pada surah-surah tertentu. Misalkan, Tafsir
al-Qur’an al-Karim, Yaasin (Medan: Islamiyah, 1951) karya Adnan Yahya
Lubis; Tafsir Surah Yasin Dengan keterangan (bangil : Persis 1951) Karya
A. Hasan kedua Literatur Tafsir ini berkonsentrasi pada Surah Yasin.
Dari segi aspek teknis lainnya kita juga bisa melihat sudah dimulainya sistem
penulisan yang menyertakan cara baca dalam hurup latin beserta terjemah dan
tafsirnya, seperti Tafsir Tamsyiyyat al-Muslimin (1934) karya Ahmad
Sanusi, Tafsir Rahmat (1981), dan Terjemah dan Tafsir al-Qur’an:
Huruf Arab dan Latin (1978) karya Bachtiar Surin.
3.
Periode Kontemporer
Dinamika
kajian dan penulisan tafsir di Indonesia
pada priode kotemporer mulai tahun 1980-an sampai sekarang. Istilah
kontemporer banyak didengungkan dalam aspek kajian linguistik modern untuk
membaca simbol-simbol bahasa kebudayaan hingga realitas sosial. Namun, lambat
laun paradigma ini menjadi suatu kecenderungan penafsiran melalui multi
interdisipliner yang tidak lagi terikat oleh batasan-batasan kaidah literer teks
al-Qur‘an. Proses penulisan tafsir di era kontemporer juga menekankan pada
penyelesaian sebuah topik tertentu yang dikenal dengan metode Tafsir Maudu‘i.
meskipun bentuk penafsiran tematik ini telah lama dipakai oleh para penulis
Islam klasik. Akan tetapi, baru belakangan ini dikembangkan secara sempurna
oleh Fazlurrahman, seorang tokoh intelektual dunia Islam kontemporer dalam
bukunya Mayor Themes of The Qur’an.
Kecenderungan
penafsiran para pemikir kontemporer juga banyak diintrodusir di Indonesia
seperti Nurcholish Madjid dan Syafi’i Ma’arif sangat banyak mempengaruhi
perkembangan intelaktual di Indonesia, khususnya IAIN. Sebagai contoh dalam
priode ini misalnya Tafsir Ayat-ayat Haji: Telaah Intensif dari Pelbagai
Madzhab, karya Mukhtar Adam. Dalam karyanya ini dibahas satu topik tentang
ibadah haji dengan memakai perpaduan antara metode penafsiran Maudu‘i dengan
metode perbandingan madzhab.[46] Tafsir
sejenis yang memakai metode yang hampir serupa adalah Tafsir dan Uraian
Perintah-perintah dalam al-Qur’an, yang ditulis oleh Q.A . Dahlan Saleh.
Disamping
itu dalam priode kontemporer ini, topik-topik yang dibahas dalam tafsir
bertambah melebar. Para penulis tafsir tidak hanya terbatas dari kalangan ahli
agama semata namun dari kalangan ahli komunikasi pun seperti Jalaluddin Rahmat
dapat menulis sebuah karya tafsir yang berjudul Tafsir bi al-Ma’tsur: Pesan
moral al-Qur’an. Awalnya buku ini berasal dari serial artikel republika. Di
dalam buku ini Jalaluddin Rahmat mengadopsi metode Tafsir bi al-ma’tsur
atau menafsirkan ayat al-Qur‘an dengan ayat al-Qur‘an yang relevan. Namun ia
tidak menafsirkan seperti para penafsir konvensional metode riwayat yang lain
yang menjelaskan ayat demi ayat dengan tertib ayat.
Masih dalam dekade yang sama muncul karya Dawam Raharjo berjudul
Ensiklopedi al-Qur’an. Buku ini ditulis setebal 700 halaman yang semula dimuat
secara berkala dalam jurnal ‘Ulum al-Qur’an. Di sini Dawam membahas
tema-tema besar yang aktual seperti ‘adil‘, agama‘, ‘ilmu pengetahuan‘ dan
sebagainya. Karya terakhir dalam generasi ini yang sangat populer adalah karya
Quraish Shihab. Ia sangat dikenal melalui koleksi tulisnnya yang dibukukan yang
berjudul Membumikan al-Qur’an. Buku ini telah banyak memperkenalkan konsep
metode Maudu‘i dengan bahasa Indonesia yang lugas. Disamping itu,
penerapan praktis terhadap metode tematik ini terlihat dalam beberapa karyanya
yang lain seperti: Wawasan al-Qur’an, Tafsir al-Qur’an al-Karim dan lain-lain.
Karya-karya Quraish Shihab ini banyak diakui oleh pemerhati perkembangan tafsir
Indonesia sebagai inovator baik dalam segi metode penafsirannya maupun isinya.[47]
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dimulai abad ke-20
memiliki kecenderungan metode penafsiran yang menggunakan pendekatan
lingguistik modern dan tradisi penulisan tematik. Kecenderungan ini bertahan
hingga saat ini dalam berbagai bentuk mulai penelitian akademik dalam perguruan
tinggi maupun non-akademik berupa penelitian lepas oleh pegiat kazanah tafsir
di Indonesia. Disamping itu, kecenderungan penggunaan bahasa penafsiran yang
bervariasi, mualai sosial-kemasyara, reportase, maupun bahasa ilmiah populer.
[1] M.
Zaenal Arifin. Pemetaan Kajian Tafsir: Perspektif Historis, Metodologis,
Corak dan Geografis, 81-88.
[2] Dr.
Hj. Faizah Ali Syibromailisi, MA., Tafsir bi Al Ma’tsur, 69.
[3]
Muhammad Ali Iyaziy, Al-Mufassirun, Hayatuhum wa Manahijuhum, (Tahran:
al-Irsyad al-Islamiy, 1964), 703.
[4] Ibid.,
703.
[5] Ibid.,
873.
[6] Ibid.,
873-874.
[7]
Muhammad Ali Iyaziy, Al-Mufassirun, Hayatuhum wa Manahijuhum, 1191-1192.
[8] Ibid,
1075. Muhammad Nawawiy al-Jawiy, Murrahu Labid li-Kasyfi Makna al-Quran
al-Majid, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1997), 4.
[9] Lihat
Muhammad Ali Iyaziy, 1075. Muhammad
Nawawiy al-Jawiy, Murrahu Labid li-Kasyfi Makna al-Quran al-Majid,4
[10] M.
Zaenal Arifin. 92.
[11]
Dzikri Nirwana. Jurnal Falasiva (Vol. 1 No.1 Maret 2010), hal. 30-34. Lihat
juga. M. Zaenal Arifin.. 93.
[12] Muhammad Husain ad-Dzahabi. At-Tafsir wa
al-Mufassirun. Juz. I (Maktabah Wahbah,2000) hlm. 237.
[13] Tim Penyusun. Ensiklopedi Islam. Jilid IV
(Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,2003) hlm. 324.
[14] Muhammad Husain ad-Dzahabi. hlm. 238..;
[15] Muhammad Husain ad-Dzahabi. 233-234
[16] M.
Zaenal Arifin.. 98-102.
[17] Fachruddin Faiz, Hermeneutika
Qur’an, (Yogyakarta: Qalam, Cet. Ke-II, 2002), 61.
[18] M. Quraish Shihab, Studi Kritis
Tafsi>r Al-Manar, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994), 66.
[19] Shekh
Agha Bazrak at-Taherani, Tarikh Hasri al-Ijtihad, (Qum: 1401 H)
[20]Muḥammad Amin,A
Study of Binth al-Shati` Exegesis, (Kanada: Tesis Mcgill, 1992), 6.
[21]Saiful
Amin Ghofur, Profil Para Mufassir Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Insan
Madani, 2008), 187.
[22]Ibid
[23] Abu> al-‘Ainain,
Al-Sha’ra>wi>: Ana min
Sula>lat Ahl al-Bait (al-Qa>hirah:
Akhba>r al-Yawm, 1995), 6.
[24] Muh}ammad ‘Ali> Iya>zi>., 269.
[25]Abi Abdillah Muh{ammad bin Ah}mad bin Abi Bakr
al-Qurt}ubi, al-Ja>mi’ li Ah{ka>m al-Qur’a>n, juz I, (Beirut :
Da>r Ih}ya’ al-Tura>th al-‘Arabi, 1384 H), 37
[26]Ibid., 38
[27]Abi Abdillah Muh{ammad bin Ah}mad bin Abi Bakr
al-Qurt}ubi, al-Ja>mi’ li Ah{ka>m al-Qur’a>n, s38
[28] Abdul Mustaqim, Epistemologi
Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta: Penerbit LKiS, 2009), 26.
[29] Aksin Wijaya, Menusantarakan
Islam, Menelusuri Jejak Pergumulan Islam Yang Tak Kunjung Usai, (Yogyakarta:
Nadi Pustaka, 2011), 34.
[30] Ibid. 26
[31] Nasruddin Baidan, Sejarah
Perkembangan Tafsir di Indonesia, (Yogyakarta: Tiga Serangkai, 2002), 21
[32] Ibid, 6
[33] Abd al-Ra’uf Ibn Ali al-Jawi
al-Fansuri al-Sinkili (1024-1105/1615-1693 H/M.), adalah seorang melayu dari
Fansur, Sinkil (singkel). Ia merupakan merupakan keturunan singkel yang menurut
peneliti berasal dari Persia, ia adalah anak dari kakak laki-lakinya Hamzah
Fansuri, gurunya yang paling banyak membentuk pemikirannya adalah al-Qushashy dan
Syaikh Ibrahim al-Kurani selama ia belajar di Arabia. Muridnya yang terkenal
adalah Syeikh Abdul Malik bin Abdullah dari Terenggano lihat, Azyurmadi Azra, Jaringan
Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad, XVII-XVIII; Edisi Perenial,
(Jakarta: Kencana Prenada Media Group), 2013, 239-243.
[34] Azyurmadi Azra, Jaringan
Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad, XVII-XVIII; Edisi Perenial,
Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013, 257
[35]Howard
M. Federspiel, Kajian al-Quran di Indonesia: dari M. Yunus hingga Quraish
Shihab, terj. Tajul (Bandung: Mizan, 1994), 129.
[36]
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia; dari Heurmeneutika hingga Ideologi
(Jakarta: Teraju, 2003), 65
[37] Ibid., 66-69.
[38] Nashruddin Baidan,
Perkembangan Tafsir di Indonesia (Solo: Tiga Serangkai, 2003), 31-109.
[39] Michael R. Feener, “Notes
Towards”, dalam Studia Islamika, Vol. 5, No. 3, 1998, 47.
[40]
Aksara pegon adalah teks-teks Jawa, Sunda ataupun Melayu yang ditulis dalam
aksara Arab. Di komunitas muslim yang tersebar dalam masa periode klasik ini,
aksara pegon menjadi aksara yang lebih populer dibanding variasinya, yakni
hurup gundil (hurup gundul). Karena kondisi keilmuan masyarakat muslim pada
waktu itu belum begitu tinggi dalam bahasa arab. Untuk melihat secara lengkap
sejarah aksara pegon dalam Jawa dan Sunda
[41] Gusmian, Khazanah Tafsir, 61
[42]
A. H. Jons, “Islam di Dunia Melayu” dalam Azyumardi‖
Azra (ed.) Perspektif Islam Asia Tenggara (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
1989), 126.
[43]
Feener, “Notes Toward”, 55-56.
[44]
Mamat S. Burhanuddin, Hermeuneutik al-Qur’an ala Pesantren: Analisis Terhadap
Tafsir Marah Labid Karya K.H. Nawawi Banten (Yogyakarta: UII Press, 2006),
116-117.
[45] Gusmian, Khazanah Tafsir,
61-62.
[46] Mamat S. Burhanuddin,
Hermeuneutik al-Qur’an ala Pesantren: Analisis Terhadap Tafsir Marah Labid
Karya K.H. Nawawi Banten (Yogyakarta: UII Press, 2006) 128.
[47] Ibid
Comments
Post a Comment